Ibu Gendis yang sejak tadi menahan diri akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi menusuk. “Bu, maaf ya. Kalau sekadar makan di restoran mahal atau belanja seperti ini, saya dan suami lebih dari mampu. Bahkan kalau perlu, kami bisa membayar semua belanjaan teman-teman ibu. Saya tidak pernah mendidik anak saya untuk hal seperti yang ibu bilang.” “Halah! Anda lupa? Kenapa sampai menantu saya sekarang di penjara?” sahut Ibu Rain dengan sinis, nadanya penuh tuduhan yang membuat udara di sekitar mereka semakin tegang. “Itu karena Anda sendiri yang juga sama ambisiusnya seperti menantu Anda. Saya cuma mengikuti saran dari Anda. Ingat, kenapa semua terjadi? Karena Anda yang meyakinkan saya dengan melakukan semua saran itu. Gendis, Rain, Mama sama Papa pulang dulu. Mood Mama jelek! Mama nggak biasa harus berdebat norak seperti ini,” ucap Ibu Gendis yang segera menarik suaminya untuk meninggalkan supermarket. “Rain, Gendis. Permisi, Bu,” ucap Ayah Gendis masih dengan senyum sopan, mes
“Jelas bisa, dijamin. Pokoknya, sampean tenang aja karena udah banyak yang berhasil,” ucap temannya dengan mantap. “Tapi ngomong-ngomong, bosen ah disini terus. Kita jalan, yuk…” “Iya, makan di restoran aja, atau belanja dulu deh,” sahut yang lain antusias. “Boleh juga, saya tuh lagi mumet banget di rumah,” ucap Ibu Rain sambil menghela napas panjang. Akhirnya, keempat ibu sosialita itu pun pergi menuju sebuah mal untuk berbelanja di supermarket. Sementara itu, Rain dan Gendis terlihat berjalan berdampingan dengan orang tua Gendis. Mereka tampak harmonis sambil mendorong troli belanja. “Jadi, gimana pekerjaan kantor kamu, Rain?” tanya Ayah Gendis sambil menggenggam erat pegangan troli. “Karena saya punya banyak tim, jadi semua bisa jalan, Pa. Kebetulan lagi… perusahaan yang di-handle Ardi, saya juga yang pegang. Karena kasus hukum yang menimpa dia, akhirnya Papa kasih saya kesempatan buat mengurus perusahaan Bumi Langit,” jawab Rain sambil menaruh beberapa barang ke dala
“Boleh, Sayang,” ucap Rain sambil menuangkan jus buah ke dalam gelas, matanya menatap lembut pada Gendis. “Ah! Makasih, suami aku!” seru Gendis sambil memeluknya, tubuhnya sedikit menempel di dada Rain. Dia kembali berbicara di telepon dengan nada ceria. “Mama, kita ketemuan di supermarket ya, nanti belanja bareng terus kita ke resto,” ucap Gendis dengan semangat pada ibunya. “Wah… Baik banget suami kamu. Terima kasih ya bilang ke Rain. Nanti Mama kesana. Kamu kasih tahu Mama supermarket mana, jam berapa? Biar Mama sama Papa bisa siap-siap,” balas ibunya dengan nada riang. “Jam 2 ya, Ma. Jam 2 dari rumah aja. Kebetulan kita nggak jauh dari supermarket. Mama nanti berangkat duluan biar pas ketemunya,” jawab Gendis sambil tersenyum lebar. “Oke deh…” ucap ibunya singkat, tapi terdengar senang. Panggilan berakhir, dan Gendis tampak bahagia. “Sayang, beneran kan? Nggak papa aku ajak Mama sama Papa belanja sekalian makan bareng?” tanyanya dengan mata berbinar, pipinya sedikit
“Suami aku ngetawain, ih...” lanjutnya dengan nada genit, matanya menyipit manja sebelum kembali merekam tasnya. “Hahaha!” Rain akhirnya tak bisa menahan diri. Tawanya pecah, memenuhi ruangan. “Sayang...” ucap Gendis, manja sekaligus sedikit jengkel. Pipi merahnya membuatnya makin menggemaskan. “Sorry...” bisik Rain dengan senyum nakal dari atas sofa, tatapannya penuh godaan pada istrinya. Rain bangkit dari sofa, langkahnya pelan tapi penuh niat. Ia mendekati Gendis yang masih asyik merekam tas barunya. “Sayang... sini, kasih liat ke saya videonya,” ucap Rain sambil meraih tangan istrinya. “Eh, jangan! Aku belum selesai,” ucap Gendis buru-buru menjauh sambil tertawa kecil. Rain mengangkat alisnya, senyum nakal tersungging. “Belum selesai? Atau memang sengaja bikin saya iri karena tas kamu dapat sorotan lebih dari saya?” tanyanya dengan suara rendah, hampir berbisik di telinga istrinya. “Ih... Mas! Nggak gitu...” ucap Gendis dengan pipi memanas, buru-buru menutup kamera
“Ma, aku udah bilang sama Mas Rain, tapi dia nggak mau,” ucap Gendis pelan sambil melirik suaminya yang baru saja datang mendekat. “Sayang...” suara Rain lembut, ia meletakkan segelas susu dan semangkuk sereal untuk istrinya di meja ruang TV. “Makasih, Sayang...” Gendis tersenyum manis, menatap wajah suaminya penuh cinta. “Um... Rain, Mama pulang dulu ya. Jam sepuluh nanti ada arisan di rumah teman Mama,” ujar ibu Rain seraya beranjak menata tas tangannya. “Mau Rain anterin, Ma?” tanya Rain dengan sopan. “Nggak usah, Mama pakai sopir,” jawab ibunya singkat, lalu berdiri meninggalkan sofa. Rain dan Gendis segera mencium punggung tangan ibunya, lalu mengantarnya hingga ke depan pintu lift. Tak lama kemudian, keduanya kembali duduk di ruang TV. Suasana mendadak terasa hening. “Sayang, Mama kayaknya marah sama aku...” bisik Gendis lirih sambil menyandarkan kepala di bahu suaminya. “Kenapa?” Rain menoleh, menatap wajah istrinya dengan cemas. “Soal kamu nggak mau bantuin
“Mereka minta lima ratus juta untuk kasus ini. Jadi Ardi nggak akan dipenjara,” ucap ibunya, menatap Rain penuh harap. “Itu bukan jumlah sedikit, Ma. Apalagi untuk orang yang jelas-jelas melakukan perencanaan kejahatan,” ucap Rain, suaranya tegas tapi tetap menahan emosi. “Masa kamu nggak ada uang segitu, Rain?” tanya ibunya dengan nada tak percaya. “Mam, bukan nggak punya. Rain punya lebih dari itu. Tapi sekarang ini, Rain ada keluarga sendiri. Rain punya istri, bakal punya anak. Mereka tanggung jawab Rain, Ma,” ucap Rain lirih namun mantap. “Tapi kan nggak masalah nolongin dia dulu. Toh Gendis lagi hamil muda, kebutuhan kalian juga belum banyak,” ucap ibunya mencoba membujuk. “Mau banyak apa nggak pengeluaran kita berdua, tetap aja Rain nggak mau, Ma. Rain banyak urusan selain itu—harus urus klinik, perusahaan yang bergantung sama Rain,” ucap Rain pelan, berusaha menahan diri agar tak meninggikan suara. “Kalau gitu, Mama pinjem aja deh. Nanti Mama ganti...” ucap ibunya