Share

BAB 4 A

PAPA MUDA 4 A

Oleh: Kenong Auliya Zhafira

Pernah kehilangan karena sebuah perpisahan yang menginginkan salah satu ikatan terlepas kadang meninggalkan jejak bekas luka. Seperti kulit tergores belati hingga memberi keperihan yang terasa sakit meski sudah mengering dan menghilang. Hati Alsaki tidak ubahnya seperti demikian.

Ucapan sang ibu begitu menampar kewarasannya dalam sekejap. Ia memang tidak pernah berpikir untuk mencari mama pengganti. Ia masih sanggup mencurahkan kasih sayang tanpa batas. Meskipun pertanyaan bocah kecil itu mulai membuat hati meringis. 

Alsaki menggenggam kuat ponsel di tangan kirinya, lalu berusaha keras menjawab pertanyaan wanita di depannya. "So--soal itu belum aku pikirkan, Bu. Aku masih senang berdua bersama Gala."

Sang ibu menggeleng, tidak setuju dengan jawaban anaknya. "Apa kamu pernah memikirkan perasaan Gala? Dia juga butuh sosok mama, Al ... oke, kalau kamu bisa urus diri sendiri, tapi Gala? Dia masih butuh," ungkapnya mencoba membuka jalan pikiran seorang Alsaki Mahendra. 

Melihat mata wanita yang membantunya selama ini berkaca-kaca membuat hatinya tiba-tiba luluh. Mungkin benar apa yang sang ibu katakan. Namun, untuk saat ini belum ada pikiran menikah sama sekali. Rasa aman dan nyaman hidup berdua seperti ini masih sangat cukup. 

"Bu, aku janji akan cari mama pengganti untuk Gala. Tapi, tidak sekarang. Aku masih sakit jika ingat Arista," jawabnya sembari menahan sesak dalam dada. "Aku mau ke toko. Nanti kalau Gala cari, bilang aku udah berangkat," ucapnya lagi lalu melangkah pergi. 

Wanita yang selalu sabar mengurus Gala—cucu kesayangannya hanya menghela napas dalam dengan keputusan sang anak. Ia sadar tidak mungkin memaksa sesuatu yang tidak dikehendaki sama sekali. Menunggu adalah hal yang bisa ia lakukan.

Alsaki berjalan dengan membawa perasaan yang entah. Sisi hatinya kadang merasa bersalah membiarkan Gala hidup dalam ketidakutuhan keluarga. Akan tetapi, hati belum berani membina rumah tangga sekali lagi. Kehancuran yang pertama menyeretnya dalam kehati-hatian untuk melabuhkan perasaannya. 

Lima menit berlalu, kakinya sudah membawa raganya ke toko. Namun, pikirannya tertinggal bersama serpihan kenangan. Alsaki kadang ke toko hanya untuk menghabiskan hari dan melihat keadaan. Karena berada seharian di toko mampu melupakan segala keresahan yang bersarang di dada. 

"Siang, Mas ...," sapa salah seorang karyawan prianya. 

"Siang juga. Oh, ya, kamu tolong lepas pengumuman yang ditempel di pintu, ya? Kemungkinan besok ada yang datang ke sini untuk melamar. Misal nanti aku nggak ada, kamu bisa mutusin. Asal dia memenuhi semua syarat, kamu boleh memutuskan. Ya udah, kamu boleh kembali bekerja," ujarnya setelah memberi tahu tentang pesan yang baru ia terima.

"Siap, Mas!" Pria bernama Adrian itu kembali sibuk melayani pembeli. Bagi pekerja seperti mereka, murah senyum dan sopan santun menjadi tuntutan pertama untuk menarik pelanggan. 

Oleh sebab itu, Alsaki mematok target karyawan masih usia produktif dan tidak terikat ikatan alias single belum menikah. Ada rasa bangga ketika melihat keadaan toko yang selalu ramai pengunjung. Apalagi jika kedatangan mereka untuk membeli handphone baru. Karena status handphone sekarang melebihi pacar. Jadi, bisa dipastikan apa yang ia geluti akan selalu menjadi kebutuhan. 

Pria yang ingin melupakan permintaan sang ibu mulai duduk di tempat kerjanya. Memeriksa penghasilan hari kemarin dan mencocokkan dengan stok barang yang masih ada. 

"Alhamdulillah, selalu ada peningkatan setiap hari," ucapnya setelah selesai memeriksa beberapa lembar kertas. 

Hampir satu jam bergelut dengan kertas, ia belum mendengar suara Gala—anaknya sedikit pun. Padahal katanya tadi akan menyusul setelah mengganti pakaian. 

"Ini anak belum nyusul juga? Apa main sama Ibu?" tanyanya pada diri sendiri diselipi rasa khawatir. 

Jemari kasarnya dengan cepat merogoh saku celana, mengambil ponsel dan langsung mencari kontak sang ibu. Dalam satu sentuhan, panggilan itu tersambung. 

"Halo, Bu ... Gala di mana? Kok, belum sampai toko? Aku nungguin," tanya Alsaki tanpa basa-basi. 

"Gala lupa ada PR mewarnai. Ini lagi sama Ibu. Kamu tenang aja. Mungkin hari ini tidak ke toko," jawab wanita yang tengah sibuk menyodorkan pewarna sesuai perintah cucunya.

Alsaki mengusap dadanya lega mendengar anaknya berada di rumah bersama sang ibu dengan pengawasan yang jelas terjamin. "Papa kira kamu main jauh, Sayang ... syukurlah kalau sama Ibu," ujarnya merasa tenang. 

Setelah itu, pria yang baru saja merasa tenang kembali melanjutkan pekerjaannya. Baik mengecek barang yang masih ada, dan juga melihat pengunjung datang. Dari siang sampai malam keadaan justru bertambah ramai.

Dua karyawan yang menemani dua tahun lebih itu merasa bangga. Karena pekerjaannya mampu melatih kesabaran jika berhadapan dengan pengunjung yang sedikit cerewet. Namun, di hatinya riuh oleh kebahagiaan. Karena bisa mengembangkan toko dan berbagi pekerjaan pada mereka yang membutuhkan. 

"Sepertinya Adrian lagi sibuk, biar aku aja yang lepas pengumuman itu," batinnya dalam hati sembari melangkah ke pintu yang terbuat dari teralis. 

Alsaki menyobek dan meremasnya hingga membentuk bulatan kecil, lalu membuang di tempat sampah. Seperti bayang masa lalu yang ingin membuangnya seperti kertas itu. Namun, rasanya begitu sulit meremasnya dari pikiran. 

Pria yang masih menyimpan bayang Arista—mantan istrinya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Mengingatnya saja sudah menyesakkan dada. Apalagi jika sampai datang kembali. Bukan belum menerima kepergiannya, hanya saja masih tidak mengerti jalan pikirannya. 

Demi mengalihkan semua itu, ia ikut melebur melayani pembeli hingga waktu berganti sore dan berubah malam. Bahkan pria yang nasib cintanya tidak sesukses tokonya merasa terhibur karena bercanda hal-hal receh dengan karyawannya. 

"Mas, udah mau jam sembilan. Siap-siap tutup ya?" ujar Adrian meminta izin pada pemiliknya. 

Alsaki yang tengah menata beberapa kartu perdana menoleh. "Boleh. Lagian udah nggak begitu ramai," jawabnya, lalu segera menyelesaikan pekerjaannya. 

Suara derit pintu langsung terdengar jelas. Adrian menutup dan menguncinya, lalu keluar lewat pintu belakang bersama Alsaki—pemilik toko—diikuti karyawan satunya. 

"Kalian hati-hati pulangnya. Besok jangan lupa kalau ada yang datang dan memenuhi syarat, kalian bisa memutuskan. Siapa tahu besok aku belum ke sini," pesan Alsaki sebelum melangkah pergi. 

"Siap, Mas!" jawab mereka kompak, lalu berpisah untuk pulang ke rumah masing-masing. 

Menyusuri jalan yang tidak terlalu panjang membuat pria bergelar papa itu merindukan sosok Gala. Seharian tidak ada di toko rasanya ada yang kurang. Tidak ada yang menambah ceria suasana dengan ocehannya. Memikirkannya saja sudah mampu menghilangkan penat di tubuhnya. 

"Nggak ada kamu di toko rasanya sepi. Terima kasih sudah menghadirkan Gala meski caranya salah," ucapnya sembari menengadah, menatap puluhan bintang yang begitu terang berkilauan. Sama seperti kehadiran Gala yang membuat hidupnya bersinar dalam gelapnya hati.

Meski takdir menggariskan hidup bocah kecil itu dalam ketidakutuhan keluarga, tetapi sebagai lelaki sejati, Alsaki selalu berusaha mengisi lubang itu sepenuh mungkin. Walaupun ada kesadaran bahwa apa yang ia lakukan tidak akan cukup mengganti peran yang semestinya. 

-------***------

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status