MasukBAB, 05.
🌻 Pagi itu menyapa dengan lembut- langit Jakarta berwarna biru muda, dihiasi sinar mentari yang menetes hangat di sela jendela kaca rumah besar keluarga Ardian. Suara burung gereja terdengar samar, kalah oleh gemuruh kendaraan di kejauhan. Namun di dapur yang harum oleh aroma tumisan bawang dan nasi hangat, suasana terasa begitu damai. Aylin berdiri di depan kompor dengan apron lusuh yang dipinjam dari Bi Jumina. Tangannya cekatan mengaduk wajan, bibirnya menyenandungkan nada kecil yang hampir tenggelam oleh desir uap panas. Hari ini ia menyiapkan sarapan- bukan roti panggang dan susu hangat seperti biasanya, tapi nasi putih hangat, telur dadar keemasan, sambal goreng tempe, dan sup bening yang mengeluarkan wangi menenangkan. “Non Aylin, ndak usah repot-repot. Biasanya cuma roti sama susu aja, kok,” ucap Bi Jumina dari meja makan, suaranya penuh kekhawatiran sekaligus kagum. Aylin menoleh, tersenyum lembut. “Saya terbiasa makan nasi, Bi. Kalau belum makan nasi rasanya belum sarapan,” katanya pelan, matanya bersinar di balik uap nasi yang mengepul. Bi Jumina hanya bisa menggeleng, hatinya hangat melihat perempuan muda itu- yang semalam begitu kaku, kini begitu tulus mengambil alih dapur keluarga ini. Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar menuruni tangga. Athar dan ayahnya sudah siap berangkat kerja, keduanya tampak rapi dalam jas abu dan parfum mahal. Tapi langkah Pak Ardian terhenti di ambang ruang makan. Matanya memandang meja yang penuh hidangan- uap nasi menari lembut di udara, aroma masakan menyeruak memenuhi ruangan. “Sudah lama sekali…” gumamnya lirih, matanya berkaca-kaca, “...sejak terakhir kali ada yang menyiapkan sarapan seperti ini.” Aylin menunduk, tak berani membalas pandangan hangat itu. Di sudut hatinya, ada rasa iba sekaligus syukur- mungkin, pagi ini membawa sedikit kenangan untuk keluarga ini. Sarapan berlangsung dalam diam, hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan piring porselen. Setelah itu, Athar dan sang ayah bersiap pergi. Sebelum melangkah keluar, Bi Jumina sempat mendorong lembut punggung Aylin. "Ayo, Non Aylin… salim dulu sama Tuan Muda,” bisiknya menggoda. Aylin menunduk patuh, melangkah mendekat. Tangannya yang halus terulur hendak mencium punggung tangan suaminya- namun Athar hanya melengos, berjalan melewatinya tanpa menoleh. Aylin mencebikkan bibirnya kesal seraya memandang punggung Athar yang menjauh. " Dasar, suami durhaka. " Ayah tersenyum kecil, " Mungkin Athar hanya belum terbiasa. " Suaranya memecah udara, lembut, tapi sarat makna. Ketika dua laki-laki itu pergi, rumah besar itu kembali sunyi, hanya tersisa aroma masakan dan jejak hangat pagi. Bi Jumina pun kembali kepada rutinitasnya- mengganti seprai kamar Tuan muda seperti biasa. Pada saat Aylin hendak menaiki anak tangga, ia menghentikan langkahnya ketika notifikasi pesan dari M-bankingnya menggetarkan jiwa. Uang dengan nilai sepuluh miliar itu masuk kedalam rekeningnya, disusul dengan pesan singkat lewat WA dari mertuanya membuat ia ternganga. " Se-sepuluh miliar? I-ini beneran masuk ke rekening aku? " gumamnya dengan tangan gemetar. ' Aylin, ayah sudah memenuhi syarat awal yang sudah ayah janjikan. Mulai sekarang, kamu boleh menggunakan semua fasilitas yang ada di rumah. Jangan segan ataupun canggung. Karena ayah sudah menganggap kamu sebagai anak perempuan ayah sendiri. Bersabarlah menghadapi sikap Athar, suatu saat hatinya pasti terbuka untukmu. ' Aylin menelan ludah, gegas ia kembali menaiki tangga. Saat ia sampai di depan kamar, langkahnya terhenti ketika Bi Jumina keluar dari kamar Athar dengan wajah bersemu merah. " Non, gimana malam pertamanya? sakit ya? " tanyanya menggoda. " eh? " gumam Aylin gagu. " Bercak darahnya lumayan banyak, selamat ya non. Semoga benih yang tuan muda tanam berkembang dengan baik. " Godanya seraya berlalu meninggalkan Aylin yang tertegun. Bercak darah? bukannya semalam noda itu dari darah haidnya? karena itu juga Athar tidur di sofa sepanjang malam. 🌻 Siang ini, Aylin berniat akan pulang kerumahnya. Ia meminta kepada Pak Hasan sang supir yang saat itu tengah asik mencuci mobil. " Pak Hasan, bisa antar saya ke rumah? saya mau bawa baju-baju saya. " Pinta Aylin menatap laki-laki yang umurnya mungkin seusia suami budenya. " Oh..., tentu saja non. Mau kemana pun, saya siap mengantar istrinya tuan muda. " Jawabnya dengan cengiran khasnya. Tanpa berpikir panjang lagi, setelah Pak Hasan selesai mencuci mobil mereka pun gegas menuju rumah kontrakan Aylin yang letaknya cukup jauh dari perumahan mewah keluarga suaminya. 🌻 BERSAMBUNG...BAB, 60. 🌻 Akhir pekan itu tiba dengan hangat. Mentari bersinar lembut di langit, angin pantai menari di rambut Aylin yang dibiarkan tergerai. Athar memandangnya dari belakang kemudi, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Aylin, dengan senyum malu-malu dan pipi merona karena angin laut, tampak seperti gadis yang selalu membuatnya jatuh cinta- bukan hanya sebagai istri, tapi sebagai sahabat, teman, dan cinta sejatinya. Mereka berjalan beriringan di pasir, sepatu dilepas, kaki mereka menyentuh air yang dingin namun menyenangkan. Athar sesekali menggenggam tangan Aylin, perlahan, seolah takut memutuskan momen itu. Aylin menatapnya, matanya bersinar, dan di sana ada kepercayaan yang mendalam, sebuah rasa aman yang selama ini sulit ia temukan. "Lihat, Athar… ini indah," kata Aylin, menunjuk garis laut yang berkilau di bawah matahari. Athar tersenyum, memiringkan wajahnya mendekat, menatap mata Aylin. "Indah? Itu karena ada kamu di sini," bisiknya, hampir terdengar sebaga
BAB, 59. 🌻 Pukul sembilan pagi, ruang CEO dipenuhi cahaya hangat yang menembus jendela besar. Athar duduk di belakang mejanya, wajahnya cerah, hampir tidak seperti biasanya. Ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan-hari ini, Aylin memilih untuk berhenti bekerja, fokus mengurus rumah tangga, dan Athar tahu itu adalah keputusan yang tepat baginya. Namun, di balik senyum itu, ada beban yang harus ia lepaskan. Gosip-gosip karyawan tentang Aylin-bahwa ia menikahi Athar demi uang sepuluh miliar-telah menyebar seperti api kecil yang siap membakar reputasi istrinya. Athar menatap sekilas ke luar jendela, menarik napas dalam, lalu berdiri. Langkahnya mantap ketika ia melangkah ke ruang pertemuan, di mana seluruh tim menunggu dengan rasa penasaran dan sedikit ketegangan. Suara Athar terdengar, tegas namun penuh emosi: "Aylin memilih untuk berhenti bekerja bukan karena alasan yang kalian dengar atau pikirkan. Semua gosip tentang uang, tentang motivasi pribadi-tidak ada yang benar." Ada he
BAB, 58.🌻Melody tertunduk sangat dalam, Athar menatapnya dengan tatapan rasa iba." Seperti yang kamu ketahui, kalau aku pergi karena Papah aku di kejar depkolektor waktu itu." Ucap Melody seraya mengangkat wajahnya dan menatap Athar," maaf, karena aku sudah meninggalkan kamu waktu akad." Athar tertunduk. Dulu memang Athar sangat kecewa, sangat merasa tidak bisa hidup jika tidak dengan Melody. Namun nyatanya, seiring berjalannya waktu, Aylin, gadis itu telah menyembuhkan lukanya secara perlahan." Tidak perlu ada yang di salahkan, Mel. Aku ngerti, anggap saja semuanya memang harus begini. Karena- ya...terjadi begitu saja." Athar balas menatap," aku harap, kamu bisa lebih bahagia." Melody tersenyum tulus, " aku akan pamit. Mungkin beberapa waktu ini- aku akan meninggalkan Indonesia. Ah, aku akan kerja di Taiwan bareng temen aku. Kalau begitu, sampaikan salam maafku kepada Aylin." Athar mengangguk tulus.~~~Malam itu, hujan turun tipis- hanya cukup untuk membuat udara dingin meny
BAB, 57.🌻Pipi Melody terasa panas..Suara tamparan itu masih menggema di telinganya, lebih nyaring dari detak jantungnya sendiri. Kepalanya sedikit menoleh ke samping, rambutnya jatuh menutupi wajah yang kini memucat. Ia berdiri terpaku di ruang tamu rumah yang dulu terasa hangat, kini pengap oleh bau keputusasaan." Papa tidak peduli dengan alasanmu!" hardik sang papa, napasnya tersengal. Matanya merah, bukan hanya oleh amarah, tapi juga oleh ketakutan yang terlalu lama ia pendam. " Kamu harus kembali ke Athar. Dia masih mencintaimu. Kamu bisa memperbaiki semuanya."Melody perlahan mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca, namun suaranya tetap bergetar tertahan. " Tidak, pah." Ia menggeleng pelan. " Aku tidak akan merusak hubungan Athar bersama istrinya. Aku sudah cukup menyakitinya...aku meninggalkan Athar di hari pernikahan kami. Luka itu...aku yang menorehkannya."Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Bayangan wajah Athar, tatapan hancur yang tak sempat ia jelaskan, kembali meng
BAB, 56. 🌻 Pagi itu, tepat pukul 07:17, rooftop gedung kantor masih di selimuti udara dingin sisa malam. Matahari baru saja naik, cahayanya pucat, menembus celah-celah gedung-gedung tinggi Jakarta. Kota belum sepenuhnya riuh- masih ada jeda sunyi sebelum hiruk pikuk di mulai. Aylin berdiri seorang diri disana. Kedua tangannya bersedekap, bukan karena dingin, melainkan karena dadanya terasa kosong dan berat. Angin pagi mengibaskan rambutnya, sementara matanya menatap lurus ke langit yang perlahan membiru. Malam tanpa tidur meninggalkan jejak di wajahnya- mata yang lelah, napas yang di tahan lama. Pintu rooftop terbuka pelan. Rayan berdiri di ambang pintu, tampak sedikit terkejut menemukan seseorang di sana sepagi ini. Jas kantornya masih rapi, kopi panas mengepul di tangannya. Langkahnya terhenti ketika menyadari siapa yang berdiri beberapa meter darinya. " Apa perkataan mereka barusan mengusikmu?" Aylin menoleh refleks. Terlihat Rayan kembali meneruskan langkahnya dan m
BAB, 55.🌻Athar berdiri beberapa detik di ambang ruang tengah, langkahnya tertahan oleh pemandangan yang tak ia duga akan membuat dadanya terasah sesak.Aylin duduk di ujung sofa, tubuhnya sedikit meringkuk. Satu tangannya menahan pipi kiri- pipi yang kini tampak lebih merah dan bengkak dibandingkan terakhir kali ia melihatnya di kantor. Rambutnya terurai asal, matanya kosong menatap lantai, seolah berusaha meyakinkan di bahwa semuanya baik-baik saja.Athar menghela napas pelan. Tanpa suara, ia mendekat." Ini.." Suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya saat ia menyodorkan alat kompres yang sudah berisi es batu, terbungkus kain tipis.Aylin tersentak kecil. Ia mendongak, kaget, lalu cepat-cepat meluruskan punggungnya. Tatapan mereka bertemu sesaat- cukup lama untuk membuat udara di antara mereka menegang, cukup singkat untuk Aylin kembali menunduk." Terima kasih..." ucapnya pelan, canggung.Athar tidak langsung melepaskan kompres itu. Tangannya masih tertahan di udara, jarak







