Share

CHAPTER 1: STUDY GROUP

Jam pelajaran ketiga telah usai.

   “Bu Rai, apa ini tidak terlalu banyak?” protes salah satu siswa Kelas Bahasa. Mata bulat Bu Rai tersenyum di balik kacamata perseginya, “Hanya sebuah penelitian, kan?” Siswa itu menghela nafas panjang dan kembali ke kelompoknya. “Ah~ Bu Rai takkan memberi keringanan,” ucap siswa itu kepada teman-teman sekelompoknya. Sama seperti dirinya, teman-temannya juga mengeluh dibuatnya.

   Bu Rai meninggalkan kelas itu dengan senyuman yang sama tetap terukir di wajahnya.

   “Oh, oh, mereka sudah kembali,” bisik para murid melihat trio berandalan itu kembali ke kelas.

   Aneh. Mereka bertiga terlihat aneh. Keanehan itu dapat para murid rasakan karena entah apa yang terjadi di ruang konseling, namun itu membuat ketiganya terdiam membisu saat ini. Penasaran, salah satu siswi yang selalu menempel pada Al mulai mendekatinya. “Ada apa, Al? Kenapa wajahmu terlihat murung?” tanyanya centil. Apa Al akan tetap menunjukkan wajah polosnya? Jawabannya, “Biarkan aku bernafas sehari saja tanpa mencium bau mulutmu yang seperti sampah itu.” Ia juga masih memberikan senyumnya walau beberapa detik saja.

   “Wah, sepertinya Al telah menunjukkan wajah aslinya. Benarkan, Ri?” tanya siswa laki-laki di depan bangku Rivaldy. Tak mendapat jawaban, siswa itu juga merasa penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi di ruang konseling. Pasalnya baik Rivaldy, Al, maupun Elena menjadi sangat sensitive dan banyak terdiam. “Lebih baik belikan aku makan atau kurontokkan gigimu karena banyak bicara.” Tak bisa menolak, siswa itu segera beranjak dari bangkunya.

   “Elena.”

   Elena yang sibuk dengan ponselnya merasa terusik. Ia hanya melirik sinis ke arah seseorang yang memanggil namanya tersebut. Sejenak ia merasa heran, kenapa gadis ini memanggilnya? Apa ia memiliki urusan dengannya? Elena terheran karena seseorang itu adalah Maria Athena. Seorang jenius SMA Ki Hajar Dewantara.

   Srrt!

   Maria menyodorkan satu lembar kertas yang berisi beberapa checklist yang harus Elena kerjakan. Elena yang melihatnya mengernyit, “Apa ini? Kau mau aku melakukan apa?” Maria meletakkan lembar kertas itu di meja Elena karena Elena tak segera menerimanya. “Kerjakan, kau bisa membacanya sendiri.” Elena menjadi kesal dibuatnya, “Memangnya siapa kau?” Maria balas menatapnya tajam, “Kau berada di dalam kelompok penelitianku, jika kau tak berguna aku takkan peduli lagi akan nilaimu.” Maria pergi setelah itu.

   Belum sampai di tempat duduknya, sebuah kertas yang telah diremas hingga tak berbentuk dilempar dan tepat mengenai kepalanya. Seisi kelas terdiam melihat hal itu. Mereka berpikir jika saat ini Elena adalah orang terbodoh di kelas mereka, pasalnya hanya ia satu-satunya murid yang berani mencari masalah dengan Maria.

   “Haha! Kau pikir aku mau berada satu kelompok denganmu, dasar cewek aneh!”

   Maria tak peduli dan duduk kembali ke bangkunya. Elena merasa menang akan hal itu, ia sama sekali tak suka dengan Maria yang sok mengatur dirinya. Walau begitu, murid lainnya malah mengkhawatirkan Maria dan mengerumuninya.

   “Kau baik-baik saja, Maria?”

   “Tak usah dipedulikan preman seperti Elena.”

   “Dia hanya iri padamu.”

   “Padahal yang aneh dirinya sendiri, cih.”

   Maria tersenyum pada teman-temannya, “Aku akan merasa lebih baik setelah menghapus namanya dari kelompok, haha.” Maria itu jenius, ia bukan seseorang yang mudah tersulut emosi. Baginya, amarah itu membuatnya rugi. Tapi, amarah orang lain itu membuatnya untung.

   “Haha, benar … Elena? Satu kelompok denganmu?”

   “Dia tak lebih dari sekedar beban di kelompok, haha.”

   “Sangat tidak berguna.”

   Licik dan manipulative. Ia dapat mempengaruhi siapapun hanya dengan satu kalimat. Terkadang, gadis seperti Maria lebih ‘mengerikan’. Karena siapapun bisa menyakitinya, tapi tak ada satu pun yang bisa mengetahui ‘niat’ balas dendamnya.

   ‘Balasan yang paling menyakitkan adalah serang titik vitalnya, contohnya masa depannya.’

   Doktrin mengerikan itu tertanam pada gadis 18th yang tumbuh besar di panti asuhan, Maria Athena. Dan lagi-lagi, orang itu memperhatikan dengan sinis Maria. Ia sama tak sukanya seperti Elena, bedanya ia tak suka karena segala ekspresi yang Maria tunjukkan selalu terlihat ‘memaksa’.

   “Menjijikkan.” Kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Rivaldy. Baginya, Maria sangat palsu dalam hal bersosialisasi. Rivaldy sangat memperhatikan segala gerak-gerik dan ekspresi sontak Maria. Seperti saat ini, setelah berhasil membuat teman-temannya membicarakan buruk Elena, seringai kecil di bibir Maria dapat Rivaldy lihat. “Licik,” gumam Rivaldy. “Memang pada awalnya kau tak mau berada satu kelompok dengannya,” tambahnya. Memang, bukan hanya Rivaldy yang tak menyukai Maria karena Elena juga tak menyukai Maria. Namun, kemungkinan terbesar hanya Rivaldy yang tahu ‘niat busuk’ Maria.

   “Ri.” Panggilan itu membuatnya beralih focus ke Al.

   “Kenapa mengajakku bicara?” jawaban sinis selalu menjadi ciri khas Rivaldy. Al yang berada tepat di samping bangku Rivaldy mulai menghadapkan bangkunya ke arah Rivaldy. Ia menghembuskan nafas panjang sebelum memulai pembicaraan, “Memangnya jika kita bertiga disatukan dalam satu kelompok belajar akan membuat perubahan?” tanya Al mulai meragukannya.

   “Kau sudah tahu jawabannya.”

   Ya, jawaban sesantai itu memang tepat pada sasaran. Tak bisa dielak lagi, tidak mungkin kelompok belajar yang berisikan anak-anak bodoh akan membuat perubahan besar di UTS semester kedua ini.

   Al meletakkan kepalanya di meja, “Lantas apa yang harus kita lakukan?”

   Kini, Rivaldy menatap Al. “Cari mentor belajar untuk kelompok belajar kita.” Jawaban itu seakan membuat Al mendapatkan secercah harapan. Bagaimana bisa ia tak terpikirkan hal itu?

   Tapi, masalahnya … “Aku? Bukankah kau juga harus mencarinya?” protes Al tak terima. Rivaldy kembali focus ke ponselnya, “Aku akan membantu membuatnya mau mengajari kita.” Al begitu memahami jawaban Rivaldy. Membuatnya mau mengajari kita? Itu sangat mengerikan menurut Al. Apapun itu, kini ia harus mulai berpikir siapa kira-kira murid pintar yang sudi mengajari mereka. Yah, jika tidak bersedia bisa ia lemparkan masalahnya ke Rivaldy, sih.

   Matanya seperti melacak harta karun yang terdapat di dalam kelasnya. Siapa, ya?

   “Bagaimana dengan Maria?”

   “Tidak.”

   Usulan itu secara spontan mendapat penolakan dari Rivaldy. “Aku akan mencoba membujuknya,” ujar Al yang langsung mendapat tatapan tajam dari Rivaldy.

   “Kalau begitu kau cari saja sendiri.”

   Merajuk, Al keluar dari kelasnya. Elena yang melihat pertengkaran keduanya pun menjadi kesal. Ia putuskan untuk menghampiri Rivaldy dengan duduk di bangku Al.

   “Kalau kau menghampiriku hanya untuk mengomel lebih baik pergi saja,” celetuk Rivaldy yang bahkan Elena belum memulai pembicaraannya. Elena menyilangkan kedua kakinya dan melipat kedua tangannya di dada, “Kau tahu Yohan?” tanya Elena. Rivaldy menoleh, “Yohan Saputra?”

   “Yap.”

   “Kenapa?” tanya Rivaldy yang langsung dibalas decakan kesal Elena. “Ck! Siswa cupu itu peringkat 2 teratas semester kemarin!” balas Elena menjelaskan pada Rivaldy yang lemot. Rivaldy mengerutkan dahinya, “Lalu?” Kebodohan itu tak bisa Elena biarkan.

   “Paksa dia untuk menjadi mentor belajar kita.”

   “Oke.”

   Elena terbelalak. Semudah itu? Ia pikir Rivaldy akan membalasnya ketus, tapi ternyata Rivaldy pun juga tak punya pilihan lain lagi saat ini.

   “Kalau begitu, sepulang sekolah nanti bawa dia ke perpustakaan.” Rivaldy hanya membalasnyay dengan melirik sinis ke Elena. Elena tahu, itu berarti ‘aku mengerti, jangan banyak bicara lagi.’

KRIINGGG!!!

   Bel pulang sekolah telah berbunyi.

   “Yohan!” panggil Al masuk ke kelas Yohan Saputra, anak IPA tahun kedua.

   “O-oh, hai … A-ada apa, Al?” tanyanya gugup melihat Al yang tiba-tiba mengunjunginya ke kelasnya—tak seperti biasanya.

   Apa dirinya telah melakukan kesalahan? Hanya itu yang ada di benak Yohan. Al duduk di atas meja Yohan, “Kau ada waktu luang?” tanyanya. Yohan mendongak, “Ha-hari ini?” Kegugupan itu tak bisa disembunyikan dari wajah mungilnya yang menggemaskan. Ia segera menggendong tasnya dan membungkuk maaf pada Al, “Ma-maaf, tapi hari ini aku ada les …” Segera ia meninggalkan Al saat itu juga.

   Deg! Ia tak bisa kabur, jalannya telah dihadang oleh ‘monster’ SMA Ki Hajar Dewantara. Rivaldy Archer, walau anak itu hanya berdiri saja, Yohan tak bisa berkutik dibuatnya. Untuk hari ini saja, pikirnya.

   Di perpustakaan, Elena telah menunggu mereka. Dan hanya untuk hari ini, Elena telah menyiapkan segalanya. Mulai dari peralatan tulis, sampai buku-buku soal ujian tahun lalu. Entah ia tengah kerasukan arwah perpustakaan atau jin penunggu perpustakaan, intinya saat ini Elena tak seperti biasanya.

   Mereka datang.

   “Disini.” Elena melambaikan tangannya mengisyaratkan tempat duduk mereka.

   Yohan yang datang bersama Rivaldy dan Al tampak sangat pucat. Elena menahan tawanya karena hal itu. “Kalian keterlaluan, haha!”

   “Ayo mulai saja.” Rivaldy hanya ingin segera mengakhirinya.

   “A-apa yang harus kuajarkan?” tanya Yohan gugup. Ketiganya sontak menatapnya bersamaan. Mata Yohan terbelalak. Apa ia salah bertanya?

   Dengan kompaknya, ketiganya mengedikkan bahu dan berkata, “Entah.”

   “Kau mentor kami saat ini, ajarkan apapun yang membuatmu pintar.”

   Kalimat itu terlontar dengan mudahnya dari mulut Elena. Yohan mulai tak nyaman, “Bagaimana aku bisa mengajari kalian, jika kalian tak tahu apa yang akan kalian pelajari?” Yohan pun juga kebingungan dibuatnya. Al menatap polos Yohan, “Ajarkan apapun agar kami juga pintar sepertimu.”

   “Kalau begitu kalian hanya perlu membaca buku kalian dan terus memperhatikan guru saja.” Jawaban Yohan memang ada benarnya. Karena mereka bertiga tak pernah melakukan kedua hal tersebut. Tetapi, satu orang disana tiba-tiba terpikir untuk mengerjai Yohan. Dan orang itu tentunya adalah Rivaldy Archer. Rivaldy akan memberikan soal kepada Yohan secara spontan, dengan begitu pula mereka takkan meragukan kemampuan Yohan.

   “Hasil akar dari 20.”

   Yohan menoleh ke arah Rivaldy, “Apa?” tanyanya kebingungan. Rivaldy balas menatapnya dingin, “Jawab sekarang, jangan berpikir.” Tentu saja Yohan gelagapan dibuatnya, “Empat …”

   Ia hanya berkutat di angka empat setelah memakan waktu yang lama, membuat ketiganya kesal.

   “Hei, Yohan.”

   Yohan terdiam membisu.

   “Kau berbuat curang ya semester kemarin?” goda Rivaldy mengejek. Wajah Yohan memerah, “Curang?! Apa maksudmu?!” kesalnya. “Bisa saja kan kau membeli soal atau jawaban? Pft!”

   Ejekan itu semakin parah dan hampir membuatnya menangis. Elena mengernyit pada Rivaldy, “Memang kau tahu jawabannya?” tanyanya. “Dua akar lima.” Jawaban itu membuat Elena, Al, dan Yohan tak percaya. Rivaldy mengangkat bahunya, “Aku mencarinya di internet tadi.”

   “Menyebalkan, kau tak tahu caranya kan?” kesal Yohan masih tak terima. “Untuk apa? Yang penting jawabannya benar.” Mudah saja bagi Rivaldy untuk menjawabnya. Elena juga merasa curiga pada Yohan, “Jika dipikir-pikir, hanya semester kemarin ya kau menduduki peringkat kedua? Bukannya sebelumnya peringkatmu lebih rendah dari Rivaldy?” Al mulai ikut penasaran, “Memangnya berapa?” tanya Al yang sama sekali tak peduli akan peringkat orang lain, dirinya sekalipun.

   “Di tahun pertama, aku peringkat ke 35 dan dia ke 36.”

   “Hanya selisih satu poin saja kan?!” elak Yohan pada Rivaldy.

   “Tapi tetap saja, bagaimana bisa kau tiba-tiba peringkat kedua begitu?” heran Rivaldy.

   Yohan terdiam sejenak, “I-itu karena aku belajar dengan giat!”

   Tak puas, mereka bertiga mencoba mendekatkan kursinya ke Yohan. “Hei, kalau begitu kenalkan saja kami pada si penjual soal dan jawaban itu.” Bisikan Elena membuat bulu kuduknya berdiri seketika. “Berapa harganya, Yohan?” bisik Al juga sama mengerikannya bagi Yohan.

   Stress, ia berteriak, “Cukup! Apa kalian tak bisa membiarkanku hidup dengan tenang?!

   “Tidak bisa, kau sudah kuberi tanda. Jika kau tak mau mengatakan yang sebenarnya, akan kubuat peringkatmu turun,” celetuk Rivaldy tak bisa dielak, “Dengan menganggumu di sisa tahun terakhirmu,” tambahnya.

   Tidak bisa, ia tak boleh mengatakan apapun. Bahaya. Yohan ingin menghilang saat ini juga, tapi ia telah terkepung. Bagaimana caranya pergi dari sini selain menjawab pertanyaan mereka. Bohong pun takkan ada gunanya. Yohan ingin menangis saat itu juga, matanya telah berkaca-kaca, kakinya pun juga gemetaran dibuatnya.

   “I-itu …” ucapnya lirih mengawali.

   “Kau Yohan Saputra kan? Mr. Jo memanggilmu.”

   Matannya berbinar, ia selamat! Begitulah yang Yohan pikirkan. Berbeda dengan ketiganya yang merasa amat terganggu akan kehadiran sosok itu. Tapi … Maria? Jelas saja, gadis pengusik!

   “Dia masih harus belajar dengan kami!” balas Elena kesal.

   “Begitukah? Alih-alih belajar, kalian lebih terlihat sedang merundungnya.”

   “Apa kau tak bisa meninggalkan kami saja?” tanya Rivaldy buka suara saking kesalnya.

   Maria menggeleng santai yang mana berarti ‘tidak bisa’. “Sebelum Yohan pergi, aku tak bisa meninggalkan tempat ini.”

   “Kalau begitu, aku yang akan membuatmu meninggalkan tempat ini.” Kekesalan Al memang telah berada pada puncaknya, ia sampai berdiri dan akan menghampiri Maria.

   Srrt! Maria mengeluarkan ponselnya, “Apa aku harus memulai streamingku saat ini juga? Kupikir ini terlalu cepat …” tanyanya membuat Al membeku. Maria menatap Al tajam, “Bukankah pengikutku lebih banyak darimu? Ah, dan lebih berkualitas tentunya.”

   Sialan, gadis yang licik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status