Angin malam menyapu jalanan ibu kota dengan lembut, membawa sisa aroma masakan dari Kedai Tianxiang. Suasana yang biasanya ramai kini perlahan mereda, hanya tersisa beberapa pelanggan yang masih berbincang santai. Namun, di tengah ketenangan itu, langkah berat sekelompok prajurit menggema di jalan berbatu.
Li Feng, yang baru saja menyelesaikan tugasnya mencuci piring, mendongak ke arah pintu. Matanya bertemu dengan tatapan tajam seorang pria berbaju zirah perak, dengan jubah merah berkibar di belakangnya. Prajurit itu tinggi, berwibawa, dan wajahnya penuh bekas luka—tanda bahwa ia bukan sembarang orang. "Siapa di antara kalian yang bernama Li Feng?" Suaranya bergema di dalam kedai, membuat semua orang yang masih tersisa menoleh. Jantung Li Feng berdegup lebih cepat. Xiao Lan, yang berdiri tak jauh darinya, tampak menegang. "Li Feng… apa yang mereka inginkan darimu?" bisiknya. Li Feng menarik napas dalam. Ia tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, sejak perkelahian sebelumnya, ia merasa ada sesuatu yang berubah. Dengan langkah mantap, ia maju dan sedikit membungkuk hormat. "Saya Li Feng, tuan," katanya. Prajurit itu mengamati Li Feng dari ujung kepala hingga kaki, lalu mengangguk kecil. "Kau yang mengalahkan Song Hu dengan satu pukulan?" Li Feng terdiam sejenak. Song Hu? Nama itu terdengar familiar—ah, itu pasti pendekar bayaran yang membuat onar di kedai beberapa hari lalu. "Saya hanya berusaha melindungi kedai ini, tuan. Saya tidak berniat mencari masalah." Prajurit itu tertawa kecil, lalu melirik anak buahnya. "Seorang pemuda desa yang bahkan tidak mengenal nama musuhnya… menarik." Xiao Lan tampak semakin gelisah. Ia menggenggam lengan Li Feng dengan cemas. "Li Feng, hati-hati…" Salah satu prajurit melangkah maju dan mengeluarkan gulungan sutra merah dengan cap kekaisaran yang jelas terlihat di ujungnya. Ia membentangkannya dan mulai membaca dengan suara lantang. "Atas nama Yang Mulia Kaisar, Li Feng dari Desa Ping An diperintahkan untuk segera menghadap ke Akademi Militer Kekaisaran sebagai calon prajurit. Ia diharapkan untuk datang tanpa penolakan. Siapa pun yang menghalangi perintah ini akan dianggap menentang kekaisaran!" Seketika, suasana di kedai berubah tegang. Beberapa pelanggan yang masih duduk segera menundukkan kepala, takut terlibat dalam urusan kerajaan. Li Feng terkejut. Akademi Militer Kekaisaran? Bagaimana mungkin? Ia hanyalah seorang pemuda desa yang bekerja sebagai tukang cuci piring. "Ini pasti kesalahan," gumamnya, setengah tidak percaya. Prajurit utama melangkah mendekat, menepuk bahunya dengan cukup keras. "Tidak ada kesalahan. Kaisar mendengar tentang kemampuanmu dan ingin melihat apakah kau layak menjadi prajurit kekaisaran. Atau mungkin… kau takut?" Nada menantang itu menusuk ego Li Feng. Ia mungkin tidak pernah bermimpi menjadi prajurit, tapi ia juga bukan pengecut yang akan lari dari tantangan. Xiao Lan menggenggam tangannya lebih erat. "Li Feng, ini terlalu mendadak. Bagaimana dengan ibumu?" Nama ibunya membuat Li Feng tersentak. Ibunya sakit. Ia datang ke ibu kota untuk bekerja dan mengumpulkan uang agar bisa mengirimkan obat untuknya. Jika ia pergi ke akademi, bagaimana ia bisa membantu ibunya? Prajurit itu melihat keraguan di wajahnya dan menyeringai. "Kalau kau lulus dari akademi dan menjadi bagian dari pasukan kekaisaran, kau akan mendapatkan gaji yang lebih besar dari sekadar bekerja di kedai ini. Bahkan keluargamu akan mendapatkan tunjangan dari kerajaan." Li Feng terdiam. Ini bukan hanya tentang dirinya. Jika ia bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik untuk ibunya, maka mungkin ini adalah kesempatan yang harus diambil. Xiao Lan menatapnya penuh kekhawatiran. "Kau tidak harus menerima ini jika tidak mau, Li Feng…" Li Feng menarik napas panjang dan tersenyum kecil padanya. "Aku harus mencobanya." Prajurit itu menepuk bahunya sekali lagi, kali ini lebih lembut. "Bagus. Besok pagi, datanglah ke gerbang selatan kota. Jika kau tidak muncul… kami akan menjemputmu dengan cara lain." Tanpa menunggu jawaban lagi, para prajurit itu berbalik dan pergi. Li Feng menatap punggung mereka hingga menghilang di tikungan jalan. Jantungnya masih berdetak kencang. "Aku benar-benar akan masuk akademi militer…" gumamnya, masih sulit percaya. Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, Xiao Lan menariknya ke sudut ruangan. "Li Feng, aku tidak yakin ini keputusan yang tepat. Kau tahu sendiri, dunia militer penuh dengan kekerasan dan intrik. Kau hanya seorang pemuda desa, bagaimana jika mereka hanya ingin menjadikanmu umpan di medan perang?" Li Feng tersenyum tipis. "Aku tidak tahu, Xiao Lan. Tapi aku juga tidak bisa selamanya mencuci piring di sini." Xiao Lan menggigit bibirnya, lalu melepas kalung giok kecil dari lehernya. Ia menyerahkannya pada Li Feng. "Ini… ibuku memberikannya padaku sebelum ia meninggal. Katanya, ini akan melindungi pemiliknya dari bahaya. Aku ingin kau memilikinya." Li Feng terkejut. "Xiao Lan, ini terlalu berharga…" Xiao Lan menggeleng cepat. "Tidak ada yang lebih berharga dari keselamatanmu. Ambil ini, dan berjanjilah… berjanjilah kau akan kembali dengan selamat." Li Feng menatap giok itu sejenak sebelum menerimanya dengan hati-hati. Ia menggenggamnya erat, merasakan hangatnya dari telapak tangannya. "Aku berjanji." Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu—begitu ia melangkahkan kaki ke dunia militer, tidak akan ada jalan kembali. Dan ia tidak tahu bahwa keesokan harinya, hidupnya akan berubah selamanya. Li Feng telah mengambil keputusan, tapi apakah ini langkah menuju kejayaan atau awal dari penderitaan? Apa yang menantinya di Akademi Militer Kekaisaran? Dan apakah benar kehadirannya hanya karena kemampuannya, atau ada rencana lain yang tersembunyi?Li Shen berdiri di samping sebuah makam yang terlupakan oleh waktu. Angin pegunungan yang sejuk berhembus melalui sela-sela pohon tua, membawa aroma tanah basah dan daun yang jatuh. Matahari baru saja tenggelam di balik puncak gunung, mewarnai langit dengan rona merah jingga yang perlahan meredup. Desanya yang kecil dan sunyi tampak begitu damai, meskipun ada sesuatu yang berat menggantung di udara. Di hadapannya, sebuah makam yang sederhana terukir dengan tulisan tua yang hampir pudar. Tak ada upacara, tak ada pengawalan. Tidak ada yang datang untuk memberi penghormatan, kecuali Li Shen. Ia mengubur sisa-sisa pedang yang dulu begitu terkenal—Pedang Naga Langit. Pedang yang tak hanya menjadi simbol kekuatan, tetapi juga kutukan yang menimpa banyak jiwa. Kini, pedang itu hancur menjadi debu, seperti harapan yang sudah lama sirna. “Begini akhirnya,” Li Shen berbisik pada dirinya sendiri, suara hatinya begitu tenang namun penuh beban. "Tak ada yang tahu. T
Li Shen berdiri di tengah kehampaan yang dalam, menghadap Kaisar Tanpa Wajah yang kini hancur, hilang di udara yang rapuh. Sebuah kilatan terakhir pedang, sepotong debu yang melayang, dan suara angin yang membawa sisa-sisa keputusasaan. Dunia ini seolah menghela napas dalam diam, seakan-akan segala sesuatu berhenti bergerak sejenak. Tidak ada sorak sorai, tidak ada gemuruh, hanya kehampaan yang menggantung di antara mereka. Namun, meski Kaisar Tanpa Wajah telah lenyap, pedang yang digunakan Li Shen untuk menebasnya, hancur menjadi serpihan debu, tersebar di udara. Seperti sebuah takdir yang tak bisa dihindari, benda yang begitu kuat dan penuh sejarah itu sekarang hanya menjadi kenangan yang terbang dalam hembusan angin. Sungguh ironis, pikir Li Shen. Selama ini ia berjuang untuk mengekalkan keseimbangan, tetapi dengan setiap pedang yang diayunkan, ia juga menyentuh kehancuran. “Pedang ini…” Li Shen merasakan berat di hatinya. Ia menundukkan kepala, menc
Dunia terasa hening. Tidak ada suara gemuruh angin, tidak ada gerakan apapun. Di tengah kekosongan yang melingkupi mereka, hanya ada dua sosok yang berdiri saling berhadapan. Li Shen dan Kaisar Tanpa Wajah, dua entitas yang tak lagi sekedar manusia, bertempur di ruang yang tidak mengenal waktu, tempat yang seolah berada di antara dimensi, jauh dari segala bentuk kehidupan dan sorak-sorai. Di sini, tidak ada penonton, tidak ada penghormatan, hanya dua takdir yang akan bertubrukan. "Akankah kau menyerah?" Kaisar Tanpa Wajah bertanya, suaranya serak namun penuh kekuatan, menggema di seluruh ruang yang hampa. Tatapan matanya yang merah membara, tak ubahnya kobaran api yang siap melalap segala sesuatu di sekitarnya. "Takdirmu sudah jelas. Dunia ini sudah terkutuk sejak lama." Li Shen mengangkat pedangnya, Pedang Naga Langit, yang kini bersinar terang di tengah kegelapan. Pedang itu bukan sekedar senjata, tapi juga lambang dari harapan yang tak ingin padam. "
Li Shen berdiri di hadapan Gerbang Surga Ketiga, sebuah pintu raksasa yang tertutup rapat, seakan menantang dunia untuk mengungkapkan rahasia-rahasia gelap yang tersembunyi di baliknya. Cahaya suram menerobos dari sela-sela batu besar, menggelapkan seluruh tempat di sekelilingnya. Pintu itu, meskipun tampak tidak bergerak, terasa seperti sesuatu yang hidup, mengamati setiap langkah Li Shen dengan mata tak tampak. "Apa yang akan kamu pilih, Shen?" Suara Li Feng berbisik dalam angin, begitu familiar, namun tetap penuh dengan keheningan yang mendalam. Li Shen bisa merasakan kehadiran guru lamanya, meskipun hanya dalam bentuk bisikan yang lemah. Li Shen menarik napas dalam-dalam, matanya terfokus pada gerbang yang tak tampak berujung itu. Ia tahu apa yang harus ia lakukan—tidak hanya untuk menyelamatkan para jiwa yang terperangkap di sana, tetapi juga untuk masa depannya sendiri. "Ini saatnya," gumamnya, hampir tidak terdengar oleh angin yang berdesir di se
Di tengah sunyi malam yang berat, langit di atas Istana Langit diselimuti oleh kabut hitam tebal yang menggerakkan udara dengan lembut, seakan menandakan hadirnya malapetaka. Li Shen, dengan langkah mantap dan pandangan tajam, menginjakkan kaki di ruang yang penuh dengan kekuatan gelap yang luar biasa. Di hadapannya berdiri sosok yang telah lama hilang—Tian Xuan Reinkarnasi, yang kini menyebut dirinya Kaisar Tanpa Wajah. Li Shen merasakan perubahan yang begitu nyata. Kehadiran Kaisar Tanpa Wajah ini tidak hanya menggetarkan dimensi, tetapi juga membuat jantungnya berdegup lebih cepat. “Kau… bukan Tian Xuan yang dulu aku kenal,” Li Shen bergumam, suaranya penuh kebingungan dan ketegasan. “Apa yang telah kau lakukan padamu sendiri?” Kaisar Tanpa Wajah itu tertawa rendah, suara tawa yang kosong dan penuh keputusasaan. “Aku adalah wajah dari kegelapan yang menyelimuti dunia ini. Aku adalah bayangan dari segala keinginan yang tak terpuaskan. Dunia ini tak ak
Li Shen menatap matahari yang tenggelam di balik pegunungan, menciptakan rona keemasan yang mengalir di sepanjang lembah. Hening, seolah dunia ini sedang menanti. Di sekelilingnya, desiran angin berhembus pelan, membawa aroma tanah dan dedaunan yang basah. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Sebuah kekuatan yang mengintai, namun tak terlihat, menggelayut di udara. "Li Shen," suara itu terdengar di telinganya, lembut dan dalam, seolah datang dari jauh. "Sudah waktunya." Ia menoleh. Di hadapannya, ada tiga sosok yang muncul dari kabut tipis yang tiba-tiba muncul, masing-masing memiliki aura yang tak bisa disangkal. Seperti bayangan, mereka berdiri dalam diam yang memikat. Bai Long, sang Naga Putih, adalah sosok pertama yang menyapanya. Dengan tubuh yang tinggi dan ramping, putih bersih seperti salju, ia memancarkan kekuatan yang begitu murni dan tak tergoyahkan. "Li Shen," kata Bai Long, suaranya sejuk namun penuh tekanan, "Kamu telah sampa