LOGINDan di sinilah pengejaranku berakhir.
Dari wawancara terkutuk pagi tadi, sampai pertemuan ajaib di jalan menanjak barusan, semuanya bermuara pada satu tempat ini. Tepat di depan mataku.
Lamunan Dimas buyar. Ia kembali berpijak pada kenyataan, berdiri terengah-engah di puncak tangga, menatap neraka dunianya di seberang jalan: toko parfum "Layla Badar".
Buset! Baru nyium parfum orang lewat aja koprol. Gimana kalo di tokonya langsung? Logika menyuruhnya berbalik badan dan lari secepat mungkin.
Tapi cewek itu … anomali itu … ada di dalam sana. Dia satu-satunya wangi yang aman buatku. Aku harus ketemu dia lagi. Gimana caranya? Apa aku kerja di sana?
Pak Badar menatap lurus ke mata Dimas. “Tugas utama seorang Pustakawan adalah mendengarkan, memahami, dan membantu ‘pembaca’ menemukan ‘buku’ yang tepat.”"Seorang penjual," lanjut Pak Badar, nadanya sedikit meremehkan, "hanya peduli pada transaksi. Dia akan mendorong botol termahal, atau yang sedang diskon, atau yang paling laku, tanpa peduli kebutuhan sebenarnya dari orang di depannya.""Tapi Pustakawan," Pak Badar mencondongkan tubuhnya sedikit. "Dia peduli pada cerita." Suaranya lembut namun tanpa mengurangi intensitasnya"Orang datang ke 'Layla Badar' bukan sekadar mencari wewangian, Dimas. Mereka datang mencari sesuatu
Awal kerja di "Layla Badar" ternyata bukan soal meracik parfum eksotis atau melayani tamu bangsawan. Hari pertama dimulai dengan selembar lap microfiber, sebotol jumbo cairan pembersih, dan tiga butir pil antimual yang kerja lembur di lambungnya.“Tanganmu,” suara berat Pak Badar terdengar seperti guntur pelan, “harus menjadi kuas, bukan sekop.” Katanya sambil memeragakan sebuah gerakan sapuan. “Kebersihan adalah seniman.” Pak Badar maksa nyambung kata gara-gara berima.Dimas natap bosnya dengan bingung. Ia hanya sedang mengelap etalase kaca. Hah? Apa tadi? Seniman?Pak Badar mengambil alih lap dari tangan Dimas. “Selalu mulai dari sebe
Pak Badar duduk di sofa itu. Ia membawa dua bendel kontrak kerja. Satu bendel ia letakkan di depan Dimas.“Ini akad kerjamu. Baca.”Pak Badar berdehem—suaranya seperti pintu benteng yang terbuka. “Akad Kerja ijarah. Jasa Kepramusajian Aroma, atau Pustakawan Aroma. Nomor: 001/AK/bla bla bla ….”Ia mulai membacakan perjanjian dengan suara tanpa emosi.Pustakawan Aroma? Kedengeran jauh lebih keren daripada ‘pelayan toko’. Aku suka. CV-ku nanti bakal keliatan sangar.“Bismillahirrohmanirrohim
Mampus! Hari pertama udah telat! Goblok, Dimas, goblok!Ia melompat dari kasur, nyaris terjerembab karena selimut. Langsung memesan ojol. Lalu melakukan ritual "mandi bebek". Menyambar kemeja paling atas dari tumpukan baju, dan berlari keluar kos sambil sarapan tiga butir pil antimual. Bersamaan dengan itu ojol datang. Si Abang berkumis tebal yang menyebalkan.“Bang, ngebut, Bang! Saya udah telat banget ini!” seru Dimas.Si ojol oportunis itu meliriknya dari kaca spion. “Santai, Mas. Ada jalan tikus.” Lalu, dengan nada usil ia bertanya, “Gimana kemaren? Sukses pdkt-nya sama Mbak tangga?”“Gimana fotoku? Udah diserahin ke Polsek, belum?” balas Dimas ketus.&l
Tanah bergetar di bawah langkahnya. Dimas berlari kencang melewati hutan para raksasa, di mana pohon-pohon menjulang ke langit seperti menara kuno. Ia melompati akar-akar yang menonjol dan meluncur di bawah dahan-dahan rendah dengan lincah. Tiba-tiba, langit meredup. Bukan karena awan, melainkan karena hujan cangkang bekicot seukuran bola sepak yang menghujam bumi.Dimas berguling, menghindar tipis dari hantaman yang meninggalkan kawah kecil di tanah. Sial, salah satu cangkang keong menancap kencang di ujung sayap jubahnya. Menahannya. Saat makhluk dari dalam cangkang itu mulai mengeluarkan tubuh berlendirnya, Dimas berbalik dan menendang cangkang itu dengan sekuat tenaga hingga menggelinding jauh.“Rasakan itu, Cot!” ejek Dimas.Oh, tidak. Seny
Satu kata itu. “Mengecewakan.”Terus berputar di kepala Dimas sepanjang perjalanan pulang. Bukan sekadar kata. Itu adalah selesai. Game over.Bahunya merosot, punggungnya membungkuk, dan kakinya ia seret di atas trotoar, menciptakan bunyi gesekan lirih berkerikil. Langkahnya yang gontai membawanya kembali ke titik awal pengejarannya. Di sana, di atas trotoar, tas belanjaan berisi waifu-nya masih tergeletak, tak terjamah.Dimas menatap kotak Mai Shininjapi itu tanpa emosi. Ia tidak lagi memeluknya seperti bayi, hanya menyeretnya di aspal. Sebuah beban mahal yang menemaninya pulang dala







