Ayasya bangkit dari tempat tidurnya saat pagi menjelang. Ia mempersiapkan diri terlebih dulu lalu melangkah menuju unit Xaba.Mengejutkan baginya, akses yang biasa digunakan telah nonaktif sehingga dirinya tidak berhasil masuk ke unit Xaba.Ayasya mengetuk beberapa kali, sayangnya Xaba tak kunjung keluar.Kembali masuk ke unit sebelah lalu menelepon Xaba."Halo....""Mas, tadi saya mau masuk, tapi tidak berhasil, bisakah --""Ini masih terlalu pagi untuk menyediakan sarapan, Ayas. Kamu tidak perlu repot lagi mengurusku, aku bisa menggunakan jasa orang lain. Dulu juga begitu."Merosot rasanya semangat Ayasya pagi ini mendengar sambutan dingin Xaba."Mas...," lirihnya. Ponsel Xaba terputus, entah karena sinyal yang buruk atau Xaba mengakhiri panggilan.Hari ini Ayasya diminta hadir di restoran sebelum buka pukul delapan pagi. Ia melirik jam di ponsel yang telah menunjukkan pukul tujuh.Tidak terasa Ayasya jatuh dalam lamunan cukup lama.Butuh waktu tiga puluh menit menggunakan transpor
Ayasya segera datang ke rumah sakit, bermodal informasi dari Candra ia berhasil menemukan kamar rawat Xaba.Tiba di ruangan dengan napas terengah-engah, Ayasya menemukan Xaba masih terlelap tenang, tanpa tahu kedatangan Ayasya. Hati bersalah Ayasya mendadak mengundang linangan air mata di pipi."Kenapa Mas Xaba bisa seperti ini? Semalam masih baik-baik saja," ucapnya khawatir, menatap pada Candra yang berdiri dari bangku duduk.Pria itu pun bingung sejak jam berapa penyakit Xaba kambuh. Lebih heran lagi, ternyata Ayasya tidak mengenal penyakit Xaba."Kamu tidak tahu Xaba punya alergi? Sudah selama ini saling mengenal?"Bagai dihantam benda berat, Ayasya menggeleng lemah."Xaba mengalami syok anafilaktik, reaksi alergi berat. Ini bisa sampai mengancam nyawa, kalau aku tidak datang, mungkin Xaba bisa lebih parah." Candra tidak melanjutkan perkataannya melihat paras keterkejutan disertai derasnya air mata Ayasya."Syukurnya dokter bilang kategorinya masih ringan." Candra mencoba menerapk
Kepanikan berkecamuk dalam diri Batari usai mendapat kabar pagi ini dari Ayasya. Putranya dirawat lantaran reaksi alergi berat"Kita harus ke Jakarta, Pak," pinta Batari mengguncang lengan suaminya."Aku paham ibu cemas, duduk dulu." Xabier merangkul istrinya ke sofa di ruang keluarga. Hari ini Xabier tidak punya agenda khusus keluar rumah."Saya tidak tenang, apa jangan-jangan yang mengirimkan surat kaleng tempo hari melakukan hal buruk pada Xaba? Xaba baru saja lepas dari kejadian buruk enam bulan lalu, sekarang kejadian apa lagi ini, Pak?"Batari merengek seperti seorang anak kecil. Ia memegang kepala yang mendadak pusing, hatinya gelisah. Paranoid menyerang."Bukan, Bu. Ayas tadi bilang Xaba mengalami syok anafilaktik, berarti Xaba mengonsumsi pantangan."Batari kembali pada kenyataan, ia terlalu berlebihan menanggapi kecemasan sebagai seorang ibu."Duh, apa Ayas tidak mengurusi makanan Xaba? Ibu sungkan bertanya.""Ya, di telepon sebaiknya tidak membahas hal itu. Aku akan minta b
"Apa ada yang Mas inginkan?" tanya Ayasya begitu beranjak dari tempatnya meratapi nasib.Tadi cepat-cepat Ayasya mengusap air mata agar tidak mengganggu tampilan wajahnya."Pergilah bekerja, aku tahu mimpi kamu dan keluarga. Pesan ibu kamu untuk melanjutkan kuliah dan memiliki pekerjaan lebih baik. Dan, kamu selalu memegang teguh pesan ibu Sri."Ayasya tersenyum canggung, ia menduga kalau Xaba telah mendengar percakapannya dengan Elang."Saya mundur dari restoran," ucap Ayasya."Mengapa harus melakukan itu?""Saya akan merawat Mas." Tekad Ayasya bulat."Demi menebus rasa bersalah?"Ayasya membalas sorotan Xaba dalam kebimbangan hati, benar, ia merasa bersalah lantaran ketidaksengajaan membuat Xaba menjadi menderita sakit."Tidak perlu, aku bisa mempekerjakan perawat. Kamu bisa melanjutkan pekerjaan, Ayas." Xaba tidak ingin menjadi orang egois dengan menahan Ayasya bersamanya. Ayasya berhak bebas menentukan nasibnya sendiri."Mas, jangan ajak ribut lagi. Saya baru sedih mengundurkan di
"Sudah semua barang Xaba?" tanya Batari pada Ayasya, dua hari kemudian."Sudah, Bu."Candra membantu mengangkat barang ke mobil Xaba yang telah bersiap di depan lobi rumah sakit.Setibanya di apartemen, mereka semua masuk ke unit yang dihuni oleh Xaba."Jadi, selama ini Ayasya juga tinggal di sini?" tanya Batari dengan tatapan penuh makna.Ayasya dan Xaba saling berpandangan seakan-akan merasa tertuduh. "Awalnya tinggal se-unit. Ayas di kamar satunya," ungkap Xaba dengan jujur.Xabier berdehem merasa terganggu dengan pikiran sendiri."Hanya sebentar se-unit Pak, Bu. Sekarang saya tinggal di unit sebelah," tambah Ayasya sebelum terjadi salah paham.Paras 'oh' Batari dan Xabier menunjukkan kalau mereka lega mendengar penuturan Ayasya. "Saya ke dapur dulu, menyiapkan makan dan minum."Ayasya membuat alasan yang tepat lantaran malu berhadapan dengan Batari dan Xabie bila lebih lama berada di sana."Kamu tidak apa-apakan Ayas, 'kan, Xaba?" selidik Batari dengan harap-harap cemas. Sengaja
Pagi harinya, Ayasya menyiapkan sarapan untuk keluarga Santos di unit Xaba. Di dapur, turut Xaba menemani sembari membantu hal kecil. "Mas, semalam Elang menghubungi saya," ujar Ayasya pelan seperti orang berbisik sembari menyusun hidangan di meja makan."Mau apalagi orang itu?"Ayasya duduk di seberang meja lalu mencondongkan badan ke arah Elang mendekati meja."Elang mencap kalau saya 'menjual diri' pada Mas Xaba sampai bersedia keluar dari restoran, padahal saya sudah digaji besar di sana."Paras Xaba memerah, kupingnya panas mendengar tuduhan Elang pada Ayasya. "Saya ceritakan ini bukan tujuan membuat Mas marah." Ayasya menyentuh kepalan tangan Xaba yang menguat di atas meja."Maksud saya, sepertinya kita perlu waspada sama Elang, soalnya ia masih mencecar saya dengan hal-hal yang membuat saya tidak yakin dengan diri sendiri, seperti mempertanyakan kualitas dan pandangan terhadap diri saya."Xaba mengangguk mengikuti alur pikir Ayasya. Ia ingin marah, akan tetapi orang yang mere
Pertunangan Xaba dan Ayasya digelar tertutup, hanya kerabat jauh dan kenalan mereka yang diundang ke acara."Banyak petugas pengamanan diambil?" tanya Candra menyapu pandangan seusai pertunangan selesai."Ya, untuk jaga-jaga. Masih ada yang iseng mengganggu soalnya.""Berani sampai ke Surabaya?" Candra mengemil kacang yang ada di tangannya. Xaba mengangguk."Wah, itu bukan iseng namanya. Hidup keluarga Santos dibayangi orang-orang tidak bertanggung jawab," nilai Candra."Ah, sok tahu kamu, Can.""Loh, bener. Dulu Pak Xabier pernah punya kasus hukum dengan siapa itu namanya....""Wisang.""Nah, benar. Dan, kamu juga pernah di culik juga."Kening Xaba mengernyit lantaran Candra tahu sejarah keluarga Santos."Jangan heran, berita itu semua diliputi media dan bisa dicari ulang di internet."Xaba mengulas senyum, ia baru sadar bila ayahnya dulu adalah model dan pengusaha sehingga pemburu berita pasti akan mewartakan kabar mengenai keluarganya."Can, pernikahan ini akan diselenggarakan bula
Batari diharuskan untuk rawat inap lantaran ada luka terbuka di bagian lengan dan bahu akibat pecahan kaca mobil mengenai dirinya."Malam ini saya saja yang menjaga Ibu, Pak, Mas," tawar Ayasya. Akhirnya, Xaba meminta Ayasya datang ke rumah sakit.Xaba dan Xabier saling pandang."Bapak saja, tidak masalah.""Ayas benar, Pa. Keadaan Papa kena benturan juga akan sulit mengurus Ibu di rumah sakit. Aku yang bantu Papa di rumah. Ayas menjaga Ibu di sini."Melihat kondisinya sendiri, barulah Xabier menerima ide dari putra dan calon menantunya."Kamu cepat beritahu kalau ada yang janggal atau kondisi ibu terbaru Ibu, ya," ucap Xaba sembari membelai kepala Ayasya. "Ada penjaga yang bertugas. Kasus rem blong ini juga sudah ditangani pihak berwajib."Xabier mengatakan demikian agar ada rasa aman dalam diri Ayasya selama menjaga Batari di rumah sakit.Xaba dan Xabier berpamitan pada Ayasya, Batari berbaring di ranjang dalam keadaan terlelap.Ayasya mengusap lengan Batari, ia iba dengan keadaan ca