Ayasya menyimpan rasa kesal usai Xaba meminta menikah dengannya."Dia pikir pernikahan itu main-main, dulu dijodohkan dengan saya keberatan, sekarang meminta jadi istri."Lebih baik Ayasya mengurung diri di kamar daripada melihat Xaba yang lalu lalang di apartemen mewahnya."Aku beri waktu berpikir hingga malam nanti karena kamu katakan besok sudah mulai bekerja. Bila menolak, maka lebih baik bagi kamu kembali ke Surabaya, bukan di Jakarta. Untuk kamu ketahui, biaya tinggal di sini tergolong tinggi, gaji kamu bakal kurang untuk capai hidup sejahtera."Demikian kalimat terakhir Xaba sebelum Ayasya undur diri.Dirinya pun tidak ingin kembali ke Surabaya, toh akan kembali lagi pada keluarga Santos. Ayasya sebenarnya berniat untuk pelan-pelan keluar dari lingkaran keluarga kaya itu agar hidup lebih mandiri.Di kamarnya, Xaba terlibat percakapan dengan Batari, pria itu menceritakan niat menikahi Ayasya. "Apa kamu nyatakan perasaan pada Ayas?" tanya Batari penasaran, ia duduk bersebelahan
Mas Xaba,Terima kasih telah mempekerjakan saya selama tiga bulan di Jakarta. Telah saatnya saya menapaki jalan hidup di kaki sendiri. Maaf, melalui cara ini berpamitan dengan Mas Xaba.Dari AyasXaba meremukkan kertas berisi tulisan tangan Ayasya. Ia menemukannya di atas meja makan saat akan sarapan pagi. Xaba terlambat bangun dari biasanya lantaran mempelajari cerita baru untuk proyek film terbaru.Perempuan itu tetap menyediakan keperluan Xaba untuk yang terakhir kali. Xaba menatap nanar hidangan yang tersedia."Sialan kamu, Ayas!" umpat Xaba dengan tangan mengepal.Xaba beranjak dari duduk, ia meraih ponsel di dalam kamar lalu mencari nama Ayasya. Panggilan Xaba tidak direspon beberapa kali, padahal aktif, secara emosional Xaba terganggu dengan cara Ayasya menghindar.Pria itu kembali mengulir ponsel dan menemukan nama seseorang yang dianggap bisa membantu."Carikan seseorang. Nomor ponselnya saya kirim."Beberapa menit menunggu, Xaba menerima pesan berupa lokasi nomor, kartu, sam
Jadilah hari kemarin sebagai momen jumpa penggemar dadakan di restoran Bumi Kembang. Bukan hanya Sastri dan pramusaji, melainkan para pelanggan lain yang kebanyakan perempuan pun meminta giliran foto bareng dengan Xaba.Di sudut restoran, Ayasya meringis dan berdiri dengan perasaan sebal melihat betapa nyaman Xaba disentuh dan dipeluk oleh para penggemar.Pria itu melempar senyum pada setiap perempuan yang mendatanginya. Ayasya bersungut-sungut sendirian tanpa bisa melakukan apa-apa. [Di mana kamu, sudah pagi.][Datang ke unitku.]Ayasya membaca pesan singkat Xaba di ponsel lalu gegas ke unit apartemen yang letaknya bersebelahan.Belum lagi Ayasya memencet tombol bel, pintu unit telah terbuka."Masuk." Kepala Xaba bergerak menyuruh Ayasya. Ayasya masuk, berjalan menuju arah dapur untuk mengerjakan tugas pagi menyediakan sarapan dan pakaian Xaba."Hari ini Mas ada syuting di daerah Puncak, menginap selama dua malam," ucap Ayasya membaca jadwal yang ditempel di dinding luar kulkas."H
Selama dua hari Ayasya merasa gundah lantaran Xaba tidak memberi kabar sama sekali. Ia pun tidak memiliki alasan kuat untuk menghubungi Xaba sekedar menanyakan kabar dan kapan kembali ke Jakarta. Di unit yang bersebelahan dengan Xaba, Ayasya uring-uringan. Ia sengaja membuka akun artis perempuan yang pergi ke Puncak bersama Xaba tempo hari."Cantik," ucapnya sambil tersenyum, tetapi dalam suasana hati yang galau.Foto Xaba bersama dengan artis perempuan dan tim kerja mereka di publikasi dalam alun sosial. Pada lembaran terakhir, tinggal hanya foto Xaba dan artis tersebut. Ayasya menghela napas dalam. "Pria tampan pasti menyukai perempuan cantik." Ayasya terkekeh mengingat penawaran Xaba untuk menikah dengannya."Kalau Mas Xaba menikahi saya, yang ada perkawinan saya ditimpa perselingkuhan. Iiii...," ungkapnya geli dan ngeri membayangkannya.Bunyi bel di unit Ayasya terdengar, lamunannya terhenti, berubah menjadi pertanyaan tentang siapa yang datang pada malam hari ini.Beberapa kali
Tadi pagi Ayasya pergi kerja tanpa berpamitan dengan Xaba, baik secara langsung maupun melalui pesan singkat.'Makan malam telah saya sediakan dan juga pakaian Mas untuk besok. Mohon maaf, besok pagi saya tidak bisa datang ke unit Mas, pagi-pagi saya berangkat karena ingin menyiapkan laporan untuk restoran.'Demikian pesan tertulis Ayasya di meja makan, ditemukan Xaba sepulang syuting. Xaba meremukkan lembar kertas kecil berisi tulisan Ayasya. Xaba menghubungi Ayasya melalui ponsel, sayangnya telepon Ayasya tidak aktif.Sambil menunggu ponsel Ayasya kembali aktif, Xaba membersihkan diri ke kamar kecil lalu menikmati menu yang telah dihidang oleh Ayasya.Pria itu mencoba kembali menghubungi Ayasya, hasilnya tetaplah sama. Ponsel Ayasya tidak aktif.Disertai gerutuan, Xaba menghampiri unit Ayasya. Ia memencet bel di dekat pintu, tetap saja tidak ada tanda-tanda Ayasya membukakan pintu untuknya. Terpaksa Xaba mengetuk hingga menggedor pintu Ayasya dengan kencang."Hei, berisik! Anda me
"Bagaimana kabar Ayasya?" Batari menghubungi Xaba melalui telepon."Ibu kalau menanyakan kabar Ayas seharusnya menghubungi orangnya."Batari terkekeh mendengar jawaban Xaba yang terkesan tidak peduli, tidak sesuai dengan pertanyaan."Kenapa? Lagi berantem?"Xaba mendengus begitu Batari meneruskan topik tentang Ayasya. "Sulit ditaklukkan, Bu," ungkapnya dengan nada rendah.Gelak tawa Xabier terdengar dari seberang."Papa menguping?" terka Xaba merasa heran Xabier bersama Batari di jam kerja. "Papa tidak ke restoran?""Ini pakai pengeras suara. Jadi, Papa kamu bisa dengar cerita kita. Ibu sedang di restoran pusat menemani papa kamu," terang Batari."Oh."Xaba telah menceritakan bagaimana perasaan dirinya terhadap Ayasya pada Batari, ia mendukung ide Xaba sewaktu meminta Ayasya ikut bersamanya ke Jakarta dengan alasan mengurusi kebutuhan Xaba paska peristiwa penembakan."Xaba, Ibu kamu juga dulu begitu, sulit takluk, maunya jauh dari Papa, padahal rindu berat." Tawa Xabier menyusul meng
"Siapa yang menemani perjalanan kamu ke restoran cabang?" tanya Xaba sewaktu mereka sarapan bersama di unit pria itu."Ada empat orang, Mas. Pemilik resto namanya Bu Sastri, saya, asisten perempuan, dan satu lagi driver," jawab Ayasya sembari menikmati masakannya sendiri.Pagi ini Ayasya menyediakan ketupat sayur."Ada laki-laki?"Suapan Ayasya terhenti di udara. "Ada. Driver laki-laki.""Oh.""Memangnya kenapa, Mas?" tanya Ayasya menyelidik."Tidak kenapa-napa." Xaba menyembunyikan alasan mengapa ia menanyakan siapa saja yang ikut serta dalam perjalanan ke restoran cabang.Ponsel Ayasya berbunyi di ruang tamu, percakapan mereka terjeda, bukan notifikasi pesan, melainkan panggilan."Ya, Bu, semua telah saya siapkan. Kita tinggal berangkat. Oh, saya dijemput? Tidak ke restoran?""......""Baik, Bu." Ayasya menyampaikan alamat apartemen yang ditinggalinya."Siapa menelepon?""Bu Sastri, pemilik restoran, Mas. Si Ibu ingin memperluas cabang, tapi beliau mau mengecek dulu keadaan cabang r
Tiga hari mengurus restoran cabang di Banten, Ayasya dan teman kerjanya beranjak ke Depok, tempat terakhir perjalanan."Cabang di sini tidak bermasalah, banyak pelanggan yang datang," ucap Ayasya memberitahu fakta.Ayasya sebenarnya agak heran cabang Depok diminta Sastri untuk dimasukkan menjadi daftar yang harus dikunjungi.Sastri mengangguk membenarkan kalimat Ayasya. "Tempatnya strategis, ya. Lalu lintas juga lancar," ucap Sastri.Kini, Ayasya yang mengangguk. Nah, Ayasya belum tahu alasan mengapa masih harus mengunjungi restoran cabang ini?"Selamat siang, Tante."Sapaan seorang pria dari balik punggung Ayasya membuat dirinya terhenyak."Eh, hei, Elang, sudah datang. Mari duduk." Sastri menepuk meja di samping kirinya.Ayasya tidak habis pikir, ada Elang di sini bersama mereka. Beberapa bulan mereka sama sekali tidak pernah berjumpa, semenjak Wulan masuk rumah sakit, mantan bosnya, lantaran berusaha mengakhiri hidup."Ayas, kenalin ini ponakan saya, Elang Dewandaru."Perlahan ta