“Mel! Lo bukannya pernah cerita ya, kalau bokap lo ada kenalan dukun sakti. Bisa nggak Mel, lo ajakin gue kesana?!”
Lolita mengguncang-guncang lengan Melisa. Jalannya sudah buntu, mungkin satu-satunya cara untuk dapat meluluhkan hati Adnan memang melalui dukun sakti. Bukannya malah sok menjadi dukun seperti yang selama ini dirinya lakukan.
“Please, bawa gue ya Mel!”
“Heh! Dugong! yang bener aja lo! Bokap gue aja udah pensiun, kenapa jadi giliran lo, yang sukarela, buat jadi human yang tersesat!”
“Kepepet, Mel. Tuhan pasti maklum! Gue kan hamba yang tidak berdaya!”
“Si Dodol!” Melisa tak bisa menahan tangannya untuk tidak menoyor kepala Lolita. Mana ada gadis setambeng sahabatnya ini. Sudah diperlihatkan kenyataan, matanya tetap saja buta, tak mau mengakui kekalahannya.
“Pake cara yang bener-bener aja sih, Lol! Kena azab lo ntar!”
Bukan apa-apa ya.. Jika Lolita terkena azab, dirinya pun pasti ikut merasakan pedihnya teguran dari Sang Maha Kuasa itu. Secara Lolita kemana-mana selalu bersamanya.
Kalau diazabnya melalui petir disiang bolong, gimana dong? Masa iya, gosong berjamaah!
Nehik!
Melisa lebih baik menyadarkan sahabat bebalnya ini agar menyerah saja dalam urusan perdukunan.
“Mel, lo tega liat gue merana-gegana cuman gara-gara Bang Adnan?! Gue masih mudah loh, Mel!”
“Lo serius tanya ke gue, Lol?”
Lolita menganggukkan kepalanya. Ya bertanya pada siapa lagi, orang yang sedang bersamanya jelas-jelas hanya Melisa seorang.
“Kalau gue sih yes!”
“Anjrotlah, lo, Mel! Jadi temen nggak ada setia-setianya!” Dumel Lolita. Ia kan hanya meminta diantarkan ke dukun, bukan meminta nyawa sahabatnya. Kenapa rasanya sulit sekali ya?! Toh dirinya tidak akan menjadikan Melisa tumbal juga, jika pertumbalan itu memang diadakan sebagai syarat.
“Nggak ketolong lo, Lol! Asli! Gue makin gemes, pengen banget nge-goreng jantung lo!”
“Auf! Atit! Jangan! Nanti kalau gue metong, Bang Adnan kangen!”
Melisa memegangi dadanya, shock. Kasihan Lolita, mana masih muda, tapi sudah memiliki gangguan separah ini.
“Nyet, ayo nyari tempat duduk kita. Wajib dikeker nih! Takutnya calon laki gue dijampi-jampi sama itu Mbak-Mbak.”
Realy?
Bukannya kebiasaan ingin menaburkan permagisan itu adalah Lolita?
Wah, kaca di rumah Lolita tampaknya sudah memburam dan perlu sekali untuk diganti secepatnya.
Bisa-Bisanya gadis itu tidak sadar diri.
Setelah tanpa malunya ikut bergabung pada meja yang manusianya tidak dirinya kenali, Lolita melebarkan daun telinganya selebar mungkin.
Selain menjadi dukun dadakan untuk sang calon suami dimasa depan, Lolita juga siap sedia menjadi agen mata-mata tingkat kecamatan saat diperlukan.
“Mana Mas Adnan? Ibu tuh kepo. Masa sih di zaman secanggih ini, masih ada yang pake ilmu-ilmu pelet?”
“Ib-Ibu?” Beo Lolita. Kepalanya berputar cepat, membuat rambut panjangnya terkibas. “Nyet! Ibu, Nyet! Kata lo itu ceweknya Bang Adnan?” Sergap Lolita langsung meminta penjelasan pada Melisa.
“Lah, kapan gue bilang Mbaknya ceweknya Bang Adnan?! Perasaan gue nggak ada bilang deh, Lol!
“Eh, Sat! Lo bilang begitu tadi ya! Makanya gue mau nyari dukun sakti!” Lolita bangkit dan menggebrak meja di hadapannya.
Brak!!
Kerasnya suara hantaman antara tangan Lolita yang bertemu dengan papan meja, membuat Adnan dan ibunya— sosok yang diindikasi sebagai pemenang hati Adnan, memperhatikan meja tempat dimana Lolita berdiri.
“Lolai!!” Desis Melisa. Lagi-lagi karena kebar-baran Lolita mereka kembali menjadi bahan tontonan mahasiswa lain.
“Aha!” Seseorang memekik, membuat Lolita dan Melisa kontan mencari sumber suara.
Bola mata Lolita seakan ingin terlepas dari sangkarnya saat melihat siapa gerangan yang menginterupsi perdebatannya dengan Melisa. Terlebih tatkala perempuan itu mendekat ke arah mejanya.
‘Gue nggak bakalan dirajam kan? Kok serem banget gini sih!’ batin Lolita, takut. Ia masih perawan loh, belum sempat merasakan celap-celup asoy bersama laki-laki idamannya.
“Jadi kamu ya, yang melet anak kesayangan saya?” tanya Tatiana, selaku ibunda tercinta Adnan.
“Tan-Tante, Ibunya Bang Adnan?”
“Seratus buat kamu.” Tatiana menjentikan jarinya di udara. “Kamu bener!” Serunya heboh. Adnan yang berada tak jauh dari mereka menutupi wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya.
‘Alamat rusuh!’ Pikir pemuda itu.
Menurut Adnan, ibunya tergolong wanita yang sangat unik. Disaat ayahnya marah, bahkan memintanya untuk terus beristighfar pagi tadi, ibunya itu justru merengek ingin dipertemukan dengan si pemelet.
Hasilnya?
Entahlah! Semoga saja ibunya tak berniat menjodoh-jodohkan mereka. Seunik-uniknya sang ibu, ibunya tetap seperti ibu kebanyakan. Menginginkan calon menantu yang saat waktunya tiba kelak, bisa dirinya segera lamar.
Tidak pernah terlintas dalam benak Adnan untuk dirinya menikah muda. Pengalaman buruknya saat masih duduk di Taman Kanak-Kanak membuatnya ingin menikah saat usianya sudah matang. Ia pun akan mencari sosok yang rentang usianya tak jauh berbeda dengannya. Kalau bisa malah satu pantaran.
Hal ini ditujukan agar anaknya kelak tak merasakan kesedihan yang sama, seperti dirinya dulu saat disebut sebagai anak tiri ibunya.
Kembali pada interaksi Lolita dan Tatiana, kedua perempuan berbeda usia itu kini asyik mengobrol setelah perkenalan diri yang super tiba-tiba.
“Kamu melet anak Tante di dukun mana, Lol?”
“Anu, Tan.. Belum ke dukun kok. Baru mau. Hehe..” Cengir Lolita, jujur sekali.
“Loh, kata anak Tante dia duah dipelet kamu.”
“Eh, itu.. Itu pake mantra yang Loli pikirin sendiri.” Lolita membuka mulutnya, menampilkan deretan gigi-giginya.
“Wow! Keren banget kamu! Bisa nyiptain mantra segala!”
Melisa yang mendengar obrolan keduanya menganga. Di dunia ini, ia baru pertama kali menemukan situasi seajaib yang dialaminya sekarang. Jangankan marah mengetahui anak lelakinya dipelet, orang tua kakak tingkatnya justru memuji si pemelet.
Daebak!
Impressive!
“Tunjukin dong, Loli. Gimana sih kamu waktu melet Adnan. Anggap aja Tante Adnan deh.”
“Nggak apa-apa, Tan?” tanya Lolita, takut-takut. Kalau tiba-tiba mantranya ampun kan, gawat ya! Masa naksir anaknya, eh, malah dapat ibunya.
Bisa runtuh dunia persilatan kalau begitu ceritanya!
“Tenang! Adnan aja nggak kecantol kan? Berarti ada yang salah sama mantra cinta kamu. Coba tunjukin dulu, nanti kita cari sama-sama kesalahannya.”
Dengan polosnya, Lolita pun menurut. Ia memperagakan gerakan sama persis seperti sebelumnya, melontarkan mantra yang dirinya peroleh dari alam mimpinya.
“Badabum.. Badabum! Cemriwing! Wing! Buat Bang Adnan terkintil-kintil! Bwah!”
“Buahahaha!!” Tatiana terpingkal sampai memegangi perutnya. Gadis yang memiliki perasaan kepada putranya ini benar-benar lucu. Adnan dijamin akan selalu terhibur jika beristrikan Lolita.
“Duh, Loli. Kok kayaknya Tante yang kena pelet kamu ya..” Ujar Tatiana.
Wajah Lolita pias. Apa yang dirinya takuti terjadi. “Tante,” pekiknya, “tapi saya cintanya sama Bang Adnan! Bukan ke Tante! Maaf ya, Tan! Loli masih straight pake banget! Nggak suka yang pelangi-pelangi!”
“Hahahahaha! Ya Allah!” Ledakan tawa kembali mengguncang kantin fakultas. Pelakunya tentu saja ibu dari Ketua BEMU yang memaksa untuk ikut anaknya kuliah.
“Tante ngerti, Tante ngerti! Hahahahaha!”
Lolita bergidik. ‘Nih orang ngerti apaan? Orang dari tadi kerjaannya ngakak mulu!’
“Bu!!” Panggil Adnan, melambai-lambaikan tangannya. Feelingnya mengatakan bahwa ini sudah tak benar. Ibunya harus segera ditarik atau dirinya akan mendapatkan sial seumur hidupnya.
“Ibu budek, Mas! Sepuluh menit lagi baru bisa denger Mas Adnan ngomong!” Ucap Tatiana, sedikit berteriak agar putranya bisa mendengarnya.
“Lolita yang cantik.. Kamu sesuka apa sih sama anak Tante?”
“Suka banget!”
Ah, persetan dengan image! Mumpung ibunya langsung yang bertanya, ya dijawab saja apa adanya. Kesempatan emas seperti ini kapan lagi datang dua kali.
“Sebanget bisa ngelakuin apa aja buat anak Tante?”
“Wah ya pasti itu, Tan!” Jawab Lolita mantap. “Sahabat saya ini nih saksinya. Saya aja abis pulang kuliah mau nyari dukun sakti. Eh, nggak itu aja sih! Kalau misal nih..” Mulut Lolita begitu lancar menjabarkan apa saja yang ingin dirinya lakukan demi Adnan. Termasuk pada agenda mencuri sertifikat rumah untuk menyogok pihak pemerintah yang mengurusi perubahan data warganya.
“Kamu bisa ngaji nggak?”
“Ih, nggak bisa, Tan. Harus banget bisa ya?”
“Iya dong, Loli! Tapi urusan itu gampang sih. Bisa belajar pelan-pelan. Tante dulu sebelum nikah sama Ayahnya Adnan juga nggak bisa.”
“Loli mau deh belajar. Asal dapetin bang Adnan.”
“Hem.. Anak yang gigih! Tante suka.” Pungkas Tatiana. “Kalau yang ini, soal jilbab. Kamu rela nggak semisal syarat utamanya harus berhijab?”
“Nggak bisa dinego, Tan? Loli belum siap. Takutnya nanti Loli didemo massa gara-gara kelakuannya nggak mencerminkan cewek berhijab.”
Tatiana terkekeh. Ia seperti melihat versi dirinya saat muda. Bedanya Lolita sedikit lebih dapat dikendalikan, dibandingkan dirinya dulu.
“Sip-lah! Asalkan akhirnya kamu mau aja.” Tatiana lalu merogoh isi didalam tas yang dirinya bawa. Tangannya mengeluarkan sebuah dompet kecil berisikan kartu-kartu.
“Chat Tante, ya. Kirim alamat rumah kamu. Kalau waktunya pas, Tante bakalan dateng sama Om buat khitbah kamu.”
“Mel!” Setelah kepergian ibu pujaan hatinya, Lolita meraih tangan Melisa untuk dirinya letakkan di pipinya. “Gampar, Mel! Kayaknya gue lagi ngigo deh!”
“Lo juga, Lol! Gamparnya barengan! Masa lo ngingo, gue juga sih!” Tutur Melisa yang tidak bisa mempercayai, apa yang baru saja terjadi.
Plak!
“Anjing! Sakit!” Jerit keduanya, bersamaan.
“This is it, By.. Disini tempat paling bersejarah yang tadi aku bilang..” “Hah?!” Bercandaan Adnan sungguh tidak menyenangkan. Lolita sampai terperangah dibuatnya. Tempat yang Adnan sebutkan tidak lebih dari sebuah pohon besar dipinggiran jalan setapak yang sekitarnya tertanam beberapa pohon lain. “Haha-haha! Oh, aku tau. Disini pasti pernah dijadiin arena perang ngelawan penjajah kan?!” tanya Lolita dengan tawa sarkasnya. Adnan menggelengkan kepalanya. Pemuda itu kemudian setengah berjongkok, menurunkan sang istri dari punggungnya. “No, No! ini nggak ada hubungannya sama masalah penjajahan dulu, By.” “Nan, kamu paham sarkasme nggak?!” lontar Lolita dengan sadisnya. “Please lah! Kamu ngajak aku jalan jauh cuman buat liatin nih pohon?!” Sebelum sang istri menyemburkan amarahnya, Adnan meraih telapak tangan gadis itu dan berkata, “kamu bener, By. Tapi aku punya alasan kenapa bawa kamu kesini..” Adnan meremas jari-jari Lolita. Kepalanya mendongak, menatap ranting-ranting pohon y
“Mel..”Lolita membuka pintu kamar yang disediakan untuk sahabatnya. Sebuah ruangan sederhana dengan perabotan selayaknya kamar tidur, tapi entah mengapa terasa begitu nyaman kala masuk ke dalamnya.“Tutup, Lol!” Erang Melisa, terdengar serak.Melihat satu-satunya sahabat yang ia punyai tepar tak berdaya, Lolita pun tak mampu menahan kikikkannya. “Capek banget ya, Bu?” tanya Lolita sembari mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang.Andai Melisa mengatakan ‘iya,’ Lolita akan sangat memaklumi jawaban tersebut. Sepanjang bus menyusuri jalanan, bersama kakak lelakinya, gadis itu membantu menjaga Awi.Ketiganya terlalu energik meski berada di dalam kabin bus. Ia yang melihat saja sampai keheranan. Mereka bertiga tampak seperti tak mempunyai tombol off, ada saja yang dijadikan kegiatan untuk seru-seruan, seakan mereka tak merasakan lelah barang sedikit pun.Eh, eh, ternyata... Asumsinya itu salah! Ketiganya rupanya masihlah seorang manusia biasa. Rasa lelah yang ia pertanyakan eksistensin
Rombongan dengan bus mewah yang berangkat dari Jakarta itu, tiba di Jawa Tengah pada pukul 08:00 pagi waktu setempat. Perjalanan tersebut terbilang cukup lama mengingat mereka beberapa kali singgah untuk bersenang-senang.Ya, bukan untuk beristirahat, tapi untuk bersenang-senang!Terhitung ada sebanyak 5 tempat persinggahan yang mereka jadikan spot untuk mengusir kejenuhan dalam perjalanan. Kegiatan yang dilakukan rombongan itu antara lain adalah makan, mengopi, berghibah dan satu kegiatan yang tak mungkin tertinggal yaitu, membelanjakan uang suami.Sebelum menuju rumah keluarga besar ayah Adnan, mereka juga sempat singgah ke penginapan terdekat untuk menyiapkan diri. Mereka semua mandi dan berdandan disana, memastikan jika diri mereka pantas untuk bertamu serta memampangkan muka.Dari apa yang Lolita dengar dari mulut ibu mertuanya, keluarga besar ayah Adnan sendiri telah mempersiapkan sambutan yang meriah demi menyambut kedatangan mereka. Kegiatan pembelajaran di pondok pesantren di
“Papa, bisnya bagus ya?!” Adnan tersenyum dengan anggukkan kepalanya. Ia membelai kepala Awi sembari bertanya, “Awi mau beli satu yang kayak begini?!” “Ma..” Sayangnya, jawaban Awi itu terpotong oleh suara batuk Lolita. “Enggak, Papa!” ubah Awi, menggeleng. Anak itu merangkak menaiki paha Adnan. Ia berusaha berdiri demi untuk membisikkan apa yang ingin dirinya katakan kepada sang papa. “Awi nggak mau soalnya Mama pelototin Awi.” Ucap Awi ditelinga papanya. Aduan bocah itu tak pelak membuat Adnan terkekeh. Betapa dahsyatnya seorang ibu. Tanpa berkata-kata saja, manusia berjenis kelamin perempuan itu dapat menciutkan nyali seseorang. Ah! Apa mungkin Awi-nya yang berbeda?! Dulu ketika dirinya kecil, semakin mamanya melotot, maka ia akan semakin senang untuk berulah. Terlebih disisinya ada opa dan oma yang selalu menjadi pendukung setianya. Kalau mamanya belum mereog, tingkah menyebalkannya akan terus berlanjut. “Good boy banget sih kamu jadi anak, Wi.” Kekeh Adnan, mencubit pipi te
Hari yang orang tua Adnan tetapkan sebagai hari keberangkatan ke kampung halaman pun tiba. Seperti yang Adnan katakan, hari tersebut berada pada angka ke enam dalam hitungan minggu, bertepatan dengan awal libur semester hingga tak mengganggu jalannya perkuliahan.Seharusnya! Karena mengganggu atau tidaknya, Adnan sendiri juga tidak tahu. Istrinya memutuskan untuk tak mengikuti jalannya perbaikan meski nilai-nilai mata kuliahnya belum keluar.Semoga saja tidak ada mata kuliah yang mengharuskan Lolita mengulang disemester selanjutnya. Sebentar lagi masa studinya akan berakhir dan secara tidak langsung, itu menandakan bahwa ia tidak lagi bisa menemani hari-hari sang istri di kampus. Mereka harus terpisah dalam beberapa jam setiap harinya.Ah! Membayangkannya saja, rasanya Adnan tak sanggup. Ia khawatir ada mahasiswa yang mendekati istrinya saat dirinya tak lagi berada disana.Nama istrinya sendiri kini sudah meroket selayaknya bintang kampus. Dia tidak lagi dibenci secara membabi-buta. B
Seorang gadis tampak merapikan rambut bergelombangnya. Bibir tipisnya yang terpulas pewarna berwarna merah keorenan, tertarik seiring dengan seringaian tipisnya.“Kata Mama, ini pasti berhasil!” gumamnya, percaya penuh akan kata-kata sang mama.Gadis itu adalah Tasya. Dikarenakan pengiriman pelet yang tidak kunjung menampakkan hasil, ia dan mamanya pun membuat gebrakan terbaru dengan memasang susuk pemikat.Kali ini ia memilih orang sakti yang namanya tersohor di kalangan para artis Ibu Kota. Rekam jejaknya sangat bagus. Mamanya sendiri mengakui eksistensinya yang masih bertahan sejak bertahun-tahun.Sosok yang mereka pilih ini dulunya sering dimuat dalam media publikasi, khususnya majalah wanita. Beliau juga sempat menjadi salah satu orang yang dituju oleh salah satu artis kenamaan Indonesia.Spesialis dari orang berkemampuan tinggi itu adalah ketok aura. Beliau membuka aura seseorang, menjadikannya lebih cantik dan bersinar dari sebelumnya.“Harus yakin!” Seloroh Tasya menarik masuk
“Bohong! Aku tuh tetangganya Adnan. Rumah aku ada didepan rumah dia. Kalau Lolita-Lolita itu udah kenal Adnan dari lama, nggak mungkin aku baru tau dia hidup di dunia!”Errr!!Kalimat yang Tasya lontarkan cukup pedas. Teman-temannya sampai tercengang mendengar penuturan gadis yang biasanya bersikap lembut itu.Arogan!Kalimat yang Tasya gunakan terdengar sangat arogan ditelinga teman-temannya. Semakin lama mereka mengenal Tasya, mereka semakin memahami bagaimana cara pikir gadis itu.Semua hal berkenaan dengan Adnan, entah itu benar atau tidak, Tasya bertindak seakan dirinya mengetahuinya lebih baik dari siapa pun.Tingkahnya seolah-olah dia dan Adnan hidup berbagi napas yang sama dan tidak pernah terpisahkan meski itu satu detik pun.Lambat laun, sikap terlewat halu itu tentu membuat teman-temannya merasa tak nyaman.“Lo kan cuman tetangganya, Tas. Nggak 24 ours bareng dia. Lagian dia kenal siapa, nggak mungkin laporan ke lo juga kan?”“Tapi nggak make sense kalau itu anak mereka. Si
“Siapa lo, Lol?” Setiap kali pertanyaan itu muncul, maka dengan percaya dirinya Lolita akan mengatakan, “anak gue!”Jawaban tersebut kontan membuat heboh teman-teman kampusnya. Mereka yang tidak mengetahui asal-usul Awi pun berbondong-bondong mengerubungi Lolita.Karenanya, kantin siang ini menjadi sangat penuh dengan orang-orang yang penasaran akan keberadaan Awi.Lolita sungguh tak habis thinking dengan kekepoan orang-orang ini. Mereka seolah tak mempunyai pekerjaan selain mengurusi urusan orang lain.“Heh! Lo semua pada ngapain sih sebenernya?! Gue bukan Kendal Jenner, An,” Lolita menelan air ludahnya. Hampir saja dirinya keceplosan mengumpat di depan Awi. Sebagai seorang ibu muda, mulutnya harus terkontrol untuk dijadikan contoh yang baik. “An-Anjayani!”Aigoh! Terpakai juga akhirnya plesetan kontroversial yang sempat booming itu. Yah, mau bagaimana lagi! Namanya juga emak-emak. Moral anak lebih utama. Kalau tidak lupa sih! Manusia kan bisa saja khilaf. Asalkan tidak disengaja
“Awi, kiss Kakeknya..” Setelah mendapatkan ciuman dari putranya, Diding memandang lama sang putra. Lengannya yang kurus terulur, membelai pipi bocah yang kini tampak berisi. “A-Awi,” Pria itu memaksakan diri untuk dapat berucap. Meski payah dalam mengusahakan suaranya, ia tetap berkata-kata, meminta Awi untuk menjadi anak yang penurut dan sholeh. “Bilang apa ke Kakek, Wi?” “Akek ati-ati. Telepon Awi..” “Ya, ya, pasti Kakek telepon Awi setiap hari,” jawab Diding cepat dengan pita suaranya yang bergetar karena menahan tangis. Perpisahan ini akan menjadi sangat lama untuk mereka. Meski merasa berat meninggalkan Awi, Diding harus melakukannya demi bisa mengumpulkan banyak uang. Mencari modal agar ia bisa mengasuh dan membesarkan Awi dengan tangannya sendiri. “Pak Diding, sehat-sehat ya.. Jangan khawatirin Awi disini. Bapak fokus kerja saja disana. Insyaallah, kalau Pak Didingnya nggak bisa pulang, nanti kita yang susulin buat anter Awi ketemu Bapak.” Diding pun meraih tangan Khoiro