Sakit hati ibunya akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh ayahnya membuat Raka ikut menyimpan dendam yang begitu dalam. Setelah diusir dari rumah, dirinya bertekad untuk membalaskan apa yang dirasakan ibunya pada ayahnya dan juga keluarga barunya. Dendam telah membutakan mata dan hati Raka. Pemuda berhati keras itu bahkan tak merasa punya iba sedikit pun kala melihat ada orang-orang yang ikut tersakiti akibat aksi balas dendamnya pada keluarga sang ayah. Namun anehnya, saat semua orang yang dibencinya satu per satu tumbang di hadapannya, Raka justru tak bisa merasakan kebahagiaan. Ada sesosok gadis bernama Mayla yang tersisa dari balas dendamnya pada sang ayah. Pada akhirnya gadis itulah yang kemudian berhasil melembutkan kembali hati Raka melalui pengorbanan dan perjalanan yang berliku.
Lihat lebih banyakDua remaja berseragam sekolah menengah itu terlihat sangat menikmati grilled steak di salah satu sudut area foodcourt mall terbesar di pusat kota kala seorang dari mereka yang sedang mendongak langsung menyentuh lengan kakaknya.
"Eh, Kak! Itu papa kan?" Antara kaget dan bingung, dia menatap sang kakak yang masih fokus dengan hotplate di depannya. Namun demi mendengar nada keterkejutan sang adik, remaja bersorot mata tajam itu pun sontak mengikuti telunjuk yang mengarah pada sosok pria bergaya kantoran, sedang menggandeng seorang wanita dan anak perempuan berusia sekitar enam tahunan. Merasa tak perlu menjawab apapun, Raka segera bangkit usai meletakkan kasar garpu dan pisau di tangannya ke atas meja. Melihat gerakan cepat kakaknya, wajah Rio berubah tegang. Sepertinya dia telah salah langkah memberitahukan keberadaan ayah mereka pada sang kakak beberapa saat lalu. "Mau kemana, Kak?" Rio yang masih mengenakan seragam putih birunya dengan panik menyusul kakaknya. Langkah Raka yang lebar membuatnya sedikit kewalahan untuk mengejar. "Berhenti!" Remaja berseragam putih abu-abu itu berteriak dengan muka merah padam saat hanya tinggal beberapa meter saja jaraknya dari orang-orang yang dituju. Pria dengan kemeja biru langit dengan dasi berwarna senada sontak menghentikan langkah usai mendengar sebuah suara yang begitu akrab di telinganya. Raut mukanya seketika pias melihat dua anak lelakinya setengah berlari menghampiri. "Ngapain kamu di sini?!" Si sulung berkata dengan raut sungguh tak bersahabat begitu sampai di hadapannya. Romi terpaku di tempatnya. Sebutan ‘kamu’ yang didengarnya dari mulut anak sulungnya membuat kerongkongannya kelu. Sebutan itu seolah memberi isyarat bahwa semua tak akan baik-baik saja setelah hari itu. Rio yang akhirnya berhasil menyusul, langsung memegangi lengan kakaknya dengan cemas. "Kak, sudahlah! Ayo kita pulang!" rengeknya. "Ka-lian ber-dua ngapain di sini?" Meski sedikit gugup, akhirnya Romi berhasil menguasai keadaan. Namun siapa sangka, pertanyaan itu justru makin memicu amarah Raka. "Harusnya kita yang tanya, ngapain kamu di sini?!” Raut muka pria itu berangsur merah begitu kata ‘kamu’ kembali disebut. Harga dirinya koyak sebagai orang tua. Sementara di sampingnya, si wanita mulai terlihat panik. Romi pun langsung bisa merasakan pegangan yang makin erat di lengannya. Tangan mungil anak perempuan dalam genggamannya juga mulai berkeringat. Dia semakin merapatkan tubuh ke ibunya. "Sudahlah! Kalian jangan bikin ribut di sini. Ini tempat umum. Nanti saja papa jelaskan semuanya di rumah," ujarnya setengah berbisik, berharap tak ada yang memperhatikan apa yang terjadi di antara mereka. "Aku nggak perlu penjelasan! Brngsk!" Dengan gerakan cepat, Si Sulung mendaratkan puklan keras ke wajah ayahnya hingga membuat pria itu terhuyung, nyaris ambruk. Romi tak sempat untuk menghindar. Suasana pun mendadak gaduh. Wanita yang terlepas dari pegangan itu berteriak histeris, menghampiri suaminya yang tergeser beberapa jengkal darinya. Sementara anak perempuannya mulai menangis ketakutan. Tangan ringkihnya yang gemetaran berpegangan makin erat pada tali tas selempang yang dipakainya.. Tak lama kemudian, orang-orang pun mulai berkerumun. Romi terlihat memegangi hidungnya yang berdarah saat beberapa petugas keamanan datang. Raka hanya tersenyum tipis melihat adegan itu. Ada raut puas di wajahnya. Dia bahkan tak melakukan perlawanan saat para petugas keamanan itu membawanya menjauh. Langkahnya terlihat tanpa gentar, seolah menyuarakan kemenangan bahwa dia telah berhasil membalaskan sakit hati ibunya. Raka tak sengaja mendengar ibunya selalu menangis tiap malam selama beberapa bulan terakhir. Ayahnya memang sering tak terlihat di rumah beberapa tahun belakangan. Bahkan terkadang sampai beberapa hari. Awalnya dia pikir hal itu karena masalah pekerjaan. Dia juga tak pernah tahu apa penyebab tangisan ibunya hingga hari itu tiba. Rupanya, sang ayah telah berkhianat dan dia pun merasa sangat terluka. Sementara itu, Rio yang berjalan mengikuti rombongan yang menggiring kakaknya ke pos pengamanan hanya bisa mengunci mulut, bingung, membayangkan apa yang akan terjadi saat mereka pulang nanti. Sore harinya, dengan membonceng motor sport sang kakak, Rio pulang. Saat memasuki rumah, dilihatnya ayah dan ibunya sudah ada di ruang tengah. Terlihat olehnya, sang ayah sesekali menutupi hidung dengan sapu tangan, sementara ibunya hanya tertunduk lesu di hadapannya. Melihat dua anak lelakinya datang, Rani pun segera bangkit. "Kalian dari mana saja? Kenapa baru pulang?" tanyanya cemas. Romi membuang muka melihat tingkah istrinya yang tak terlihat kesal sedikitpun pada anak-anak mereka. "Duduk kalian semua!" Jengah melihat ibu dan anak-anaknya itu seolah tak peduli dengan kemarahannya, Romi mulai membentak. Rio dan ibunya yang kaget segera melangkah ke sofa, menuruti perintah ayahnya. Namun, Raka sama sekali tak bergeming di tempatnya berdiri. "Kamu tidak mau duduk, Anak bandel?! Duduk kamu! Aku mau bicara sama kalian semua!" Tak mau terus-terusan diremehkan, Romi mulai menunjukkan kekuasaannya. "Kalau mau ngomong, ngomong aja! Nggak perlu pakai nyuruh-nyuruh duduk," ujar remaja tujuh belas tahun itu ketus. Tak terlihat sedikitpun takut di wajahnya. Ucapannya itu tentu saja membuat mata sang ibu membelalak. Ternyata, apa yang diceritakan suaminya benar adanya, Raka sudah mulai berani melawan orang tua. "Raka, jangan bicara seperti itu sama papa, Nak! Ayo duduk sini, dengarkan papa bicara," ujarnya lembut. "Raka nggak sudi punya orang tua seperti dia!" Dia bahkan tak mau melihat wajah sang ayah. "Kamu lihat itu kan, Ran?! Itu anakmu! Apa seperti itu kamu mendidik anak kamu selama ini?! Lihatlah hasil dari didikanmu!" Wajah Rani mulai pucat. Dia sama sekali tak ingin membela diri. Satu hal yang dia pikirkan hanya keselamatan anaknya. Wanita yang fisiknya sudah mulai terlihat lebih tua dari usianya itu pun segera bangkit, menghampiri putra sulungnya. "Ka, kamu jangan mempersulit mama, Nak. Duduklah dulu, kamu tidak boleh bicara begitu sama papa kamu!" "Nggak! Aku nggak akan lagi mau mendengar apapun omong kosongnya itu, Ma!" Remaja itu makin bersungut. "Anak kurang ajar kamu! Anak tidak tahu diuntung! Kamu pikir selama ini kamu bisa hidup dari siapa, hah?!" Romi tak bisa mengendalikan diri lagi. Harga dirinya hancur sudah oleh anak kandungnya sendiri. Rani makin pucat melihat kemarahan sang suami yang semakin menjadi. Dia panik saat tiba-tiba lelaki itu bergerak maju, bermaksud melayangkan tinju pada Raka. Namun beruntung, Raka bisa dengan gesit menghindar. Senyumnya mengembang sinis, menatap sang ayah yang terlihat sangat kesal karena tak berhasil melampiaskan kemarahan padanya. "Sudah, Pa, sudah! Dia itu anakmu." Rani menangis, berusaha menahan suaminya untuk tak berbuat lebih jauh dengan memegangi lengannya. "Dasar anak tidak tahu diri! Mulai hari ini, dia bukan anakku lagi! Pergi kamu dari rumah ini, Anak kurang ajar!" Bersambung …Suasana haru nampak dalam pesta pernikahan yang mewah itu saat pengantin wanita yang terlihat begitu muda dan cantik beberapa kali menitikkan air mata karena teringat akan kedua orang tuanya.Akhirnya, disinilah dia berlabuh. Di hati seorang pangeran yang kebahagiaannya bahkan telah direnggut oleh ibunya semasa masih hidup.Mayla sungguh bak putri dalam dongeng yang dipersunting pangeran tampan yang baik hati. Cintanya yang berakhir dengan kebahagiaan membuat iri banyak pasang mata yang kebetulan mengetahui jalan hidupnya.Pesta itu tidak begitu mewah karena hanya dihadiri oleh tamu-tamu undangan dari kalangan teman, sahabat, dan kerabat saja. Namun segala sesuatunya sangat mengesankan betapa sang pengantin pria sudah mempersiapkan pesta itu dengan hati.Tak jauh beda dengan Mayla, Ibu Rani pun nampak sangat haru dengan pernikahan putra pertamanya. Kekhawatirannya akan dendam sang anak pada ayah kandungnya ternyata tidak terbukti benar. Raka membuktikannya dengan akhir yang membahagiak
"Dia di mana, Bik?" Bik Sani langsung menyambut saat Raka tiba di halaman rumah. Raka berjalan tergesa menuju teras rumah."Di kamarnya, Pak. Dari semalam nggak mau ke luar kamar, nggak mau makan. Nangis terus," jelas Bik Sani, mengikuti langkah Raka menuju ke dalam."Siapkan makanannya, bawa ke kamar, Bik.""Baik, Pak."Sampai di depan kamar Mayla, Raka ragu untuk mengetuk. Hari itu sebenarnya dia belum punya rencana untuk menemuinya. Namun karena Bik Sani menelpon dengan panik dan mengabarkan bahwa Mayla yang tidak mau keluar kamar, akhirnya dia berubah pikiran.Tak ada sahutan dari dalam saat akhirnya Raka mengetuk kamar itu. Hingga dia pun memutuskan untuk membukanya paksa.Raka menghela nafas lega saat dilihatnya Mayla sedang tidur meringkuk di atas ranjang."May!" Raka mendekat dengan buru-buru, memegang kepala gadis yang terlihat terbaring lemah di atas ranjang itu. Badannya sedikit panas. Raka mulai panik."Bik! Bibi!" Teriakannya membuat Bik Sani langsung berlari tergopoh menu
Beberapa bulan setelah kejadian yang sangat mengesankan bagi Mayla itu, kakaknya tak pernah terlihat datang.Hari demi hari berlalu, setiap pagi Mayla selalu bersemangat saat ada suara mobil yang tiba-tiba seperti akan berhenti di depan rumah. Dia selalu berharap Raka yang datang untuk mengantarkannya ke sekolah seperti biasa.Dia juga selalu berharap kakaknya itu akan ada di luar gerbang memanggilnya dengan nada galak seperti biasanya. Tapi semuanya itu tak pernah terjadi. Dia pergi dan pulang dari sekolah dengan naik angkot seperti sebelumnya. Tak pernah lagi ada Raka yang tiba-tiba muncul mengagetkan dan membuatnya takut. Raka seperti menghilang di telan bumi.Beberapa kali ada notifikasi perbankan yang masuk ke ponsel Mayla. Sejumlah dana masuk ke rekeningnya disertai pesan; belanja bulan ini, gaji Bik Sani, uang sekolah, atau bersenang senanglah. Siapa lagi yang mengirimkan uang sebanyak itu selain Raka?Lalu beberapa kali terkadang ada pesan masuk ke aplikasi hijaunya."Sudah di
"Semalam mau tanya apa?" Tiba-tiba Raka bertanya di sela-sela sarapan.Bik Sani sudah menyiapkan dua piring nasi goreng spesial pagi itu untuk kedua momongannya."Eeehm, itu Kak ... " Mayla mendadak gagu. Keinginan kuatnya semalam untuk segera bertemu Raka dan menanyakan hal yang membuatnya penasaran mendadak hilang seketika melihat wajah yang menatapnya dengan tak berkedip dan mendominasi seperti biasa."Itu apa?" desak Raka. "Katanya penting, nggak bisa diomongin lewat telpon, katanya harus sekarang. Kenapa malah diam?" cecar Raka.Mayla menelan ludah susah payah. Dia heran karena selalu saja jadi seperti orang bodoh saat sedang berhadapan dengan Raka."Itu Kak ... kemarin May dijemput Ayah pas pulang sekolah.""Aku tau. Trus ngapain?""Kakak tau? Gimana kakak bisa tau?" Dahi Mayla berkerut."Apa sih memangnya yang nggak aku tau dari kamu?" ucap Raka bernada merendahkan. "Trus kenapa?" lanjutnya."Itu ... Ayah bilang sesuatu sama Mayla.""Bilang apa?" Raka beralih ke piring di depann
"Mayla!" Firman langsung berteriak saat melihat Mayla muncul dari pintu gerbang sekolah."Ayah!" Mata Mayla berbinar melihat sang Ayah yang sedang berdiri di dekat mobil MPV keluaran tahun lama itu."Ayah kok di sini?" tanyanya saat berhasil sampai di dekat Firman."Kebetulan tadi Ayah lewat, jadi sekalian mampir. Kamu sudah makan? Temenin Ayah makan siang yuk?" ajak Firman. Mayla pun mengangguk senang.Selain teman-temannya di sekolah dan keluarga Ibu Rani, Mayla sangat jarang berinteraksi dengan orang lain. Kehadiran Ayah hari itu sepertinya membawa suasana lain dalam hatinya.Mayla masuk ke dalam mobil Firman tepat pada saat mobil Raka berhenti di depan sekolahnya.Melihat Mayla dijemput sang Ayah, Raka pun langsung melaju meninggalkan tempat itu.Dia yakin hari itu Mayla akan mengetahui kartu merahnya. Ayahnya pasti akan mengatakan padanya tentang lamaran itu..*****"Apa? Ayah pasti bercanda kan?" Mayla membelalakkan mata tidak percaya di sela-sela makan siang di sebuah Restoran P
Berbeda dengan saat di rumah, sikap Raka di ruko ternyata lebih cuek. Saat sampai di sana, dia langsung meminta salah seorang karyawan wanitanya untuk membantu Mayla mengenal pekerjaan barunya. Sementara dia sendiri sibuk di ruang kerja bersama Radit.Kikuk dan minder. Itu yang dirasakan Mayla di kantor itu. Menjadi yang paling muda dan paling tidak mengerti apa-apa. Mayla jadi tersadar jika hidupnya selama ini hanya disibukkan dengan ketidak-beruntungan."Setelah selesai, jangan lupa filenya disimpan ya. Buat nanti laporan mingguan ke Bang Raka," ucap karyawan wanita itu menyudahi penjelasan. Mayla hanya mengangguk, kurang yakin."Oke, kalau ada masalah nanti tanyain aja, nggak usah malu. Semuanya baik kok di sini," ujarnya lagi. Meski sudah diperlakukan ramah seperti itu, Mayla tetap saja merasa asing. Terlebih karena Raka juga tak memperlakukannya spesial di tempat itu.*****Jam sudah menunjuk pukul 5 sore saat sebagian besar karyawan sudah mulai meninggalkan ruangan. Hanya beberap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen