PACAR ABANGKU SAKIT JIWA 4
"Huaaaaa!!"Aku menjerit, refleks mengangkat kaki, hendak berlari menuju jalan raya. Tapi ya Tuhan, kakiku tak bisa digerakkan. Ada apa ini? Aku menoleh ke bawah, hendak melihat kakiku. Eh, kakiku bergerak dong. Cuma nggak bisa diajak melangkah aja. Tapi ini apa? Kenapa punggungku terasa berat sekali? Seperti ada yang menggandul di sana?"Pak Satpam tolooong! Mama tolonggg! Ya Allah tolong ya Allah! Emi belum kawin…"Plak!Bahuku dipukul, dan sebuah suara familiar terdengar di telinga."Nengok sini!"Aku memutar kepala. Sosok yang tadi membuatku histeris itu membuka jaket hoodie hitam yang menutupi kepala, dan juga membuka masker hitamnya. Di bawah sinar lampu remang-remang, wajah ganteng bukan kepalang Pak Arfan, si bos jutek terpampang nyata, melotot ke arahku."Emang kamu pikir saya setan?"Aku menggeleng."Bukan, Pak. Saya pikir Bapak pembunuh berantai."Dia menggelengkan kepala, lalu tanpa kata-kata melangkah menuju motorku, mencoba menghidupkannya. Meski sudah diengkol, ternyata tetap nggak bisa. Jelas aja. Nyaris sepuluh jam motorku hidup."Dasar pelupa. Tapi kalau belum kawin aja inget kamu."Aku meringis, memperhatikan bosku yang tampan itu melangkah ke mobilnya. Astaga aku sampai tak melihat kalau Innova reborn abu-abu itu parkir tak jauh dariku. Saking paniknya aku teringat motor itu. Dan kini, dia melenggang dengan santai, tanpa mengajakku ikut serta. Ih dasar jutek, nggak nawarin aku untuk ikut. Dia kayaknya tipe yang masa bodo, nggak takut apa cewek cantik begini diculik kalau naik angkutan umum malam-malam?Kesal, aku mencabut kunci motor dan melangkah pergi. Nyaris berlari menuju pos satpam."Pak Ahmad, titip motor ya. Mogok?"Lelaki setengah baya itu mencabut rokok dari bibirnya."Yah kok nggak bilang dari tadi Neng kalau butuh bantuan?""Huu… telat. Lagian nggak bisa diapa-apain lagi. Besok aku beliin aki baru. Tolong pasangin ya Pak.""Siap, Neng."Aku melangkah menuju halte bis yang tak jauh dari kantor, sambil memencet ponsel memesan ojol. Kayaknya lebih aman naik ojol dari pada naik bis atau angkot. Huhu, sial banget sih aku. Seketika aku teringat pada Bang Arga. Kalau cewek cewek lain mengalami hal kayak aku, mereka selalu punya dua pilihan : telepon pacar atau telepon Abang, minta jemput. Aku? Pacaran aja belum pernah, kecuali sekedar naksir-naksiran. Punya Abang satupun tak bisa diandalkan. Ya Allah nasib…Tiinnn…!Aku melompat kaget ketika mendengar suara klakson mobil yang terlalu dekat di belakangku. Rupanya di bos jutek. Dia membuka kaca mobilnya."Naik!"Ha? Aku menggeleng. Gengsi, sekaligus grogi."Saya naik ojek aja, Pak."Dia mendecak kesal. "Mau nunggu ojek dimana? Liat tuh halte isinya cowok semua. Pengen ketemu pembunuh berantai?"Aku mengamati halte yang masih ramai. Dan memang benar, isinya cowok-cowok semua. Ngeri juga rasanya."Saya itung sampai tiga, kalau nggak mau saya tinggal, satu…"Aku melompat, menarik handle pintu belakang. Pak Arfan melotot lagi. Astaga ini bos…"Ngapain di belakang? Emang saya sopir kamu?"Dia membuka pintu sisi kiri. Aku menelan ludah sesaat. Tak punya pilihan, aku melompat naik, takut di tinggal. Aroma musk yang segar menyambut ku, bersama alunan lagu romantis.Beutiful girl…Wherever you are……Aih, seleranya jadul banget. Hahaha"Ngapain mesem-mesem? Udah bikin repot orang malah ketawa. Cepat kasih tahu alamatmu."Dih, ini orang nggak bisa lembut dikit apa ya? Nggak punya selera humor. Freak."Grand Mutiara Estate Pak. Blok H nomor sembilan belas."Dia tak menjawab, menambah kecepatan dan mobil menderu halus membelah udara malam. Lama kelamaan, lagu itu terasa enak di telingaku. Sepanjang jalan, Pak Arfan sama sekali tak bicara. Tapi herannya, setengah jam perjalanan terasa sangat singkat, mungkin karena mobil yang nyaman, dan terutama karena duduk di sebelah lelaki tampan sedunia ini adalah kesempatan langka. Aku sampai tak berani melirik, takut disemprot. Berulang kali aku harus menekap dada, takut kalau-kalau detak jantung ku terdengar olehnya."Berhenti sini aja, Pak. Nggak mau mampir kan?"Astaga. Ini mulut!Pak Arfan nyengir melihatku, tapi tak bicara apa-apa. Aku membuka pintu, lalu melompat turun. Baru menginjakkan kaki di halaman, wajah Winda muncul. Tanpa dosa, dia melambaikan tangan padaku dengan riang."Emily!"Aku menoleh, melihat Pak Arfan berjalan dengan cepat menghampiri."Ponselmu ketinggalan."Dia mengulurkan ponselku."Terimakasih Pak."Pak Arfan mengangguk. Sekilas, tampak dia tersenyum, membuat debaran jantungku yang tadi sudah mereda kembali berdetak kencang. Kutunggu hingga dia masuk mobil dan mobil itu meluncur meninggalkan rumah. Membayangkan aku tadi hanya berdua dengan lelaki idaman di kantor, membuatku tersenyum sendiri.Oh may. Andai saja…"Cowok kamu ya, Em? Ganteng banget."Aku menoleh, senyumku lenyap mendadak melihat wajah Winda sangat dekat di punggungku."Katanya minta putus sama Bang Arga, kok nggak jadi?"Winda tertawa kecil. Ekspresinya tersipu-sipu."Kata Bang Arga, dia mau beliin aku baju yang asli kalau ke Thailand. Jadi yang KW dulu nggak apa-apa."Dia berputar, memamerkan baju barunya. Dress putih yang sepintas mirip punyaku. Aku mendesah. Sudah kuduga, tak akan semudah itu menyingkirkan cewek freak ini dari rumahku."Udah malam, pulang sono. Nggak baik cewek main di rumah cowok sampai malam."Aku berkata begitu sambil melangkah masuk. Di ruang tengah, Mama sedang ngobrol dengan Bang Arga."Ma, Emily pulang dianter cowok loh. Ganteng banget."Aku mendelik. Dasar lancang."Kamu udah punya pacar Em?" Yang bertanya malah Bang Arga. Tapi aku tahu Mama jelas menunggu jawabanku."Pacar apaan? Dia bos aku. Motorku mogok. Akinya tekor."Mama mendesah. "Pasti lupa nyabut kunci lagi."Aku meringis. Kejadian ini memang bukan yang pertama. Aku melangkah menuju kamar, hendak mandi dan makan malam. Perutku lapar sekali. Namun langkahku terhenti ketika bisikan Winda terdengar."Emi, kenalin aku sama Bos kamu dong."Aku menoleh. Winda tersenyum kecil dengan raut wajah tanpa dosa. Heh, dasar. Baru juga mau punya gebetan, dia udah mau nyamber aja. Ya, ngegebet bos sendiri sah sah saja kan?"Tapi jangan bilang-bilang Bang Arga ya."Di ruang tengah, Mama dan Bang Arga mengobrol entah apa. Abangku yang bucin itu tampak bahagia. Dia tak tahu, pacarnya baru saja menanyakan cowok lain.Sebuah ide tiba-tiba saja melintas di kepalaku."Abaaaannggg! Denger nih pacar kamu!"***PACAR ABANGKU SAKIT JIWA (ENDING)musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 15PoV WINDAEnam bulan kemudian"Kak, kenapa sih Mama nggak sayang sama aku? Seperti Mama sayang sama Kakak?""Kata siapa? Mama sayang kok sama kamu.""Tapi Mama dikit-dikit marah. Kalau sama Kakak nggak."Kak Laura tersenyum, mengusap rambutku dengan lembut."Mama cuma lagi nggak enak badan. Kamu tenang aja ya, kan ada Kakak." Ujar Kak Laura sambil tersenyum manis. Dia mengulurkan perahu dari kertas yang baru saja dibuatnya.Aku ikut tersenyum, meraih perahu kertas itu dan berlari ke dalam kolam ikan di belakang rumah. Berdua kami melarungkan perahu itu disana, membuat ombak kecil dengan kedua tangan hingga perahu itu sesekali terombang-ambing. Ah, masa kecil yang indah. Kenapa orang harus menjadi dewasa jika masa kecil sudah membuat bahagia? Padahal dengan menjadi dewasa, ada banyak masalah yang mulai menghampiri."Sayang…"Aku menoleh, segala kenangan tentang masa kecil itu segera lenyap dari benakku. Mas Adit
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa TertinggalBab 14PoV ADITYAKeadaan rumah baik baik saja kecuali satu hal, kunci pintu depan yang dibuka paksa menggunakan sebuah alat. Itu artinya, Winda pergi kesana tidak dengan sukarela. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa Winda bisa ada disana bersama si pembunuh? Dan suara Siapakah yang menjerit demikian pilu? Suara itu, seperti seseorang yang tengah merasakan sakit yang luar biasa.Aku memandang wajah istriku dengan gundah, sekaligus kesal karena aku tak tahu apa-apa, persis orang buta. Wajah itu masih pucat pasi saat kuletakkan di atas pembaringan. Tapi setidaknya dia tak menolak semua sentuhanku padanya. Sepanjang subuh hingga pagi itu, Winda tak juga mau melepaskan diri dari pelukanku. Belum pernah aku merasa se bingung ini. Aku tak tahu apa yang telah menimpanya, dan juga apa yang terjadi. Dan suara tembakan itu? Aku menghela nafas dalam-dalam. Aku percaya Mas Arfan akan melakukan yang terbaik, seperti dia selalu mempercayaiku
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2.SISA RASA TERTINGGAL.Bab 13Lika masih menjerit histeris, aku bisa memperkirakan bertapa kuat tenaga lelaki itu, apalagi dengan sepatu model boot yang keras dan berat menekan paha Lika. Jantungku berdebar sangat kencang. Aku tak sanggup, seandainya harus melihat seseorang disiksa si depan mataku. Lika memang bersalah, tapi bukan seperti ini hukuman yang kuinginkan untuknya. Dan lagi, adakah manusia yang punya hak melakukannya."Ya Allah… jangan! Tolong jangan! Lepaskan dia!"Mendengar suaraku, Lika berhenti menjerit. Dia memandangku sambil berurai air mata sementara si malaikat maut sama sekali tak menoleh. Dengan sebelah tangannya, dia mengulurkan pisau kecil membuka ikatan di kakiku, memutar kursiku dan kembali membuka ikatan di tanganku. Semua itu dia lakukan tanpa melepaskan kakinya dari paha Lika."Pergi Winda. Dan jangan sekali kali lapor polisi. Biarkan aku jadi hakim untuk mereka dan biarkan aku sendiri yang menanggung dosanya."Aku berdiri
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2. Sisa Rasa tertinggalBab 12Dadaku langsung berdebar hebat membaca pesan itu. Aku refleks berdiri, memandang berkeliling. Aku sangat yakin lelaki itu tadinya ada disini. Sang malaikat maut yang telah menyiksa Kak Laura. Kak Laura sekarang tenang karena dia memutuskan pergi. Barulah kusadari arti kalimat Kak Laura selama ini : Dia ada disini! Ya. Setiap kali aku menjenguknya, ada kalanya Kak Laura tiba-tiba seperti melihat sesuatu dan dia ketakutan. Jadi, apakah selama lebih setahun ini, sebenarnya orang itu ada disini?"Ada apa?"Mas Adit memegang lenganku, menyuruhku berhenti. Dia merasakan gerakanku yang gelisah sedari tadi. Aku memberikan ponsel itu padanya. Dia mengamatinya sejenak, mengeluarkan ponselnya sendiri dan entah melakukan apa, mungkin melacak atau mencari tahu identitas si pengirim, entahlah. Ponsel pintarnya sepertinya bisa melakukan apa saja.Mas Adit melangkah sambil merangkul bahuku."Itu artinya, Kak Laura aman disini. Meski un
PACAR ABANGKU SAKIT JIWAMusim ke-2 SISA RASA TERTINGGALBab 11Sepasang matanya yang dihiasi bulu mata tebal, juga pewarna dengan aksen smoke, memandangku tajam. Kami bertatapan sekian menit lamanya sementara si lelaki ikut mengamatiku. Entah apa yang kulakukan, nekat atau ceroboh, terserah. Aku telah membantunya malam itu, jadi pantaskah dia membalasnya dengan cara menggoda suamiku?"Suamimu tidak pernah menyimpan rahasia dariku. Dan aku jamin, dia tak akan pernah menyakiti hatiku. Jadi berhentilah berbuat bodoh. Silahkan mencari lelaki lain yang mau kau rayu. Tapi bukan suamiku."Lika diam saja mendengar aku memakinya. Aku berbalik dan berjalan dengan cepat menuju taksi online yang masih menunggu. Tiba di rumah, dengan nafas terengah-engah, aku merebahkan diri, teringat pada janin dalam perutku. Aku memejamkan mata. Apakah yang kulakukan tadi salah?Masih kuingat wajahnya yang tanpa ekspresi tadi. Entahlah, aku bukan Emily yang pandai membaca raut wajah orang lain. Aku hanya tahu b
PACAR ABANGKU SAKIT JIWA musim ke-2. SISA RASA TERTINGGALBab 10Aku belum pernah merasa marah dan cemburu sehebat ini. Bahkan dengan Bang Arga dulu, aku tak pernah merasa. Hubunganku dengannya terlalu mulus, tanpa sedikitpun gelombang. Bang Arga yang sangat mencintaiku, sama sekali tak pernah membuatku cemburu. Akibatnya, akulah yang sering membuat ulah hanya karena ingin menepis rasa bosan. Salah satunya, dekat dengan Mas Adit yang dulu jelas jelas hanya menggoda.Aku mengusap wajah. Kemarin, aku bahkan masih meragukan cintaku padanya. Tapi hari ini, membaca chat WA dari nomor tak dikenal, yang bahkan sama sekali belum dibaca oleh Mas Adit membuat dadaku berdebar hebat. Aku terbakar oleh amarah dan api cemburu.Tring!Pesan itu masuk lagi. Kali ini sebuah foto. Foto yang sangat vulgar. Dan aku semakin meradang mengetahui siapa yang mengirimkan foto itu.Lika!Dia berpose sensual, memakai baju dengan dua tali di pundak, tipis berenda-renda sehingga aku tahu dia tak memakai apa apa l