Share

BAB 5

Author: Mayasa
last update Last Updated: 2024-12-24 19:58:31

“Evelyn akan tinggal dirumah ini mulai sekarang. Aku akan mempersiapkan kamar utama untuknya.” Kata Jake begitu mereka sampai rumah setelah Naina pulang dari rumah sakit.

Naina mengangguk tak banyak komentar, percuma dia menolak karena itu akan membuatnya semakin sakit hati.

“Aku akan pergi ke kamar.” Kata Naina dengan tenang lalu naik ke lantai dua.

Jake menatap punggung kecil Naina, tatapannya begitu dalam hingga akhirnya teralihkan saat Evelyn memeluk lengannya.

“Hari ini aku ingin makan es krim, bagaimana jika kita keluar dan ke kedai es krim?” Kata wanita itu dengan manis.

Jake langsung tersenyum, “Oke. Kita ajak Naina juga.”

Evelyn langsung berubah cemberut, “Aku hanya ingin berdua denganmu, bukankah dia baru kembali dari rumah sakit?”

Jake terdiam sesaat, menatap Evelyn yang kini merajuk seperti anak kecil. Senyuman tipis kembali terukir di wajahnya, tapi pandangannya menyiratkan keraguan yang sekilas.

“Baiklah,” kata Jake akhirnya, suaranya pelan namun tegas. “Kita pergi berdua saja.”

Evelyn langsung tersenyum lebar, memeluk lengan Jake dengan manja. “Tentu saja, sayang. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu.”

Namun, di lantai atas, Naina yang baru saja menutup pintu kamarnya tidak bisa menghindar dari suara percakapan mereka. Meski samar, ia tahu bahwa Evelyn sedang mengatur rencana untuk pergi bersama Jake. Lagi-lagi, ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.

Naina mendekati jendela kamarnya, membuka tirai sedikit, dan melihat Jake berjalan ke mobil bersama Evelyn. Mereka tampak seperti pasangan bahagia, sementara dirinya hanya seperti bayangan di pinggiran hidup Jake.

“Apa gunanya aku disini? Aku seperti istri pajangan yang tak berguna.” Gumamnya dengan tertawa miris.

Namun tiba-tiba dia mendengar suara dering dari ponselnya, dia menoleh dan mengangkat telepon dari rumah sakit dimana ayahnya dirawat.

“Halo?” Suara Naina terdengar pelan, seolah merasakan firasat buruk yang akan menghampirinya.

“Apakah ini wali dari tuan Arman? Di administrasi nomor ini yang menjadi kontak darurat jika terjadi sesuatu.” Kata perawat yang ada disana.

“Ya sus, saya anaknya. Apakah ada sesuatu yang terjadi pada ayah saya?” Tanya Naina dengan cepat.

“Maaf, Nyonya Naina,” kata suara di ujung telepon dengan nada hati-hati. “Kondisi ayah Anda memburuk pagi ini. Kami telah melakukan yang terbaik, tetapi sebaiknya Anda segera ke rumah sakit.”

Dunia Naina seolah berhenti sejenak. Tangannya gemetar memegang ponsel. “Baik, saya akan segera ke sana,” katanya sambil mencoba mengendalikan suaranya yang bergetar.

Setelah menutup telepon, Naina berdiri dengan linglung. Ia memandang sekilas ke luar jendela, melihat Jake dan Evelyn yang baru saja masuk ke mobil. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil tas dan jaket, lalu melangkah cepat menuju pintu depan.

Namun, saat ia membuka pintu, Evelyn memutar kepala ke arahnya dengan senyum sinis. “Kau mau kemana, Naina? Kau bahkan belum menyapa kami.”

Jake menatap Naina dengan kening berkerut. “Apa yang terjadi?”

“Ayahku...” Suaranya serak, matanya berkaca-kaca. “Ayahku sedang kritis. Aku harus ke rumah sakit sekarang.”

Jake menghela nafas panjang, terlihat kesal. “Kau selalu datang dengan drama. Mobilmu ada di bengkel sekarang, kalau mau ke rumah sakit pakai taxi.”

Naina yang mendengar itu langsung memegang tangan Jake sambil memohon, “Tolong antarkan aku, sekali ini saja.” Kata Naina sambil menangis.

Namun tangannya langsung ditepis oleh Jake, “Aku sudah berjanji pada Evelyn mengajaknya beli es krim. Pesan taxi saja!” Katanya dengan tak berperasaan.

Naina menatap Jake dengan mata yang penuh air mata, namun pria itu tetap tak bergeming. Evelyn yang berada di sebelahnya hanya tersenyum kecil, seolah menikmati kehancuran hati Naina. 

Dengan nafas yang terisak, Naina mengangguk pelan, mencoba menelan rasa sakit yang menghimpit hatinya. “Baik, aku akan pesan taksi,” katanya lemah, lalu berbalik menuju dalam rumah untuk mengambil ponselnya.

Saat ia berjalan ke dalam, langkahnya terasa berat, seolah tubuhnya enggan bergerak. Namun, ia tahu ia tidak punya pilihan. Ayahnya adalah satu-satunya keluarga yang tersisa, dan ia tidak bisa membiarkan siapapun menghalanginya untuk berada di sisi pria itu.

Naina segera memesan taksi, lalu menunggu di depan rumah dengan tubuh yang gemetar. Di kejauhan, ia mendengar suara tawa Jake dan Evelyn yang sedang bercanda di dalam mobil sebelum mereka pergi. 

Ketika taksi tiba, Naina masuk tanpa berkata apa-apa. Selama perjalanan ke rumah sakit, ia menggenggam erat tas kecilnya, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus-menerus kembali ke Jake dan betapa kejamnya pria itu. Apa yang telah terjadi pada lelaki yang dulu berjanji akan melindunginya dari segala hal?

Sesampainya di rumah sakit, Naina berlari menuju kamar ayahnya dengan langkah tergesa-gesa. Nafasnya terengah-engah saat ia membuka pintu dan melihat ayahnya terbaring lemah, dikelilingi oleh alat-alat medis.

“Ayah…” Suaranya pecah saat ia mendekati ranjang dan menggenggam tangan ayahnya yang dingin. 

Dokter sudah menangani ayahnya tapi sepertinya kondisi ayahnya sangat parah.

“Nyonya Naina, bisa bicara di ruangan saya?” Tanya dokter itu pada Naina.

Naina mengangguk lalu menghapus air matanya, kemudian berjalan ke arah ruangan dokter yang beberapa tahun ini menangani ayah-nya.

“Dok bagaimana kondisi ayah saya?” Tanya Naina begitu dia sampai dan duduk di depan meja dokter tersebut.

Helaan nafas berat terdengar dari dokter itu, lalu memandang Naina. “Sebenarnya saya tidak ingin mengatakannya, tapi kondisi ayah anda sangat buruk. Bahkan bertahan satu bulan pun rasanya sulit.” Kata dokter tersebut.

Naina terkejut, “Bagaimana bisa dok? Bukankah ayah saya selalu mendapatkan perawatan terbaik? Apakah pengobatan kanker otaknya tak mempan lagi untuk ayah saya?” Tanya Naina.

“Nyonya, apakah anda tahu selama dua tahun ini bagaimana perawatan ayah anda?” Tanya dokter dengan ragu.

Naina mengangguk, “Kata suami saya, dia telah memberikan banyak uang untuk pengobatan ayah saya. Saya tahu biaya pengobatan kanker otak tidak sedikit tapi setiap bulan suami saya mengirim uang ke rumah sakit.” 

Dokter itu menatap Naina dengan raut prihatin yang sulit disembunyikan. Ia menghela nafas panjang sebelum berbicara. “Nyonya Naina, selama dua tahun terakhir ini, pengobatan ayah Anda telah mengalami banyak hambatan. Beberapa kali pembayaran terlambat, sehingga kami hanya bisa memberikan pengobatan standar, bukan yang terbaik sesuai kebutuhan ayah Anda.”

Naina terkejut, matanya melebar. “Terlambat? Bagaimana mungkin? Jake selalu mengatakan bahwa ia mengirimkan uang tepat waktu. Dia bahkan mengatakan itu biaya yang sangat besar!”

Dokter itu mengangguk pelan. “Saya tidak tahu detail keuangannya, tetapi data kami menunjukkan bahwa ada banyak pembayaran yang tertunda. Bahkan beberapa kali kami harus menghentikan pengobatan karena dana tidak tersedia.”

Kepala Naina mulai berdenyut, pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan. Jika Jake tidak benar-benar membayar pengobatan ayahnya tepat waktu, ke mana uang itu pergi? 

“Apakah ini sebabnya kondisi ayah saya semakin buruk, Dok?” tanya Naina dengan suara serak, berusaha menahan tangisnya.

“Saya tidak ingin menyalahkan siapapun, tetapi pengobatan kanker otak seperti ini sangat tergantung pada konsistensi perawatan dan terapi. Tanpa itu, perkembangan penyakit bisa menjadi sangat cepat.”

Naina merasa tubuhnya melemas. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan. Ia merasa marah, sedih, dan kecewa. Selama ini, ia menahan semua perlakuan buruk Jake dengan keyakinan bahwa suaminya setidaknya menjaga ayahnya dengan baik. Namun kenyataan ini membuat keyakinannya hancur berkeping-keping.

“Dokter, apa yang bisa saya lakukan sekarang?” tanyanya dengan suara yang hampir tidak terdengar.

“Yang terbaik adalah mempersiapkan diri untuk yang terburuk, tetapi jika Anda bisa menemukan cara untuk mendapatkan dana tambahan, mungkin kita bisa mencoba perawatan eksperimental atau setidaknya memperpanjang waktu ayah Anda sedikit lebih lama.”

Naina mengangguk, “Saya baru punya seratus juta di rekening saya, apakah itu cukup?”

Dokter mengangguk, “Untuk sementara cukup, saya akan berusaha yang terbaik.”

Naina mengangguk lalu pergi ke administrasi untuk membayar perawatan yang dibutuhkan ayah-nya.

“Jake, apa selama ini aku terus ditipu olehmu?” Gumam Naina sambil meremas bukti pembayaran.

“Aku bersumpah! bahkan sampai mati, aku akan membalaskan setiap darah yang aku keluarkan demi pengkhianatanmu!!”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Marlina Yulita
balaskan ya
goodnovel comment avatar
Ibu Yanie
kasian banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 191 -END-

    “Tuan, apa Anda baik-baik saja?” tanya Ben sambil melirik cepat ke arah Marven yang baru saja masuk ke ruang kerja dengan langkah berat.Marven meletakkan jas kerjanya di kursi dan menghela napas panjang. “Sepertinya saya butuh tidur seminggu penuh, Ben,” jawabnya sambil tertawa kecil.Ben ikut tersenyum. “Masih begadang karena nona Keisha, Tuan?”Marven mengangguk, lalu duduk di belakang meja kerjanya. “Dia bangun tiga kali semalam. Kadang cuma mau digendong, kadang nangis keras sampai bikin Raynar juga ikut bangun.”Ben menahan tawa. “Sepertinya rumah ini jadi lebih ramai sejak kehadiran Nona kecil.”“Ya… sangat ramai.” Marven mengusap wajahnya, berusaha mengusir sisa kantuk. “Tapi rasanya aneh kalau rumah ini sepi lagi.”Ben mengangguk pelan, lalu meletakkan secangkir kopi di meja. “Kalau begitu, semangat, Tuan. Nanti kalau butuh bantuan, saya selalu siap.”Marven mengambil cangkir itu dan mengangkatnya sedikit. “Terima kasih, Ben. Kopi ini mungkin satu-satunya alasan aku bisa bert

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 190

    “Siapa namanya, ma?” tanya Raynar dengan semangat saat bayi yang menjadi calon adiknya akhirnya sudah boleh dibawa pulang setelah melalui proses yang panjang.Naina menoleh ke arah putranya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya. Sinar mata Raynar begitu bersinar saat menatap bayi mungil yang terlelap dalam gendongan sang ibu. Mereka berdiri di ambang pintu rumah, menyambut awal baru yang begitu berarti.“Namanya… Keisha,” jawab Naina lembut, suaranya nyaris berbisik seolah tak ingin membangunkan si kecil. “Artinya anugerah.”Raynar mengangguk pelan, lalu mendekat dan membelai tangan mungil adiknya dengan jari telunjuknya. “Halo, Keisha. Aku Raynar. Aku kakakmu,” bisiknya bangga. “Nanti kalau udah besar, aku ajarin main robot-robotan.”Marven tertawa kecil di belakang mereka. “Tapi sebelum itu, kita belajar cara jadi keluarga dulu, ya. Pelan-pelan, satu hari satu langkah.”Naina tersenyum pada suaminya, lalu pada kedua anaknya. Ia tahu, meski Keisha bukan berasal dari darah dan da

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 189

    “Kalian mau adopsi anak?” Nyonya Sisca menatap serius Naina dan Marven.“Jika diizinkan bibi, kami ingin mengadopsi anak perempuan,” jawab Naina lembut.Nyonya Sisca meletakkan cangkir tehnya perlahan, sorot matanya tak berubah. Dalam diam, ia menatap pasangan muda di depannya dengan pandangan sulit ditebak.“Anak perempuan?” ulangnya pelan. “Apakah Raynar tidak keberatan?”Marven menggenggam tangan Naina yang ada di pangkuannya, lalu menatap nyonya Sisca dengan tenang. “Kami sudah bicara panjang lebar dengannya. Raynar yang justru memulai semuanya. Ia ingin punya adik… dan ketika tahu Naina tak bisa mengandung lagi, dia bilang ingin memilih adiknya sendiri.”Mata Nyonya Sisca melembut, tapi raut wajahnya tetap serius. “Kalian tahu tanggung jawabnya, bukan? Mengadopsi bukan sekadar membawa pulang seorang anak. Itu artinya… membuka seluruh hidup kalian untuk seseorang yang mungkin datang dari dunia yang sangat berbeda. Apalagi anak perempuan—perasaannya lebih halus. Akan ada luka-luka

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 188

    Suasana rumah semakin hangat, Raynar yang saat ini sedang di ruang bermain bersama Angel sedang menggambar.“Angel, kenapa ada empat orang. Bukankah hanya ada tiga? Om, tante dan Angel? Siapa anak kecil yang ada disini,” tunjuk Raynar dengan penasaran.Angel yang masih dua tahun tersenyum polos, “kata mama Angel akan punya adik!”“Adik?” beo Raynar dengan bingung.Sementara itu Angel dengan polosnya mengangguk penuh semangat. “Iya! Mama bilang di perut mama ada bayi kecil. Nanti main sama Angel dan Kak Raynar!”Raynar mengangguk pelan, meski masih terlihat bingung. “Aku juga ingin adik,” gumamnya sambil memandangi gambarnya yang hanya ada tiga orang.“Tuan muda, nona muda waktunya makan siang.” ucap baby sitter yang menjaga mereka.Raynar dan Angel langsung menoleh, “yeay! Aku ingin sup daging!” ucap Angel yang langsung berlari ke arah baby sitternya.Sedangkan Raynar masih diam, seolah sedang berpikir.Raynar berdiri pelan sambil membawa kertas gambarnya. Ia memandangi gambar itu sek

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 187

    “Raynar.. hati-hati nak,” suara Naina memperingatkan putranya yang kini sangat aktif di umurnya yang menginjak empat tahun.Waktu sangat cepat berlalu, bahkan putri Rosana yang saat ini dua tahun juga mulai berlari mengejar Raynar yang sedang bermain bola di taman.“Ray, jangan terlalu kencang ya, nanti adikmu jatuh,” seru Marven dari balik koran yang hanya setengah dibacanya, karena perhatiannya lebih banyak tertuju ke anak-anak itu.Raynar menoleh dengan tawa lepas, “Iya, Papa! Tapi adik lalinya cepat banget!”Putri Rosana, kecil dengan rambut ikal yang diikat dua, tertawa ceria sambil mengejar bola dengan langkah-langkah mungilnya. Rosana yang duduk di kursi taman bersama Naina ikut tersenyum melihat tingkah keduanya.“Lihat mereka,” gumam Rosana sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit. “Kayaknya bentar lagi taman ini bakal tambah ramai.”Naina menoleh dengan tatapan terkejut, lalu tersenyum lebar. “Kamu hamil lagi?! Rosana kenapa gak bilang?!”Rosana terkikik, “Aku mau kasih

  • PELUKAN PANAS SANG PRESDIR   BAB 186

    Beberapa bulan kemudian, suasana mewah dan hangat menyelimuti ballroom utama di mansion keluarga Tuner. Dekorasi elegan dipenuhi bunga putih dan ungu, selaras dengan tema pernikahan Rosana dan Andrian. Para tamu duduk tenang menyaksikan dua sejoli yang kini berdiri di altar, saling menatap dengan mata berbinar.Rosana terlihat anggun dalam gaun putih panjang yang menjuntai lembut, sementara Andrian tampak gagah dengan setelan jas hitam elegan. Di tengah keheningan yang khidmat, suara pendeta pun terdengar lantang dan syahdu:“Silakan ucapkan janji suci pernikahan kalian.”Andrian mengambil tangan Rosana dengan mantap. Suaranya terdengar tenang, namun penuh emosi.“Aku, Andrian, berjanji untuk mencintaimu, Rosana, di setiap hari baik maupun buruk. Aku akan menjadi rumah tempatmu pulang, pelindung saat kau lelah, dan sahabat yang selalu ada. Hari ini, aku tidak hanya menikahi wanita yang kucintai… aku juga menikahi masa depanku.”Rosana menarik napas pelan, matanya berkaca-kaca. Ia meng

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status