Li Feng berdiri di tengah alun-alun akademi militer, dikelilingi oleh ratusan pemuda lain yang juga berharap bisa menjadi bagian dari pasukan kekaisaran. Cahaya matahari yang menyengat membakar tanah berpasir, membuat keringat mengalir di pelipisnya. Namun, bukan panas yang membuatnya gugup, melainkan pandangan tajam para penguji—para jenderal berpengalaman yang akan menentukan siapa yang layak melangkah lebih jauh.
Di depannya, seorang pria tinggi berotot dengan bekas luka di wajah berjalan ke tengah lapangan. Itu adalah Jenderal Zhao, pria yang dikenal karena kebengisannya dalam melatih prajurit baru. "Siapa pun yang ingin menjadi prajurit kekaisaran harus melewati tiga ujian!" suara Jenderal Zhao menggema, membuat banyak calon prajurit menelan ludah. "Pertama, ujian fisik. Kedua, ujian pertarungan. Ketiga, ujian strategi. Jika kau gagal dalam satu saja, anggaplah impianmu berakhir di sini!" Sorak-sorai dan desahan terdengar dari kerumunan. Beberapa wajah berubah pucat, sementara yang lain mengepalkan tangan dengan penuh tekad. Li Feng? Ia tetap diam, menatap lurus ke depan dengan sorot mata tenang. Ujian Pertama: Ketahanan Fisik "Ujian pertama!" Jenderal Zhao mengangkat tangannya. "Lari mengelilingi benteng sepuluh kali! Yang tidak bisa menyelesaikan dalam waktu yang ditentukan, keluar!" Benteng akademi sangat luas. Sekali putaran saja bisa membuat orang kelelahan, apalagi sepuluh! Tapi tanpa ragu, Li Feng mulai berlari bersama yang lain. Di sekelilingnya, ada yang mencoba mendahului, ada pula yang tertatih-tatih di belakang. Seorang pemuda kekar dengan seragam kusut berusaha menabraknya, tapi Li Feng dengan sigap menghindar. "Lemah," gumam pemuda itu sambil melesat ke depan. Li Feng menghela napas. Ia tahu, sejak awal, ini bukan hanya ujian fisik. Ini juga tentang menjatuhkan lawan dengan cara apa pun. Putaran demi putaran, tubuhnya mulai lelah, napasnya memburu. Tapi ia bertahan, mengingat wajah ibunya yang ia tinggalkan di desa. Ia tidak boleh gagal! Saat akhirnya ia melewati garis finis, ia melihat banyak yang sudah tumbang. Dari ratusan peserta, hampir setengahnya gagal. "Bagus! Sekarang bersiap untuk ujian berikutnya!" teriak Jenderal Zhao. Ujian Kedua: Pertarungan Lapangan akademi diubah menjadi arena duel. Li Feng berdiri di tengah, berhadapan dengan lawannya—pemuda yang tadi mencoba menjatuhkannya saat berlari. Namanya Han Wu, salah satu peserta terkuat di sini. Dengan tubuh tinggi dan tangan sebesar batu, ia jelas bukan lawan yang mudah. "Gadis desa sepertimu tidak akan bertahan lebih dari tiga serangan," ejek Han Wu sambil mengayunkan tinjunya. Li Feng menghindar dengan langkah ringan, lalu menendang ke arah kaki lawannya. Han Wu goyah, tapi tak jatuh. "Licik!" geramnya. Ia menyerang lagi, kali ini dengan pukulan kuat ke arah kepala Li Feng. Tapi sebelum tinju itu mengenai wajahnya, Li Feng merendahkan tubuhnya dan menghantam dada Han Wu dengan siku! "Bugh!" Han Wu terdorong mundur, napasnya memburu. Ia tak menyangka pemuda kurus di depannya bisa bergerak secepat itu. "Keparat!" Han Wu menyerang lagi dengan amarah, tapi kali ini Li Feng sudah siap. Ia menghindari serangan itu, lalu dengan satu pukulan telak ke perut lawannya, Han Wu jatuh tersungkur di tanah, tak sadarkan diri. Kerumunan bergumam. Beberapa orang menatap Li Feng dengan kagum, sementara yang lain mulai memandangnya sebagai ancaman. Jenderal Zhao memperhatikan Li Feng dengan ekspresi sulit ditebak, lalu mengangguk pelan. Ujian Ketiga: Strategi Para peserta yang tersisa duduk di dalam aula besar. Di hadapan mereka, sebuah papan kayu dengan simbol-simbol perang terukir di atasnya. "Perang bukan hanya tentang kekuatan," kata seorang pria tua dengan jubah hitam. Ini adalah Panglima Wei, salah satu ahli strategi terbaik kekaisaran. "Siapa pun bisa membunuh, tapi hanya sedikit yang bisa memimpin." Ia menunjuk papan strategi. "Tunjukkan padaku bagaimana kau akan mempertahankan benteng ini dari serangan musuh yang lebih kuat." Satu per satu peserta maju, memberikan jawaban mereka. Beberapa menawarkan strategi defensif, yang lain memilih menyerang langsung. Tapi ketika giliran Li Feng tiba, ia mengamati papan itu selama beberapa detik, lalu berbicara. "Aku tidak akan bertahan di dalam benteng," katanya. Panglima Wei menaikkan alis. "Oh? Lalu apa yang akan kau lakukan?" "Aku akan membuat jebakan di luar benteng," jelas Li Feng, tangannya bergerak menunjuk bagian peta. "Aku akan menarik musuh ke jalur sempit ini, lalu membakar jembatan di belakang mereka. Dengan begitu, mereka terjebak tanpa bisa mundur, sementara pasukan kita menyerang dari dua sisi." Hening. Lalu, Panglima Wei tersenyum tipis. "Kau menarik," katanya. "Dan... brilian." Jenderal Zhao memandangnya dengan mata menyipit, tapi tak mengatakan apa-apa. Hasil Ujian Setelah tiga ujian berakhir, hanya sedikit peserta yang tersisa. Li Feng berdiri di antara mereka, menunggu dengan napas tertahan. Jenderal Zhao melangkah ke depan. "Selamat. Kalian yang berdiri di sini telah diterima di Akademi Militer Kekaisaran!" Sorak-sorai terdengar, tapi Li Feng tetap tenang. Ia tahu ini baru awal. Namun, saat ia berbalik untuk pergi, ia merasakan tatapan dingin menusuk dari kejauhan. Ketika ia melihat ke arah sumbernya, ia melihat Han Wu menatapnya dengan penuh dendam. Dan yang lebih mengerikan lagi... di sudut aula, seorang pria berbaju hitam berbisik pada Jenderal Zhao, matanya sesekali melirik ke arah Li Feng. "Aku rasa... ini belum selesai," pikir Li Feng, tangannya mengepal pelan. Siapakah pria misterius itu? Dan apakah Jenderal Zhao benar-benar menerima Li Feng, atau justru menyiapkan sesuatu di balik bayangan?Li Shen berdiri di samping sebuah makam yang terlupakan oleh waktu. Angin pegunungan yang sejuk berhembus melalui sela-sela pohon tua, membawa aroma tanah basah dan daun yang jatuh. Matahari baru saja tenggelam di balik puncak gunung, mewarnai langit dengan rona merah jingga yang perlahan meredup. Desanya yang kecil dan sunyi tampak begitu damai, meskipun ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Di hadapannya, sebuah makam yang sederhana terukir dengan tulisan tua yang hampir pudar. Tak ada upacara, tak ada pengawalan. Tidak ada yang datang untuk memberi penghormatan, kecuali Li Shen. Ia mengubur sisa-sisa pedang yang dulu begitu terkenal—Pedang Naga Langit. Pedang yang tak hanya menjadi simbol kekuatan, tetapi juga kutukan yang menimpa banyak jiwa. Kini, pedang itu hancur menjadi debu, seperti harapan yang sudah lama sirna. “Begini akhirnya,” Li Shen berbisik pada dirinya sendiri, suara hatinya begitu tenang namun penuh beban. "Tak ada yang tahu. T
Li Shen berdiri di tengah kehampaan yang dalam, menghadap Kaisar Tanpa Wajah yang kini hancur, hilang di udara yang rapuh. Sebuah kilatan terakhir pedang, sepotong debu yang melayang, dan suara angin yang membawa sisa-sisa keputusasaan. Dunia ini seolah menghela napas dalam diam, seakan-akan segala sesuatu berhenti bergerak sejenak. Tidak ada sorak sorai, tidak ada gemuruh, hanya kehampaan yang menggantung di antara mereka. Namun, meski Kaisar Tanpa Wajah telah lenyap, pedang yang digunakan Li Shen untuk menebasnya, hancur menjadi serpihan debu, tersebar di udara. Seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari, benda yang begitu kuat dan penuh sejarah itu sekarang hanya menjadi kenangan yang terbang dalam hembusan angin. Sungguh ironis, pikir Li Shen. Selama ini ia berjuang untuk mengekalkan keseimbangan, tetapi dengan setiap pedang yang diayunkan, ia juga menyentuh kehancuran. “Pedang ini…” Li Shen merasakan berat di hatinya. Ia menundukkan kepala, menc
Dunia terasa hening. Tidak ada suara gemuruh angin, tidak ada gerakan apapun. Di tengah kekosongan yang melingkupi mereka, hanya ada dua sosok yang berdiri saling berhadapan. Li Shen dan Kaisar Tanpa Wajah, dua entitas yang tak lagi sekedar manusia, bertempur di ruang yang tidak mengenal waktu, tempat yang seolah berada di antara dimensi, jauh dari segala bentuk kehidupan dan sorak-sorai. Di sini, tidak ada penonton, tidak ada penghormatan, hanya dua takdir yang akan bertubrukan. "Akankah kau menyerah?" Kaisar Tanpa Wajah bertanya, suaranya serak namun penuh kekuatan, menggema di seluruh ruang yang hampa. Tatapan matanya yang merah membara, tak ubahnya kobaran api yang siap melalap segala sesuatu di sekitarnya. "Takdirmu sudah jelas. Dunia ini sudah terkutuk sejak lama." Li Shen mengangkat pedangnya, Pedang Naga Langit, yang kini bersinar terang di tengah kegelapan. Pedang itu bukan sekedar senjata, tapi juga lambang dari harapan yang tak ingin padam. "
Li Shen berdiri di hadapan Gerbang Surga Ketiga, sebuah pintu raksasa yang tertutup rapat, seakan menantang dunia untuk mengungkapkan rahasia-rahasia gelap yang tersembunyi di baliknya. Cahaya suram menerobos dari sela-sela batu besar, menggelapkan seluruh tempat di sekelilingnya. Pintu itu, meskipun tampak tidak bergerak, terasa seperti sesuatu yang hidup, mengamati setiap langkah Li Shen dengan mata tak tampak. "Apa yang akan kamu pilih, Shen?" Suara Li Feng berbisik dalam angin, begitu familiar, namun tetap penuh dengan keheningan yang mendalam. Li Shen bisa merasakan kehadiran guru lamanya, meskipun hanya dalam bentuk bisikan yang lemah. Li Shen menarik napas dalam-dalam, matanya terfokus pada gerbang yang tak tampak berujung itu. Ia tahu apa yang harus ia lakukan—tidak hanya untuk menyelamatkan para jiwa yang terperangkap di sana, tetapi juga untuk masa depannya sendiri. "Ini saatnya," gumamnya, hampir tidak terdengar oleh angin yang berdesir di se
Di tengah sunyi malam yang berat, langit di atas Istana Langit diselimuti oleh kabut hitam tebal yang menggerakkan udara dengan lembut, seakan menandakan hadirnya malapetaka. Li Shen, dengan langkah mantap dan pandangan tajam, menginjakkan kaki di ruang yang penuh dengan kekuatan gelap yang luar biasa. Di hadapannya berdiri sosok yang telah lama hilang—Tian Xuan Reinkarnasi, yang kini menyebut dirinya Kaisar Tanpa Wajah. Li Shen merasakan perubahan yang begitu nyata. Kehadiran Kaisar Tanpa Wajah ini tidak hanya menggetarkan dimensi, tetapi juga membuat jantungnya berdegup lebih cepat. “Kau… bukan Tian Xuan yang dulu aku kenal,” Li Shen bergumam, suaranya penuh kebingungan dan ketegasan. “Apa yang telah kau lakukan padamu sendiri?” Kaisar Tanpa Wajah itu tertawa rendah, suara tawa yang kosong dan penuh keputusasaan. “Aku adalah wajah dari kegelapan yang menyelimuti dunia ini. Aku adalah bayangan dari segala keinginan yang tak terpuaskan. Dunia ini tak ak
Li Shen menatap matahari yang tenggelam di balik pegunungan, menciptakan rona keemasan yang mengalir di sepanjang lembah. Hening, seolah dunia ini sedang menanti. Di sekelilingnya, desiran angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kekuatan yang mengintai, namun tak terlihat, menggelayut di udara. "Li Shen," suara itu terdengar di telinganya, lembut dan dalam, seolah datang dari jauh. "Sudah waktunya." Ia menoleh. Di hadapannya, ada tiga sosok yang muncul dari kabut tipis yang tiba-tiba muncul, masing-masing memiliki aura yang tak bisa disangkal. Seperti bayangan, mereka berdiri dalam diam yang memikat. Bai Long, sang Naga Putih, adalah sosok pertama yang menyapanya. Dengan tubuh yang tinggi dan ramping, putih bersih seperti salju, ia memancarkan kekuatan yang begitu murni dan tak tergoyahkan. "Li Shen," kata Bai Long, suaranya sejuk namun penuh tekanan, "Kamu telah sampa