Langit bergetar.Tanah merekah bagai kulit retak dari makhluk tua yang bangkit dari tidur panjangnya. Udara berubah pekat, disesaki oleh desisan lidah-lidah asing yang saling berbisik dalam bahasa yang tak dikenali manusia mana pun. Di sekeliling gua tempat Li Yuan dan yang lainnya bersembunyi, ratusan makhluk menyeruak dari kegelapan—mereka bukan binatang, bukan manusia, bukan roh.Tubuh-tubuh membusuk dengan mata menyala biru, tangan-tangan panjang yang bengkok dan melengkung, bibir robek yang terus menggumamkan mantra yang tak dikenal.“Mereka bukan binatang… bukan manusia… dan bukan roh,” gumam Feng Qiyan, suaranya tercekat. “Apa mereka… hasil perpaduan kutukan?” “Bukan,” jawab Sihuan Mo, datar dan dingin. “Mereka adalah Manifestasi Lidah Langit. Bukan makhluk. Tapi hukum hidup… yang diberi tubuh.”Yue Lian bergerak cepat, mencabut pedangnya dan mengukir formasi pelindung mengelilingi gua. Namun, bahkan
Udara terasa lebih berat ketika Li Yuan, Yue Lian, dan Sihuan Mo melangkah keluar dari mulut Perpustakaan Kehendak Terlarang. Langkah mereka pelan, penuh kehati-hatian, seolah dunia di luar tak lagi sama seperti saat mereka masuk. Angin berembus pelan, tapi membawa tekanan yang ganjil. Bahkan napas pun terasa lebih sulit ditarik.Langit bukan lagi biru.Tiga lapis warna membelah cakrawala—biru gelap, emas menyala, dan merah darah yang seperti tertetes dari luka dewa. Ketiga warna itu berputar pelan, menciptakan pusaran di langit yang sunyi, tak diiringi petir, tak pula suara burung. “Langit terbelah,” gumam Yue Lian, matanya menatap langit yang berdenyut seperti kulit raksasa. “Tiga kehendak... kini tak lagi sejalan.”Feng Qiyan menunggu di luar, wajahnya pucat, namun sorot matanya tajam. Ia tak banyak bicara, hanya menunjuk ke utara dengan jemari gemetar.Di kejauhan, seekor burung bangkai raksasa bertengger di atas
Setelah para Malaikat Langit mundur, langit tetap kelabu. Awan menggantung berat, seperti menyimpan luka yang enggan tertutup. Angin sepi, dan tanah yang dilalui Li Yuan retak halus seperti cermin yang dihantam kenyataan—tanda bahwa hukum dunia mulai goyah. “Langit sudah menandaimu,” ujar Sihuan Mo pelan, nyaris seperti bisikan angin. “Waktunya mempercepat semuanya.”Li Yuan menoleh cepat. Tatapannya tajam. “Apa maksudmu?”Sihuan Mo mengangkat tangan. Di tengah telapak tangannya, muncul segel mata naga yang berkilau redup. Dalam satu helaan napas, segel itu runtuh jadi serpihan cahaya. Tanah di bawah kaki mereka bergetar, membentuk lubang spiral yang mengisap udara dingin. “Perpustakaan Kehendak Terlarang,” katanya dengan nada berat. “Tempat segala pengetahuan yang pernah dihapus oleh langit, dikubur agar tak pernah ditemukan kembali.”Yue Lian menggigit bibirnya, menatap lubang itu dengan mata waspada. “Tempat yang bahkan Dewa tak berani sentuh…”Mereka turun perlahan melewati loro
Langit di atas wilayah timur jauh mulai memancarkan cahaya keemasan yang menusuk—bukan sinar harapan, melainkan tekanan tanpa ampun. Awan-awan bergulung cepat, membentuk pola raksasa di udara seperti mata raksasa yang menatap dunia dari balik dimensi tersembunyi.Bukan gejala alam.Itu... adalah panggilan dari Langit Tertinggi.Li Yuan berdiri di ujung tebing Kegelapan, menatap langit yang merekah, diapit oleh Sihuan Mo dan Yue Lian. Aura dunia terasa mengeras, seolah setiap helai udara memikul kehendak yang tidak bisa dilawan.> “Tujuh cahaya…” gumam Sihuan Mo, suaranya pelan namun tegas. “Mereka mengirim... Tujuh Malaikat Hukuman.”Yue Lian menegang. Ujung jarinya gemetar. “Mereka masih ada...? Kukira mereka semua dihancurkan setelah pemberontakan generasi pertama…”Sihuan Mo menggeleng pelan. “Tak semuanya. Beberapa menghilang. Tapi satu dari mereka… justru memilih tetap setia. Dan kini… menjadi pedang langit yang tak tergoyahkan.”---Di balik awan timur, muncul tujuh cahaya yang
Langit dunia manusia mulai retak perlahan. Dari antara awan kelabu yang menggantung kaku, kilatan ungu muncul pelan—bergerak seperti ular petir tanpa suara, lalu menyambar ke tanah. Bukan sambaran biasa, tapi menyisakan guratan—jurang halus nyaris tak kasatmata yang membelah tanah suci di banyak tempat. Guratan itu tidak berhenti... melainkan terus melebar perlahan.Di wilayah timur, tepat di luar gerbang utama Sekte Empat Arah, lonceng berbunyi tiga kali berturut-turut.GONG—GONG—GONG.Tanda darurat tingkat tertinggi.Para tetua sekte langsung bergegas ke balairung pusat. Wajah-wajah mereka tegang. “Apa yang terjadi?” teriak Tetua Bai, tubuhnya memancar cahaya pelindung. “Getaran ini… seperti saat Perang Langit pertama pecah!”Sebelum ada yang sempat menjawab, kabut hitam turun perlahan dari langit. Namun ini bukan kabut biasa—melainkan Asap Jiwa. Gas tipis tak berbau yang menembus segala penghalang spiritual, merasuki kesadaran para kultivator, dan menanamkan mimpi buruk selama tuj
Kabut tebal menyelimuti langkah mereka, pekat seperti kabut yang timbul dari dunia kematian. Tak ada angin. Tak ada suara. Hanya gema pelan dari langkah kaki Li Yuan yang terdengar di jalan batu kelam yang membentang lurus, seperti tak punya ujung. Jalan itu seperti dilapisi bayangan—permukaannya licin, memantulkan cahaya samar yang tak berasal dari matahari.Di atas, langit hitam berputar perlahan. Awan-awan gelap menggulung tanpa arah, seolah dunia telah kehilangan gravitasi dan waktu. Tak ada cahaya, tak ada kehidupan. Hanya kehampaan yang menekan.Feng Qiyan dan Yue Lian berhenti beberapa langkah di belakang Li Yuan. Wajah keduanya menegang. “Tempat ini…” gumam Feng Qiyan, suaranya nyaris tak terdengar, “bukan dunia nyata…”Yue Lian mengangguk perlahan. Matanya menyipit, membaca getaran alam di sekitarnya. “Kita telah masuk ke Jalur Kaisar Tanpa Nama… Jalur terakhir yang hanya dilalui oleh mereka yang menolak ditulis dalam sejarah langit.”Li Yuan menghentikan langkahnya. Jemari