Kring… kring… kring… Suara bel sekolah berbunyi, tanda masuk kelas. Semua anak-anak berlarian masuk ke kelas masing-masing, termasuk Anjeli. Berbeda dengan teman-temannya, Anjeli berjalan santai menuju ruangannya. Saat ia masuk, dahinya berkerut. Matanya langsung tertuju pada Diki—teman yang sempat ia pukul beberapa waktu lalu—yang baru saja kembali masuk sekolah. Ingatan tiga hari lalu kembali muncul di benaknya. Saat ia berkunjung ke rumah Diki, ia melihat kondisi rumah temannya itu yang sederhana dan memprihatinkan. Sejak saat itu, Anjeli merasa iba. Perlahan, ia melangkah mendekati Diki yang tengah asyik menulis. Menyadari ada seseorang di depannya, Diki mendongak. “Anjeli?” tanyanya heran. Anjeli hanya tersenyum manis. Ia merogoh saku bajunya, lalu mengeluarkan sesuatu dan menyerahkannya pada Diki tanpa sepatah kata pun. “Apa ini? Aku nggak akan lagi meminta uang padamu,” ujar Diki tegas, menolak pemberian itu. Namun, Anjeli tetap diam. Dengan cepat, ia menyelipkan
“Mas, bawa Anjeli masuk ke dalam mobil,” perintah Nayla berusaha menutupi kepanikannya. Ia tak tega melihat Anjeli menangis ketakutan. “Tapi Ma—?” Belum sempat Edward menyangkal, Nayla dengan cepat menatap penuh permohonan sambil mengangguk. Akhirnya Edward mengalah. “Ayo sayang, ikut Papa dulu,” bujuknya sambil melepaskan genggaman tangan Anjeli dari Nayla. “Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi,” ucap pria itu setelah melihat Edward dan Anjeli benar-benar tak ada di hadapannya. Nayla menoleh dengan tatapan bengis, ia mundur perlahan. “Apa maksudmu? Kenapa kehidupanmu begitu menyedihkan seperti ini? Bahkan rumahmu persis seperti rumah hantu,” Nayla menjawab dengan tatapan menyapu seluruh ruangan rumahnya lalu tertawa sinis mengejek. Mendengar itu, pria itu langsung mengepalkan tangannya, merasa tak terima dihina oleh perempuan yang pernah begitu lama mengisi hatinya. “Kurang ajar! Ini semua ulahmu, Nayla. Aku akan membalas semuanya!” desisnya, membuat Nayla mengeru
Anjeli sedang asyik bermain ular tangga sendirian malam itu, hingga tiba-tiba sang ayah, Edward, datang menghampiri dengan wajah serius. “Anjeli, sini dulu, Papa mau bicara,” ucap Edward pelan namun tegas. Gadis kecil kelas tiga SD itu menoleh, mengangguk kecil, lalu meninggalkan permainan ular tangganya. Ia berjalan mendekat ke arah ayahnya. “Papa butuh penjelasanmu, Anjeli,” katanya lagi, tanpa basa-basi. Anjeli mengerutkan dahi, tampak bingung. “Ada apa, Pa?” tanyanya polos. Saat itu, Nayla — sang ibu — muncul. Ia merasakan sesuatu yang aneh dari tatapan suaminya pada putri mereka. “Kenapa kamu memukul Diki, teman kelasmu?” tanya Edward tegas, suaranya dingin. Itu adalah pertama kalinya ia berbicara seperti itu pada putri kesayangannya. Nayla yang baru mendengar pertanyaan itu langsung mengerutkan dahi. Ia menatap Edward dengan wajah kaget, seolah tak percaya pada apa yang baru saja diucapkan suaminya. “Apa? Tunggu, Pa… apa yang tadi kamu katakan?” suara Nayla berge
Beberapa tahun kemudian… Seorang gadis kecil berlarian riang di taman, ditemani pengasuhnya. Gadis cantik itu, dengan wajah manis, hidung mungil, dan mata sipit, tertawa terbahak-bahak saat melihat sang pengasuh kewalahan mengejarnya dengan napas tersengal. “Ya ampun, Anjeli… jangan begitu, kasihan! Jangan suka mengerjai orang tua,” seru Nayla sambil geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya yang super aktif. Mendengar teguran itu, Anjeli sontak terdiam. Bibir mungilnya mengerucut, lalu ia menunduk pelan. “Maafin aku, Bibi…” ucapnya lirih kepada sang pengasuh. Melihat itu, Nayla langsung tersenyum manis, hatinya luluh seketika. Siang itu, keluarga kecil itu berkumpul di meja makan rumah mewah yang berhasil Edward beli dengan kerja kerasnya. Mereka menikmati sarapan bersama dengan suasana hangat. “Papa, kapan kita liburan?” tanya Anjeli tiba-tiba, di sela suapannya. Edward menoleh pada putrinya. Senyum lembut tersungging di wajahnya, rambutnya yang mulai beruban t
Nayla masih terisak. Ia tak menyangka, pernikahan kakaknya bisa kandas—apalagi usianya baru dua minggu. “Ini salahku… kenapa aku kukuh datang ke sini dan nggak mendengarkanmu,” isaknya kembali pecah saat mengingat kata-kata itu kepada suaminya. “Aku sudah bilang padamu, Nay. Kamu dalam bahaya. Tapi kamu egois, dan ini akibatnya,” ucap Edward dengan nada tegas. Ia sengaja mengingatkan istrinya, agar kelak Nayla mau mendengar nasihat suaminya. Mendengar itu, Nayla memejamkan mata. Rasanya sangat sakit, tapi ia tahu semua ucapan Edward ada benarnya. Pintu rumah sakit tiba-tiba terbuka. Di sana terlihat Riko, memegang tangan Tama dengan paksa. Nayla terbelalak. Apa lagi ini? batinnya gelisah. Ia merasa, segalanya tidak baik-baik saja. Ruangan itu mendadak hening. Suasana menjadi tegang, dingin menusuk. Nayla ingin membuka suara, namun tenggorokannya terasa terkunci. “Nayla… tolong jelaskan pada istriku. Kita tidak ada apa-apa. Kita hanya sebatas adik dan kakak saja,” ucap
Di rumah sakit, Edward masih sabar menyuapi Nayla. Meski harus membujuk berkali-kali, akhirnya Nayla menyerah dan makan demi janin yang dikandungnya. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Keduanya menoleh. Wajah Nayla sempat berbinar ketika melihat kakak iparnya datang. Namun senyum itu seketika luntur saat ia menyadari wajah kakak iparnya itu basah oleh air mata, dan di tangannya ada koper yang diseret dengan lemah. Ruangan mendadak hening. Udara terasa tegang dan canggung. Tama melangkah semakin dekat tanpa ekspresi. “Kak…” lirih Nayla pelan. Tatapan Tama menancap dalam pada Nayla—sorot matanya penuh kebencian bercampur kesedihan. “Ada apa, Kak? Kakak mau ke mana?” tanya Nayla bingung, matanya melirik ke arah koper. “Puas kamu, Nay? Puas?!” suara Tama akhirnya pecah. Nadanya bergetar, penuh rasa sakit. Nayla mengerutkan dahi. Ia benar-benar tak mengerti apa maksud perkataan kakak iparnya itu. Di hadapan Nayla dan Edward, tangis Tama akhirnya pecah. Ia terisak, meski