Share

Bab 2

Author: Yazmin Aisyah
last update Last Updated: 2022-11-22 14:33:49

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 2

"Abaaaaanngg!"

Aku berlari menuju ruang tengah, tempat semua orang berkumpul. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Bisa-bisanya Bang Arga berbuat kriminal demi memenuhi kemauan cewek freak-nya itu. Dan Mama? Oh, tega sekali Mama membiarkan kejahatan terjadi di rumah ini.

Di ruang tengah, demi mendengar teriakanku, rupanya Winda langsung mencari perlindungan. Dia bersembunyi di belakang badan Abang, sementara Mama tampak mengelus dada mendengar suaraku.

"Buka bajuku! Buka!"

Suaraku naik lima oktaf. Aku menghampiri Abang, yang terang-terangan melindungi pacarnya itu. Sementara dari balik bahu Bang Arga, Winda meringis melihatku.

"Kesini kamu Mbak! Kembalikan bajuku!"

"Hei hei jangan gitu dong Em. Kasihan Winda nggak salah apa-apa."

"Nggak salah apa-apa? Dia sudah mencuri bajuku!"

"Bukan Winda yang ngambil dari lemari, itu Abang."

"Kalau begitu kalian berdua harus masuk penjara, kecuali bajuku kembali!"

Aku benar-benar kalap. Sambil bicara aku memutari tubuh Bang Arga, berusaha menjangkau bajuku yang dipakai Winda. Sementara Bang Arga nggak mau kalah, dia juga ikut berputar, menghindari kekasih freak nya itu agar jangan sampai kena olehku.

Aku berhenti mendadak. Lelah rasanya. Tenaga Bang Arga jelas lebih kuat. Tangannya terus menangkis tanganku yang hendak menarik bagian tubuh Winda yang terjangkau olehku. Baju, rambut, apa saja. Tapi karena Bang Arga, aku hanya menangkap angin.

Melihatku berhenti, kedua makhluk bucin itu juga ikut berhenti bergerak. Sementara kudengar desahan lega Mama. Mungkin mereka pikir aku akhirnya menyerah. Oh, No…

Selagi mereka melihatku dengan bingung, aku melompat ke belakang Bang Arga dan menarik lengan Winda sekuat tenaga.

"Aduuhh, sakit Bang. Tolong aku, Ma…"

Suaranya yang manja benar-benar membuatku muak. Aku masih mencengkram lengannya, berusaha menarik baju itu lepas dari atas kepalanya.

"Emilyyy… sudah dong. Itu hanya baju. Nanti Abang beliin lagi yang baru."

"Kalau gitu dia aja yang Abang beliin. Aku mau yang ini."

"Bang… tolong Bang."

"Emiii, nanti Winda telanjang! Malu, Nak."

Kali ini, Mama yang berseru. Aku menoleh sejenak dan mendelik. Rasanya sakit hati sekali melihat Mamaku sendiri lebih membela anak orang lain.

"Terserah, aku nggak peduli!"

"Ga, jangan liat! Jangan liat!"

Baju itu akhirnya berhasil melewati kepala si gadis freak. Mama berlari, sibuk menutupi mata Arga karena kini Winda cuma mengenakan pakaian dalam saja selain celana jeans yang dipakainya. Dia sibuk menutup dadanya dengan sling bag yang cuma muat ponsel dan duit, sementara aku berlari ke kamar, menarik sembarang kaus dari dalam lemari dan melemparkannya pada Winda.

"Awas kalau kamu ambil bajuku lagi!"

Aku memelototinya, sementara gadis itu meraih baju yang ku lemparkan sambil menangis. Setelah memakai kaus, dia berlari memeluk Bang Arga dan Mama. Mereka berdua lalu sibuk mengusap-usap dan menenangkan Winda. Gila, ini yang anaknya aku atau dia sih?

"Jahat banget kamu, Em. Kamu kayak bukan adik Abang."

Suara Bang Arga justru semakin membuat emosiku memuncak.

"Abang yang kayak bukan Abangku. Sejak kenal cewek itu, Abang berubah. Dan parahnya lagi, Mama juga!"

"Emi…"

"Kalian tahu kan apa arti baju ini bagiku?" Aku memeluk baju putih itu, memberi kekuatan pada diriku sendiri karena aku sadar suaraku mulai bergetar. "Atau mungkin, Mama dan Bang Arga sudah benar-benar melupakan Papa."

"Emily, bukan gitu sayang…"

Mama melangkah mendekat, hendak memelukku. Namun aku lebih dulu berlari ke kamar, mengunci pintunya. Ku banting tubuh di atas kasur, menatap seisi kamar masih sambil memeluk baju kesayanganku, lalu berhenti pada pintu lemariku yang rusak dicongkel Bang Arga. Masih ku ingat bagaimana Mama dan Bang Arga memeluk Winda, mengabaikan aku dan hatiku yang sakit. Tanpa sadar, aku menangis, hatiku nelangsa karena merasa sendiri.

***

Usai sholat maghrib, aku mulai mengemas pakaianku ke dalam ransel. Sudah kuputuskan untuk pergi. Tinggal di sini, nyaris setiap hari melihat tingkah Winda dan Bang Arga membuatku mulai meragukan kewarasanku.

"Loh, kamu mau kemana?"

Mama mencegahku. Beliau masih mengenakan mukena, seperti biasa membaca Al-Quran di ruang keluarga, sementara dua mahluk super bucin dari planet lain itu tak terlihat di manapun. Mungkin Bang Arga sedang mengantarnya pulang. Aku berhenti sejenak. Meski kesal, aku tak mungkin mengabaikan Mama.

"Aku mau ngekost aja, Ma. Rumah ini sudah nggak sehat."

"Loh… loh… kok kayak gitu?"

"Aku nggak tahan, hampir setiap hari Winda kesini dan bikin aku darah tinggi. Lama-lama aku bisa kena stroke."

Mama menutup Al-Quran dan melepas kacamata bacanya, lalu menyuruhku duduk di sisinya. Aku mendesah, siap mendengarkan legenda tentang bagaimana Mama tak pernah bisa menolak semua keinginan Bang Arga.

"Kamu tahu kan? Abangmu…"

"Iya iya, aku tahu. Abang pernah kena step dan hampir mati pas usia tiga tahun. Makanya Mama takut sekali kalau dia sakit lagi." Aku memotong kalimat Mama, "Ma, yang kena step itu anak kecil. Bang Arga sudah dua puluh empat tahun!"

"Tapi Em, Mama nggak tega lihat Abangmu melas gitu?"

"Jadi Mama lebih tega sama aku? Gitu? Ya udah aku pergi. Kan Mama cuma butuh Bang Arga."

Aku berdiri, tapi Mama menarik tanganku hingga aku terduduk lagi.

"Oke, Mama janji. Ini yang terakhir. Besok-besok Mama akan bersikap tegas sama Arga dan Winda."

Aku meneliti wajah Mama, "Beneran janji?"

"Eh…" Mama salah tingkah. " Ya iyalah. Ayolah, Nak. Kalau kamu pergi, siapa nanti yang nemanin Mama? Siapa yang olesin minyak aroma terapi ke punggung Mama? Abangmu jarang di rumah…"

Aku mendesah. Melepas ransel dari punggung dan menaruhnya di lantai. Selalu seperti ini, aku akan kalah oleh rayuan pulau kelapa yang Mama lontarkan. Baru saja selesai negosiasi di antara kami, suara mobil Bang Arga yang menggerung dengan keras terdengar dari halaman. Aku dan Mama sama-sama terkejut. Lebih-lebih saat Bang Arga masuk dengan wajah kusut.

"Gara-gara kamu Winda minta putus!" Dia menatapku marah.

Hah?

Sesaat, aku dan Mama saling pandang. Lalu tanpa sadar aku teriak.

"Yeaaayyy… horeee. Syukur Alhamdulillah ya Allah.".

"Emilyyyy!"

Suara Bang Arga yang menggelegar membuatku berhenti bersorak. Aku langsung menyambar ransel dan masuk ke dalam kamar. Biarlah, ada Mama. Mama kan pawangnya Abang.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Adonia
Awal ceritanya sngat bagus
goodnovel comment avatar
Marianti Bundaghazyabdiel
gimana masuk bab berikutnya... kok gak bisa
goodnovel comment avatar
Marianti Bundaghazyabdiel
cerita awalnya nya bagus bngt... t
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PACAR ABANGKU SAKIT JIWA   Bab 69 (ENDING)

    PACAR ABANGKU SAKIT JIWA (ENDING)musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 15PoV WINDAEnam bulan kemudian"Kak, kenapa sih Mama nggak sayang sama aku? Seperti Mama sayang sama Kakak?""Kata siapa? Mama sayang kok sama kamu.""Tapi Mama dikit-dikit marah. Kalau sama Kakak nggak."Kak Laura tersenyum, mengusap rambutku dengan lembut."Mama cuma lagi nggak enak badan. Kamu tenang aja ya, kan ada Kakak." Ujar Kak Laura sambil tersenyum manis. Dia mengulurkan perahu dari kertas yang baru saja dibuatnya.Aku ikut tersenyum, meraih perahu kertas itu dan berlari ke dalam kolam ikan di belakang rumah. Berdua kami melarungkan perahu itu disana, membuat ombak kecil dengan kedua tangan hingga perahu itu sesekali terombang-ambing. Ah, masa kecil yang indah. Kenapa orang harus menjadi dewasa jika masa kecil sudah membuat bahagia? Padahal dengan menjadi dewasa, ada banyak masalah yang mulai menghampiri."Sayang…"Aku menoleh, segala kenangan tentang masa kecil itu segera lenyap dari benakku. Mas Adit

  • PACAR ABANGKU SAKIT JIWA   Bab 68

    PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa TertinggalBab 14PoV ADITYAKeadaan rumah baik baik saja kecuali satu hal, kunci pintu depan yang dibuka paksa menggunakan sebuah alat. Itu artinya, Winda pergi kesana tidak dengan sukarela. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Winda bisa ada disana bersama si pembunuh? Dan suara Siapakah yang menjerit demikian pilu? Suara itu, seperti seseorang yang tengah merasakan sakit yang luar biasa.Aku memandang wajah istriku dengan gundah, sekaligus kesal karena aku tak tahu apa-apa, persis orang buta. Wajah itu masih pucat pasi saat kuletakkan di atas pembaringan. Tapi setidaknya dia tak menolak semua sentuhanku padanya. Sepanjang subuh hingga pagi itu, Winda tak juga mau melepaskan diri dari pelukanku. Belum pernah aku merasa se bingung ini. Aku tak tahu apa yang telah menimpanya, dan juga apa yang terjadi. Dan suara tembakan itu? Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku percaya Mas Arfan akan melakukan yang terbaik, seperti dia selalu mempercayaiku

  • PACAR ABANGKU SAKIT JIWA   Bab 67

    PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2.SISA RASA TERTINGGAL.Bab 13Lika masih menjerit histeris, aku bisa memperkirakan bertapa kuat tenaga lelaki itu, apalagi dengan sepatu model boot yang keras dan berat menekan paha Lika. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku tak sanggup, seandainya harus melihat seseorang disiksa si depan mataku. Lika memang bersalah, tapi bukan seperti ini hukuman yang kuinginkan untuknya. Dan lagi, adakah manusia yang punya hak melakukannya."Ya Allah… jangan! Tolong jangan! Lepaskan dia!"Mendengar suaraku, Lika berhenti menjerit. Dia memandangku sambil berurai air mata sementara si malaikat maut sama sekali tak menoleh. Dengan sebelah tangannya, dia mengulurkan pisau kecil membuka ikatan di kakiku, memutar kursiku dan kembali membuka ikatan di tanganku. Semua itu dia lakukan tanpa melepaskan kakinya dari paha Lika."Pergi Winda. Dan jangan sekali kali lapor polisi. Biarkan aku jadi hakim untuk mereka dan biarkan aku sendiri yang menanggung dosanya."Aku berdiri

  • PACAR ABANGKU SAKIT JIWA   Bab 66

    PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa tertinggalBab 12Dadaku langsung berdebar hebat membaca pesan itu. Aku refleks berdiri, memandang berkeliling. Aku sangat yakin lelaki itu tadinya ada disini. Sang malaikat maut yang telah menyiksa Kak Laura. Kak Laura sekarang tenang karena dia memutuskan pergi. Barulah kusadari arti kalimat Kak Laura selama ini : Dia ada disini! Ya. Setiap kali aku menjenguknya, ada kalanya Kak Laura tiba-tiba seperti melihat sesuatu dan dia ketakutan. Jadi, apakah selama lebih setahun ini, sebenarnya orang itu ada disini?"Ada apa?"Mas Adit memegang lenganku, menyuruhku berhenti. Dia merasakan gerakanku yang gelisah sedari tadi. Aku memberikan ponsel itu padanya. Dia mengamatinya sejenak, mengeluarkan ponselnya sendiri dan entah melakukan apa, mungkin melacak atau mencari tahu identitas si pengirim, entahlah. Ponsel pintarnya sepertinya bisa melakukan apa saja.Mas Adit melangkah sambil merangkul bahuku."Itu artinya, Kak Laura aman disini. Meski un

  • PACAR ABANGKU SAKIT JIWA   Bab 65

    PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBab 11Sepasang matanya yang dihiasi bulu mata tebal, juga pewarna dengan aksen smoke, memandangku tajam. Kami bertatapan sekian menit lamanya sementara si lelaki ikut mengamatiku. Entah apa yang kulakukan, nekat atau ceroboh, terserah. Aku telah membantunya malam itu, jadi pantaskah dia membalasnya dengan cara menggoda suamiku?"Suamimu tidak pernah menyimpan rahasia dariku. Dan aku jamin, dia tak akan pernah menyakiti hatiku. Jadi berhentilah berbuat bodoh. Silahkan mencari lelaki lain yang mau kau rayu. Tapi bukan suamiku."Lika diam saja mendengar aku memakinya. Aku berbalik dan berjalan dengan cepat menuju taksi online yang masih menunggu. Tiba di rumah, dengan nafas terengah-engah, aku merebahkan diri, teringat pada janin dalam perutku. Aku memejamkan mata. Apakah yang kulakukan tadi salah?Masih kuingat wajahnya yang tanpa ekspresi tadi. Entahlah, aku bukan Emily yang pandai membaca raut wajah orang lain. Aku hanya tahu b

  • PACAR ABANGKU SAKIT JIWA   Bab 64

    PACAR ABANGKU SAKIT JIWA musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 10Aku belum pernah merasa marah dan cemburu sehebat ini. Bahkan dengan Bang Arga dulu, aku tak pernah merasa. Hubunganku dengannya terlalu mulus, tanpa sedikitpun gelombang. Bang Arga yang sangat mencintaiku, sama sekali tak pernah membuatku cemburu. Akibatnya, akulah yang sering membuat ulah hanya karena ingin menepis rasa bosan. Salah satunya, dekat dengan Mas Adit yang dulu jelas jelas hanya menggoda.Aku mengusap wajah. Kemarin, aku bahkan masih meragukan cintaku padanya. Tapi hari ini, membaca chat WA dari nomor tak dikenal, yang bahkan sama sekali belum dibaca oleh Mas Adit membuat dadaku berdebar hebat. Aku terbakar oleh amarah dan api cemburu.Tring!Pesan itu masuk lagi. Kali ini sebuah foto. Foto yang sangat vulgar. Dan aku semakin meradang mengetahui siapa yang mengirimkan foto itu.Lika!Dia berpose sensual, memakai baju dengan dua tali di pundak, tipis berenda-renda sehingga aku tahu dia tak memakai apa apa l

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status