Share

PELAYAN GENDUT TUAN SULTAN
PELAYAN GENDUT TUAN SULTAN
Penulis: Rosemala

DICERAIKAN

Part 1

“Aku talak kamu Bola ... maksudnya, aku talak kamu Viola Anastasya. Mulai hari ini, kau bukan lagi istriku!”

Aku memejam dengan kuat, sesaat setelah dua kalimat itu meluncur dari mulut Arman. Laki-laki yang seminggu lalu menikahiku dengan penuh keterpaksaan.

“Sekarang pergilah, Bola! Tidak ada alasan lagi untukmu tetap di sini. Sejak awal aku tidak suka melihatmu berkeliaran di rumahku. Kau pasti tahu itu, bukan?” lanjutnya dengan hanya melirikku tak lebih dari tiga detik.

“Segala sesuatu yang menyangkut urusan perceraian kita, aku akan segera mengurusnya. Nanti kukirim akta cerainya ke rumahmu, kalau semua sudah selesai.” Itu kalimat terakhirnya, sebelum laki-laki yang tak pernah mau sekadar melirikku itu pergi dari hadapan.

Aku menatap punggung tegap yang semakin menjauh itu dengan hati perih. Sungguh, walaupun tahu ini akan terjadi, tetapi saat kata talak itu benar-benar terucap, tak ayal hatiku sakit tak berbentuk.

Seminggu saja. Ya, tujuh hari saja aku menyandang status sebagai seorang istri. Hari ini, tepat seminggu setelah statusku berubah dari gadis menjadi istri seseorang, aku pun menjadi seorang janda.

Seminggu saja aku menjadi Istri Arman Gunawan. Istri yang tak diinginkan tentu saja, karena pernikahan ini pun terjadi karena sebuah keterpaksaan.

Dia Arman Gunawan, sejak awal tak pernah sudi bahkan sekadar menatap wanita yang secara hukum negara dan agama sebenarnya sudah sah sebagai istrinya ini. Jangankan merayu, mencumbu, atau bermesraan seperti layaknya pengantin baru, dia bahkan selalu bergidik jijik bila kami tak sengaja berpapasan.

Aku membuang napas kasar sebelum berbalik. Mengemasi baju adalah tujuanku saat ini. Bukankah laki-laki itu sudah menjatuhkan talak dan mengusirku? Apalagi yang kuharapkan?

“Kenapa masih berdiri di sana, Gendut? Bukankah anakku sudah menceraikan kamu? Apa lagi yang kau tunggu?”

Aku menoleh saat suara sinis terdengar dari samping. Di sana, berdiri wanita paruh baya sedang melipat tangannya di dada. Rambut bersanggul tinggi dan perhiasan emas yang memenuhi beberapa bagian tubuh, menjadi ciri khas wanita itu. Julukan toko mas berjalan sangat cocok disematkan kepadanya. Tatapan jijik wanita itu terhujam tepat di mataku.

“Kau memang tidak tahu diri. Seharusnya sejak awal kau menolak saja pernikahan ini. Siapa yang sudi memperistri dan mengangkat menantu buntalan tak berguna sepertimu? Aku bahkan hampir tidak punya muka kalau saja tidak segera menyembunyikan dirimu di kamar saat hajatan kemarin.”

Aku memejam sebentar. Sungguh, walaupun cacian dan hinaan sudah jadi santapan setiap saat semenjak memasuki rumah ini, tak urung hati ini selalu merasa teriris setiap wanita yang bergelar mertua itu menghinaku.

Tak ada yang menginginkanku baik di rumah ini atau di mana pun. Aku gegas berlalu dari hadapan Bu Astri. Ibu mertua, oh bukan, mantan ibu mertua karena anaknya baru saja menceraikanku.

Tidak perlu lagi sopan santun, bukan? Toh keberadaanku seminggu di sini tak pernah dihargai sedikit pun. Bu Astri malah sengaja menyuruh ART-nya cuti semenjak aku masuk ke rumah ini. Untuk menghemat pengeluaran katanya, dan ... semua pekerjaan rumah tugas ART pun, aku yang harus mengerjakan.

Ya, aku hanya jadi babu selama seminggu tinggal bersama keluarga Arman. Tidak lebih. Bu Astri akan mencolek semua permukaan meja dan perabot lainnya di rumah ini setiap hari untuk mengecek pekerjaanku. Padahal rumah mereka cukup besar dan memiliki dua lantai. Bayangkan, aku harus membersihkan semua sendiri. Belum lagi baju-baju kotor seluruh anggota keluarga yang harus dicuci dan gosok setiap hari.

Itu saja? Tentu tidak. Hidangan keluarga untuk sarapan, makan siang dan makan malam pun masih aku yang harus mengerjakan. Dan apa kalian tahu ada berapa jumlah anggota keluarga ini?

Arman, ayahnya, ibunya, kedua adik wanitanya. Belum lagi satu kakak laki-laki yang sudah menikah dan mempunyai dua anak. Terbayang bukan, piring, sendok, dan perlahan makan lainnya yang kotor dan harus kucuci bila mereka selesai makan?

Maka, saat talak itu akhirnya terucap, sebenarnya antara sakit dan senang. Setidaknya statusku bukan lagi pembantu.

**

Aku mengemasi baju yang tidak seberapa ke dalam ransel kecil. Tidak banyak yang kubawa ke sini saat Arman dan ibunya dengan terpaksa menjemputku seminggu lalu.

Kuamati ruangan kecil yang menjadi kamar tidur selama di sini. Hanya ada kasur tipis yang digelar di lantai, dan lemari kayu dengan cermin panjang dan usang terpasang di pintunya.

Kamar tidur ini jarang kugunakan. Pekerjaan rumah yang menumpuk membuat waktu tidurku sangat pendek. Tengah malam aku baru tidur, dan sudah harus terbangun jam empat sebelum azan Subuh.

Kutatap bayangan diri di cermin yang sudah buram itu. Di mana hanya tampak sesosok besar yang bahkan Bu Astri menyebutnya ‘buntalan'. Tidak ada wajah cantik dan glowing, hanya ada wajah lebar dengan jerawat memenuhi pipi. Padahal hidungku termasuk bangir walau kecil. Rambut sebahu diikat asal, lalu yang mencolok adalah, tubuh yang sebesar drum air.

Ya, aku memang memiliki berat badan berlebih. 150 kg. Itu terakhir menimbang. Mungkin berat itu seminggu ini sedikit menyusut karena aktivitas fisik yang banyak. Pinggang rok yang kupakai sedikit ada ruang di sisi kanan dan kiri saat dipakai. Blus lusuh ini juga tidak begitu terasa sesak. Namun, tetap saja aku ini ‘Si Gendut' yang buruk rupa. Arman bahkan memanggilku dengan sebutan bola. Panggilan menyakitkan seorang suami kepada istrinya.

“Heh, Buntalan! Apa yang masih kau lakukan di dalam? Bukankah Arman sudah menceraikan dan mengusirmu? Apa kau masih betah di sini? Cepat pergi sebelum calon istri Arman dan keluarganya datang! Aku tak ingin mereka masih melihatmu di sini!”

Suara teriakan dan gedoran keras di pintu menarikmu ke alam nyata. Aku melamun. Sebegitu bencinya Bu Astri kepadaku hingga ingin melihat mantan menantu yang tidak diinginkannya ini cepat pergi. Mungkin ia membuntuti sejak tadi, dan menunggu di depan pintu. Lalu menggedor saat aku tak kunjung keluar.

Meraih ransel di atas kasur lepek, disampirkan ke pundak, kemudian aku berjalan keluar kamar. Wanita yang wajahnya selalu masam itu, sedang bertolak pinggang. Matanya memindai wajahku.

“Jangan bilang kau menangis dulu di dalam karena tidak mau Arman ceraikan!” ujarnya dengan salah satu ujung bibir terangkat sinis.

Aku mendecih. Rasanya ingin tertawa mendengar tuduhannya yang lucu. Menangis? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali menjatuhkan air mata. Saking terlalu akrab dengan penderitaan.

“Jangan membuatku tertawa, Bu!” Akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku.

“Sudah aku bilang jangan panggil aku ibu! Panggil aku nyonya! Aku bukan ibumu!” Dia berteriak di depanku.

“Jangan membuatku tertawa, Nyonya! Aku bahkan ingin berguling-guling karena senang akhirnya bisa bebas dari manusia-manusia yang tak pantas disebut manusia seperti kalian!” Aku balas memaki. Tidak guna terus sopan kepada mereka yang bahkan tidak pernah menganggapku manusia, bukan?

Bola mata wanita itu melebar sempurna. Mungkin tidak menyangka aku yang selama seminggu ini hanya diam saat mereka perlakukan semena-mena, berani menjawab.

“Semoga salah satu anak gadismu tidak ada yang kelak bernasib sepertiku, Nyonya. Tapi kalau ada, semoga Anda berumur panjang dan dapat menyaksikannya!” Entah keberanian dari mana kalimat itu meluncur dari mulutku.

Aku langsung berlalu begitu saja dari hadapan wanita yang wajahnya merah padam dan memegangi dadanya.

Komen (11)
goodnovel comment avatar
Arief Rachman
tema nya bagus untuk motivasih buat para para gadis
goodnovel comment avatar
Riesty Famie
Mmm… saya bingung awalnya bagaimana mereka bisa menikah. Cerita yang membuat saya penasaran kelanjutannyab
goodnovel comment avatar
Dewi Hasanah
bagus, ceritanyaembuat saya penasaran danerasa kasihan pada nasib yang menimpa wanita itu....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status