Share

Bab 3

PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 3

"Sudahlah, Ga. Masih banyak gadis lain. Nanti Mama kenalin sama anaknya Tante Ria, cantik deh. Kamu pasti suka."

"Nggak Ma. Aku cuma mau Winda. Aku sudah terlanjur cinta sama dia."

Huekk… rasanya aku mau mu-ntah. Namun ku teruskan menguping pembicaraan Mama dan Bang Arga. Lebih tepatnya, bujukan Mama pada Bang Arga.

"Kalau gitu, biarkan aja dulu jeda beberapa bulan atau berapa tahun ya Ga. Nggak usah ketemu dulu. Siapa tahu kalian akan lebih baik setelah ini."

Berapa tahun? Hahaha… Aku rasa Mama memang nggak suka juga sama si Winda, hanya Mama nggak berani membantah anak kesayangannya itu secara langsung. Ah, seandainya aja masih ada Papa.

"Arga nggak sanggup Ma. Lagian Emily kenapa jadi pelit gitu sih?"

"Pelit apanya, Nak. Sudah berapa banyak coba barang dia yang kamu ambil untuk Winda. Baju, tas, sepatu. Adikmu juga punya batas kesabaran. Dan kali ini, emm, Winda memang agak keterlaluan."

Suara Mama jelas ragu. Mama sangat takut membuat anak kesayangannya tersinggung. Hih.

"Terus kalau dia akhirnya malah kecantol cowok lain gimana, Ma?"

Ya bagus dong! Seruku. Tapi sayangnya cuma dalam hati.

"Ya kamu tinggal cari cewek lain, Ga." Mama tertawa kecil.

"Ah, Mama… aku nggak mau. Aku cuma mau sama Winda. Biar Arga lamar aja gimana?"

What? Apa? Aku langsung merinding membayangkan dia jadi iparku. Masih pacar aja kelakuannya nyebelin setengah mati. Gimana kalu udah nikah? Fix, aku nggak akan membiarkan Abangku menikahi gadis sakit jiwa itu.

"Eehh.. Ehh.. Jangan dulu, Ga. Mama belum punya persiapan."

Mama mencari alasan? Atau memang begitu kenyataannya? Kalau Mama benar-benar mengizinkan Bang Arga melamar Winda, berarti bukan hanya Bang Arga yang otaknya tak sehat.

Astaghfirullah. Tuh kan, aku jadi mengumpat Mamaku sendiri. Sial*n memang si Winda. Dia bisa dengan mudah memisahkan hubungan adik kakak yang dulunya harmonis.

Baiklah, sampai disini dulu nguping nya. Sepertinya tak ada yang penting penting banget. Aku hanya harus mempersiapkan banyak hal. Eh tapi apa benar dia minta putus? Kok rasanya aku nggak percaya ya?

***

Hubunganku dengan Bang Arga menjadi dingin. Pagi ini, kami bahkan tak bertegur sapa meski sarapan dalam satu meja. Mama yang tampak bingung melihat kedua anaknya saling mendiamkan, akhirnya memilih ikut diam. Hanya terdengar denting sendok beradu dengan piring. Sungguh, suasana kayak gini nih nggak enak banget. Dan ini semua gara-gara si Winda.

Suara ponsel Bang Arga yang dia letakkan di samping piringnya, akhirnya yang memecah kesunyian. Dia meraihnya, menatap layarnya sebentar, dan tak lama ku lihat dengan jelas bagaimana raut wajahnya berubah bahagia. Bang Arga bangkit dari kursinya sambil menempelkan ponsel di telinga.

"Halo Win?"

Aku terbelalak. Win? Winda? Astaga. Katanya minta putus.

"Nggak mungkin mereka putus semudah itu."

Aku menoleh mendapati suara Mama yang lesu. Akhirnya, Mama menyuarakan juga isi hatinya.

"Abang kayaknya perlu di ruqiyah deh, Ma. Dia sudah nggak wajar. Gaya pacarannya nggak sehat. Gimana kalau tiba-tiba si Winda hamil?"

Mama langsung memukul tanganku.

"Jangan mikir aneh-aneh. Gitu-gitu juga Abangmu masih waras, dia masih sholat dan ngaji. Nggak akan merusak anak gadis orang."

Aku meringis.

"Anak itu udah sakit duluan, Ma. Sakit jiwa."

"Emi…"

"Mama nih aneh. Nggak mau Abang terus sama Winda, tapi juga nggak ada usaha misahin mereka. Mumpung belum nikah, Ma. Mama bayangin deh punya menantu kayak dia. Kalau aku sih ogah. Kalo Abang sampai nikah beneran sama dia, aku bakalan pindah ke Amerika."

Aku bangkit dari kursi, membawa piring makan dan gelas ku yang sudah kosong. Piring Abang masih penuh. Punya Mama bahkan cuma diaduk-aduk. Ah, Winda bikin nafsu makan seisi rumah hilang.

Tengah aku mencuci piring bekasku tadi, Bang Arga masuk lagi ke dapur. Kali ini wajahnya cerah dan sambil bersiul-siul pula. Hemm, apalagi kalau bukan Winda? Yang bisa membuat mood-nya naik turun dengan cepat.

"Arga pulang agak telat ya, Ma. Mau kenalan dulu sama keluarga Winda."

"Hah? Uhukk… uhukk…"

Mama yang masih makan langsung keselek. Aku meletakkan piring yang kupegang dan cepat-cepat membantu Mama, menepuk punggungnya dengan lembut dan menuangkan segelas air. Setelah batuknya reda, Mama menatap Bang Arga nelangsa.

"Lah Ga. Katanya putus?"

"Nggak jadi. Winda mau balikan asal aku beliin dia dress putih yang mirip kemarin."

Sambil bicara begitu, Bang Arga mendelik padaku. Aku tak mau kalah, balas memelototinya.

"Bilang Winda, noh di kuburan, banyak dress putih. Ngapain Capek-capek nyari di mall. Apalagi sampe ke Thailand."

"Emiii…"

***

Kantor sudah sepi, maklum jam kerja sudah lewat satu jam. Aku terpaksa tertahan disini karena harus lembur. Sebagai karyawan baru, aku harus menurut apa kata supervisor, termasuk lembur. Ugghh, padahal mataku sudah perih, melotot di depan komputer sejak pagi.

Jam tujuh malam, akhirnya tugasku kelar juga. Usai meregangkan tubuh sejenak, aku bersiap untuk pulang. Kuraih laci meja, hendak mengambil kunci motor. Tapi, loh… kok nggak ada?

Aku panik. Mana sudah nggak ada orang lagi. Dengan langkah tergesa-gesa aku menuruni tangga dan berlari ke parkiran. Kadang, aku lupa nyabut kunci motor. Benar saja. Dan sialnya, kuncinya tertinggal dalam keadaan motor masih menyala. Aku mencoba menstaternya. Nggak bisa tentu saja. Akinya tekor.

Aku memutar kepala, sepi banget. Mana suasana remang-remang lagi. Kok jadi seram gini? Dari kejauhan, kulihat pak Satpam sedang merokok. Hanya terlihat baju putih seragamnya dan ujung rokok yang merah membara. Lah, malah tambah seram. Seperti…

"Emily?"

Seseorang menyentuh bahuku, aku menoleh dan refleks menjerit.

"Huaaaaaa…"

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nunyelis
ehhh...gimana klo emily punya suami....masa mw diminta juga...idiiihh menyeramkn...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status