Langit di ibu kota tampak kelabu, seakan mencerminkan suasana hati Li Feng. Sudah sebulan sejak ia masuk ke Akademi Militer Kekaisaran, dan sejauh ini ia lebih banyak menghadapi permusuhan dibandingkan sambutan hangat. Hari ini, suasana akademi terasa lebih tegang dari biasanya. Para murid berbisik-bisik di lorong, mata mereka sesekali melirik ke arah aula utama. Li Feng yang baru saja selesai berlatih dengan salah satu instruktur, mendengar gumaman mereka. "Kudengar Putri Ling’er akan datang hari ini," bisik salah satu murid. "Benarkah? Apa urusannya dengan akademi?" "Mungkin hendak memilih pengawal pribadi. Kalau beruntung, kita bisa menjadi prajurit kepercayaannya!" Li Feng tidak terlalu memikirkan hal itu. Baginya, yang lebih penting adalah bertahan di akademi ini tanpa menjadi korban intrik politik. Namun, ia tidak menyadari bahwa hari ini akan menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar. Di istana kekaisaran, Putri Ling’er duduk di sebuah ruangan dengan dinding kayu ya
Malam itu, aula Akademi Militer Kekaisaran diselimuti ketegangan. Cahaya lentera menggantung rendah, memancarkan bayangan panjang di dinding batu. Para kadet berbaris rapi di depan Jenderal Zhao, yang berdiri tegak dengan tatapan dingin. “Kalian telah menyelesaikan pelatihan dasar,” suaranya bergema, penuh wibawa. “Sekarang, saatnya kalian membuktikan diri.” Li Feng berdiri di antara rekan-rekannya, merasa jantungnya berdegup lebih kencang. Sejak memasuki akademi, ia telah mengalami berbagai rintangan, dari hinaan, persaingan, hingga ujian berat. Namun, ini adalah tantangan sesungguhnya—misi pertama mereka sebagai calon prajurit kekaisaran. “Misi kalian sederhana,” lanjut Jenderal Zhao. “Pergilah ke wilayah perbatasan barat dan selidiki aktivitas kelompok bandit Serigala Hitam. Jika memungkinkan, lumpuhkan pemimpin mereka.” Desas-desus tentang Serigala Hitam telah lama beredar di ibu kota. Kelompok bandit ini dikenal brutal, sering menjarah desa-desa terpencil, membantai penduduk
Hutan yang lebat dan sunyi terasa mencekam, dikelilingi oleh suara rintihan angin yang menggerakkan dedaunan, seperti bisikan yang menyampaikan pesan buruk. Li Feng berjalan di barisan depan, matanya terfokus pada jejak yang tertinggal di tanah basah, mengingatkan dia pada misi yang tengah mereka jalani. Bersama sekelompok prajurit muda dari akademi militer, ia diperintahkan untuk membersihkan wilayah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak Serigala Hitam, yang diketahui telah mengganggu ketertiban kekaisaran selama beberapa bulan terakhir. Namun, meskipun wajah mereka tampak tegas dan siap bertempur, Li Feng merasakan adanya ketegangan di udara. Sesekali, pandangannya melintas pada salah satu rekan mereka, Zhang Wei, seorang prajurit muda yang selalu terlihat penuh percaya diri, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Li Feng merasa cemas. Kepercayaan diri itu lebih mirip sebuah topeng yang menutupi sesuatu yang lebih gelap. "Li Feng, jangan biarkan ketegangan ini membuatmu l
Angin malam berhembus kencang, membawa aroma tanah basah yang tercampur dengan bau darah yang menyengat. Tebing itu begitu curam, memandang jurang yang dalam seolah-olah mengundang setiap langkah menjadi taruhan hidup mati. Li Feng berdiri tegak di atas permukaan yang licin, tatapannya tajam, menyelidik setiap gerakan pengkhianat di depannya. Udara di sekitar mereka terasa semakin berat, seperti menyelimuti pertempuran yang tak hanya melibatkan tubuh, tapi juga tekad dan kehormatan yang siap dipertaruhkan. Di hadapannya, Liang Zhou, murid akademi yang selama ini dianggapnya teman, kini berdiri dengan pedang terhunus. Wajah Liang Zhou pucat pasi, matanya terbelalak, namun ada sesuatu yang jauh lebih mengerikan yang tersirat di balik tatapan itu—keputusasaan yang tertutup oleh rasa takut. Li Feng menegakkan tubuh, merasakan betapa pedangnya kini semakin berat di tangan, terasa lebih dari sekadar logam yang dingin dan tajam. Itu adalah beban takdir yang harus ia pikul.
Li Feng terbaring tak sadarkan diri, terluka parah akibat jatuh ke dalam jurang yang dalam setelah duel sengit dengan pengkhianat. Ia mendengar suara gemuruh air yang mengalir deras di bawahnya, tubuhnya terhantam batu tajam, dan dunia terasa gelap seketika. Namun, di tengah kegelapan itu, ada sesuatu yang menariknya, suara yang begitu lembut, hampir seperti bisikan angin malam. "Bangun, pemuda... bangunlah..." Suara itu datang entah dari mana, namun terasa begitu dekat, seolah mengalir melalui setiap serat tubuhnya. Dengan susah payah, Li Feng membuka matanya yang berat. Kepalanya pusing, seolah ada sesuatu yang memengaruhinya dari dalam. Di atasnya, langit malam berkerlap-kerlip dengan bintang, dan di sekelilingnya, hanya ada pepohonan rimbun yang melindungi dari sinar bulan. Sosok seorang wanita tampak berdiri di hadapannya, mengenakan pakaian berwarna biru muda yang tampak menyatu dengan kegelapan malam. Wajahnya terselubung sebagian
Li Feng berbaring terkulai di tanah, tubuhnya lelah setelah perjalanan panjang dan pertempuran yang melelahkan. Nona Lan, yang misterius dan penuh rahasia, menatapnya dengan tatapan yang dalam, seolah ada sesuatu yang ia coba ungkapkan namun ragu untuk diucapkan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan hutan yang lebat. "Nona Lan," suara Li Feng terengah-engah, "Apa yang sebenarnya kamu ketahui tentang Pedang Naga Langit?" Nona Lan diam sejenak, seolah mengukur kata-katanya. Ia duduk di sampingnya, matanya tetap tertuju pada pedang yang masih terselip di punggung Li Feng. Pedang itu kini terasa lebih berat dari sebelumnya, seolah ada kekuatan yang menunggu untuk dibangunkan. "Pedang itu bukan hanya senjata biasa," katanya pelan, "Itu adalah simbol takdir, kekuatan yang bisa menghancurkan atau menyelamatkan. Namun, ada kutukan yang mengikutinya. Setiap pemegangnya akan merasakan dampak dari kekuatannya, dan tidak semu
Li Feng terengah-engah, darahnya mengalir deras dari luka yang terbuka di sepanjang lengan kanan. Dia baru saja berjuang melawan gelombang pengkhianatan yang melanda dirinya. Pukulannya masih terasa berat, otot-ototnya terasa kaku akibat luka yang dideritanya. Namun, rasa sakit yang merayap di seluruh tubuhnya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan beban yang ada di dalam hati. Perjalanan pulang ke akademi terasa panjang. Langkahnya terseok-seok, namun tekadnya tak goyah. Pikirannya terfokus pada satu hal: membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Pengkhianatan yang menimpanya tidak hanya menghancurkan tubuhnya, tetapi juga harga dirinya sebagai prajurit kekaisaran. Namun, di dalam hatinya, Li Feng tahu—ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar luka fisik. Ada sebuah takdir yang tak dapat dihindari. Sebuah takdir yang melibatkan Pedang Naga Langit dan keberaniannya untuk menanggung beban dunia. Setibanya di akademi, Li Feng langsung dibawa ke ruang pemeri
Langit pagi masih diselimuti kabut ketika Li Feng kembali ke akademi dalam keadaan babak belur. Tubuhnya penuh luka akibat pertarungan di hutan dan jatuh dari tebing. Namun, bukan hanya rasa sakit fisik yang ia rasakan, melainkan juga tekanan batin yang menyesakkan. Sejak ia kembali, bisikan-bisikan penuh kecurigaan menyebar di antara para murid dan pengajar akademi. "Pengkhianat," seseorang berbisik di sudut aula. "Bagaimana mungkin dia selamat sendirian? Apakah dia bekerja sama dengan musuh?" Li Feng menahan amarahnya. Ia tahu, tanpa bukti, membela diri hanya akan sia-sia. Dan tepat seperti yang ia duga, pagi itu, ia dipanggil menghadap Jenderal Zhao. Pengadilan di Aula Akademi Aula akademi penuh sesak. Semua murid dan pengajar berkumpul, wajah mereka mencerminkan berbagai ekspresi—penasaran, cemas, dan ada juga yang tampak puas melihat Li Feng dalam posisi terjepit. Di tengah aula, Jenderal
Malam itu, langit di atas ibu kota menggantung berat, seolah menahan ribuan jeritan yang tak pernah diucapkan. Kabut tipis menyelimuti jalan-jalan batu, membuat istana megah di kejauhan tampak seperti bayangan raksasa yang menyamar di balik dunia nyata. Li Feng menarik napas dalam-dalam. Sial… pikirnya. Setiap langkah yang ia ambil di atas tanah kekaisaran kini terasa seperti berjalan di atas pecahan kaca. Tidak ada lagi tempat yang aman. Tidak ada lagi wajah yang bisa dipercayai. "Kau yakin mau melakukan ini?" suara Mei Yue, pelan seperti desir angin, membelah kebisuan malam. Li Feng menoleh. Mata perempuan itu bersinar dalam temaram lentera jauh di belakang mereka. Ada ketegangan, ada keraguan. Tapi yang paling kuat… ada ketakutan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuknya — untuk Li Feng. "Huh," Li Feng mendengus, setengah tersenyum getir. "Kalau bukan aku, siapa lagi?" Tanpa menunggu jawaban, ia melangka
Langit abu-abu menggantung berat di atas reruntuhan Tianxiang, seakan langit sendiri menangisi kota yang pernah bersinar seperti permata di tengah kekaisaran. Angin membawa debu dan bau darah, menusuk ke dalam lubuk jiwa mereka yang masih bertahan. Li Feng berdiri diam, memegang gulungan kuno erat-erat di tangannya, seolah-olah kertas tua itu adalah satu-satunya jangkar yang mengikatnya pada kenyataan. "Sumpah Kaisar Pertama..." gumamnya lirih, matanya yang merah menatap kosong ke depan. "Shen Lu... negeri yang sudah lama dikabarkan lenyap... ternyata belum pernah benar-benar hilang..." Di sampingnya, Mei Yue memandang dengan tatapan gelap, seakan hatinya tahu lebih banyak daripada apa yang berani ia katakan. Akhirnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berbisik, “Li Feng, kita harus berbicara. Sekarang.” Li Feng mengangguk tanpa suara. Keduanya bergegas ke sebuah bangunan setengah roboh — bekas rumah seorang saudagar, kini hanya kerangka
Angin malam menusuk kulit, bagai jarum-jarum halus yang menari di sepanjang reruntuhan Kota Tianxiang. Asap membubung ke langit gelap, dan di antara puing-puing, Li Feng berlutut dengan tubuh menggigil, memeluk tubuh rapuh Putri Ling’er. “Ling’er…” suaranya serak, hampir tak terdengar. Putri itu menggenggam tangan Li Feng, lalu — dengan napas tersengal — menyerahkan sebuah gulungan tua, warnanya pudar, talinya nyaris rapuh. "Ini... rahasia... takdir kita," bisiknya. "Bawa... gulungan ini... ke tempat yang aman, Li Feng... Demi kita semua..." Dan kemudian—duk!—kepalanya terkulai di pelukan Li Feng. Li Feng menahan napas. “T-tidak… Tidak! Jangan tinggalkan aku!” Ia mengguncang tubuh Ling’er, matanya memanas, suara di dadanya bergemuruh seperti badai. "Aaaaaargh!" pekiknya, membebaskan kemarahan, kepedihan, dan penyesalan dalam satu teriakan panjang yang menggetarkan udara. Namun, t
Api masih membara di mana-mana. Langit di atas Kota Tianxiang bukan lagi biru — melainkan merah darah, seperti dewa-dewa marah menumpahkan kemarahan mereka ke bumi. Debu dan asap membuat napas terasa berat. Setiap langkah terasa seolah melangkah ke dalam dunia yang baru saja dilahirkan kembali… lewat penderitaan. "Li... Feng..." Suara itu... lemah, serak. Hampir tak terdengar di tengah gemuruh bangunan yang runtuh. Tapi bagi Li Feng, suara itu lebih nyaring daripada semua guntur di dunia ini. "Aku di sini!" teriak Li Feng dengan panik, berlutut di sisi tubuh rapuh Putri Ling'er yang tergeletak di atas reruntuhan bata dan kayu. "Ya Tian... ya Langit..." gumamnya. Luka di tubuh Ling’er begitu parah—darah mengalir di sudut bibirnya, dan kulitnya lebih pucat dari salju. Tapi matanya... mata itu masih mencari-cari dirinya. Masih hidup. Li Feng meraih tangan Ling’er yang gemetar, mengangkat tubuhnya
Angin malam menerpa keras, membawa bau logam darah dan asap terbakar ke setiap sudut kota. "Sialan... Apa ini?!" Li Feng terhuyung beberapa langkah ke belakang, matanya membelalak saat melihat lautan api melalap jalanan utama Kota Tianxiang. Gedung-gedung kayu runtuh satu demi satu, jeritan manusia, ringkik kuda, dan dentang senjata saling bertubrukan di udara, menciptakan kekacauan yang mencekik. "Tidak mungkin..." bisiknya. Hanya dalam semalam, kota megah itu — yang dulunya penuh hingar-bingar pedagang dan rakyat yang bercanda riang — berubah menjadi neraka di bumi. "Li Feng!" Teriakan Mei Yue mengembalikannya ke dunia nyata. Wanita itu berlari mendekat, wajahnya dipenuhi abu dan darah — entah darah siapa. "Pasukan asing! Mereka menyerang!" serunya, napas memburu. "Kita harus segera keluar dari sini sebelum—" BOOM! Ledakan keras mengguncang tanah. Dari kejauhan, sebuah menara pengawas runtuh, meng
"Tidak mungkin..." bisik Li Feng, suaranya nyaris tak terdengar di tengah kesunyian Hutan Terlarang. Bayangan-bayangan makhluk hitam yang tadinya mengepung mereka telah lenyap, sirna bersama alunan nyanyian kuno Mei Yue. Namun, yang tersisa bukanlah ketenangan—melainkan kekacauan yang menggerogoti batin mereka. Mei Yue berdiri terpaku, matanya membelalak, bibirnya bergetar. "Aku..." katanya dengan suara serak. "Aku tak pernah tahu... bahwa ibuku..." Li Feng mengatupkan kedua tangan, mencoba menahan getaran di dadanya. Sial! Dunia terasa seakan terbalik. Seluruh perjalanan mereka, seluruh pertarungan mereka, semuanya—ternyata terikat pada sesuatu yang lebih besar, lebih kelam daripada yang pernah ia bayangkan. "Aku harus tahu lebih banyak," katanya tegas, langkahnya tertatih mendekati Mei Yue. "Kau... kau harus memberitahuku semua!" Mei Yue menggeleng perlahan. "Aku... aku hanya i
Kabut hitam itu... astaga, seperti lautan tak berujung, bergulung dari segala penjuru. Li Feng menggenggam erat Pedang Naga Langit di tangannya yang gemetar. Tubuhnya penuh luka gores, nafasnya memburu. "Li Feng!" seru Mei Yue, matanya membelalak ngeri. "Kita harus menyanyikan lagu itu... atau kita mati di sini!" Li Feng mengayunkan pedangnya, membelah satu makhluk hitam. Namun, sialan, tubuh itu tak hancur — malah membentuk diri kembali seperti asap pekat! "T-tidak mungkin...," desah Li Feng, mundur selangkah, lalu dua langkah. Makhluk-makhluk itu mendekat dengan gerakan aneh, seperti boneka-boneka yang digerakkan oleh tali tak kasatmata. "Apa maksudmu lagu? Lagu apa?!" raung Li Feng, kebingungan di tengah kekacauan. Mei Yue menggigit bibirnya, wajahnya pucat. Lalu, dengan suara yang bergetar, ia mulai bersenandung. Nada itu... oh! Nada itu seperti desir angin di padang gurun, sedih, mera
Kabut tipis menggantung rendah di atas pepohonan raksasa, melilit batang-batang tua yang menghitam bagai jari-jari kematian. Udara di Hutan Terlarang terasa berat, seolah setiap helai napas yang dihirup membawa serta beban seribu arwah yang belum tenang. "Huff... tempat ini..." Mei Yue menarik napas pendek, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. "Terasa... salah." Li Feng menggenggam gagang Pedang Naga Langit lebih erat. "Aku tahu," katanya serak. "Tapi kita tak punya pilihan lain." Di balik suara burung hantu yang sesekali mengerik aneh, terdengar bunyi gemerisik—seperti sesuatu yang merayap perlahan di antara semak-semak. Li Feng menghentikan langkah. Mei Yue mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk diam. Tiba-tiba—SRRAK!—sebuah bayangan melintas cepat di depan mereka. "Siapa itu?!" seru Li Feng sambil bersiap bertarung. Tak ada jawaban. Hanya keheningan... lalu suara bisikan. Seolah-olah
Li Feng duduk di sudut sebuah rumah sederhana di sebuah desa terpencil, memandangi hutan yang menghitam di kejauhan. Sesekali angin malam yang dingin membawa kabut tipis, menambah kesan sunyi dan mencekam. Mei Yue duduk di hadapannya, wajahnya keras, namun di balik matanya, Li Feng bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi — seakan-akan dia menanggung beban yang tak terungkapkan. "Kita tak bisa terus bersembunyi selamanya," Li Feng berkata pelan, matanya tajam menatap jalan setapak yang mengarah ke desa. "Kau tahu itu." Mei Yue menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. "Aku tahu. Tapi sebelum kita melangkah lebih jauh, kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini." Li Feng terdiam. Kehidupan yang ia kenal telah berubah. Segalanya terasa begitu rumit. Kutukan Pedang Naga Langit yang menghantuinya, serta misteri yang terus mengungkapkan lapisan-lapisan kelam dari masa lalu. Tak hanya itu, keberadaan Mei Yue yang entah kena