Share

CHAPTER 2: MENTOR

   “Yohan, kau benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ucap Maria tak beranjak dari tempatnya. Hal itu membuat Yohan tersentak kaget, “Benarkah?” tanyanya masih tak percaya. Anggukan Maria pun masih tak membuatnya percaya. Yohan pikir itu hanya akal-akalan Maria saja untuk menyelamatkannya dari situasi ini.

   Tapi, “Untuk apa juga aku menyelamatkanmu? Memangnya aku ada urusan denganmu?” celetuk Maria membuat semua tersadar. Benar-benar salah berurusan dengan gadis ini. Bahkan Rivaldy, Elena, dan Al pun tak bisa menahan Yohan lagi. Dengan penuh kebingungan, Yohan akhirnya pergi dari sana. Maria yang juga tak lagi memiliki urusan disana memutuskan untuk pergi.

   “Hei, Maria.”

   Panggilan itu membuat Maria terhenti dan membalikkan badan. Rivaldy berdiri dan berjalan ke arahnya. “Kau sudah membuat mentor kami pergi, tuh.” Celetuk Rivaldy yang sangat menyebalkan, padahal sudah jelas jika Maria disini hanya ‘menjalankan tugasnya’.

   “Alangkah baiknya jika kau—“

   “Sama sepertimu yang tak ingin berurusan denganku, aku juga tak ingin berurusan dengan sekelompok keledai.”

   Jleb! Jika bisa dibalas, mereka akan membalasnya. Namun, Maria Athena itu ‘Sang Jenius’. Peringkat satu adalah kursinya, bukan hanya peringkat kelas tetapi peringkat angkatan tahun kedua. Dan jika ditanya, ‘Kenapa kau masuk jurusan Bahasa?’

   Maka jawabannya, “Aku tak bisa mengendalikan seseorang melalui rumus. Tetapi, dengan keterampilan berbahasa, dunia pun berada dalam genggaman tanganku.” Itu jawaban dari ‘Sang Jenius’ dengan nilai sempurna di tahun pertama masuk SMA Ki Hajar Dewantara.

   Dan hari itu, berakhir sampai disini.

   “Hei, kalian! Tunggu aku!” teriak Al menyusul Rivaldy dan Elena yang akan pergi ke ruang guru tata tertib. “Apa kita akan terus membuat laporan sepulang sekolah seperti ini?” tanya Al tak berhenti mengeluhkannya. Elena menghembuskan nafas kesal, “Untuk sementara ini saja kan, Ri?” tanya Elena melemparkannya pada Rivaldy.

   Rivaldy yang tak kunjung menjawab sampai ruang guru tata tertib membuat keduanya kesal. Tapi, tiba-tiba saja Rivaldy berhenti tepat di depan ruang guru tatib dengan kedua alisnya yang bertaut. Elena dan Al juga melihat ke dalam ruang tata tertib.

   Ada Yohan Saputra disana.

   “Yohan kan?” tanya Elena pada kedua temannya. Al yang ikut mengintip mengangguk pada Elena. “Wah, dia benar-benar dipanggil Mr. Jo,” ujar Al masih tak percaya. Sedangkan Rivaldy berusaha lebih mendekat untuk mendengarkan percakapannya.

   “Kalian bertiga masuk saja,” ucap Mr. Jo dari dalam membuat ketiganya terbelalak. Sudah tak bisa mendengarkan apapun, malah ketahuan. Sial sekali mereka bertiga saat ini.

   Mereka masuk dan berdiri di belakang Yohan yang duduk menghadap Mr. Jo. Rivaldy mengawali, “Aku yang memaksa Yohan menjadi mentor belajar kami.” Rivaldy menyenggol lengan Al, “Aku mengajaknya—“ Mendapat tatapan tajam dari Rivaldy, Al tak jadi berbohong. “Aku juga memaksanya,” ucapnya. Elena memalingkan wajahnya, “Aku yang mengusulkannya.”

   Mr. Jo melipat kedua lengannya di dada. Menatap mereka tajam. Hal yang baru kali ini membuat ketiganya memalingkan wajah darinya. Tak ada lagi tatapan tajam saling menantang yang ketiganya tunjukkan pada Mr. Jo.

   “Pft! HAHAHA!” tawa Mr. Jo begitu nyaring saking kerasnya. Baik Rivaldy, Elena, maupun Al menatapnya aneh. Ada apa dengannya? “Astaga, aku sampai hampir menangis.” Ia mengusap air matanya dan mulai mengambil ponsel di sakunya. Ia juga menyodorkannya pada mereka bertiga. Rivaldy segera mengambilnya.

   Sial! Mereka bertiga tak habis pikir dengan isi pesan hasil tangkapan layar ini. Pesan itu berisi:

‘Namaku Yohan Saputra, kelas IPA A tahun kedua SMA Ki Hajar Dewantara.’

‘Kau yakin akan hal ini?’

‘Ya, akan kurahasiakan transaksi ini.’

‘Kita akan bertemu di jalan setapak teduh Ragunan besok pagi.’

   Rivaldy yang kesal mencengkram kerah seragam Yohan. “Kau benar-benar berbuat curang, ya?” tanyanya kesal. Tatapan tajam anak itu sama ketika menatap Mr. Jo pagi itu, tatapan kebencian karena kebohongan.

   “Ma-maafkan aku …” lirih Yohan. Hanya itu yang bisa dirinya katakan. Grrt!

   “Gitu sok menyuruh kita membaca buku dan mendengarkan guru di dalam kelas? Kalau nanti jadinya seperti dirimu, lebih baik aku peringkat terakhir saja sampai mati.” Baru kali ini, Rivaldy mengatakan hal sekejam itu dari lubuk hatinya. Setelah apa yang dirinya lalui selepas kedatangan ketiga guru tata tertib itu. Dan juga, gadis dengan mulut mengerikan—Maria—yang tak bisa dilawannya.

   Brak! Ia dorong Yohan sampai terjatuh dari kursinya. Lalu, pergi meninggalkan ruangan itu. Elena dan Al juga bergegas mengikuti Rivaldy.

   Di ruangan itu, hanya tersisa Mr. Jo dan Yohan yang terduduk lemas di lantai. Mr. Jo, ia sedaritadi hanya menjadi penonton di atas kursinya. Kini, ia bangkit dan berjongkok di depan Yohan. Menatapnya dalam yang disertai seringaian mengerikan, “Menyedihkan,” ucap Mr. Jo yang membuat Yohan membendung air mata, “Mr. Jo …” lirinya.

   Mr. Jo berdiri dan akan meninggalkannya pergi juga. Namun, ia berhenti sejenak di ambang pintu dan berkata, “Untuk kehilangan satu murid yang merusak citra sekolah, kami tak keberatan.”

   Deg! Yohan tak tahu bagaimana nasibnya setelah ini. Pandangannya kabur, bayangan hitam menyeruak di dalam pandangannya.

   Ckiit! Bus telah datang. Elena berpisah dengan kedua temannya. Sejak kapan dirinya berteman dengan dua anak itu? Pikirnya terheran. Ia berpikir mungkin semenjak merasakan penderitaan yang sama di dalam kelompok yang sama. Ia mendapatkan tempat duduk paling belakang, takkan ada yang bisa mengganggunya. Maka, dirinya putuskan untuk memejamkan matanya sejenak.

   Tapi memang benar, setelah mendapat hukuman serta tekanan dari para guru tata tertib, ia jadi banyak berpikir. Apa ia akan terus seperti ini? Tapi, jika berubah pun … ia tak tahu caranya. Drrt! Ponselnya bergetar, ia bergegas memeriksanya.

   ‘Sudah cukup untuk memberontak pada Mama, Elena. Kembali ke tempat les.’

   Bahkan untuk mati pun ia sedang tak ingin, apalagi untuk hidup. Sebenarnya apa yang dirinya inginkan? Uang? Ia sudah memiliki semuanya, karena ia memiliki cukup uang. Teman? Ada, kok. Mereka yang selalu tunduk di bawah perintah Elena, mereka ada. Peringkat? Ia tak membutuhkannya, karena nanti dirinya akan mewarisi perusahaan asuransi milik papanya.

   Seseorang duduk di sampingnya. Elena memperbaiki posisi duduknya dan menoleh padanya. Deg! Ia terdiam seketika dan memalingkan wajahnya dari orang itu. Elena yang duduk di dekat jendela dapat melihat bayangan orang itu yang tengah membaca buku dan mendengarkan lagu. Buku yang tak Elena pahami bahasanya, dan juga judul lagu ‘Struggling’ dari Broccoli You Too? Nama grup band, grup idol, atau malah nama grup pelawak, sih?

   “Hei, Maria …” panggil Elena padanya.

   Tanpa menoleh, “Apa?” jawab Maria. Elena memalingkan wajahnya lagi ke luar jendela, “Bagaimana bisa dia menjawab dengan earphone masih menempel di telinganya?” gumam Elena dapat Maria dengar.

   Maria melepas earphone dan menoleh kea rah Elena, “Apa?” tanyanya membuat Elena terkejut. Elena tak tahu harus memulainya darimana dan bagaimana. Maria telah menunggu jawabannya, gawat.

   “Mm … ka-kau masih menyimpan daftar checklist yang harus ku kerjakan?” tanyanya dengan wajah memerah menahan malu. “Tidak.” Jawaban singkat Maria membuat Elena menoleh sontak padanya, “Kau—“ Maria memotongnya, “Siapa suruh membuangnya begitu saja.”

   Jleb!

   Benar juga, itu 100% kesalahannya. “Maria … kumohon.” Maria mengernyit keanehan, apa yang Elena inginkan? Kenapa jadi aneh begini? Ckiit! Maria segera turun, ia sudah sampai. Elena takkan membiarkannya pergi begitu saja, Maria adalah satu-satunya harapan yang dirinya miliki. “Maria!” teriaknya menyusul Maria.

   Alhasil, Elena pun juga ikut turun. Elena mengejar Maria sampai gerbang Panti Asuhan yang Maria masuki. “Panti asuhan?” gumam Elena.

   “Kak Maria!” teriak beberapa bocah menyambut kedatangan Maria. Tiba-tiba, sesuatu hal yang tak pernah Elena lihat membuatnya terdiam lama. Hal itu adalah senyuman yang disertai tawa oleh Maria. “Cantik sekali,” gumam Elena tanpa sadar.

   “Kak Maria, siapa kakak itu?”

   “Teman kakak?”

   “Kenapa rambutnya seperti nenek lampir?”

   Maria menoleh ke belakang dan melihat Elena disana. Senyuman Maria hilang, “Kau menguntitku?” tanyanya kesal. “Ti-tidak, bukan begitu! Aku hanya ingin … bergabung ke dalam kelompokmu kembali.”

   Maria terdiam beberapa saat, lalu hembusan nafas kesal dan bola mata yang berputar dari Maria dapat Elena lihat. Maria berbalik badan dan berjalan menahuluinya, “Ikuti aku.”

   Elena dibawa masuk ke dalam. Bangunan ini seperti peninggalan jaman Belanda, pikir Elena. Elena juga melihat beberapa barang antic yang tersusun rapi di atas meja kayu. Pencahayaannya tak begitu terang, hal itu pula yang membuatnya sesekali merasa merinding. Yang lebih parah adalah tatapan tajam kelima bocah itu pada Elena.

   “Ini.”

   Mata Elena membulat senang, “Terimakasih, Maria!” ujarnya tanpa sadar.

   “Hm.” Melihat Elena yang langsung memasukkannya ke dalam tasnya membuat Maria khawatir. “Kau bisa mengerjakannya kan?” tanya Maria. Elena balas menatap Maria, “Tenang saja, aku akan mencarinya di internet.”

   Kesal, Maria menyuruh Elena mengeluarkan lembar kerjanya lagi. “Kenapa?” tanya Elena polos. “Hei, ini adalah tugas penelitian!” tukas Maria. Kedua alis Elena terangkat naik, “Jadi?” Plak! Maria hanya bisa memijat kepalanya, “Itu berarti kita harus melakukan penelitian untuk membuat laporan yang lebih nyata dan terbaru.”

   Elena malihat lembar kerjanya. “Bukankah ini berhubungan dengan pelanggaran hukum undang-undang?” tanya Elena.

   “Ya.”

   “Itu berarti kita tinggal cari saja pelanggaran hukumnya, pasti ada artikel mahasiswa yang memuat hal itu beserta solusinya.”

   “Hei, kau tau tidak sih apa yang sedang kita cari?” tanya Maria dibalas gelengan oleh Elena. “Makanya baca, dong!” kesal Maria. Dibaca berapa kali pun Elena tak bisa memahaminya. “Maria …” panggil Elena lirih.

   “Apa? Sudah tahu kan? Kalau begitu—“

   “Aku tak paham.”

   Kepala Maria telah mendidih dibuatnya. “Kenapa kau tak bilang saja dari tadi, Elena Yohanes?!” kesal Maria hanya Elena balas tawa kecil. “Kemarilah, akan kujelaskan.”

   Maria menjelaskannya sedetail dan semudah mungkin untuk Elena pahami. “Bagaimana? Kau punya kasus terbaru pelanggaran hukum yang ada di sekitarmu?” tanya Maria. “Apa ya? Apa harus terbaru? Apa—“ Pertanyaan Elena dipotong langsung oleh peringatan tangan Maria.

   “Aku mau mendapatkan nilai plus dengan kasus yang jarang orang ketahui, jadi saat kita presentasi nanti para audience akan mendapatkan ilmu baru.”

   “Oo … begitu.”

   “Jadi, bagaimana? Apa kasusmu? Berpikirlah.”

   Apa itu termasuk pelanggaran hukum, ya? Pikir Elena memikirkan perusahaan ayahnya. “Aku tak paham, tapi kupikir kau bisa membantuku.” Ungkapan Elena membuat Maria penasaran. Apa yang ada di pikiran berandalan ini?

   “Sengketa property?”

   Bagaimana bisa otaknya memikirkan hal itu? Ah, Maria lupa jika Elena adalah putri semata wayang. Pasti secara blak-blakan orang tuanya menyuapinya segala hal itu. Maria menyenderkan punggungnya, “Baiklah, tulis untuk bagian latar belakangnya dulu.”

   “Apa itu berarti aku harus menjelaskan pengertian property?” tanya Elena. Maria menggeleng tidak setuju, “Jangan menulis pengertian secara umum, kau tulis saja sebuah isu untuk mengawali laporanmu. Kalau pengertian umum, semua orang bisa mencarinya.”

   “Lalu, apa yang harus kutulis?”

   “Properti saat ini tidak hanya menjadi kebutuhan dasar, tapi juga objek investasi dan objek spekulasi,” jawab Maria yang langsung Elena tulis. “Lalu, langsung saja tembak ke inti permasalahannya seperti, hingga 70% kasus yang terjadi berkaitan dengan rumah susun (rusun) yang dasar hukumnya belum jelas. Sisanya terkait kepemilikan tanah dan ketidaksesuaian spesifikasi bangunan.”

   Ini yang Elena butuhkan. Pembelajaran seperti ini yang cocok untuknya. Maria memberinya pertanyaan, “Hal apa yang sangat penting bagi seorang broker, Elena?” tanyanya. Elena menjawab, “Image dan kredibilitas.”

   Bagus, “Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya Maria penasaran. “Ayahku sering membicarakan hal itu.” Syukurlah, pikir Maria. Ia hanya perlu memberi beberapa poin penting, sisanya akan Elena urus sendiri.

   Elena kebingungan, “Pasal berapa yang cocok untuk kasus senketa property?” Maria menatapnya, “Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Jawab Maria. “Kau harus berpedoman pada pasal itu,” tambah Maria.

   Kelompok penelitian pertama Elena bersama Maria telah selesai. Elena merasa sangat puas. Hampir 80% ia kerjakan semuanya sendiri. Maria benar-benar membuatnya berkembang pesat hanya dalam sehari.

   “Terimakasih,” ucap Elena akan berpamit pulang.

   “Hm.”

   “Sampai jumpa esok di sekolah.”

   “Kuharap kau masih hidup besok dengan otak seperti itu,” balas Maria melambaikan tangannya malas. Elena hanya tertawa lalu bergegas pulang agar tak ketinggalan bus terakhir.

   Setelah mendapat tempat duduk, ia mengeluarkan ponselnya dan memberi kabar pada Rivaldy dan Al atas apa yang terjadi hari ini.

‘Kupikir kita harus membujuk Maria untuk menjadi mentor kita,’ tulis Elena mengawali percakapan.

‘Gila, tidak mau.’

‘Kau saja.’

‘Ayolah, teman-teman! Aku baru saja menyelesaikan penelitianku loh!’ tulis Elena.

‘Siapa lagi kali ini yang kau suruh kerjakan tugasmu?’

‘Enak saja! Ini semua berkat bimbingan Maria! Besok kalian bisa memeriksa laporan penelitianku!’ tulisnya senang.

   Maria? Mentor kita? Rivaldy merasa aneh akan hal itu. Ia tak tahu apa yang akan terjadi nanti jika gadis licik itu berada dalam kelompok mereka. Jika saja gadis itu mudah ditebak, Rivaldy takkan merasa sewas-was ini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status