Share

Bab 2

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 2

"Abaaaaanngg!"

Aku berlari menuju ruang tengah, tempat semua orang berkumpul. Emosiku sudah naik ke ubun-ubun. Bisa-bisanya Bang Arga berbuat kriminal demi memenuhi kemauan cewek freak-nya itu. Dan Mama? Oh, tega sekali Mama membiarkan kejahatan terjadi di rumah ini.

Di ruang tengah, demi mendengar teriakanku, rupanya Winda langsung mencari perlindungan. Dia bersembunyi di belakang badan Abang, sementara Mama tampak mengelus dada mendengar suaraku.

"Buka bajuku! Buka!"

Suaraku naik lima oktaf. Aku menghampiri Abang, yang terang-terangan melindungi pacarnya itu. Sementara dari balik bahu Bang Arga, Winda meringis melihatku.

"Kesini kamu Mbak! Kembalikan bajuku!"

"Hei hei jangan gitu dong Em. Kasihan Winda nggak salah apa-apa."

"Nggak salah apa-apa? Dia sudah mencuri bajuku!"

"Bukan Winda yang ngambil dari lemari, itu Abang."

"Kalau begitu kalian berdua harus masuk penjara, kecuali bajuku kembali!"

Aku benar-benar kalap. Sambil bicara aku memutari tubuh Bang Arga, berusaha menjangkau bajuku yang dipakai Winda. Sementara Bang Arga nggak mau kalah, dia juga ikut berputar, menghindari kekasih freak nya itu agar jangan sampai kena olehku.

Aku berhenti mendadak. Lelah rasanya. Tenaga Bang Arga jelas lebih kuat. Tangannya terus menangkis tanganku yang hendak menarik bagian tubuh Winda yang terjangkau olehku. Baju, rambut, apa saja. Tapi karena Bang Arga, aku hanya menangkap angin.

Melihatku berhenti, kedua makhluk bucin itu juga ikut berhenti bergerak. Sementara kudengar desahan lega Mama. Mungkin mereka pikir aku akhirnya menyerah. Oh, No…

Selagi mereka melihatku dengan bingung, aku melompat ke belakang Bang Arga dan menarik lengan Winda sekuat tenaga.

"Aduuhh, sakit Bang. Tolong aku, Ma…"

Suaranya yang manja benar-benar membuatku muak. Aku masih mencengkram lengannya, berusaha menarik baju itu lepas dari atas kepalanya.

"Emilyyy… sudah dong. Itu hanya baju. Nanti Abang beliin lagi yang baru."

"Kalau gitu dia aja yang Abang beliin. Aku mau yang ini."

"Bang… tolong Bang."

"Emiii, nanti Winda telanjang! Malu, Nak."

Kali ini, Mama yang berseru. Aku menoleh sejenak dan mendelik. Rasanya sakit hati sekali melihat Mamaku sendiri lebih membela anak orang lain.

"Terserah, aku nggak peduli!"

"Ga, jangan liat! Jangan liat!"

Baju itu akhirnya berhasil melewati kepala si gadis freak. Mama berlari, sibuk menutupi mata Arga karena kini Winda cuma mengenakan pakaian dalam saja selain celana jeans yang dipakainya. Dia sibuk menutup dadanya dengan sling bag yang cuma muat ponsel dan duit, sementara aku berlari ke kamar, menarik sembarang kaus dari dalam lemari dan melemparkannya pada Winda.

"Awas kalau kamu ambil bajuku lagi!"

Aku memelototinya, sementara gadis itu meraih baju yang ku lemparkan sambil menangis. Setelah memakai kaus, dia berlari memeluk Bang Arga dan Mama. Mereka berdua lalu sibuk mengusap-usap dan menenangkan Winda. Gila, ini yang anaknya aku atau dia sih?

"Jahat banget kamu, Em. Kamu kayak bukan adik Abang."

Suara Bang Arga justru semakin membuat emosiku memuncak.

"Abang yang kayak bukan Abangku. Sejak kenal cewek itu, Abang berubah. Dan parahnya lagi, Mama juga!"

"Emi…"

"Kalian tahu kan apa arti baju ini bagiku?" Aku memeluk baju putih itu, memberi kekuatan pada diriku sendiri karena aku sadar suaraku mulai bergetar. "Atau mungkin, Mama dan Bang Arga sudah benar-benar melupakan Papa."

"Emily, bukan gitu sayang…"

Mama melangkah mendekat, hendak memelukku. Namun aku lebih dulu berlari ke kamar, mengunci pintunya. Ku banting tubuh di atas kasur, menatap seisi kamar masih sambil memeluk baju kesayanganku, lalu berhenti pada pintu lemariku yang rusak dicongkel Bang Arga. Masih ku ingat bagaimana Mama dan Bang Arga memeluk Winda, mengabaikan aku dan hatiku yang sakit. Tanpa sadar, aku menangis, hatiku nelangsa karena merasa sendiri.

***

Usai sholat maghrib, aku mulai mengemas pakaianku ke dalam ransel. Sudah kuputuskan untuk pergi. Tinggal di sini, nyaris setiap hari melihat tingkah Winda dan Bang Arga membuatku mulai meragukan kewarasanku.

"Loh, kamu mau kemana?"

Mama mencegahku. Beliau masih mengenakan mukena, seperti biasa membaca Al-Quran di ruang keluarga, sementara dua mahluk super bucin dari planet lain itu tak terlihat di manapun. Mungkin Bang Arga sedang mengantarnya pulang. Aku berhenti sejenak. Meski kesal, aku tak mungkin mengabaikan Mama.

"Aku mau ngekost aja, Ma. Rumah ini sudah nggak sehat."

"Loh… loh… kok kayak gitu?"

"Aku nggak tahan, hampir setiap hari Winda kesini dan bikin aku darah tinggi. Lama-lama aku bisa kena stroke."

Mama menutup Al-Quran dan melepas kacamata bacanya, lalu menyuruhku duduk di sisinya. Aku mendesah, siap mendengarkan legenda tentang bagaimana Mama tak pernah bisa menolak semua keinginan Bang Arga.

"Kamu tahu kan? Abangmu…"

"Iya iya, aku tahu. Abang pernah kena step dan hampir mati pas usia tiga tahun. Makanya Mama takut sekali kalau dia sakit lagi." Aku memotong kalimat Mama, "Ma, yang kena step itu anak kecil. Bang Arga sudah dua puluh empat tahun!"

"Tapi Em, Mama nggak tega lihat Abangmu melas gitu?"

"Jadi Mama lebih tega sama aku? Gitu? Ya udah aku pergi. Kan Mama cuma butuh Bang Arga."

Aku berdiri, tapi Mama menarik tanganku hingga aku terduduk lagi.

"Oke, Mama janji. Ini yang terakhir. Besok-besok Mama akan bersikap tegas sama Arga dan Winda."

Aku meneliti wajah Mama, "Beneran janji?"

"Eh…" Mama salah tingkah. " Ya iyalah. Ayolah, Nak. Kalau kamu pergi, siapa nanti yang nemanin Mama? Siapa yang olesin minyak aroma terapi ke punggung Mama? Abangmu jarang di rumah…"

Aku mendesah. Melepas ransel dari punggung dan menaruhnya di lantai. Selalu seperti ini, aku akan kalah oleh rayuan pulau kelapa yang Mama lontarkan. Baru saja selesai negosiasi di antara kami, suara mobil Bang Arga yang menggerung dengan keras terdengar dari halaman. Aku dan Mama sama-sama terkejut. Lebih-lebih saat Bang Arga masuk dengan wajah kusut.

"Gara-gara kamu Winda minta putus!" Dia menatapku marah.

Hah?

Sesaat, aku dan Mama saling pandang. Lalu tanpa sadar aku teriak.

"Yeaaayyy… horeee. Syukur Alhamdulillah ya Allah.".

"Emilyyyy!"

Suara Bang Arga yang menggelegar membuatku berhenti bersorak. Aku langsung menyambar ransel dan masuk ke dalam kamar. Biarlah, ada Mama. Mama kan pawangnya Abang.

***

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Adonia
Awal ceritanya sngat bagus
goodnovel comment avatar
Marianti Bundaghazyabdiel
gimana masuk bab berikutnya... kok gak bisa
goodnovel comment avatar
Marianti Bundaghazyabdiel
cerita awalnya nya bagus bngt... t
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status