Share

Demam Biasa Atau Demam Naufal?

"Kukuruyuukkkk!"

Suara ayam jago tetangga membangunkanku. Namun ada yang aneh. Aku mendengar suara 'ngorok' yang entah darimana datangnya. Aku mencari-cari asal suara itu hingga aku menemukan handphone-ku yang.... masih tersambung dengan Naufal. Aku terkejut setengah mati. Jadi telponnya tidak mati semalaman? Astaga!

Aku mencoba tenang, kuangkat pelan-pelan handphone-ku sepelan mungkin agar Naufal tidak terbangun. 

"Kayra?" Astaga! Aku terkejut lebih hebat dari sebelumnya hingga tanpa sadar menjatuhkan handphone-ku.

"Kayra? Udah enakan badannya?" ucap bunda yang entah sejak kapan berada di pintu kamarku. 

"Udah bunda, tapi masih nggak enak," jawabku.

Bunda mengangguk. "Keluar ya, bunda masakin bubur," ucap bunda lagi. Aku hanya mengangguk seraya melihat bunda keluar dari kamar. Setelah bunda keluar, aku buru-buru mengambil kembali handphone yang jatuh ke lantai. Sial.

"Hufftt, untung nggak kenapa-kenapa," ucapku pelan.

"Kay, udah bangun?" Sial. Itu suara Naufal. Dia terbangun? Demi apa aku benar-benar deg-degan.

"Udah Fal," jawabku. 

"Kau nggak sekolah?"

"Enggak, aku libur dulu deh."

"Bagus, kau emang harus istirahat Kay," ucapnya.

Ini mimpi atau bukan, sih? Jadi ini yang selama ini dikatakan Sabil dengan julukan sleepcall? Terhubung dengan telepon sepanjang malam? Bagaimana jika malam tadi aku mengigau? Sial. 

"Makasih Fal," jawabku. "Maaf juga buat kau terbangun."

Naufal tertawa. Suaranya benar-benar mampu membuatku candu jika seperti ini terus. "Harusnya aku bilang makasih, kalau handphone-mu nggak jatuh mungkin aku bakal kesiangan," jawabnya.

Aku hanya mendengus mendengarnya. Beberapa saat kemudian Naufal memutuskan teleponnya dengan alasan hendak bersiap ke sekolah. 1 hal yang harus kutekankan, aku belum pernah bertemu dengan Naufal. Jadi ini tidak bisa dijadikan alasan untuk aku jatuh cinta secepat ini padanya. 

Aku melihat log panggilanku. 7 jam telepon. Sepanjang itu? Kenapa Naufal tidak memutusnya? Sial, aku benar-benar mengalami sleepcall yang selama ini aku anggap hal bodoh dan sia-sia. Aku selalu mengejek Sabil jika ia bercerita padaku tentang keseruan sleepcall-nya. Dan lebih bodohnya lagi, kini aku sendiri melakukannya. Hal bodoh yang kini dilakukan oleh orang bodoh. Bukan begitu?

-

Aku menghabiskan hariku dengan tidur di ranjang. Kupikir hari ini aku akan merasa lebih baik. Ternyata tidak. Bunda memanggil dokter klinik tadi dan dia mengatakan aku harus mendapat suntikan agar lebih bertenaga. Obat yang entah macam apa saja bentuknya pun harus kutelan. Tentu saja dengan bubur buatan bunda yang enak namun terasa hambar saat ini.

Aku mengambil handphone dan melirik jam. Pukul 12.03 WIB. Harusnya ini waktu istirahat di sekolah. Aku mencari nama Alin dan hendak meneleponnya. Namun tiba-tiba sebuah notif pesan baru masuk.

Angin : [Take a rest Kayra, Get well soon]

Deg! Dia lagi. Bagaimana dia bisa tahu kalau aku sakit? Ah sudahlah. Kali ini aku hanya melirik pesannya tanpa membuka. Aku melanjutkan mencari nama Alin dan meneleponnya.

"KAYRAAAAA!!!!" teriaknya di seberang. Benar-benar teriakan kencang sampai aku harus menjauhkan sedikit handphone-ku dari telinga. 

"Gila, kangen?" ucapku.

"Gimana? Udah mendingan?"

"Belum," jawabku. "Aku bosen," lagi.

"Hahahah! Makanya jangan sakit dong!" ledek Alin. Aku hanya diam saja.

"Tadi Reyza mencarimu," lanjut Alin. Mataku sedikit terbelalak. 

"Aku?" jawabku.

"Yap. Dia nanya, Kayra mana?"

"Terus kau jawab?"

"Ya aku jawab lah kau sakit!" ujar Alin.

Aku terdiam. Untuk apa Reyza mencariku? Ada perlu kah? Seketika aku teringat dengan pesan dari Angin. Aku membukanya.

Kayra : [Makasih.]

Suara riuh jam istirahat masih terdengar di tempat Alin. Dan tiba-tiba aku merindukan sekolah. Aneh, padahal baru sehari aku tak masuk. 

"Kau pengen makan apa?" tanya Alin.

"Hmmm, apa ya? siomay kantin, aku kangen," jawabku. "Ini juga, telor gulung yang kemarin kita beli," ujarku lagi.

"Baik, siap bos! Nanti pulang sekolah aku kesana. Shareloc dong!" ujar Alin.

"Beneran? Janji ya?!" ujarku kegirangan.

Setelah memastikan janjinya, Alin memutus telponnya. Bel masuk kembali terdengar olehku dari seberang sana. Aku sedikit menyesal tidak sekolah. Tapi tak apalah, lagian badanku lemas sekali hari ini.

Aku tidak punya nafsu makan sama sekali hari ini. Bubur yang dimasak bunda kubiarkan mendingin begitu saja. Aku hanya ingin makan siomay, dan bertemu temanku. Entah itu Sabil, Aul, atau Alin. Benar juga. Sudah lama aku tak berkumpul dan quality time dengan Sabil dan Aul. Hanya beberapa hari yang lalu. Itu juga kami hanya main di taman kota sambil minum kopi susu yang kami beli di minimarket. Hufftt, mereka pasti sibuk dengan sekolahnya. Tapi sudahlah, aku juga punya Alin. Teman baru yang sangat terbuka denganku. Ia menceritakan segalanya dan berbagi kebahagiaan denganku. Setidaknya aku menikmati perkenalanku meskipun belum genap sebulan lamanya aku mengenalnya. Satu hal lagi, ia telah berusaha menghadirkan sosok yang dia kira bisa menjadi cinta pertamaku. Usaha yang bagus bukan? Ya, meskipun sampai saat ini aku belum merasakan hal spesial apapun.

Aku mengambil handphone dan mencari kontak Sabil dan Aul. Kami punya grup chat yang entah sejak kapan menjadi sepi.

Kayra : [Guys, aku demam. Kalian nggak punya niatan jenguk aku?]

Aku menutup handphone. Mustahil mereka langsung menjawab chat-ku. Ini masih jam belajar. Aku memutuskan untuk mendengarkan musik dan menutup mataku yang panas. Menarik selimut dan menggulung badanku sehangat mungkin. Hari ini panas, tapi entah kenapa aku merasakan suhu dingin yang menusuk tulang. 

Aku terbangun ketika bunda mengetuk pintu kamarku.

"Kayra, temenmu datang tuh," ucapnya.

Aku membuka mataku. Di depanku sudah berdiri Alin yang membawa dua bungkusan plastik. Dari aromanya aku sudah bisa menebak. Itu pasti siomay kantin sekolahku dan telor gulung. Aku membuka mataku lebih jelas. Dan tebak, aku menemukan apa. Aku melihat Alin tidak sendirian disana. Iya! Dia tidak sendirian. Tepat di belakangnya aku melihat laki-laki tinggi yang wajahnya tak asing. Benar! Itu Naufal!

Aku terkejut dan seketika terduduk di ranjang. Kulihat Alin tersenyum menahan geli. Bunda mendekatiku dan meraba dahiku.

"Belum turun panasnya," ujarnya. "Nah, bunda pergi dulu ya Alin. Selamat bersenang-senang!" ucap bunda lagi.

Alin mengangguk, "makasih bunda," ucapnya. 

Bunda berjalan menuju pintu sambil memberi isyarat kepadaku. Dia menunjuk Naufal seraya memperlihatkan senyum ledeknya. "Naufal!" ucapnya tanpa suara. Ia lalu mengedipkan sebelah matanya dan pergi dari kamarku. Aku hanya bisa menatap bunda dengan wajah datar karena tak tahu harus merespon seperti apa.

"Kayra! Nih pesananmu," ujar Alin sambil menarik dua kursi mendekat ke tempat tidurku.

"Makasih Lin," jawabku. Aku melirik pada Naufal. Dia tersenyum melihatku.

"Gimana bisa sama Naufal?" tanyaku sambil membuka bungkusan yang diberikan Alin.

"Aku yang meminta ke Alin buat ikut," jawab Naufal.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Naufal mendekatiku. Dia mendekat dan meletakkan telapak tangannya di dahiku. Deg! Aku sedikit tersentak namun tak bisa menolak. Aku tak pernah membayangkan sebelumnya bisa melihat Naufal sedekat ini. Ritme jantungku semakin tak karuan. Dalam suasana canggung itu, aku melihat Alin yang berdiri di sudut dengan senyum sumringah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status