Suasana malam mencekam.
Dari luar, suara dobrakan keras terdengar menghantam pintu kamar. Wajah sang ibu dipenuhi kepanikan, apalagi saat matanya menangkap tubuh suaminya yang telah terbujur kaku di halaman tertembak para rentenir yang tak kenal ampun. Kini, hanya ia dan putrinya yang masih berumur sepuluh tahun yang tersisa. “Nak, cepat! Sembunyilah di atas lemari itu. Tubuhmu kecil, pasti muat. Mereka tak akan melihatmu dari sini!” perintah sang ibu, napasnya memburu menahan rasa takut yang menyesakkan dada. Namun sang anak menggeleng, air mata telah membasahi wajah kecilnya. BRAK! BRAK! BRAK! Suara dobrakan itu semakin dekat. Sang ibu makin panik. “Cepatlah…!” katanya lagi, suaranya nyaris memohon. “Tidak, Bu! Aku ingin bersamamu!” tolak sang anak keras kepala, mengguncangkan kepala kecilnya dengan air mata yang jatuh makin deras. Waktu tak banyak. Suara langkah dan dobrakan dari depan rumah semakin mendekat, hingga hanya tinggal beberapa detik sebelum pintu utama runtuh. Sang ibu mencium kaki putrinya, air matanya jatuh membasahi kulit mungil itu. “Ibu mohon… hanya kamu satu-satunya harapan kami. Balaskan dendam ayah dan ibu…” katanya lirih dengan suara bergetar, menahan ketakutan luar biasa. Mau tak mau, gadis kecil itu mengangguk. Tubuhnya yang kecil bergetar hebat saat ia memanjat tubuh sang ibu untuk naik ke atas lemari besar. Ia merentangkan tubuhnya di atas permukaan lemari, cukup tinggi dan gelap untuk menutupi keberadaannya. DUARRR! Pintu depan berhasil didobrak. Sang ibu membelalak, jantungnya berdetak tak karuan. Ia menyelinap ke balik pintu kamar, menunggu ajal datang. "Satu... dua... satu... dua... Di mana kamu, Ratna?!" Teriakan itu terdengar dari luar kamar, diucapkan oleh seorang pria dengan nada seolah sedang bermain petak umpet namun jelas menyimpan teror di baliknya. Nada main-main itu justru membuat udara semakin mencekam. Tubuh Ratna menggigil hebat. Ia tahu… waktunya hampir habis. DRAP. DRAP. DRAP. Langkah-langkah kaki itu semakin mendekat berat, lambat, namun pasti. Mereka mengarah tepat ke kamar tempat Ratna dan sang putri bersembunyi. Ratna memejamkan matanya sejenak. Ia sudah siap menghadapi kematian. Tapi sebelum itu, ia mendongakkan kepala, menatap putrinya yang masih gemetar di atas lemari. Matanya berkata banyak hal yang tak bisa terucap. “Sstt…” Ratna menaruh telunjuknya di bibir isyarat untuk tetap diam. Gadis kecil itu mengangguk cepat, lalu segera menutup mulutnya dengan kedua tangan. Keringat dingin bercucuran dari dahinya, air mata tak henti menetes dari pipi mungilnya. Di luar kamar, suara napas berat terdengar… Seseorang berdiri tepat di depan pintu. Gagang pintu mulai berputar perlahan. "BA—!" Teriakan itu menggema keras, memecah udara. Seorang pria berbadan tegap muncul di ambang pintu dialah pemimpin para rentenir. Ratna terbelalak, terkejut bukan main. Kepalanya menggeleng cepat, langkahnya mundur perlahan. Tapi tak ada lagi ruang untuk lari punggungnya sudah menabrak tembok. Jalan keluar tertutup. Pria itu melangkah masuk, senyum menyeringai menghiasi wajahnya. Tatapannya dingin, liar. Ia menelusuri tubuh Ratna dari atas hingga bawah seperti seekor singa kelaparan yang baru menemukan mangsanya. Ratna memeluk tubuhnya sendiri. Napasnya memburu. Tangannya gemetar. Sementara di atas lemari, sang gadis kecil hanya bisa menggigit bibir, berusaha menahan suara tangisnya yang sudah sampai di ujung tenggorokan. "Ampun..." Suara Ratna lirih, nyaris tak terdengar. Tubuhnya gemetar hebat, suaranya penuh ketakutan. Namun pria itu pemimpin para rentenir hanya menyeringai lebih lebar melihat ketakutan itu. Seperti seorang predator yang menikmati ketidakberdayaan mangsanya. Tanpa aba-aba, ia menyerang. Ratna terjatuh. Ia berusaha melawan, menolak, namun kekuatan mereka terlalu besar. Beberapa pria masuk dan ikut menahan tubuhnya. Jeritan Ratna menggema, namun tak pernah keluar dari rumah itu. Tak ada yang tahu… …di atas lemari, seorang gadis kecil menutup mulutnya rapat-rapat. Air matanya mengalir deras. Ia menyaksikan segalanya tanpa suara, tanpa daya, hatinya hancur dalam diam. Hari itu… dunia kecilnya runtuh. Dan api balas dendam mulai menyala diam-diam, dalam senyap. Hening. Sunyi. Deru mesin mobil terdengar menjauh… Beberapa motor melaju, lalu hilang di tengah malam yang kelam. Pukul satu dini hari. Gadis kecil itu perlahan turun dari atas lemari. Kakinya goyah, tubuhnya menggigil. Matanya menatap ibunya tergeletak tak bernyawa di lantai kamar. Darah sudah mengering, tubuh itu kaku dan dingin. Tapi bukan itu yang membuat gadis kecil itu diam membatu. Tatapannya dingin. Menusuk. Ia tak menangis. Tak meraung. Tak satu suara pun keluar dari mulut mungilnya. Tapi tangan kecil itu… menggenggam erat, seolah menahan amarah yang terlalu besar untuk usianya. Gubrak. Langit tiba-tiba runtuh. Hujan turun deras, seperti ikut meratapi tragedi malam itu. Ia kini sendirian. Tak punya siapa-siapa di dunia ini. Tak ada rumah, tak ada keluarga, hanya luka yang terlalu dalam untuk dijelaskan. Tubuhnya gemetar. Ia tak tahu harus ke mana. Tiba-tiba Wiuu… wiuu… Suara sirene ambulans dan damkar menembus hujan, memasuki halaman rumah. Lampunya berkedip-kedip, merah biru, menerangi kegelapan seperti mimpi buruk yang belum selesai. Tapi gadis kecil itu tetap berdiri di sana. Membisu. Memandang ke arah cahaya dengan mata yang kosong. Kakinya terasa berat seperti tertancap di lantai. Hatinya sudah beku. *** Wajah manis itu tertidur lelap. Kepalanya bersandar di pangkuan seorang petugas pemadam kebakaran seorang pria muda, belum genap dua puluh tahun. Napas gadis kecil itu tenang, meski matanya masih menyisakan bekas air mata. Pria muda itu memandanginya dengan seksama. Ada luka di mata gadis itu yang tak terlihat siapa pun tapi terasa jelas di hatinya. Seolah dia bisa merasakan sedikit dari kepedihan yang tak terucap itu. Tak jauh dari sana, seorang pria lain mendekat lebih dewasa, dengan seragam yang sama. Matanya penuh iba menatap keponakannya dan gadis kecil di pangkuannya. “Apa yang akan kita lakukan dengan gadis ini?” tanyanya lirih, mencoba pelan agar tak membangunkannya. Mereka adalah paman dan keponakan. Sama-sama bertugas malam itu. Dan sama-sama tahu… bahwa hidup si gadis kecil telah hancur dalam semalam. Pria muda itu menggeleng pelan, tak menjawab. Tatapannya tak teralihkan dari wajah mungil di pangkuannya. Ada keheningan yang panjang… hanya suara hujan yang masih menetes dari atap ambulans yang terbuka. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi satu hal ia tahu pasti: Gadis ini butuh perlindungan. Butuh tempat untuk memulai kembali. Dan mungkin… Tuhan mempertemukan mereka bukan tanpa alasan.Dua minggu kemudian... Anjelin sudah sembuh dari sakitnya, walaupun kakinya masih diperban. Kini mereka sekeluarga sedang bersiap-siap untuk pindah lagi ke Amerika, tempat di mana Nayla akan mengembangkan kembali toko bunganya. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Anjeli justru diliputi kesedihan. Ia merasa berat hati karena harus berpisah dengan Sahabat, sosok yang baru saja hadir dan memberi warna dalam hidupnya. “Ma, aku mau ketemu Diki...” rengek Anjeli sambil menahan tangis. Ia tidak bisa menerima kenyataan jika harus pergi tanpa berpamitan dengan Diki. Nayla dan Edward saling berpandangan. Hati mereka sama-sama terasa berat, tetapi mereka juga tidak ingin bersikap egois terhadap keinginan putrinya. Nayla tersenyum, lalu membungkuk hingga tinggi badannya sejajar dengan sang putri. Ia ingin benar-benar menatap mata Anjeli. “Sayang, kamu tahu nggak...” ucap Nayla lembut sambil mengusap pipi kecil putrinya, “ada loh kisah persahabatan yang benar-benar indah, bahkan romantis
“Kenapa kamu bisa ikut campur urus hidup kami, padahal kita tak saling kenal?!” suara Edward bergetar menahan amarah, matanya menusuk ke arah Sindi. Belum sempat Sindi membuka mulut untuk membela diri, tiba-tiba Nayla berdiri. Ia melepaskan pelukan Diki dengan lembut, lalu melangkah maju dengan tatapan tajam penuh luka masa lalu. Matanya terpaku pada Arya, pria yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Hening sejenak… kemudian— PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Arya. Suara tamparan itu membuat ruang tunggu seketika membisu. Arya terkejut, tapi ia tidak melawan. Tangannya perlahan terangkat, memegang pipinya yang panas. Wajahnya menegang, tapi matanya sendu. Ia hanya bisa diam menerima amarah itu. “Hey! Berhenti! Jangan pegang suamiku!” teriak Sindi tiba-tiba. Suaranya lantang, penuh kecemburuan. Ia melangkah cepat, mencoba menghalangi Nayla, tak terima melihat wanita lain menyentuh Arya, meski dalam kemarahan. Suasana memanas, hampir tak terkendali. Edward yang m
“Tolonggg…!” kini terdengar suara anak lelaki, melengking penuh ketakutan, memecah kesunyian malam yang mencekam. “Itu… itu Diki! Anakku!” teriak Sindi histeris, wajahnya pucat pasi saat mengenali suara putranya. Tanpa menunggu lagi, para orang tua itu langsung berlari lebih cepat menuju arah suara. Ranting-ranting patah diinjak, dedaunan bergesekan, dan napas mereka memburu seolah waktu tak memberi ampun. “Diki! Anjeli!” suara Nayla dan Arya bersahutan, saling tumpang tindih dengan detak jantung yang semakin kencang. Suara teriakan minta tolong itu terus terdengar, kadang melemah, kadang meninggi, seperti tanda anak-anak itu tengah berjuang dalam keadaan berbahaya. Malam semakin pekat, hanya cahaya senter yang bergoyang-goyang menerangi jalan. Diki yang melihat sekelebat cahaya dari kejauhan langsung menoleh. Wajahnya berbinar, harapan muncul di matanya. “Anjeli, bertahanlah di sini ya… aku lihat ada cahaya! Aku akan pergi sebentar, tolong bertahan,” ucapnya sambil beru
Diki dan Anjeli berhenti melangkah. Mereka berdiri terpaku di tengah kebun yang sepi. Angin malam berembus, membuat dedaunan pisang bergesekan, suaranya menambah mencekam. “K-ke… kemana ayahmu, Diki?” suara Anjeli bergetar, hampir menangis. Ia memeluk erat lengan sahabatnya. Malam itu adalah pertama kalinya ia berada di kebun, jauh dari rumah, tanpa penerangan. Diki menggeleng pelan, wajahnya sama pucat. “Aku… aku nggak tahu…” bisiknya lirih. Jantung kecilnya berdegup kencang. Keduanya hanya anak SD, berdiri berdua di kegelapan kebun yang luas. Bayangan pepohonan tampak seperti sosok-sosok aneh, membuat mereka makin menciut. “Diki, aku takut…” isak Anjeli, air mata mulai mengalir. Diki menelan ludah, berusaha tegar meski lututnya gemetar. “Aku juga takut, Jel… tapi… kita nggak boleh diem di sini. Kita harus cari jalan keluar… atau nanti ibu datang…” suaranya mengecil, seakan menyadari betapa berbahayanya keadaan. “A-apa kamu tahu jalan keluarnya, Diki?” tanya Anjeli dengan
Di sisi lain, di dalam kamar kecil itu, Anjeli dan Diki duduk berdua. Bagi Anjeli, ini pertama kalinya ia benar-benar masuk ke kamar sahabat barunya. Matanya berbinar, sekaligus terasa unik—kamar Diki dipenuhi kain tambalan di sana-sini, menutupi bagian dinding dan atap yang bolong. Meski sederhana, Anjeli merasa hangat berada di sana. “Anjeli… aku senang banget kamu mau datang ke sini. Ibu sampai masak khusus hari ini,” ucap Diki dengan senyum lebar. Suara itu memecah keheningan. Anjeli menoleh, mengerutkan dahi. “Memangnya… ibumu biasanya nggak pernah masak?” tanyanya polos. Diki mengangguk pelan. Kejujuran itu membuat suasana hening sesaat. Mata Anjeli menatapnya penuh iba. “Kalau kamu mau makan enak, ke rumahku saja, ya. Di sana selalu banyak makanan.” Diki terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu, Anjeli. Kamu memang beruntung lahir di keluarga kaya raya.” Anjeli cepat-cepat menggeleng, menangkup tangan sahabatnya. “Jangan sedih, Diki. Kita kan sahabat. A
Kring… kring… kring… Suara bel sekolah berbunyi, tanda masuk kelas. Semua anak-anak berlarian masuk ke kelas masing-masing, termasuk Anjeli. Berbeda dengan teman-temannya, Anjeli berjalan santai menuju ruangannya. Saat ia masuk, dahinya berkerut. Matanya langsung tertuju pada Diki—teman yang sempat ia pukul beberapa waktu lalu—yang baru saja kembali masuk sekolah. Ingatan tiga hari lalu kembali muncul di benaknya. Saat ia berkunjung ke rumah Diki, ia melihat kondisi rumah temannya itu yang sederhana dan memprihatinkan. Sejak saat itu, Anjeli merasa iba. Perlahan, ia melangkah mendekati Diki yang tengah asyik menulis. Menyadari ada seseorang di depannya, Diki mendongak. “Anjeli?” tanyanya heran. Anjeli hanya tersenyum manis. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya pada Diki tanpa sepatah kata pun. “Apa ini? Aku nggak akan lagi meminta uang padamu,” ujar Diki tegas, menolak pemberian itu. Namun, Anjeli tetap diam. Dengan cepat, ia menyelipkan