"Usapkan ke wajah beliau, Bung." Roni menuruti instruksi Iwan. Segera diambilnya lagi botol yang ada di lantai itu, isinya masih ada sepertiga lagi. Lalu menuangkan ke telapak tangannya dan mengusapkan pada wajah Pak Darma. Beliau mulai agak tenang setelah wajahnya diusap dengan air yang sudah dibacakan doa ruqyah.
"Ya sudah, biarkan dulu. Kita urus jasad ini terlebih dahulu," kata Ustad Imam, dia menghela nafas juga menggelengkan kepala melihat Pak Darma yang masih terduduk dan menggumamkan penyesalannya.
Kedua peti itu berisi jasad dua bocah yang sudah mengering layaknya mumi. Dengan posisi kepala mendongak ke atas, mata melotot juga mulut yang menganga. Kedua tangan dan kaki kedua bocah itu bentuknya menekuk. Sama persis dengan jasad Bu Wati.
"Bapak sepertinya sangat bersalah atas apa yang sudah terjadi selama ini. Dia terus saja meracau sampai tertidur sendiri." Roni menghela nafas mendengarnya."Bagaimana Ustad? Kira-kira apa yang harus kita lakukan?" tanya Roni pada Ustad Faruk dan Ustad Imam.Cukup lama mereka semua menunggu jawaban dari sang Ustad. Sang Ustad sedang memikirkan, solusi terbaik untuk Pak Darma. "Sebaiknya, jangan biarkan Bapak dalam keadaan sendirian. Rasa bersalahnya yang terlalu besar, takutnya bisa membuka jalan bagi jin kafir untuk kembali menyesatkannya."Roni menutup wajahnya, mengusap-usapnya dengan kasar. Sepelik ini ternyata berurusan dengan makhluk Allah yang dilaknat itu."Mas Roni, makan siang sudah
Mereka semua reflek menoleh ke arah sumber suara yang membuat Roni menghentikan kata-katanya. Suara itu berasal dari kamar Pak Darma. Suara itu suara Pak Darma. Yang berteriak lantang, memaki pada Iblis yang sudah menjeratnya.Spontan mereka semua bergerak, dengan langkah cepat menuju kamar Pak Darma. Belum lagi mereka sampai ke kamarnya, Pak Darma sudah keluar dengan wajah beringas. Terlihat marah sekali. Pak Darma berlari ke arah luar rumah. Mereka semua ikut berlari mengejarnya."Pak! Mau kemana?" tanya Roni sambil berusaha mengejar Pak Darma.Pak Darma tak mempedulikan panggilan Roni. Dia terus saja berlari, dia berlari ke arah gudang, seperti mencari-cari sesuatu. Pak Darma kelihatan sibuk, matanya liar melihat kesana kemari. Dengan dada yang b
"Bawa Bapak ke dalam!" titah Ustad Faruk.Roni langsung memapah Pak Darma yang kelihatan sangat tak berdaya. Dibantu Iwan, yang dengan sigap ikut memapah Pak Darma dari posisi yang berlawanan. Pak Darma masih dalam keadaan sadar. Tapi seperti tak bertenaga. Dia benar-benar mengalami luka batin yang sangat berat.Dewi segera membuat teh hangat juga membawakan handuk kecil, untuk mengelap wajah Bapak mertuanya. Diserahkannya handuk itu ke tangan Roni. Roni dengan telaten mengelap wajah Bapaknya, juga tangannya. Ada kristal bening yang siap melesak dari matanya. Tapi berusaha ditahan sekuat tenaga, dia tak boleh cengeng dihadapan Bapaknya. Karena dia harus menjadi pundak bagi Bapaknya sekarang.Tak pernah Roni melihat Bapaknya terpuruk seperti ini. Biasanya Pak Darm
"Mas mau cari informasi dari Bulek Ipah. Bisa saja dia tau sesuatu. Selama ini pun, Bulek Ipah tak pernah bercerita kalau Mas punya dua orang kakak yang sudah meninggal. Apalagi Mas baru tau, kalau Mas bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan," papar Roni dengan pandangan menerawang.Dewi mengerti maksudnya. Bukan hanya Roni, Dewi pun sangat ingin tahu. Dewi merasa ada keterkaitan atas semua yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mengingat kata-kata Pak Darma untuk mencari Bu Wiyah."Mas, kita cari Bu Wiyah yuk," ajak Dewi. Pandangan Roni langsung beralih pada istrinya.Roni menatap Dewi lekat, tepat di manik matanya. Dewi tak berani beradu pandang berlama-lama dengannya. Dia menunduk, menghindari tatapan Roni, yang seakan menyi
Siang ini Roni dan Dewi bersiap mau pulang ke kampung halaman Bu Wati. Rasa penasaran mereka tak bisa dibendung lagi. Banyak pertanyaan yang belum mereka temukan jawabannya. Sementara Pak Darma, orang yang seharusnya bisa mereka harapkan untuk memberi jawaban. Sedang dalam masa pengobatan di Pesantren. Mental Pak Darma sangat terguncang. Membuat Pak Darma belum bisa untuk diajak berkomunikasi dengan baik.Saat ini hanya satu tujuan mereka, Bu Ipah. Ya, siapa tau Bu Ipah bisa memberikan jawaban. Dewi masih merasa heran. Kenapa Bu Ipah tak pernah memberi tahu perihal kuburan Danu dan Suci kepadanya. Padahal dulu, saat dia masih remaja, dia sering menginap di rumah Bu Ipah."Mas, kamu yakin … kita naik motor ke kampung? Apa tak sebaiknya kita bawa mobil saja?" tanya Dewi. Tangannya sibuk memasukkan beberapa potong baju gant
"Hehhh, sampai kapan Bapak seperti itu?"[Sabar Bung. Banyak-banyak berdoa, semoga Allah segera mengembalikan kesadaran Pak Darma. Tadi kau bilang mau minta tolong, Bung. Minta tolong apa?]"Aku mau minta tolong, lihat-lihat rumahku untuk beberapa hari ini. Aku akan berangkat ke kampung siang ini. Ada hal yang harus aku urus."[Insha Allah, besok aku kesana. Masih ada sedikit pekerjaan di sini]"Apa gak bisa sore ini atau nanti malam Wan? Bik Jum takut ditinggal. Mungkin dia masih teringat kejadian kemaren."[Aku usahakan. Kalau nanti aku sudah selesai di sini. Aku langsung ke rumahmu]
"Yang, kita jalan kaki saja ya!" Roni berbicara dengan agak berteriak agar Dewi bisa mendengar."Iya." Dia juga menjawab dengan agak berteriak.Tak mungkin mereka bertahan di tengah hujan deras seperti ini. Menunggu ada yang lewat pun rasanya sangat kecil kemungkinan. Siapa yang mau keluar rumah, saat cuaca buruk begini.Roni terpaksa menuntun motornya. Beberapa kali Roni harus terjerembab. Jalannya sangat licin. Tapak sepatunya sudah dipenuhi lumpur, sehingga membuat langkahnya jadi berat.Mereka diam saja sepanjang jalan, apa yang mau diobrolkan, saat begini? Bisa-bisa pita suara mereka rusak. Akibat teriak-teriak. Dewi sangat takut, dia memegang erat bagian belakang mantel hujan Roni
"Mas mau cari informasi dari Bulek Ipah. Bisa saja dia tau sesuatu. Selama ini pun, Bulek Ipah tak pernah bercerita kalau Mas punya dua orang kakak yang sudah meninggal. Apalagi Mas baru tau, kalau Mas bukan anak kandung Bapak sama Ibu. Banyak hal yang masih menjadi pertanyaan," papar Roni dengan pandangan menerawang.Dewi mengerti maksudnya. Bukan hanya Roni, Dewi pun sangat ingin tahu. Dewi merasa ada keterkaitan atas semua yang telah terjadi dengan dirinya. Dia masih mengingat kata-kata Pak Darma untuk mencari Bu Wiyah."Mas, kita cari Bu Wiyah yuk," ajak Dewi. Pandangan Roni langsung beralih pada istrinya.Roni menatap Dewi lekat, tepat di manik matanya. Dewi tak berani beradu pandang berlama-lama dengannya. Dia menunduk, menghindari tatapan Roni, yang seakan menyi