Compartir

PDKT di Sarang Monster
PDKT di Sarang Monster
Autor: smooothis

NOTE 1 KEJAR!

Autor: smooothis
last update Última actualización: 2025-11-25 12:37:27

“MBAK! TUNGGU!” 

Dimas berlari, napasnya memburu. 

Di depannya, sosok gadis bercadar hitam itu bergerak cepat, melangkah lebar menaiki jalanan yang menanjak. 

Kenapa lari?! Apa salahku?

Tas punggung dan kantong belanjaan besar di tangan kanan Dimas—berisi waifu edisi terbatas—terayun-ayun tak terkendali. 

Dikit lagi! Dikit lagi!

Dimas mengulurkan tangan kirinya, mencoba meraih lengan gadis itu. Jaraknya hanya tinggal sejengkal. Tidak menyadari tali kantong yang tipis mulai meregang, hingga menjerit tak mampu lagi menahan beban mainan mahalnya. 

Sebuah kotak action figure terlepas dari situ, menghantam aspal dengan kasar. Dan—karena jalanan turun—kotak itu langsung menggelinding ke bawah dengan kecepatan yang menyebalkan.

“WADUH! MAI-CHAN!”

Dimas membeku. Dilema paling horor dalam hidupnya.

Ia menoleh ke bawah. Waifu-nya, patung ninja Mai Shininjapi seharga cicilan motor, menggelinding menjauh. Ia menoleh ke atas. Si gadis bercadar sudah hampir sampai di puncak, tempat halte bus berada.

Sial! Sial! Sial! Pilih, Dimas, pilih! Cintaku atau … gadis itu?!

Instingnya mengambil alih. Dengan jeritan tertahan, Dimas berbalik dan berlari menuruni jalanan, mengejar kotaknya. “Tunggu! Istriku!”

Ia baru berlari beberapa langkah ke bawah saat ia melirik ke atas lagi. Ragu.

Gadis itu sudah sampai di halte. Sebuah bus kota berwarna hijau berhenti tepat di depannya. Pintu bus terbuka.

Aduh! Tidak ada waktu!

Dimas berhenti berlari. Ia menatap nanar kotak mainannya yang terus menggelinding, pasrah. Lalu ia memejamkan mata sejenak, hatinya menjerit.

Maafkan aku, Mai!

Tanpa menoleh lagi ke belakang, ia memfokuskan seluruh sisa tenaganya, berbalik, dan berlari menanjak sekuat tenaga. Sayangnya, takdir sepertinya hobi sekali mengerjainya.

Tepat saat ia hampir mendekat, pintu bus tertutup. Si gadis sudah naik.

Dimas menambah kecepatan, tangannya menggapai-gapai udara.

“Tungguuu! Pak! Berhenti, Pak!”

Percuma. Bus itu menjawabnya dengan kepulan asap hitam tebal sebelum melaju pergi.

Dimas refleks menghentikan langkahnya. Untuk sesaat ia tak lagi memikirkan bus itu. Sesuatu yang lain merebut perhatiannya.

Asap itu.

Asap hitam pekat yang ditinggalkan bus tadi tidak menipis. Tidak menyebar ditiup angin. Justru sebaliknya. Asap itu menggumpal di tengah jalan, memadat, berdenyut pelan seperti sesuatu yang hidup. Jelaga hitam itu menarik debu dan kerikil dari aspal, lalu mulai meninggi.

Ia membentuk sebuah siluet. Sesuatu yang samar-samar menyerupai postur manusia, tapi terlalu tinggi dan bengkok. Bagaikan bayangan yang berdiri tegak di siang bolong, sosok itu menoleh, menatap Dimas.

Dimas membeku. Seluruh darah di wajahnya serasa ditarik keluar. Rasa putus asa kehilangan si gadis seketika lenyap, tergantikan oleh jenis teror yang jauh lebih primal

Oh, tidak. Jangan sekarang.

Tangannya gemetar hebat memasang masker respirator ke wajahnya. Dengan gerakan panik dan terburu-buru, ia membentangkan tali-talinya dan memasangkannya ke wajah, menekan segelnya kuat-kuat.

KLIK. HSSSS.

Begitu kedua cartridge filter terpasang dengan benar, ia menarik napas pertamanya yang bersih dan steril. Ia memberanikan diri membuka mata yang tadi terpejam erat.

Sosok itu ... berangsur menghilang.

Awan jelaga yang tadi menggumpal itu lenyap tak berbekas, tersedot kembali ke dalam aspal, meninggalkan Dimas sendirian di sana, terengah-engah di balik masker setengah robotnya.

Belum puas bernapas lega, ia melihat pemandangan yang memacu jantungnya lagi: bus hijau itu kini hampir terlihat seperti titik, semakin menjauh di ujung jalan.

Sial, aku harus cepat.

Saat itulah matanya menangkap satu-satunya harapan: seorang abang ojek online yang sedang mangkal di bawah pohon, asyik mencet-mencet layar ponselnya. Tanpa pikir panjang, Dimas berlari menghampirinya.

“Bang! Kejar bus ijo di depan itu, Bang! Cepet!” seru Dimas sambil menunjuk-nunjuk.

Si abang ojol bermuka bulat berkumis tebal ini bahkan tidak mau repot-repot menoleh. “Lewat aplikasi, Mas,” katanya sambil sibuk main geser-geser permen di layar.

“Nggak sempet, Bang! Ini darurat! Nanti keburu ilang!”

Si abang akhirnya mengangkat kepala, menatapnya dengan tenang, dari ujung rambut sampai ujung sepatu. “Darurat?” Seulas senyum licik tersungging di bibirnya. “Banget?” 

Sepercik harapan muncul di wajah Dimas. “Iya, Bang, darurat tingkat dewa ini!”

Si abang memasang muka prihatin yang dibuat-buat. “Waduh, kalau setingkat itu ya ….” Ia berhenti bicara, lalu menggesekkan ibu jarinya ke telunjuk dan jari tengah. Sebuah gestur purba yang artinya cuma satu.

Dimas langsung paham. Ia merogoh sakunya, mengeluarkan dompet, dan menyodorkan lembaran uang terbesarnya. “Nih, Bang! Seratus ribu! Tunai!”

Si abang melirik uang itu, lalu mendengus. “Cepek buat ngebut-ngebutan? Walah, resiko, Mas. Kena tilang, bensin, belum kalo nyerempet.”

“Dua ratus!” tawar Dimas lagi, suaranya serak makin putus asa.

Si abang tampak berpikir, mengelus-elus dagunya seolah sedang menimbang proposal bisnis miliaran rupiah. “Masalahnya, saya lagi nunggu orderan prioritas, e,” katanya dengan tampang belimbing wuluh.

Dimas pasrah. Ia merogoh semua uang di dompetnya. “Nih! Tiga ratus empat puluh lima ribu lima … eh, tujuh ratus perak! Semua duitku! Ambil, Bang! Ayo berangkat!”

Si abang menatap tumpukan uang dengan jumlah yang sangat spesifik itu. Ia tampak ragu. “Nanggung amat, Mas. Digenepin empat ratus ribu gitu kan enak ….”

Tepat saat Dimas hendak mengumpat, terdengar suara motor mendekat. Seorang ojek lain hendak ikutan mangkal. 

Seketika, sikap si abang ojol berputar 180 derajat kayak kepala burung hantu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung menyambar tumpukan uang dari tangan Dimas.

“OKE, DEAL! NAIK, MAS! CEPET!” suaranya terdengar panik.

Dimas, yang masih agak bingung dengan perubahan drastis itu, buru-buru naik ke jok belakang. 

“Pegangan, Mas, kita gasken!”

Motor matic itu melesat, mesinnya meraung-raung kayak jagoan Bollywood. Tapi percuma, jarak mereka sudah terlalu jauh. Tepat di persimpangan, bus itu menyalakan sein kiri dan berbelok, lenyap di balik bangunan.

“Yah! Ilang, Bang!” jerit Dimas panik.

“Santai, Mas.” Si abang ojol dengan ketenangan seorang maestro berbelok tajam ke kiri, masuk ke sebuah gang perkampungan yang lebarnya cuma pas buat satu motor.

“Lho? Kok lewat sini?”

“Ini namanya jalan tikus, Mas,” jawab si abang sambil menaikkan alisnya dua kali.

Bener aja. Tak jauh di depan mereka, seekor induk tikus got seukuran anak kucing bersama lima bocilnya sedang menyeberang gang dengan riangnya.

Dimas tak sadar meremas pundak si abang ojek. “ADA TIKUS, BAAAAANG!”

“MINGGEEEER!” Persona cool si abang ojol hancur berkeping-keping. 

Alih-alih ngerem, si abang justru refleks tancap gas. Melindas polisi gendut yang tiduran di depan mereka buat bikin momentum lompat. Untuk sepersekian detik, Dimas dan si abang jadi duo akrobat dadakan, melayang  di atas keluarga tikus yang lari kocar-kacir. Dimas hanya bisa memejamkan mata, kakinya diangkat setinggi mungkin, merasakan sensasi terbang yang bikin anunya linu.

GEDEBRUS!

Roda belakang menghantam aspal duluan, mengirimkan guncangan hebat sampai ke tulang ekor. Motornya oleng liar, setangnya bergoyang-goyang kayak orang kesurupan. Tapi dengan kombinasi rem, gas, dan doa orang tua, si abang berhasil menstabilkan motornya kembali.

Mereka balik ke jalan besar. Harapan Dimas membuncah tinggi saat melihat sebuah bus hijau di depan. “Itu dia, Bang!” Serunya penuh semangat.

Tapi seketika ambyar saat motor mereka mendekati perempatan lampu merah. Di hadapan mereka, berjajar rapi, bukan cuma satu, tapi tiga bus kota kembar berwarna hijau.

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 7 ANOMALI

    Gadis itu tampak tenggelam sepenuhnya dalam misi absurd menuntun seekor bekicot ke tempat aman. Seluruh dunianya seolah menyempit, hanya tersisa dia dan si hewan berlendir itu.Namun bagi Dimas, magnet sesungguhnya ada pada sosok bergamis hitam di depannya.Apalagi kalau dilihat dari samping seperti ini. Dimas bisa melihat dengan jelas bagaimana setiap kali kelopak mata gadis itu mengerjap pelan, barisan bulu matanya yang lentik ikut berayun lembut—seperti kipas sutra yang menyihir.Aku harus ngomong sesuatu nggak, ya? Tapi apa? Nanti kalau dia ilfeel gimana? Dalam keputusasaan itu, batinnya menjerit. Woy! Setya, di saat-saat penting gini kamu di mana?! Nama "Setya" yang terlintas di benaknya itu bekerja seperti saklar yang dinyalakan mendadak.Eh, tadi kan telponan sama dia?Dimas tiba-tiba teringat pada ponselnya. Ia menengok ke belakang. Beneran.Di sana, tergeletak pasrah di atas kerasnya trotoar, “setan gepeng” itu tampak mengenaskan. Layarnya menghadap ke atas, menampilkan ret

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 6 GADIS BERCADAR

    Otak Dimas langsung sibuk memproses semua file gosip yang pernah ia dengar. Katanya mereka itu punya “geng” sendiri. Kalau diajak salaman pasti nolak, ngobrol cuma sama yang sejenis, terus kalau ngeliatin orang tatapannya galak. Hidupnya kaku, isinya cuma pengajian sama aturan-aturan ketat. Mereka nggak nongkrong di kafe, nonton bioskop, maraton anime, dan tentu saja, nge-game semaleman.Dimas baru ingat, barusan ada bubaran acara di masjid yang ia lewati; gadis ini pasti salah satu dari mereka. Dimas nggak pernah sekalipun punya minat, apalagi rencana, untuk berinteraksi dengan kaum ini.Tapi sekarang, di sini, salah satunya sedang berdiri di depannya. Habis menyelamatkan nyawanya. Gara-ga

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 5 BEKICOT

    “GUOBLOOOK AS#XB%*^@!” Dimas berjalan lemas mendengarkan caci makian koleksi kebun binatang Setia dengan pasrah. Mungkin dia memang pantas mendapatkannya. Ya, kan? Nggak ada harapan lagi buat punya cewek, batinnya getir. Mereka semua wanginya kayak monster.Bagi Dimas, semua aroma berbahaya. Tapi musuh-musuhnya punya kasta.Bau sampah, keringat abang becak, atau pipis kucing? Itu cuma level kroco. Monster yang serangannya tumpul. Dimas masih bisa menahannya dengan bernapas pendek-pendek.Tapi parfum?Beda level. Mereka adalah penipu ulung. Di hidung orang normal, parfum adalah wewangian yang menyenangkan. Tapi di sensor hiperosmia Dimas, campuran zat kimia sintetis itu bermutasi menjadi makhluk yang jauh lebih mengerikan.Contohnya monster si cewek di taman tadi.Kepalanya mungkin berbentuk mawar raksasa yang cantik, tapi kelopaknya bukan lembaran bunga indah, melainkan mulut besar dengan ribuan gigi tajam. Batang-batangnya yang penuh duri bakal menusuk hidung dan memeras paru-paru

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 4 TAKE A CHANCE

    Dimas duduk lemas di trotoar. Dari sakunya, ia mengeluarkan botol kecil berisi pil andalan anti mual; latihan bertahun-tahun membuatnya fasih menelan obat-obatan itu tanpa air. Setelah beberapa detik, ia memakai tameng andalannya: sebuah masker respirator industrial setengah wajah. Masker biasa? Gak level. Masker ini di sisi kanan kirinya nempel dua kartrid yang isinya karbon aktif, arang sakti yang tugasnya nyedot semua bebauan. Mau asap knalpot, comberan, sampai aroma sate legendaris di ujung jalan—semua di-end dari realita.Hadirin sekalian, perkenalkan: Dimas. Seorang sarjana yang baru hunting kerjaan, dibekali ijazah dan sebuah kutukan bernama hiperosmia. Baginya, indra penciuman bukanlah anugerah, melainkan neraka personal di mana setiap bau menyengat bisa berevolusi. Di dalam otaknya, asap kendaraan bisa jadi raksasa bersenjata gada dan aroma pete menjadi monster tanaman yang siap menembakkan peluru penderitaan.Dengan satu tarikan tegas spidol hitam, Dimas mencoret satu nama

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 3 HOEK

    Kenapa aku sampe gemeteran sama toko parfum? Sebenernya udah lama aku musuhan sama semua bau. Nggak cuman parfum. Tapi trauma ini mendadak naik level gara-gara rentetan kerusuhan pagi tadi.Ingatan Dimas melayang mundur.Saat itu, di ruang HRD studio digital printing, Dimas berusaha duduk tegap. Di depannya ada om-om yang gayanya udah kayak yang paling punya kantor. Kakinya nangkring santai di atas meja, nunjukin sol sandalnya yang semulus pipi artis Korea. Di situ tertempel noda cokelat misterius. Mudah-mudahan bukan eek kucing.Si om HR membolak-balik CV Dimas dengan kecepatan siput, seolah sedang meneliti naskah kuno. Tatapan matanya kosong kayak isi dompet akhir bulan. Dimas melirik jam dinding di sebelah kirinya; sudah sepuluh menit lebih jarumnya bergeser dalam keheningan. Mumpung nganggur, ia pun mengamati sekitar. Ruangan ini ternyata multifungsi: ruang kerja, gudang, sekaligus sauna. Tumpukan kertas dan gulungan spanduk membentuk lanskap pegunungan di setiap sudutnya. Satu

  • PDKT di Sarang Monster   NOTE 2 TAKDIR

    “Waduh, ini mah K-Pop, Mas. Tampangnya sama semua,” keluh si abang ojol, semangatnya amblas.Mampus. Yang mana, nih?! Matanya melesat liar dari satu bus ke bus lainnya.Si abang ojol menunjuk ke depan, ke layar countdown timer lampu lalu lintas."Gawat, Mas," katanya sambil menelan ludah. "Itu bentar lagi ijo. Masalahnya, ini perempatan besar. Semua bus itu bakal mencar, Mas."Ia menoleh ke Dimas. "Mas cuma punya waktu 15 detik buat nentuin mau buntutin yang mana. Mas tadi sempet liat nomor jurusannya, nggak?"Dimas blank. Lupa memperhatikan detail seperti itu. Alhasil abang ojek langsung membuang muka sambil meluncurkan komentar-komentar tidak membangun.Dimas belum menyerah. “Bang, jalan pelan-pelan di samping bus,” nadanya tegas kayak komandan pasukan khusus. “Aku cek penumpangnya.”Rencana rempong itu pun dijalankan. Dimas bangkit berdiri di pijakan kaki belakang, berpegangan pada bahu si abang. Sesekali badannya goyang, berusaha menjaga keseimbangan. Motor mereka merayap pelan d

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status