“Kau sudah sadar?” Suara dingin itu langsung membuat Naina langsung membuka matanya.
Dia melihat sekeliling, ternyata dia berada di rumah sakit dan di depannya sudah ada Jake dengan wajah dingin.
“Kau ceroboh sekali, bagaimana kau bisa pingsan. Untung ada yang membawamu ke rumah sakit.” Kata Jake dengan ketus.
Naina masih memproses apa yang terjadi, ingatan terakhirnya adalah dia ditolong oleh seorang pria. Apakah dia yang membawanya ke rumah sakit?
“Naina!” Sentak Jake yang membuat Naina terkejut dan menatap ke arah suaminya.
“Maaf.” Kata Naina dengan pelan.
Jake menghela nafasnya, “Kata dokter kau kekurangan hemoglobin dan kekurangan gizi. Sebenarnya apa yang kau lakukan sampai kau seperti ini. Kau membuatku malu karena seperti suami yang tak merawatmu.” Kata Jake dengan ketus.
Naina hanya diam, bahkan sampai akhir Jake tak mengakui jika keadaannya yang seperti ini adalah ulahnya sendiri.
“Kenapa kita tidak cerai saja?” Kata Naina dengan pelan.
Jake langsung mencengkram dagu Naina sampai wanita itu meringis kesakitan, “Apa yang kau katakan tadi?!”
Naina menatap Jake dengan mata penuh kepedihan, meski dagunya dicengkeram keras. Air matanya menggenang, tapi ia mencoba menahan agar tidak jatuh.
"Aku bilang, kenapa kita tidak cerai saja?" ulangnya, kali ini suaranya lebih tegas, meskipun hatinya bergetar hebat.
Jake tampak terkejut sejenak. Namun, ekspresi itu segera digantikan dengan kemarahan yang membara di matanya. "Kau gila? Apa kau tahu apa artinya itu bagi keluarga kita? Apa kau ingin mempermalukan aku di depan semua orang?" katanya dengan nada rendah, penuh ancaman.
Naina tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh rasa sakit. "Kau bilang aku membuatmu malu. Kau bilang aku menyusahkan. Lalu untuk apa aku tetap di sini? Kau punya Evelyn, dia sudah seperti bagian dari keluarga ini. Aku hanya penghalang, bukan?"
Jake mendengus, cengkeramannya semakin kuat hingga membuat Naina kesakitan. "Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Kau istriku. Selama aku belum selesai denganmu, kau akan tetap di sini. Jangan lupa, ayahmu masih membutuhkan bantuanku."
Kata-kata itu seperti belati yang menusuk jantung Naina. Ia tahu Jake selalu menggunakan ayahnya sebagai alat untuk mengendalikan dirinya. Tetapi kali ini, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—sebuah dorongan untuk melawan.
Tapi sebelum dia berkata, Jake tiba-tiba mendapatkan panggilan yang Naina yakini jika itu adalah Evelyn.
“Kita bicara nanti.” Kata Jake dengan tegas kemudian keluar dari kamar rumah sakit.
Naina menghela nafasnya, kenapa dulu dia tak menyadari jika Jake tidak benar-benar mencintainya.
“Apakah terlambat untuk mengakhiri semuanya?” Gumam Naina, dia tak mempunyai power untuk melawan pria itu.
Dengan pelan dia mulai berbaring lagi, setidaknya dia bisa istirahat karena berada di rumah sakit.
Tapi tiba-tiba dia yang tak sengaja memasukkan tangannya di dalam saku baju rumah sakit merasakan ada kertas tebal disana.
Dengan segera dia mengeluarkannya dan melihat.
“Marven Tuner.” Gumamnya dengan pelan, tapi entah mengapa dia tak asing dengan marga keluarga itu.
“Apa dia yang menyelamatkanku kemarin?” Gumamnya dengan ragu.
Tapi mengingat kata Jake yang mengatakan jika ada yang mengantarnya ke rumah sakit membuat dia semakin yakin, mungkin saja dia yang menaruh kartu nama itu di sakunya.
“Apa’ Marven Tuner’ ini ingin aku menemuinya untuk balas budi?” Kata Naina dengan ragu.
Hingga pintu kamarnya terbuka, seorang perawat masuk dan mengganti cairan infusnya.
“Sus, apa saya boleh bertanya?” Kata Naina pada perawat itu.
Perawat itu tampak ramah dan mengangguk, “Tentu, nyonya. Apakah ada sesuatu yang anda butuhkan?”
Naina menggeleng, “Saya hanya bertanya, siapa yang mengantar saya ke rumah sakit?”
Perawat tersebut seperti mengingat-ingat, “Yang saya ingat dia tinggi dan tampan, di keningnya ada sedikit bekas luka goresan. Dia tak menyebutkan namanya, namun katanya dia akan menemui anda kembali.” Kata perawat itu.
Naina terdiam mendengar penjelasan perawat itu. Pria tinggi dengan bekas luka di kening. Gambaran itu seperti menggiringnya pada ingatan samar tentang seseorang, tapi ia tidak bisa mengingat dengan jelas siapa. Apakah benar dia Marven Tuner? Nama itu terasa familiar, tapi entah dari mana ia mengenalnya.
"Dia bilang akan menemuiku kembali?" ulang Naina dengan ragu.
Perawat itu tersenyum kecil sambil mengganti cairan infusnya. "Iya, nyonya. Dia tampak khawatir ketika Anda pingsan. Katanya, jika Anda sadar, dia akan kembali ke sini untuk memastikan Anda baik-baik saja."
Naina mengangguk pelan, rasa ingin tahunya semakin besar. Ia memandangi kartu nama di tangannya. Huruf-huruf tegas dengan nama Marven Tuner itu seperti mengisyaratkan jika dia bukan orang biasa.
"Terima kasih, sus," kata Naina lembut.
Perawat itu tersenyum sebelum pergi, meninggalkan Naina sendirian. Dia menggenggam kartu nama itu erat, pikirannya penuh dengan spekulasi. ‘Siapa pria ini, dan apa maksudnya dengan ingin bertemu lagi?’ pikirnya.
Namun, di sisi lain, ia merasa sedikit hangat di hati. Setelah sekian lama hidup dalam kekerasan dan kehampaan, ada seseorang yang tampaknya peduli—bahkan jika itu hanya sekadar tindakan kebaikan. Mungkin, ini adalah tanda bahwa ada harapan kecil di ujung perjalanan gelapnya.
"Aku akan menemuinya nanti" gumamnya, menatap langit-langit kamar rumah sakit.
“Tuan, apa Anda baik-baik saja?” tanya Ben sambil melirik cepat ke arah Marven yang baru saja masuk ke ruang kerja dengan langkah berat.Marven meletakkan jas kerjanya di kursi dan menghela napas panjang. “Sepertinya saya butuh tidur seminggu penuh, Ben,” jawabnya sambil tertawa kecil.Ben ikut tersenyum. “Masih begadang karena nona Keisha, Tuan?”Marven mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya. “Dia bangun tiga kali semalam. Kadang cuma mau digendong, kadang nangis keras sampai bikin Raynar juga ikut bangun.”Ben menahan tawa. “Sepertinya rumah ini jadi lebih ramai sejak kehadiran Nona kecil.”“Ya… sangat ramai.” Marven mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. “Tapi rasanya aneh kalau rumah ini sepi lagi.”Ben mengangguk pelan, lalu meletakkan secangkir kopi di meja. “Kalau begitu, semangat, Tuan. Nanti kalau butuh bantuan, saya selalu siap.”Marven mengambil cangkir itu dan mengangkatnya sedikit. “Terima kasih, Ben. Kopi ini mungkin satu-satunya alasan aku bisa bert
“Siapa namanya, ma?” tanya Raynar dengan semangat saat bayi yang menjadi calon adiknya akhirnya sudah boleh dibawa pulang setelah melalui proses yang panjang.Naina menoleh ke arah putranya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya. Sinar mata Raynar begitu bersinar saat menatap bayi mungil yang terlelap dalam gendongan sang ibu. Mereka berdiri di ambang pintu rumah, menyambut awal baru yang begitu berarti.“Namanya… Keisha,” jawab Naina lembut, suaranya nyaris berbisik seolah tak ingin membangunkan si kecil. “Artinya anugerah.”Raynar mengangguk pelan, lalu mendekat dan membelai tangan mungil adiknya dengan jari telunjuknya. “Halo, Keisha. Aku Raynar. Aku kakakmu,” bisiknya bangga. “Nanti kalau udah besar, aku ajarin main robot-robotan.”Marven tertawa kecil di belakang mereka. “Tapi sebelum itu, kita belajar cara jadi keluarga dulu, ya. Pelan-pelan, satu hari satu langkah.”Naina tersenyum pada suaminya, lalu pada kedua anaknya. Ia tahu, meski Keisha bukan berasal dari darah dan da
“Kalian mau adopsi anak?” Nyonya Sisca menatap serius Naina dan Marven.“Jika diizinkan bibi, kami ingin mengadopsi anak perempuan,” jawab Naina lembut.Nyonya Sisca meletakkan cangkir tehnya perlahan, sorot matanya tak berubah. Dalam diam, ia menatap pasangan muda di depannya dengan pandangan sulit ditebak.“Anak perempuan?” ulangnya pelan. “Apakah Raynar tidak keberatan?”Marven menggenggam tangan Naina yang ada di pangkuannya, lalu menatap nyonya Sisca dengan tenang. “Kami sudah bicara panjang lebar dengannya. Raynar yang justru memulai semuanya. Ia ingin punya adik… dan ketika tahu Naina tak bisa mengandung lagi, dia bilang ingin memilih adiknya sendiri.”Mata Nyonya Sisca melembut, tapi raut wajahnya tetap serius. “Kalian tahu tanggung jawabnya, bukan? Mengadopsi bukan sekadar membawa pulang seorang anak. Itu artinya… membuka seluruh hidup kalian untuk seseorang yang mungkin datang dari dunia yang sangat berbeda. Apalagi anak perempuan—perasaannya lebih halus. Akan ada luka-luka
Suasana rumah semakin hangat, Raynar yang saat ini sedang di ruang bermain bersama Angel sedang menggambar.“Angel, kenapa ada empat orang. Bukankah hanya ada tiga? Om, tante dan Angel? Siapa anak kecil yang ada disini,” tunjuk Raynar dengan penasaran.Angel yang masih dua tahun tersenyum polos, “kata mama Angel akan punya adik!”“Adik?” beo Raynar dengan bingung.Sementara itu Angel dengan polosnya mengangguk penuh semangat. “Iya! Mama bilang di perut mama ada bayi kecil. Nanti main sama Angel dan Kak Raynar!”Raynar mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. “Aku juga ingin adik,” gumamnya sambil memandangi gambarnya yang hanya ada tiga orang.“Tuan muda, nona muda waktunya makan siang.” ucap baby sitter yang menjaga mereka.Raynar dan Angel langsung menoleh, “yeay! Aku ingin sup daging!” ucap Angel yang langsung berlari ke arah baby sitternya.Sedangkan Raynar masih diam, seolah sedang berpikir.Raynar berdiri pelan sambil membawa kertas gambarnya. Ia memandangi gambar itu sek
“Raynar.. hati-hati nak,” suara Naina memperingatkan putranya yang kini sangat aktif di umurnya yang menginjak empat tahun.Waktu sangat cepat berlalu, bahkan putri Rosana yang saat ini dua tahun juga mulai berlari mengejar Raynar yang sedang bermain bola di taman.“Ray, jangan terlalu kencang ya, nanti adikmu jatuh,” seru Marven dari balik koran yang hanya setengah dibacanya, karena perhatiannya lebih banyak tertuju ke anak-anak itu.Raynar menoleh dengan tawa lepas, “Iya, Papa! Tapi adik lalinya cepat banget!”Putri Rosana, kecil dengan rambut ikal yang diikat dua, tertawa ceria sambil mengejar bola dengan langkah-langkah mungilnya. Rosana yang duduk di kursi taman bersama Naina ikut tersenyum melihat tingkah keduanya.“Lihat mereka,” gumam Rosana sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Kayaknya bentar lagi taman ini bakal tambah ramai.”Naina menoleh dengan tatapan terkejut, lalu tersenyum lebar. “Kamu hamil lagi?! Rosana kenapa gak bilang?!”Rosana terkikik, “Aku mau kasih
Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng