Share

PULANG

Part 2

Viola Anastasya. Nama yang cantik, bukan?

Sayangnya fisik dan nasibku tak secantik nama ini. Entah kenapa Ayah dulu menamaiku begitu cantik. Mungkin saat lahir memang aku cantik. Tidak mungkin langsung segendut dan jerawatan seperti sekarang.

Aku menyeret langkah yang sudah tertatih. Hampir satu jam berjalan kaki dengan membawa tubuh seberat ini memang bukan perkara mudah. Paha yang lecet karena terlalu banyak bergesek satu sama lain, telapak kaki yang terasa panas, betis pegal, dan blus ini? Bahkan aku yakin sudah bisa diperas seperti habis dicuci. Saking banyak keringat yang membasahi.

Aku menghentikan langkah. Melihat warung kopi kaki lima di saat seperti ini, laksana melihat oase di padang pasir. Tanpa berpikir panjang, aku mempercepat langkah, masuk, dan langsung duduk di salah satu bangku kayu panjang tanpa sandaran. Seorang pemuda yang sedang minum kopi dan duduk di ujung lain bangku ini, memilih cepat menghabiskan kopinya, lalu pergi setelah membayar.

Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin jijik melihat tubuh dan wajahku. Mungkin takut kuterkam. Atau yang lebih ringan mungkin takut bangku yang kami duduki patah karena tidak kuat menopang berat tubuhku.

Aku tidak peduli. Saat ini aku hanya ingin istirahat, makan dan minum. Ada uang dua puluh ribu dalam tas. Mungkin cukup untuk memesan mie rebus duo pakai telur dan cabai rawit yang banyak.

Berjalan kaki di bawah terik matahari siang bolong semenjak keluar dari rumah Arman, selain capek, juga membuat cacing dalam perutku berdemo. Aku lapar. Arman menceraikanku sebelum aku sempat sarapan, hingga tak sempat sekadar mencicipi masakan yang kubuat untuk keluarga itu.

Aku langsung memesan mie instant porsi duo dengan telur dan cabai rawit yang banyak, tanpa memedulikan pengunjung lain yang menatap heran.

Satu mangkuk besar mie itu tandas dalam hitungan kurang dari lima menit. Bila sedang stres dan pusing begini, nafsu makanku memang selalu menggila. Itulah mengapa tubuh ini tak pernah mau menyusut. Sejak dulu, setiap kali stres menghadapi hidup yang seolah tidak adil ini, aku selalu melampiaskan pada makanan. Rasanya beban sedikit berkurang bila perut sudah penuh.

Aku bersendawa keras sesaat setelah menandaskan suapan terakhir dan meneguk teh hangat gratis yang disajikan pemilik warung. Kemudian segera keluar sebelum calon pengunjung kabur karena jijik melihatku. Kasihan rezeki pemilik warung harus berkurang gara-gara aku terlalu lama di sana.

Kembali kususuri trotoar jalanan ibu kota yang panas ini. Kali ini dengan tenaga baru dari mie instan panas dan pedas tadi.

Kalau kalian bertanya kenapa aku tidak naik angkutan umum atau ojek saja agar tidak terlalu capek, jawabannya karena aku tidak memiliki uang untuk membayar ongkosnya. Uangku hanya selembar dua puluhan yang tadi dipakai untuk membeli makan.

Selama seminggu menjadi istri Arman, dia tidak pernah memberiku nafkah. Jangankan nafkah batin, nafkah lahir uang sepeser pun tidak pernah aku terima.

Kalau kalian bertanya kenapa aku mau menikah dengan Arman, jawabannya karena terpaksa. Dipaksa lebih tepatnya. Ibu tiri yang paling aku benci yang memaksaku menjadi mempelai wanita untuk menggantikan anaknya yang kabur di malam menjelang hari perkawinannya.

Feli kabur, dan penderitaan hidupku semakin bertambah sejak hari itu.

Keluarga Arman yang kadung mengeluarkan biaya banyak untuk pesta pernikahan itu menuntut ganti rugi kepada ibu tiriku. Namun, wanita culas itu tentu tak mau rugi, ia akhirnya membohongi keluarga Arman dengan mengatakan mempelai wanita akan digantikan dengan anak gadisnya yang lain yang lebih cantik. Keluarga Arman yang merasa tertipu setelah melihat keadaanku, tak bisa berbuat apa-apa karena undangan kadung disebar.

Pesta tetap dilangsungkan dengan menyembunyikanku di dalam kamar. Arman hanya duduk di pelaminan sendiri, dengan mengatakan mempelai wanita tidak enak badan, setiap kali ada yang bertanya.

**

Dengan peluh yang sudah membanjiri tubuh, aku akhirnya sampai di depan sebuah rumah besar yang mulai tak terawat. Aku menatap nanar rumah yang dulu sangat bersih, indah, dan rapi karena sentuhan tangan wanita yang sangat terampil mengurus rumah tangga. Tangan ibuku.

Ya, setelah lebih dua jam, dan tak terhitung istirahat duduk karena kaki yang pegal, akhirnya aku sampai di rumah peninggalan ayah. Rumah yang kini dihuni ibu tiriku semenjak ayah meninggal. Walaupun aku sangat membenci wanita culas yang sudah merampas kebahagiaanku sejak kecil itu, tetapi tak ada tempat untukku berlindung selain rumah ini.

Ini rumah peninggalan ayah. Dibangun saat ayah masih bersama ibuku. Jadi, aku punya hak untuk tinggal di sini, bukan? Bahkan ini seharusnya jadi milikku, bukan wanita culas itu.

Aku mengetuk pintu setelah mengamati halaman yang banyak tumbuh rumput liar di sana-sini. Padahal waktu ibu masih ada, halaman ini sangat indah dan asri dengan berbagai macam bunga dan tanaman hias yang tertata rapi dalam pot-pot yang berjajar di tepinya. Kini, semua sudah berbeda.

Wajah tua merengut dengan rambut acak-acakkan dan mata terbelalak lebar menyambutku begitu pintu terbuka dari dalam. Raut kaget dan tidak suka berbaur melihat kehadiranku. Wanita paruh baya yang pakaiannya bahkan tidak terpasang dengan benar itu ingin menutup pintu dan melarangku masuk, tetapi sekuat tenaga aku mendorongnya hingga ia terjungkal.

Roknya yang tersibak membuat bola mataku seolah ingin loncat dari rongganya. Wanita itu tidak menggunakan apa pun di balik roknya. Dan kemunculan pemuda belasan tahun dari sekat penghubung ruangan ini tanpa penutup dada, membuat jantungku yang kini ingin loncat dari rongganya.

“Ada apa, Sayang? Kenapa kamu berteriak?” tanya pemuda yang hanya menggunakan boxer itu membantu Yuni–ibu tiriku bangkit. Tadi ia menjerit saat tubuhnya terjungkal karena doronganku yang kuat.

“Cup ... cup....” Si pemuda menghibur Yuni seolah anak kecil.

Isi perutku rasanya seperti diobok-obok dan ingin keluar melihat Yuni yang mengadu dengan manja kepada pemuda yang membelai lengannya.

Aku mengerti sekarang apa yang terjadi. Pantas saja harta ayahku habis. Ternyata selama ini Yuni mempunyai peliharaan berondong untuk memuaskan nafsunya. Dan aku sangat mengerti apa yang baru saja terjadi sebelum datang barusan.

Dengan menahan mual yang meraja, aku ingin memakinya. Namun, ternyata dia lebih dulu membuka mulutnya.

“Kenapa kau datang lagi? Bukankah kau sudah bahagia menjadi menantu si Astri? Kau menikmati apa yang harusnya menjadi milik anakku!”

Apa?

Keningku berkerut.

Bahagia? Menikmati? Tidak salah? Aku bahkan....

Tunggu!

Jangan-jangan Yuni sengaja menumbalkan aku menggantikan anaknya, karena tahu perlakuan seperti apa yang akan diterima Feli di keluarga itu.

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Dewi Hasanah
nasib anak yg mempunyai ibu tiri... kashan kl dapat yg jahat...
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
siapa juga laki2 yg mau dg buntalan kayak kamu. orang normal dan waras g akan mau. udah jelek,gemuk bodoh lahi
goodnovel comment avatar
Dwi Rini
masih nyimak nich...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status