Bukan hanya menjadi model, Nayla juga mempelajari segala hal yang dibutuhkan etika, seni berbicara, strategi bisnis, bahkan bela diri. Ia dilatih menjadi wanita berkelas, berwibawa, dan mematikan… demi satu tujuan: menyusup ke dalam keluarga yang telah membantai kedua orang tuanya.
Kini, langkahnya telah sampai di titik itu. Mobil mewah pemberian sang paman berhenti tepat di depan sebuah kafe berdesain klasik bernama Melati. Sebuah pesan singkat dari Riko masuk di layar ponselnya: “Sasaranmu ada di dalam.” Nayla turun dengan anggun, hak tinggi yang ia pakai berdetak tenang di lantai batu. Rambut panjangnya berayun lembut tertiup angin sore. Beberapa pasang mata sempat menoleh terpikat oleh pesona dan aura kuat yang ia pancarkan. Ia tak peduli. Langkahnya pasti, matanya tajam menelisik ke setiap sudut ruangan saat memasuki kafe. Panggung balas dendam baru saja dimulai. Nayla berdiri tak jauh dari seorang pria dan wanita yang duduk berdampingan di sudut Cafe Melati. Suasana hangat cafe sore itu kontras dengan udara dingin yang menyelimuti hatinya. Ia menatap pria itu dengan penuh fokus sorot matanya tajam, namun senyum kecil terangkat di bibirnya. “Arya Mahendra…” bisiknya pelan. Nada suaranya tenang, tapi ada bara tersembunyi di baliknya. Seringai tipis muncul, menyiratkan sebuah rencana panjang yang mulai bergerak. Akhirnya… Targetnya telah ditemukan. Pria itu, dengan senyum yang tampak ramah, tak menyadari bahwa hidupnya akan berubah selamanya. Dia adalah kunci. Satu-satunya jalan masuk Nayla ke dalam keluarga yang telah merenggut segalanya darinya. Nayla mengambil ponselnya dan mengetikkan pesan singkat untuk dikirim kepada sang kakak: “Aku sudah menemukannya.” Balasan datang tak lama kemudian: “Kerja bagus. Lanjutkan. Aku akan terus ada di dekatmu.” Setelah membaca pesan itu, Nayla menghela napas pelan. Ini baru awal. Ia tahu, waktunya belum tepat. Jadi ia memilih duduk tak jauh dari targetnya, berpura-pura memesan secangkir kopi hangat. Jam berdetak perlahan. Cafe mulai lengang, dan pria itu—Arya Mahendra—akhirnya berdiri dari tempat duduknya. Nayla tersenyum tipis. Saatnya. Ia ikut berdiri. Kaki jenjangnya melangkah pelan, presisi terjaga, seolah semua sudah dilatih berulang kali. Dan… BRUK! "Ahk…" Arya terbelalak kaget saat tubuhnya menabrak seorang perempuan. Gadis itu terdorong sedikit ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan. “Maaf! Saya tidak sengaja,” ucap Arya refleks sambil mengulurkan tangan. Nayla memegang tangan Arya dengan lembut, menunduk sedikit mukanya tampak gugup, tapi tatapan matanya terselubung rencana. “Tidak apa-apa… salah saya juga tidak melihat jalan,” ucapnya dengan suara lembut dan senyum yang manis, cukup untuk membuat siapa pun tertegun. Arya menatap Nayla beberapa detik. Ada yang aneh… tapi ia tak bisa memalingkan pandangan. "Ada apa, Mas?" tanya Tiara, tak lain adalah istri dari Arya Mahendra. Nayla menoleh. Tatapannya jatuh pada Tiara datar, tenang, tapi sulit ditebak. Ada sesuatu yang mengganggu di dalam dadanya. Entah kenapa, aura perempuan itu terasa… tidak menyenangkan. Seperti energi negatif yang menyelinap begitu saja. “Tidak, Sayang. Aku tak sengaja menabrak nona ini,” jawab Arya lembut, senyum kecil tergambar di wajahnya. Nada suaranya begitu pelan dan menenangkan terlalu manis, hingga membuat Nayla sedikit geli di dalam hati. *** "Bagaimana?" tanya Riko langsung, bahkan sebelum Nayla sempat duduk. "Menarik," jawab Nayla ringan, senyum kecil menghiasi wajahnya. Riko mengernyit. "Menarik?" Nayla mengangguk sambil menoleh menatap kakaknya dengan pandangan penuh makna. “Kau menyukainya?” tanya Riko lagi, penasaran. "No," balas Nayla pelan. "Maksudku… menarik, dalam arti strategis. Jalan masuknya ada. Kau paham maksudku?" "Oh..." Riko akhirnya mengangguk pelan. Ia mengerti arah pembicaraan Nayla. "Jangan bodoh, Kak," lanjut Nayla sambil menatapnya tajam tapi lembut. "Tak ada yang menarik perhatianku… kecuali dirimu." Ia duduk di pangkuan Riko terlalu dekat, seperti biasa. Riko menatapnya dalam diam, sorot matanya rumit campuran kagum, bingung, dan perasaan yang tak pernah benar-benar bisa ia hapus. Ya, tanpa diketahui siapa pun termasuk mendiang paman mereka perasaan itu tumbuh diam-diam. Terlalu lama bersama, terlalu saling bergantung… hingga garis antara saudara dan sesuatu yang lebih dari itu perlahan memudar. POV Riko “Cepatlah makan. Aku sudah pesan ayam goreng kesukaanmu,” kataku sambil menatapnya yang duduk santai di pangkuanku. “Tapi ingat, jangan makan terlalu banyak. Sayang sekali kalau nanti tubuhmu jadi gendut.” Sedikit nada ejekan kuselipkan, hanya untuk mengusik nafsu makannya yang kadang tak terkendali. Nayla mendelik tajam. Tubuh mungilnya masih nyaman di pangkuanku. Wajahnya dengan pipi yang menggemaskan itu selalu membuatku ingin menggigitnya. “Apa maksudmu?” tanyanya dengan alis terangkat. Jelas, dia tersinggung. “Kalau kau gendut, apa yakin Arya itu masih akan tertarik padamu?” Ia mendengus keras. Lalu tanpa sepatah kata, Nayla bangkit dari pangkuanku dan berjalan pergi begitu saja langkahnya anggun, tapi jelas sedang marah. Aku menggeleng pelan. Dia kadang tidak sopan. Tapi... aku tidak pernah bisa membencinya. Tiba-tiba, ingatanku melayang kembali ke tiga belas tahun lalu. Saat aku menolong nya, Nayla masih kecil, wajahnya sembab penuh air mata. Mungil. Manis. Dan penuh luka. Aku dan paman membawanya pergi dari tempat itu. Panti asuhan… bahkan kami tak rela menyimpan nya di sana. Terlalu dingin. Saat usianya menginjak dua puluh tahun, sebelum ia masuk sekolah model, paman memolesnya perlahan. Bahkan… Nayla sempat menjalani sedikit prosedur lesung pipi buatan yang kini terlihat begitu alami. Ya, paman benar-benar memberikan segalanya untuk Nayla. Semua trik, saran, dan jalan… agar balas dendamnya kelak berjalan sempurna. --- Pagi hari yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut lewat jendela, menyinari wajah manis Nayla yang masih tampak segar. Udara pagi terasa hangat, menenangkan, dan penuh harapan baru. Nayla duduk di meja makan, menikmati sarapan bersama Riko. Di antara gigitan roti dan tegukan kopi, mereka menyusun rencana untuk hari ini. “Aku sudah menelisik,” ujar Riko sambil menatap serius ke arah Nayla. “Pagi ini, Arya akan datang ke kantor ayahnya. Katanya untuk menandatangani sebuah dokumen penting. Aku belum tahu pasti dokumen apa, tapi orang-orangku memastikan dia akan ada di sana.” Nayla mengangguk pelan. Matanya fokus, menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Riko. “Tugasmu hari ini,” lanjut Riko, “adalah berada di sekitarnya. Awasi. Amati. Tapi jangan terburu-buru.” Sesuai arahan Riko, kini Nayla sudah berdiri tepat di depan gedung megah yang menjadi kantor ayah Arya Mahendra. Matanya menatap lekat ke arah bangunan itu tinggi menjulang, berdinding kaca, memantulkan sinar matahari pagi dengan angkuhnya. Kantor itu tak sekadar besar, tapi juga penuh wibawa. Tegas. Tak tersentuh. Barulah Nayla benar-benar mengerti, mengapa pamannya dulu begitu bersikeras mengirimnya ke sekolah model, kelas kepribadian, dan semua hal yang tampak ‘tidak penting’ di mata gadis biasa. Karena keluarga itu bukan keluarga sembarangan. Mereka bukan hanya kaya. Mereka adalah kekuasaan yang berdiri di atas luka orang lain. Di atas penderitaan keluarganya. "Sialan..." desis Nayla, rahangnya mengeras. Pandangan matanya menyiratkan dendam yang mendalam. Gedung megah itu bagaikan hantu masa lalu menghidupkan kembali memori kelam, terutama saat ia melihat kilas bayangan ibunya, bersimbah darah, mati di hadapan nya. Tangannya mengepal pelan. "Ibu... ini belum selesai. Tapi aku akan menyelesaikannya."Prok. Prok. Prok. Suara tepuk tangan menggema di seluruh studio. Lampu sorot menyorot panggung utama, tempat Nayla kini duduk anggun sebagai bintang tamu di salah satu stasiun televisi nasional. Sosoknya terlihat sempurna tenang, cerdas, dan memikat. Aura ketenangan dan pesona misteriusnya memikat perhatian siapa pun yang menonton. Di bangku penonton VIP, duduk seorang pria dengan tatapan tajam namun penuh kekaguman: Riko. Ia tampak santai, tapi matanya tak pernah lepas dari sosok Nayla di atas panggung. Dia bukan hanya kakak angkat. Bukan hanya pelindung. Riko telah menyimpan sesuatu sejak lama sebuah rasa yang tak pernah ia tunjukkan secara terang-terangan pada siapapun, Dingin, tertutup, dan seringkali terlihat tak peduli, namun hanya satu orang yang berhasil mengguncang lapisan es itu sejak dulu: Nayla. Menjaga gadis itu sejak kecil adalah tugas… sekaligus kutukan manis yang ia terima tanpa keluh. Ia tahu semakin lama ia bersamanya, semakin dalam rasa yang tumbuh. Tapi Nay
"Berapa kali Mama dan Papa bilang, Arya? Kenapa kamu nggak pernah dengar, sih? Apa susahnya menerima Tiara? Kenapa sekarang kamu tiba-tiba ingin dilayani segala?" omel Surya, sang Papa, dengan nada kesal dan heran melihat sikap putranya yang berubah. "Ya wajar dong, Pa!" bantah Arya, emosinya mulai naik. "Aku juga pengin ngerasain gimana rasanya dilayani istri sendiri. Bahkan pasangan miskin aja bisa dirajakan sama istrinya! Kenapa aku nggak bisa, padahal hartaku segunung?!" Ia menghela napas keras, menahan rasa jengkel yang memuncak. "Dia cuma bisa main ponsel, ke salon, dandan... itu aja. Aku muak, Pa. Perempuan seperti itu terlalu sering aku temui. Cantik, iya tapi kosong." Surya dan Vita saling berpandangan. Dalam hati, mereka tak sepenuhnya menyalahkan Arya. Ada benarnya juga apa yang dikatakan putra mereka. Tapi... mau bagaimana lagi? Kenyataan yang mereka hadapi adalah: perempuan yang dinikahkan dengan Arya bukan gadis biasa, melainkan anak jenderal manja, penuh tuntuta
Setelah seminggu mencoba mengakrabkan diri dengan Tiara yang memang tak memiliki teman ataupun sahabat Nayla akhirnya diterima dengan senang hati oleh gadis itu sebagai sahabatnya. Kini mereka sedang berada di sebuah restoran bintang lima. Tiara memesan ruangan VIP hanya untuk bisa mengobrol berdua dengan Nayla. Nayla cukup terkejut dan takjub dengan perlakuan itu, namun ia berusaha tidak memperlihatkannya. “Kenapa kamu melakukan semua ini, Tiara? Kita kan cuma akan ngobrol biasa, bukan membahas rahasia dunia,” tanya Nayla sambil tertawa kecil, bernada bercanda. Mendengar itu, Tiara ikut tertawa kecil. “Kamu tahu sendiri, kan? Aku nggak punya teman, apalagi sahabat. Jadi, aku benar-benar senang waktu kamu membalas pesanku dan mau jadi sahabatku,” jawabnya dengan senyum tulus yang tergambar di wajahnya. “Masa sih, Tiara? Kamu cantik, baik, dan... kamu anak jenderal. Siapa sih yang nggak mau berteman sama kamu?” tanya Nayla, namun kali ini nada suaranya sedikit menelisik ia ingi
Riko menatap tajam ke arah dua pria yang masih berdiri kaku. Langkahnya mantap, penuh wibawa, tubuhnya tegap seperti seorang komandan yang siap menghukum pasukan pemberontak. Kedua pria bertato itu gemetar. Ternyata mereka benar-benar salah orang. Salah sasaran. "Maaf, Bos! Maaf banget!" ucap salah satu dari mereka tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi. Yang sebelumnya tersungkur di lantai kini bangkit dengan panik, langsung membungkuk dalam-dalam sambil memohon ampun. "Kami nggak tahu, Bos... sumpah, kami nggak tahu itu orangmu!" tambah yang satu lagi, suaranya parau penuh ketakutan. Riko tak menjawab mereka. Ia hanya menghentikan langkahnya, berdiri diam di tengah-tengah ruangan—auranya cukup membuat semua orang menahan napas. Lalu, suara lembut memecah ketegangan. "Kak?" tanya Nayla, bingung. Matanya menatap Riko, mencoba membaca sesuatu dari sorot matanya. Riko menoleh perlahan. Wajah yang tadinya setegas batu kini berubah. Pandangannya hangat, teduh… seolah hanya untu
"Di balas!" serunya kegirangan saat melihat akun Instagram-nya mendapat balasan dari seseorang yang baru saja ia kenal.Arya, pria itu, menoleh dengan ekspresi datar, heran melihat istrinya."Ada apa?" tanyanya bingung."Ini loh, Mas... Aku tadi ke salon, terus ketemu sama model yang lagi populer banget itu. Dan tahu nggak? Aku beruntung banget, dia yang nyapa aku duluan!" katanya bersemangat. "Terus aku coba cari IG-nya, iseng-iseng aku chat... dan ternyata dibalas! Yeay!" Ia bersorak sambil terus mengetik balasan dengan penuh antusias, tak menoleh sedikit pun kearah suaminya."Siapa nama IG-nya emang? Modelnya terkenal?" tanya Arya, sedikit penasaran."Namanya Nayla Velinora, Mas!" jawab istrinya dengan antusias.Ia lalu mendekat ke arah suaminya, memperlihatkan layar ponsel yang menampilkan sosok model terkenal itu.Begitu melihat wajah perempuan di layar, mata Arya mendadak menyempit. wajah nya terkejutan tak sempat ia sembunyikan."Namanya... Nayla?" lirih Arya pelan, hampir se
Pukul delapan malam, pemotretan akhirnya selesai. Nayla berjalan lelah menuju mobil, langkahnya terasa berat namun tetap anggun. Begitu duduk di kursi pengemudi, ia menarik napas panjang, lalu meraih ponselnya dan langsung menekan nomor satu-satunya orang yang ia anggap keluarga Riko. "Kak Riko, sudah cari tahu soal istrinya Arya Mahendra?" tanyanya pelan. Nada suaranya terdengar letih, tapi ada bara tak padam dalam setiap katanya. Bagi Nayla, balas dendam ini bukan sekadar rencana. Ini adalah alasan ia dilahirkan. Membalaskan rasa sakit kedua orang tuanya adalah misi hidupnya. Ia tak peduli jika akhirnya harus kehilangan nyawa selama keadilan untuk keluarganya ditegakkan, semua akan setimpal. Ia tahu betul siapa yang ia hadapi. Surya Mahendra bukan orang sembarangan. Selain rentenir kelas kakap, pria itu memiliki banyak cabang bisnis gelap yang dilindungi oleh para aparat. Polisi pun sering kali memilih bungkam, bahkan menutup-nutupi semua bukti kejahatan yang seharusnya membuk