Home / Romansa / PASUTRI MAGANG / PASUTRI MAGANG

Share

PASUTRI MAGANG

Author: Upik abu
last update Last Updated: 2025-10-18 11:46:00

BAB, 05.

🌻

Pagi itu menyapa dengan lembut- langit Jakarta berwarna biru muda, dihiasi sinar mentari yang menetes hangat di sela jendela kaca rumah besar keluarga Ardian. Suara burung gereja terdengar samar, kalah oleh gemuruh kendaraan di kejauhan. Namun di dapur yang harum oleh aroma tumisan bawang dan nasi hangat, suasana terasa begitu damai.

Aylin berdiri di depan kompor dengan apron lusuh yang dipinjam dari Bi Jumina. Tangannya cekatan mengaduk wajan, bibirnya menyenandungkan nada kecil yang hampir tenggelam oleh desir uap panas. Hari ini ia menyiapkan sarapan- bukan roti panggang dan susu hangat seperti biasanya, tapi nasi putih hangat, telur dadar keemasan, sambal goreng tempe, dan sup bening yang mengeluarkan wangi menenangkan.

“Non Aylin, ndak usah repot-repot. Biasanya cuma roti sama susu aja, kok,” ucap Bi Jumina dari meja makan, suaranya penuh kekhawatiran sekaligus kagum.

Aylin menoleh, tersenyum lembut. “Saya terbiasa makan nasi, Bi. Kalau belum makan nasi rasanya belum sarapan,” katanya pelan, matanya bersinar di balik uap nasi yang mengepul.

Bi Jumina hanya bisa menggeleng, hatinya hangat melihat perempuan muda itu- yang semalam begitu kaku, kini begitu tulus mengambil alih dapur keluarga ini.

Tak lama kemudian, langkah kaki berat terdengar menuruni tangga. Athar dan ayahnya sudah siap berangkat kerja, keduanya tampak rapi dalam jas abu dan parfum mahal. Tapi langkah Pak Ardian terhenti di ambang ruang makan.

Matanya memandang meja yang penuh hidangan- uap nasi menari lembut di udara, aroma masakan menyeruak memenuhi ruangan. “Sudah lama sekali…” gumamnya lirih, matanya berkaca-kaca, “...sejak terakhir kali ada yang menyiapkan sarapan seperti ini.”

Aylin menunduk, tak berani membalas pandangan hangat itu. Di sudut hatinya, ada rasa iba sekaligus syukur- mungkin, pagi ini membawa sedikit kenangan untuk keluarga ini.

Sarapan berlangsung dalam diam, hanya suara sendok yang sesekali beradu dengan piring porselen. Setelah itu, Athar dan sang ayah bersiap pergi. Sebelum melangkah keluar, Bi Jumina sempat mendorong lembut punggung Aylin.

"Ayo, Non Aylin… salim dulu sama Tuan Muda,” bisiknya menggoda.

Aylin menunduk patuh, melangkah mendekat. Tangannya yang halus terulur hendak mencium punggung tangan suaminya- namun Athar hanya melengos, berjalan melewatinya tanpa menoleh.

Aylin mencebikkan bibirnya kesal seraya memandang punggung Athar yang menjauh. " Dasar, suami durhaka. "

Ayah tersenyum kecil, " Mungkin Athar hanya belum terbiasa. " Suaranya memecah udara, lembut, tapi sarat makna.

Ketika dua laki-laki itu pergi, rumah besar itu kembali sunyi, hanya tersisa aroma masakan dan jejak hangat pagi.

Bi Jumina pun kembali kepada rutinitasnya- mengganti seprai kamar Tuan muda seperti biasa.

Pada saat Aylin hendak menaiki anak tangga, ia menghentikan langkahnya ketika notifikasi pesan dari M-bankingnya menggetarkan jiwa. Uang dengan nilai sepuluh miliar itu masuk kedalam rekeningnya, disusul dengan pesan singkat lewat WA dari mertuanya membuat ia ternganga.

" Se-sepuluh miliar? I-ini beneran masuk ke rekening aku? " gumamnya dengan tangan gemetar.

' Aylin, ayah sudah memenuhi syarat awal yang sudah ayah janjikan. Mulai sekarang, kamu boleh menggunakan semua fasilitas yang ada di rumah. Jangan segan ataupun canggung. Karena ayah sudah menganggap kamu sebagai anak perempuan ayah sendiri. Bersabarlah menghadapi sikap Athar, suatu saat hatinya pasti terbuka untukmu. '

Aylin menelan ludah, gegas ia kembali menaiki tangga. Saat ia sampai di depan kamar, langkahnya terhenti ketika Bi Jumina keluar dari kamar Athar dengan wajah bersemu merah.

" Non, gimana malam pertamanya? sakit ya? " tanyanya menggoda.

" eh? " gumam Aylin gagu.

" Bercak darahnya lumayan banyak, selamat ya non. Semoga benih yang tuan muda tanam berkembang dengan baik. " Godanya seraya berlalu meninggalkan Aylin yang tertegun.

Bercak darah? bukannya semalam noda itu dari darah haidnya? karena itu juga Athar tidur di sofa sepanjang malam.

🌻

Siang ini, Aylin berniat akan pulang kerumahnya. Ia meminta kepada Pak Hasan sang supir yang saat itu tengah asik mencuci mobil.

" Pak Hasan, bisa antar saya ke rumah? saya mau bawa baju-baju saya. " Pinta Aylin menatap laki-laki yang umurnya mungkin seusia suami budenya.

" Oh..., tentu saja non. Mau kemana pun, saya siap mengantar istrinya tuan muda. " Jawabnya dengan cengiran khasnya.

Tanpa berpikir panjang lagi, setelah Pak Hasan selesai mencuci mobil mereka pun gegas menuju rumah kontrakan Aylin yang letaknya cukup jauh dari perumahan mewah keluarga suaminya.

🌻

BERSAMBUNG...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB,08. 🌻 Malam itu ruang makan keluarga Ardian tampak lebih hangat dari biasanya. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke meja makan panjang yang tertata rapi. Di atasnya, tersaji makanan rumahan sederhana berupa sop ayam hangat, ikan gurame goreng, sambal terasi, dan sepiring tahu tempe goreng yang baru saja diangkat dari penggorengan. Pak Ardian yang biasanya pulang larut karena urusan kantor, malam itu sudah duduk di kursinya pukul tujuh. Wajahnya tampak lebih santai, meski tetap memancarkan wibawa seorang pemimpin. Di sisi kanan, Athar makan dalam diam, sementara Aylin duduk bersebrangan, tampak berhati-hati dalam setiap gerakannya. Awalnya hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu di piring. Sampai akhirnya Pak Ardian menatap putra semata wayangnya dan berucap pelan, " ayah berpikir, mungkin sudah waktunya kamu punya sekretaris pribadi, Athar." Athar menghentikan gerakan tangannya, lalu menatap ayahnya dengan kening sedikit berkerut. "

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 07. 🌻 Siang itu, matahari seperti tak mengenal ampun. Udara panas menekan kulit, membuat napas terasa berat. Namun Athar tidak peduli. Sudah hampir dua jam ia berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, mencari seseorang yang bahkan jejaknya pun seolah menghilang begitu saja-Melody. Ia baru saja turun dari mobil di depan sebuah rumah bercat abu-abu. Di teras, seorang perempuan muda- teman kuliah Melody menatapnya ragu. " Maaf, kak Athar...aku benar-benar nggak tahu Melody ke mana. Terakhir kali kami ngobrol itu, seminggu sebelum hari pernikahan kalian," ujar perempuan itu pelan, menunduk. Athar menarik napas panjang, menatap tanah beberapa detik sebelum akhirnya berkata lirih, " Dia gak pernah cerita apa pun? Tentang masalah, atau... sesuatu yang membuatnya pergi begitu saja?" Perempuan itu menggeleng. " Tidak. Justru dia kelihatan bahagia waktu itu. Kami bahkan sempat bercanda soal gaun nikahnya." Jawaban itu justru menambah berat di dada Athar. Ia mengucapkan te

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 06. 🌻 Suasana siang di gang sempit kawasan kontrakan itu awalnya begitu biasa. Angin membawa aroma kuah seblak dari ujung jalan, suara-suara anak kecil yang bermain bola plastik bersahutan, dan di teras rumah Bu Reni, tiga ibu sedang duduk melingkar sambil menikmati seblak dan juga teh manis dingin juga membicarakan hal-hal tidak jauh dari urusan orang. Namun tiba-tiba, suara mesin mobil mewah terdengar mendekat. Warna hitam mengilap dari bodinya membuat kepala semua orang spontan menoleh. Mobil itu berhenti tepat di depan rumah kecil berdinding hijau pucat milik Bu Dasimah. " Lho, itu bukan mobil murah, Bu. " Gumam Bu Reni sambil melongok dari kursinya. " Iya-iya...mobil orang kaya itu, " timpal Bu Sumi, matanya membulat penasaran. " Eh, bukannya itu rumah Bu Dasimah? " " Iya. Tapi siapa yang mau datang ke rumah kecil begitu pake mobil bagus gitu, ya?" sahut Bu Rina yang paling muda diantara mereka, nada suaranya meninggi setengah berbisik. Mereka terdiam sejenak,

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 05. 🌻 Pagi itu menyapa dengan lembut- langit Jakarta berwarna biru muda, dihiasi sinar mentari yang menetes hangat di sela jendela kaca rumah besar keluarga Ardian. Suara burung gereja terdengar samar, kalah oleh gemuruh kendaraan di kejauhan. Namun di dapur yang harum oleh aroma tumisan bawang dan nasi hangat, suasana terasa begitu damai. Aylin berdiri di depan kompor dengan apron lusuh yang dipinjam dari Bi Jumina. Tangannya cekatan mengaduk wajan, bibirnya menyenandungkan nada kecil yang hampir tenggelam oleh desir uap panas. Hari ini ia menyiapkan sarapan- bukan roti panggang dan susu hangat seperti biasanya, tapi nasi putih hangat, telur dadar keemasan, sambal goreng tempe, dan sup bening yang mengeluarkan wangi menenangkan. “Non Aylin, ndak usah repot-repot. Biasanya cuma roti sama susu aja, kok,” ucap Bi Jumina dari meja makan, suaranya penuh kekhawatiran sekaligus kagum. Aylin menoleh, tersenyum lembut. “Saya terbiasa makan nasi, Bi. Kalau belum makan nasi rasa

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 04. 🌻 Aylin melangkahkan kakinya perlahan menaiki anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan kamar tidur milik suami dadakannya. Setiap langkah terasa berat, seperti membawa segunung keraguan dan rasa asing yang menyesakkan dada. Begitu sampai di depan pintu kamar, Aylin berhenti. Jemarinya sempat ragu, tapi akhirnya ia mengetuk pintu dua kali dengan lembut. Sunyi. Ia berniat mengetuk sekali lagi ketika sebuah suara dari belakang mengejutkannya. " Non, itu kamarnya Tuan muda. Nggak usah di ketuk segala, " ujar seorang wanita tua bertubuh gempal sambil tersenyum lebar. Di tangannya, ia membawa nampan berisi dua gelas susu hangat yang masih terlihat kepulan asap tipis. Aylin menoleh cepat. Wanita itu tampak ramah, dengan wajah bulat dan sorot mata yang hidup. " Saya Bi Jumina, " katanya kemudian, " pengurus rumah tangga disini. Dulu, ikut sama almarhumah ibu Tuan muda dari Jawa Tengah." Nada suaranya terdengar hangat tapi menggoda, seolah mengerti betul bagaima

  • PASUTRI MAGANG    PASUTRI MAGANG

    BAB, 03. 🌻 Aylin Zahira Anindya adalah sosok perempuan berusia dua puluh tujuh tahun yang hidupnya diwarnai perjuangan dan kesederhanaan. Sejak ayahnya meninggal beberapa tahun lalu, ia tinggal bersama sang ibu yang kini sakit-sakitan karena riwayat lambung yang sudah parah, serta adik laki-lakinya, Raihan, di sebuah kontrakan kecil di sudut kota Jakarta. Setiap pagi, Aylin berangkat lebih awal menuju tempat kerjanya sebagai asisten perias pengantin. Upahnya tidak besar, namun cukup untuk membayar uang kontrakan dan sedikit kebutuhan rumah tangga. Sementara itu, Raihan bekerja sebagai supir angkot, berkeliling jalanan panas dan macet ibu kota demi membawa pulang uang yang pas untuk makan sehari-hari mereka bertiga. Meskipun hidup dalam keterbatasan, Aylin tetap menjadi perempuan kuat, cerdas dan juga berparas cantik. Sifatnya yang lembut dan penuh kasih membuat siapa pun yang mengenalnya merasa nyaman. Ia jarang mengeluh, bahkan ketika lelah menekan pundaknya, ia masih mampu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status