13 tahun kemudian…
Suara hak tinggi terdengar ketika seorang wanita muda turun dari mobil mewah berwarna hitam mengilap. Ia nampak begitu cantik. Lesung pipi di wajahnya menambah kesan manis, sementara rambut panjangnya yang tergerai tertiup angin dengan anggun membuat siapa pun yang melihatnya sulit mengalihkan pandangan. “Kakak!” serunya riang sambil sedikit berlari. Seseorang di seberang jalan menyipitkan mata, sedikit ngilu melihat wanita itu berlari dengan sepatu hak tinggi. Langkahnya cepat tapi tetap anggun, seolah ia telah terbiasa berlari dengan alas kaki seperti itu. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya manja, pura-pura marah sambil memasang wajah cemberut. Orang itu tersenyum. “Apa kamu nggak takut jatuh pakai sandal setinggi itu?” Gadis itu langsung mengerucutkan bibir, memutar bola matanya dengan kesal. “Ini bukan sandal…” katanya sambil mendengus kecil. “Ini heels!” Tangannya sibuk menenteng tas dan beberapa buku. Penampilannya sangat modern, elegan, dan memikat. Tapi di balik semua itu, ia tetap menyimpan sisi kekanak-kanakan yang dulu sisi yang perlahan menipis seiring waktu, tapi belum sepenuhnya hilang. “Ah iya, iya… Kakak lupa sekarang sedang berbicara dengan siapa,” jawabnya terkekeh kecil, membuat gadis itu ikut tersenyum. “Paman mana?” tanya gadis itu, menanyakan keberadaan pamannya yang sudah tiga tahun tak ia temui. “Paman sakit,” jawab pria itu. Seketika mata Nayla membulat. Ia terkejut, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Tanpa menjawab, ia langsung berlari kecil melewati pria yang ia sebut kakak. Nayla, gadis manis berlesung pipi itu, terdiam mematung saat melihat sang paman terbaring tak berdaya. Selang menempel di hidungnya, tubuhnya terlihat begitu lemah membuat siapa saja yang melihat pasti merasa iba. “Paman…” lirihnya. Air matanya jatuh begitu saja. Sang paman yang sebelumnya memejamkan mata, membukanya perlahan. Sebuah senyum kecil terpancar di wajahnya yang pucat. Ia menggeleng lemah. “Putriku… jangan menangis…” bisiknya dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar. “Paman… aku mohon, bertahanlah… hingga aku benar-benar selesai dengan pembalasan itu…” Isaknya pecah, Nayla menangis meraung seperti anak kecil yang tak ingin kehilangan satu-satunya sosok yang tersisa dalam hidupnya. Sang paman tersenyum tipis. Dalam hati, ia membatin meskipun Nayla selama ini dikenal manja, ia yakin gadis itu mampu. Nayla bisa membalaskan semuanya, sendirian jika perlu. “Paman sudah selesai, Sayang… Kini giliranmu mempraktikkan semua yang sudah paman ajarkan…” Suaranya lirih, bergetar, tapi penuh makna. Nayla menggeleng lemah, memeluk tangan sang paman erat-erat. “Paman…” Suara itu nyaris tenggelam dalam tangis. “Riko…” Tiba-tiba suara sang paman terdengar memanggil nama lain. Nayla menoleh. Ia tak tahu sejak kapan pria yang ia sebut kakak sudah berdiri di belakangnya, matanya juga berkaca-kaca. “Iya, Paman…” jawab Riko pelan. Sang paman menatapnya lemah, tapi tegas. “Jaga adikmu… Dia adalah adikmu, Riko… sejak hari itu. Sejak kamu menolongnya 13 tahun yang lalu…” “Apa yang Paman katakan? Kita akan menjaga Nayla bersama!” Jawab Riko tegas, meski hatinya terasa rapuh. Suaranya kuat, tapi ada luka yang ia tahan dalam diam. Sang paman tersenyum tipis. “Paman sudah selesai… Tiga tahun menunggu, dan akhirnya gadis manis ini pulang… membawa sosok baru yang kuat, mental yang siap menanggung beban besar.” Suaranya bergetar, namun penuh kebanggaan. Ia tahu perjuangannya tak sia-sia. “Kak Riko… Beritahu Paman, jangan berkata seperti itu… jangan bicara seolah akan pergi…” Rengek Nayla, tangannya menggenggam lengan Riko erat-erat, seakan bisa menahan waktu. Namun… Mata sang paman tertutup perlahan. Tak akan terbuka lagi. Untuk selamanya. “Pamaaaaan!!!” Nayla meraung, tubuhnya gemetar, tangisnya pecah tak terbendung. Suara tangis itu menggema, memecah sunyi dalam ruangan yang kini terasa hampa. Riko memeluk Nayla erat. Air matanya jatuh, tapi segera ia seka. Ia tahu mulai malam itu, ia harus jadi kuat. Bukan hanya untuk dirinya… tapi juga untuk adik yang kini benar-benar tak punya siapa-siapa lagi, kecuali dia. . . . Nayla dan Riko berdiri dalam diam. Mereka menatap tumpukan tanah merah yang masih basah tiga pusara berjajar rapi. Tiga nama terukir jelas di atas nisan: ayah, ibu, dan sang paman tercinta. Angin sore berembus pelan. Sunyi menyelimuti area pemakaman. Nayla memejamkan mata, menarik napas panjang. Udara masuk ke paru-parunya seperti ingin menenangkan gejolak yang tak pernah benar-benar reda di hatinya. Bayangan masa lalu kembali berkelebat. Saat itu, usianya baru menginjak dua puluh tahun ia duduk berhadapan dengan sang paman di ruang kerja, tepat sebelum keberangkatannya. “Paman, apakah aku benar-benar harus masuk sekolah model?” Tanyanya lirih, ragu masih memenuhi hatinya. Sang paman mengangguk yakin, tanpa ragu sedikit pun. “Iya, Sayang. Ini demi balas dendammu. Kita sudah merancang semua ini sejak lama. Keluarga itu… bukan keluarga sembarangan. Orang yang bisa masuk ke dalamnya harus sepadan. Harus terlihat sempurna.” Nayla hanya diam. Tak menjawab. Tapi matanya berkata banyak ia mengerti. Ia tahu. Maka dengan berat hati, ia pergi. Tiga tahun dihabiskannya di sekolah model bergengsi. Ia belajar banyak bukan hanya tentang cara berjalan, senyum, atau bergaya di depan kamera… tapi juga tentang dunia para elit, tempat musuh-musuh keluarganya hidup dan bersembunyi. Kini, ia kembali. Dengan semua yang sudah dipersiapkan. Tapi ia kembali dalam kehilangan. Sang paman tak sempat melihat hasil akhirnya. *** “IBU…!” Nayla terbangun dengan teriakan. Napasnya memburu. Keringat dingin membasahi wajah dan lehernya, matanya liar menatap sekeliling kamar yang gelap. Dadanya naik turun cepat, seperti habis berlari jauh. “Hah… hah… hah…” Mimpi itu lagi. Mimpi yang sama. Kejadian tiga belas tahun lalu yang terus menghantuinya, seolah belum selesai… seolah masih hidup di sudut pikirannya yang paling dalam. Pintu kamar mendadak terbuka. Riko berlari masuk, wajahnya cemas. “Ada apa?!” tanyanya panik, langsung menghampiri Nayla yang terduduk di ranjang. Tapi Nayla tak menjawab. Ia hanya menangis meraung dengan tubuh membungkuk, wajahnya tertanam di antara lututnya yang dipeluk erat. Riko terdiam. Ia tahu… mimpi itu belum juga pergi. “Apa kamu sudah siap?” tanya Riko pelan, menatap Nayla yang berada dalam pelukannya. Gadis itu mengangguk mantap. Matanya tak lagi menyimpan keraguan hanya tekad dan luka yang telah ia pendam selama bertahun-tahun. Kini mereka tinggal berdua, setelah kepergian sang paman. Dua orang asing yang telah dipertemukan takdir kelam tiga belas tahun lalu, dan sejak saat itu tumbuh menjadi kakak-adik yang saling menjaga dan saling menguatkan. Riko menatap lurus ke depan, pikirannya kembali ke masa lalu ke hari saat sang paman dan dirinya berjanji dalam diam: Mereka akan membantu Nayla membalaskan dendam. Dendam untuk kedua orang tua Nayla yang telah dibantai tanpa ampun oleh para rentenir kejam malam itu.Dua minggu kemudian... Anjelin sudah sembuh dari sakitnya, walaupun kakinya masih diperban. Kini mereka sekeluarga sedang bersiap-siap untuk pindah lagi ke Amerika, tempat di mana Nayla akan mengembangkan kembali toko bunganya. Namun, di tengah kebahagiaan itu, Anjeli justru diliputi kesedihan. Ia merasa berat hati karena harus berpisah dengan Sahabat, sosok yang baru saja hadir dan memberi warna dalam hidupnya. “Ma, aku mau ketemu Diki...” rengek Anjeli sambil menahan tangis. Ia tidak bisa menerima kenyataan jika harus pergi tanpa berpamitan dengan Diki. Nayla dan Edward saling berpandangan. Hati mereka sama-sama terasa berat, tetapi mereka juga tidak ingin bersikap egois terhadap keinginan putrinya. Nayla tersenyum, lalu membungkuk hingga tinggi badannya sejajar dengan sang putri. Ia ingin benar-benar menatap mata Anjeli. “Sayang, kamu tahu nggak...” ucap Nayla lembut sambil mengusap pipi kecil putrinya, “ada loh kisah persahabatan yang benar-benar indah, bahkan romantis
“Kenapa kamu bisa ikut campur urus hidup kami, padahal kita tak saling kenal?!” suara Edward bergetar menahan amarah, matanya menusuk ke arah Sindi. Belum sempat Sindi membuka mulut untuk membela diri, tiba-tiba Nayla berdiri. Ia melepaskan pelukan Diki dengan lembut, lalu melangkah maju dengan tatapan tajam penuh luka masa lalu. Matanya terpaku pada Arya, pria yang dulu pernah hadir dalam hidupnya. Hening sejenak… kemudian— PLAK! Satu tamparan keras mendarat di pipi Arya. Suara tamparan itu membuat ruang tunggu seketika membisu. Arya terkejut, tapi ia tidak melawan. Tangannya perlahan terangkat, memegang pipinya yang panas. Wajahnya menegang, tapi matanya sendu. Ia hanya bisa diam menerima amarah itu. “Hey! Berhenti! Jangan pegang suamiku!” teriak Sindi tiba-tiba. Suaranya lantang, penuh kecemburuan. Ia melangkah cepat, mencoba menghalangi Nayla, tak terima melihat wanita lain menyentuh Arya, meski dalam kemarahan. Suasana memanas, hampir tak terkendali. Edward yang m
“Tolonggg…!” kini terdengar suara anak lelaki, melengking penuh ketakutan, memecah kesunyian malam yang mencekam. “Itu… itu Diki! Anakku!” teriak Sindi histeris, wajahnya pucat pasi saat mengenali suara putranya. Tanpa menunggu lagi, para orang tua itu langsung berlari lebih cepat menuju arah suara. Ranting-ranting patah diinjak, dedaunan bergesekan, dan napas mereka memburu seolah waktu tak memberi ampun. “Diki! Anjeli!” suara Nayla dan Arya bersahutan, saling tumpang tindih dengan detak jantung yang semakin kencang. Suara teriakan minta tolong itu terus terdengar, kadang melemah, kadang meninggi, seperti tanda anak-anak itu tengah berjuang dalam keadaan berbahaya. Malam semakin pekat, hanya cahaya senter yang bergoyang-goyang menerangi jalan. Diki yang melihat sekelebat cahaya dari kejauhan langsung menoleh. Wajahnya berbinar, harapan muncul di matanya. “Anjeli, bertahanlah di sini ya… aku lihat ada cahaya! Aku akan pergi sebentar, tolong bertahan,” ucapnya sambil beru
Diki dan Anjeli berhenti melangkah. Mereka berdiri terpaku di tengah kebun yang sepi. Angin malam berembus, membuat dedaunan pisang bergesekan, suaranya menambah mencekam. “K-ke… kemana ayahmu, Diki?” suara Anjeli bergetar, hampir menangis. Ia memeluk erat lengan sahabatnya. Malam itu adalah pertama kalinya ia berada di kebun, jauh dari rumah, tanpa penerangan. Diki menggeleng pelan, wajahnya sama pucat. “Aku… aku nggak tahu…” bisiknya lirih. Jantung kecilnya berdegup kencang. Keduanya hanya anak SD, berdiri berdua di kegelapan kebun yang luas. Bayangan pepohonan tampak seperti sosok-sosok aneh, membuat mereka makin menciut. “Diki, aku takut…” isak Anjeli, air mata mulai mengalir. Diki menelan ludah, berusaha tegar meski lututnya gemetar. “Aku juga takut, Jel… tapi… kita nggak boleh diem di sini. Kita harus cari jalan keluar… atau nanti ibu datang…” suaranya mengecil, seakan menyadari betapa berbahayanya keadaan. “A-apa kamu tahu jalan keluarnya, Diki?” tanya Anjeli dengan
Di sisi lain, di dalam kamar kecil itu, Anjeli dan Diki duduk berdua. Bagi Anjeli, ini pertama kalinya ia benar-benar masuk ke kamar sahabat barunya. Matanya berbinar, sekaligus terasa unik—kamar Diki dipenuhi kain tambalan di sana-sini, menutupi bagian dinding dan atap yang bolong. Meski sederhana, Anjeli merasa hangat berada di sana. “Anjeli… aku senang banget kamu mau datang ke sini. Ibu sampai masak khusus hari ini,” ucap Diki dengan senyum lebar. Suara itu memecah keheningan. Anjeli menoleh, mengerutkan dahi. “Memangnya… ibumu biasanya nggak pernah masak?” tanyanya polos. Diki mengangguk pelan. Kejujuran itu membuat suasana hening sesaat. Mata Anjeli menatapnya penuh iba. “Kalau kamu mau makan enak, ke rumahku saja, ya. Di sana selalu banyak makanan.” Diki terdiam sebentar, lalu tersenyum kecil. “Aku tahu, Anjeli. Kamu memang beruntung lahir di keluarga kaya raya.” Anjeli cepat-cepat menggeleng, menangkup tangan sahabatnya. “Jangan sedih, Diki. Kita kan sahabat. A
Kring… kring… kring… Suara bel sekolah berbunyi, tanda masuk kelas. Semua anak-anak berlarian masuk ke kelas masing-masing, termasuk Anjeli. Berbeda dengan teman-temannya, Anjeli berjalan santai menuju ruangannya. Saat ia masuk, dahinya berkerut. Matanya langsung tertuju pada Diki—teman yang sempat ia pukul beberapa waktu lalu—yang baru saja kembali masuk sekolah. Ingatan tiga hari lalu kembali muncul di benaknya. Saat ia berkunjung ke rumah Diki, ia melihat kondisi rumah temannya itu yang sederhana dan memprihatinkan. Sejak saat itu, Anjeli merasa iba. Perlahan, ia melangkah mendekati Diki yang tengah asyik menulis. Menyadari ada seseorang di depannya, Diki mendongak. “Anjeli?” tanyanya heran. Anjeli hanya tersenyum manis. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya pada Diki tanpa sepatah kata pun. “Apa ini? Aku nggak akan lagi meminta uang padamu,” ujar Diki tegas, menolak pemberian itu. Namun, Anjeli tetap diam. Dengan cepat, ia menyelipkan