Keluar dari kamar di lantai tiga ruko yang dibeli dengan hasil jerih payahnya sendiri selama beberapa tahun bergelut di dunia online, pemuda dengan garis wajah tegas dan masih sangat kental mewarisi ketampanan sang ayah itu menyambar sepasang sneakers hitam dari rak sepatu di dekat tangga.
Duduk di anak tangga teratas sebentar untuk mengenakan sepatu, lalu segera meluncur ke lantai dua. Di sana, dilihatnya Radit dan dua orang pegawainya sedang menikmati secangkir kopi dan mengamati layar benda pipih di meja kerja masing-masing. Hari minggu seharusnya mereka libur kerja, tapi proyek baru yang harus segera dilaunching pekan depan membuat Radit seperti biasa tak ingin menunda pekerjaan. Sayangnya, Raka terlanjur janji pada sang ibu untuk mengunjunginya hari itu. Entah kenapa, dia sangat merindukan wanita itu. Melihat Raka turun, Radit bermaksud menyerahkan kunci mobil yang sempat dipakainya mencari sarapan beberapa saat yang lalu. “Nggak usah, bawa aja Bang. aku naik bus aja,” terangnya. “Oh, oke.” Radit pun menyimpan kembali kunci mobil sport itu di laci meja kerja Raka. “Salam buat nyokap ya?” tambahnya kemudian. Raka mengangkat sebelah tangannya tanda berpamitan pada tiga rekannya sambil melangkah lebar menuju tangga ke lantai satu. Radit hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabat yang sudah pula dianggapnya seperti adik kandung itu. Pria yang nyaris menginjak usia tiga puluh itu tiba-tiba teringat peristiwa beberapa tahun lalu, saat Raka datang ke rumah kontrakannya meminta untuk ikut bekerja karena harus bertahan hidup setelah diusir oleh ayahnya. Radit tak menyangka semangat belajar Raka ternyata sangat luar biasa. Bahkan, beberapa tahun setelah itu, dirinya jadi jauh tertinggal dari Raka. Dia melesat bagai anak panah yang lepas dari busurnya. * Rani dikejutkan dengan kedatangan Romi dan istri barunya di rumah pagi menjelang siang itu. Sedikit shock, tapi beruntung wanita itu selalu bisa mengendalikan diri dengan baik. Dia pun bersyukur tak ada satu pun putranya di rumah saat itu. Dia sungguh tak ingin mereka melihat lagi kebersamaan sang ayah dengan wanita lain seperti saat itu yang berujung dengan pengusiran Raka dari rumah. "Ada perlu apa kemari, Mas?" tanyanya basa-basi usai mempersilakan dua tamunya duduk di ruang tamunya yang tak terlalu luas. Yah, setidaknya seperti itu yang ada dalam kepala Mayang. "Maaf aku tidak memberi kabar dulu kalau mau ke sini, Ran. Aku hanya ingin bertemu Rio." Sekian lama tak bertemu, rupanya membawa kecanggungan tersendiri bagi Romi. Sejujurnya, dia tak menyangka jika mantan istrinya itu terlihat sangat baik setelah sekian lama ditinggalkannya tanpa nafkah seperak pun. Entah dengan cara apa wanita di depannya itu menghidupi diri dan dua anak mereka, karena yang Romi tahu Rani sudah lama tidak lagi bekerja. "Rio nggak ada di rumah, Mas. Dia pamit keluar sama teman-temannya tadi pagi." Rani hanya menatap mantan suaminya sekedarnya dan sama sekali tak ingin mengotori pandangannya dengan wanita di samping pria itu. “Duh, sayang sekali ya. Tapi baiklah nggak apa-apa. Aku ke sini hanya mau menyerahkan ini untuk Rio, Ran. Beberapa hari lalu kami bertemu dan ngobrol banyak. Aku dengar dia lagi skripsi. Jadi, mungkin ini nanti akan sedikit membantu biaya kuliahnya.” Romi meletakkan amplop berisi uang sepuluh juta dengan tangan sedikit gemetar di atas meja. “Apa itu, Mas?” Rani tak berniat sama sekali menerimanya, apalagi menyentuh benda coklat yang dibawa oleh mantan suaminya. Dia hanya menatap dengan raut datar. "Itu uang untuk anakmu. Tapi maaf ya Mbak, aku harap ini yang terakhir. Lain kali, jangan ajari mereka untuk minta-minta lagi sama papanya. Kami juga punya banyak kebutuhan sendiri." Mayang tiba-tiba menyela, membuat kulit muka Romi langsung terasa menebal, malu dengan kelakuan istrinya. "Eeh, ehm bukan seperti itu maksud Mayang, Ran." Romi benar-benar tak enak hati, tapi sungguh bingung harus berkata apa. "Aku tahu kok apa yang istrimu maksudkan itu, Mas. Tapi ada hal yang perlu kalian ingat, aku nggak pernah mengajari, apalagi menyuruh Rio untuk meminta uang sama kamu. Satu kali pun tidak pernah, Mas. Jadi, jangan sembarangan menuduh!" Meski kaget dengan kejadian itu, Rani tetap tidak percaya jika Rio lah yang meminta uang pada ayahnya. "Hahaha, siapa juga yang akan percaya sama omonganmu? Nyatanya, anakmu itu minta uang kok sama ayahnya? Mas Romi tuh nggak bakal ngasih kalau dia nggak minta." Mayang mulai tertantang dengan sikap Rani yang tenang. "Meskipun kami miskin, satu kali pun aku tak pernah mengajarkan anak-anakku untuk meminta-minta pada siapapun. Kamu salah jika berkata seperti itu." "Hahaha ... miskin aja belagu banget sih. Udah lah, terima saja uangnya. Toh kalian juga butuh itu kan?" Mayang mulai tak sabar mengeluarkan ejekan. "Udah Mah, jangan gitu ngomongnya!" hardik Romi yang makin tak enak hati pada sang mantan istri. "Apaan sih, Pah! Biarin aja! Biar nanti mereka nggak tuman minta-minta terus sama kamu." "Kami memang miskin, tapi kami gak butuh uang kalian. Pergi kalian dari sini! Jangan ganggu mamaku!" Suara yang terdengar tiba-tiba dari arah pintu membuat ketiga manusia di ruang tamu itu sontak menoleh. Romi dan Mayang bahkan sempat terperangah menatap sosok pemuda gagah yang kini mulai berjalan mendekat "Pa-papa ke sini cuma mau ngasih uang buat Rio, Ka. Untuk biaya kuliahnya. Kamu jangan salah paham.” Romi mulai berhasil menguasai keadaan. Bertahun-tahun tak pernah berjumpa dengan anak sulungnya, hampir saja dia tak mengenali Raka. Romi tak menyangka Raka tumbuh cepat dan sebaik itu. Ketampanannya bahkan mengalahkan dirinya di jaman muda dulu. "Kita nggak butuh uang itu! Bawa pergi saja!" ketus Raka saat akhirnya sampai di samping ibunya yang kini telah berdiri mengimbangi para tamunya. "Raka, sabar ya! Mama nggak apa-apa, Sayang." Rani bersiap mencegah hal buruk yang mungkin terjadi di antara anak dan ayah itu. Dia tak ingin kejadian di masa lalu terulang lagi. "Papa nggak nyangka, setelah bertahun-tahun berlalu, ternyata kamu masih belum berubah juga. Kamu nggak bisa hormat sedikitpun sama orang tua!" gertak Romi. Lelaki itu jelas diliputi rasa kecewa dengan sikap anak sulungnya. "Aku nggak kenal kalian! Sekarang pergi dan jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini!" bentak pemuda itu berapi-api. "Hah! Miskin aja sombong banget sih! Ayo Pah, kita pulang! Kebetulan deh kalau mereka nggak mau uangnya. Mama bisa pake buat shopping." "Ta-tapi, Mah…." Romi tak bisa melanjutkan kalimatnya setelah melihat mata sang istri yang melotot tajam ke arahnya. "Bodo amat! Mereka aja nggak butuh kok. Ngapain Papa mikirin mereka?! Ayo pulang! Lagian mama juga jijik kelamaan berada di rumah ini.” Mayang makin mencebik. Kemudian, wanita itu pun segera menghentak kaki keluar dari ruang tamu usai mengambil kembali amplop yang sempat diletakkan suaminya di atas meja. Tak berapa lama kemudian, Romi pun mengekor sang istri. Rani langsung mengelus dada yang tiba-tiba terasa sesak. Lemas, dia pun mendudukkan diri di kursi. Sekuat tenaga Raka berusaha mengendalikan emosinya, berusaha mengembalikan detak jantungnya yang memburu karena sikap sang ayah dan istri barunya. "Mama nggak apa-apa, Ka. Harusnya kamu tadi nggak perlu terlalu keras pada tamu kita. Apa kamu belum bisa juga memaafkan papamu?” "Tidak akan! Dan itu nggak penting juga untuk dibahas, Ma.” Seraya membantu ibunya berjalan pelan menuju kamar, Raka sepertinya baru menyadari bahwa dirinya sudah tumbuh sebesar itu. Mamanya kini terlihat sangat ringkih dalam rangkulnya. Bersambung …Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanita yang terlihat begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya.Akhirnya, disinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiaannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa masih hidup.Mayla sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya.Pesta itu tidak begitu mewah karena hanya dihadiri oleh tamu-tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya sangat mengesankan betapa sang pengantin pria sudah mempersiapkan pesta itu dengan hati.Tak jauh beda dengan Mayla, Ibu Rani pun nampak sangat haru dengan pernikahan putra pertamanya. Kekhawatirannya akan dendam sang anak pada ayah kandungnya ternyata tidak terbukti benar. Raka membuktikannya dengan akhir yang membahagiak
"Dia di mana, Bik?" Bik Sani langsung menyambut saat Raka tiba di halaman rumah. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah."Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau ke luar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," jelas Bik Sani, mengikuti langkah Raka menuju ke dalam."Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik.""Baik, Pak."Sampai di depan kamar Mayla, Raka ragu untuk mengetuk. Hari itu sebenarnya dia belum punya rencana untuk menemuinya. Namun karena Bik Sani menelpon dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya dia berubah pikiran.Tak ada sahutan dari dalam saat akhirnya Raka mengetuk kamar itu. Hingga dia pun memutuskan untuk membukanya paksa.Raka menghela nafas lega saat dilihatnya Mayla sedang tidur meringkuk di atas ranjang."May!" Raka mendekat dengan buru-buru, memegang kepala gadis yang terlihat terbaring lemah di atas ranjang itu. Badannya sedikit panas. Raka mulai panik."Bik! Bibi!" Teriakannya membuat Bik Sani langsung berlari tergopoh menu
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah terlihat datang.Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba-tiba seperti akan berhenti di depan rumah. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa.Dia juga selalu berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbang memanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba-tiba muncul mengagetkan dan membuatnya takut. Raka seperti menghilang di telan bumi.Beberapa kali ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; belanja bulan ini, gaji Bik Sani, uang sekolah, atau bersenang senanglah. Siapa lagi yang mengirimkan uang sebanyak itu selain Raka?Lalu beberapa kali terkadang ada pesan masuk ke aplikasi hijaunya."Sudah di
"Semalam mau tanya apa?" Tiba-tiba Raka bertanya di sela-sela sarapan.Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi itu untuk kedua momongannya."Eeehm, itu Kak ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran mendadak hilang seketika melihat wajah yang menatapnya dengan tak berkedip dan mendominasi seperti biasa."Itu apa?" desak Raka. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus sekarang. Kenapa malah diam?" cecar Raka.Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja jadi seperti orang bodoh saat sedang berhadapan dengan Raka."Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah.""Aku tau. Trus ngapain?""Kakak tau? Gimana kakak bisa tau?" Dahi Mayla berkerut."Apa sih memangnya yang nggak aku tau dari kamu?" ucap Raka bernada merendahkan. "Trus kenapa?" lanjutnya."Itu ... Ayah bilang sesuatu sama Mayla.""Bilang apa?" Raka beralih ke piring di depann
"Mayla!" Firman langsung berteriak saat melihat Mayla muncul dari pintu gerbang sekolah."Ayah!" Mata Mayla berbinar melihat sang Ayah yang sedang berdiri di dekat mobil MPV keluaran tahun lama itu."Ayah kok di sini?" tanyanya saat berhasil sampai di dekat Firman."Kebetulan tadi Ayah lewat, jadi sekalian mampir. Kamu sudah makan? Temenin Ayah makan siang yuk?" ajak Firman. Mayla pun mengangguk senang.Selain teman-temannya di sekolah dan keluarga Ibu Rani, Mayla sangat jarang berinteraksi dengan orang lain. Kehadiran Ayah hari itu sepertinya membawa suasana lain dalam hatinya.Mayla masuk ke dalam mobil Firman tepat pada saat mobil Raka berhenti di depan sekolahnya.Melihat Mayla dijemput sang Ayah, Raka pun langsung melaju meninggalkan tempat itu.Dia yakin hari itu Mayla akan mengetahui kartu merahnya. Ayahnya pasti akan mengatakan padanya tentang lamaran itu..*****"Apa? Ayah pasti bercanda kan?" Mayla membelalakkan mata tidak percaya di sela-sela makan siang di sebuah Restoran P
Berbeda dengan saat di rumah, sikap Raka di ruko ternyata lebih cuek. Saat sampai di sana, dia langsung meminta salah seorang karyawan wanitanya untuk membantu Mayla mengenal pekerjaan barunya. Sementara dia sendiri sibuk di ruang kerja bersama Radit.Kikuk dan minder. Itu yang dirasakan Mayla di kantor itu. Menjadi yang paling muda dan paling tidak mengerti apa-apa. Mayla jadi tersadar jika hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan ketidak-beruntungan."Setelah selesai, jangan lupa filenya disimpan ya. Buat nanti laporan mingguan ke Bang Raka," ucap karyawan wanita itu menyudahi penjelasan. Mayla hanya mengangguk, kurang yakin."Oke, kalau ada masalah nanti tanyain aja, nggak usah malu. Semuanya baik kok di sini," ujarnya lagi. Meski sudah diperlakukan ramah seperti itu, Mayla tetap saja merasa asing. Terlebih karena Raka juga tak memperlakukannya spesial di tempat itu.*****Jam sudah menunjuk pukul 5 sore saat sebagian besar karyawan sudah mulai meninggalkan ruangan. Hanya beberap