Langkah Duke Armand dan Sir Aldrich bergema di antara lorong panjang kastil tua, menyusuri jalan berbatu dengan cepat hingga suara sepatu mereka memantul pada dinding-dinding batu yang lembap.
Pintu kayu kamar itu terbuka dengan keras, “Brakk!” Eveline yang sedang berdiri dekat jendela, menoleh dengan terkejut, matanya membesar saat melihat ayahnya dan kakaknya berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap. Langkah Duke Armand dan Sir Aldrich terdengar cepat dan berat di lorong berbatu kastil tua, suara sepatu mereka menggema menembus dinding batu yang dingin. Pintu kamar Eveline terhempas keras, “BRAKK!” Eveline menoleh, matanya tajam, dagunya terangkat sedikit saat melihat ayah dan kakaknya memasuki ruangan tanpa mengetuk. “Lady Eveline Valtieri,” suara Duke Armand dingin, sorot matanya gelap, “kau puas sekarang telah mempermalukan nama keluarga ini di depan seluruh Eldoria?” Eveline menautkan alis, tidak mundur, tidak menunduk. “Jika ayah datang hanya untuk menghukumku dengan kata-kata basi, sebaiknya ayah pergi sekarang.” “APA?!” Sir Aldrich melangkah maju dengan wajah merah padam, “Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahmu setelah semua masalah yang kau buat di pesta kedewasaan Putri Rowena!” Eveline menoleh pada Aldrich, matanya sedingin es. “Masalah? Kau menyebut itu masalah, sementara kalian semua membiarkan aku diolok, dihina, difitnah, dan kalian semua hanya diam?” Duke Armand mengetukkan tongkat kayu di lantai, menahan amarahnya. “Kau tidak tahu diri, Eveline! Karena tindakan cerobohmu, Putra Mahkota sendiri datang ke sini untuk membawamu ke istana. Dan kau akan pergi!” Mata Eveline menyipit, dagunya terangkat dengan aura keras. “Aku tidak akan pergi.” “APA?!” Aldrich berteriak. “Aku tidak akan pergi,” ulang Eveline dengan suara lebih pelan, namun penuh kekuatan, “Aku bukan lagi gadis bodoh yang akan membiarkan Putra Mahkota menyeretku kembali ke istana untuk dijadikan tontonan. Kalian semua menginginkan aku tunduk, merangkak minta maaf padanya, membiarkan diriku diinjak-injak demi kehormatan keluarga ini.” Matanya menatap lurus pada Duke Armand, senyum tipis sinis muncul di bibirnya. “Sayangnya, aku bukan Eveline yang dulu.” Suasana ruangan menegang. Aldrich memandang Eveline seperti melihat iblis, sementara Duke Armand mendekat, menatap anak perempuannya yang kini berdiri dengan punggung tegak. “Kau pikir kau bisa melawan perintah kerajaan?” suara Duke Armand rendah, bergetar menahan marah. “Aku tidak akan membiarkan diriku diinjak lagi. Jika itu artinya melawan kerajaan, maka biarlah,” jawab Eveline dengan suara tenang, namun sorot matanya membara. Untuk sesaat, Duke Armand terdiam, seolah tak mengenali putrinya yang dulu selalu menunduk patuh. “Kau akan menyeret keluarga ini ke kehancuran, Eveline.” “Tidak,” Eveline menggeleng pelan, “keluarga ini sudah lama hancur, ayah. Kalian hanya pandai menutupinya dengan topeng kehormatan.” Duke Armand mendesis marah, wajahnya memerah, namun sebelum ia sempat berkata lagi, Eveline melangkah maju, berdiri hanya sejengkal darinya, menatap matanya tanpa gentar. “Putra Mahkota boleh datang, tapi aku akan melawan. Aku akan menunjukkan pada dunia, bahwa Eveline Valtieri bukan gadis yang bisa mereka injak semaunya.” Udara di ruangan itu terasa menegang, suara detak jam di sudut ruangan terdengar jelas. Untuk sesaat, bahkan Aldrich tak mampu berkata apa pun. Duke Armand akhirnya berbalik, “Turuti perintah Putra Mahkota Eveline, ingat… kau bukan siapa-siapa tanpa nama keluarga ini.” Eveline hanya tersenyum tipis, penuh sindiran. “Kita lihat saja nanti.” Duke Armand dan Sir Aldrich melangkah keluar, membanting pintu dengan keras “BRAKK!” meninggalkan Eveline yang berdiri sendirian dengan mata tajam mengarah pada pintu yang kini tertutup. Eveline menghela napas dalam, mencoba menetralisir ketakutan yang menggeliat di dadanya. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, matanya terpejam sejenak. Ia tidak ingin bertemu dengan Putra Mahkota. Bukan lagi. Bukan dengan pria kejam yang telah menyeretnya ke ujung kematian di masa depan. “Lady.” Suara Anya terdengar pelan, diikuti derit pintu yang terbuka perlahan. Anya menunduk dalam, wajahnya tegang. “Apa yang harus kita lakukan, Lady?” Eveline membuka matanya, sorot matanya tajam dan penuh tekad. “Kau dengar apa yang mereka katakan tadi, kan, Anya? Putra Mahkota akan membawaku ke istana.” Anya menggigit bibirnya, matanya mulai berair. “Lady, aku… aku tidak ingin Anda dibawa pergi…” Eveline menarik napas sekali lagi, menoleh pada Anya dengan pandangan kokoh, “Kita tidak akan membiarkan itu terjadi.” Anya menatap Eveline, matanya membesar. “Apa maksud Lady?” “Ambil jubahmu,” perintah Eveline, suaranya tegas namun tetap tenang. “Ambil jubah hitam itu, dan satu untukku.” “L-Lady… Anda ingin—” “Kita akan pergi dari sini, Anya,” potong Eveline, “sebelum mereka datang dan menyeretku dengan paksa.” Anya mengangguk cepat, lalu berlari ke sudut ruangan, membuka peti kayu tua tempat mereka menyimpan jubah-jubah usang. Eveline memutar tubuhnya, membuka lemari kecil dan menarik beberapa keping koin emas, menyelipkannya ke dalam kantong kecil di pinggangnya. Tak lama, Anya datang dengan dua jubah hitam kusam. Eveline meraihnya, mengenakan jubah itu di atas gaun lusuhnya. Tudung jubah ia tarik hingga menutupi rambut keemasannya. Anya juga mengenakan jubah serupa, wajahnya tampak tegang namun sorot matanya penuh tekad mengikuti tuannya. “Dengarkan aku, Anya,” Eveline menatap mata Anya dalam-dalam, “jika kau takut, masih ada kesempatan untuk mundur sekarang.” Anya menggeleng cepat, “Aku tidak akan meninggalkan Anda, Lady.” Eveline mengangguk kecil, matanya melembut sejenak. “Kalau begitu, kita pergi.” Mereka berjalan ke arah jendela samping yang menghadap ke taman belakang kastil. Eveline memeriksa keluar, memastikan penjaga tidak ada di dekat sana. Sinar matahari mulai merangkak naik hingga berada tepat di atas kepala. Cahaya siang menembus sela-sela awan mendung yang menggantung rendah, menandai waktu yang semakin sempit sebelum Putra Mahkota datang untuk menjemputnya. “Sekarang.” Mereka melompat turun dengan hati-hati, kaki Eveline menyentuh tanah lembap dengan suara berdebam pelan. Anya mendarat di sampingnya, napasnya terengah. Mereka berdua segera berlari menyusuri jalan setapak di antara semak mawar liar, melintasi kebun tua yang dipenuhi bau tanah dan aroma dedaunan yang masih basah. Suara kain jubah mereka berkibar, ranting-ranting kecil mencakar ujung kain, meninggalkan sobekan kecil saat mereka berlari melintasi kebun tua yang sepi. Namun sebelum mereka sempat mencapai pagar belakang, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari arah kastil. Suara teriakan para ksatria menggema di udara sore yang mulai gelap. “Lady Eveline telah kabur!” “Cepat! Tutup semua gerbang belakang!” Suara derap sepatu baja dan senjata yang beradu menggema, memecah kesunyian taman. Anya terkejut, matanya melebar ketakutan. “Lady… mereka tahu!” bisik Anya dengan suara gemetar. Eveline menoleh cepat, matanya berkilat penuh tekad di balik tudung jubah hitamnya. “Jangan berhenti, Anya. Jika kita berhenti sekarang, semua akan berakhir.” Mereka berlari lebih cepat, melewati pagar kayu yang sudah rapuh di ujung kebun. Eveline memanjat lebih dulu, tangannya terluka terkena paku yang menonjol, tapi dia mengabaikannya. Anya menyusul, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad. Di belakang mereka, suara ksatria semakin dekat, terdengar seruan, “Tangkap mereka hidup-hidup atas perintah Putra Mahkota!” Eveline menoleh sesaat, matanya menatap kebun tua itu untuk terakhir kalinya, lalu menarik tangan Anya. “Ayo!” seru Eveline. Mereka berlari menuruni bukit kecil menuju jalur tersembunyi yang biasa digunakan para pedagang gelap melewati wilayah Duke tanpa izin. Langkah kaki mereka menghantam tanah, suara napas mereka terengah-engah berpadu dengan desau angin senja. Di kejauhan, suara lonceng dari menara kastil berdentang keras, menandakan keadaan darurat. Eveline menoleh sekali lagi, matanya memancarkan tekad dingin. “Aku tidak akan kembali, Kaelion Dravenhart. Aku menyesal pernah mencintaimu… dan mulai hari ini, aku berhenti. Kau bukan lagi Putra Mahkotaku.” Tiba-tiba, butiran air mata Eveline jatuh tanpa sengaja, membasahi pipinya yang dingin. Ia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan, wajahnya mendongak pada langit malam yang mulai gelap, menyembunyikan emosi yang menyesakkan dadanya. “Bodoh…” gumam Eveline dengan suara serak, “Bahkan setelah semua ini, aku masih bisa menangis karenamu.” Eveline menarik napas dalam, memaksakan kakinya untuk kembali melangkah di jalur hutan sempit itu, ranting-ranting tajam mencakar jubah hitamnya, meninggalkan bekas sobekan kecil. Anya yang berjalan di belakangnya dengan napas terengah, berusaha menyamai langkah tuannya. “Lady… Anda baik-baik saja?” Eveline tidak menjawab, hanya menoleh dengan sorot mata tajam yang berkilat di bawah cahaya rembulan. “Ayo, Anya. Kita harus keluar dari hutan ini sebelum mereka menangkap kita.”Ruangan itu begitu dingin dan mencekam, bukan tanpa sebab—tapi... aura Putra Mahkota begitu mengerikan, seolah akan meledak kapan saja. “Yang Mulia, apakah anda butuh istirahat?” tanya Sir Alberto. Pasalnya selain terlihat lelah, mata pria itu juga seakan menyimpan berubah pikiran yang tampak jelas.“Aku telah menyuruhmu diam, Alberto,” ucap Kael, suaranya bgitu dingin dan menusuk di setiap kata.Sir Alberto langsung menunduk. “Maafkan saya, Yang Mulia—Putra Mahkota.”Kael tidak mnanggapi lagi. Matanya berotasi membaca kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Setiap huruf, setiap angka, tampak menelannya dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya semakin terasa berat dan dingin.“Kalian memang tidak becus,” geram Kael, ia menahan amarah yang nyaris meledak. Pencarian Lady Eveline sudah dilakukan sebulan penuh, sayangnya wanita itu seolah hilang di telan bumi... tanpa jejak, dan mungkin saja wanita itu sudah tiada. Ia ingin melihat sendiri jasadnya, dengan matanya sendiri.
Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya roda gerobak mereka melintasi gerbang besar ibukota Idoryn. Senja baru saja turun, menyapu langit dengan warna keemasan, hiruk pikuk kota menyambut kedatangan mereka. Jalanan ramai dipenuhi oleh pedagang, warga, dan juga para penjaga yang lalu lalang.Joren menghirup udara segar, “Inilah Aderyn, ibukota Idoryn.” ucapnya, sembari menahan tali kekang kudanya.Anya menatap sekeliling dengan mulut yang setengah terbuka, kagum akan bangunan megah, bendera-bendera kerajaan yang berkibar di setiap sudut jalan, serta cahaya lentera yang mulai dinyalakan di depan toko-toko.“Indah sekali... aku bahkan tidak tahu, jika ibukota Idoryn bisa semegah ini," ujar Anya pelan.“Beruntung, karena kau sudah menginjakkan kakimu di Idoryn, Nona Anya,” sahut Joren.Berbeda dengan Anya, yang mengagumi kota itu—Eveline hanya diam, tatapannya lurus seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia menunduk sesaat, menatap tangannya yang masih dibalut oleh kain putih di nal
Pagi itu, Eveline, Anya, dan Joren sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Eveline berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Gaun berwarna biru tua membalut tubuhnya, dengan lapisan luar gaun panjang itu terbelah di depan, menyingkap kain putih di bagian dalam. Gaun itu dilapisi lagi oleh jubah hitam miliknya, begitu elegan, seolah menambah kesan anggun pada Eveline. menghela napas dalam-dalam.Ia menunduk, lalu menyingkap lengan pakaiannya. Balutan kain putih masih membelit lengannya, untungnya obat yang diberikan Tetua Lunar—bekerja lebih cepat. Meski masih merasakan nyeri, namun tidak begitu parah, seperti beberapa hari yang lalu.“Hah...“ Eveline menghela napas berat.“Bawalah ini, Nona Anya." Suara Tetua Lunar terdengar dari luar kamar, disusul balasan sopan dari Anya. “Terima kasih, Tetua Lunar.”Tidak lama kemudian, Anya melangkah masuk sembari membawa dua kantung kain ditangannya. Kain itu berisi ramuan obat dan gulungan kain bersih untuk mengganti perban pad
Sore itu, sinar matahari mengintip dari celah jendela kamar, menciptakan bayangan semu di lantai rumah Tetua Lunar. Eveline duduk bersandar di sisi ranjang, matanya menatap keluar dengan pandangan kosong. Rasa bosan mulai menjalari pikirannya, terhitung sudah empat hari mereka berada di Lunar—ia hanya bisa berbaring dan duduk, tanpa bisa bergerak dengan leluasa. “Hah...” Eveline mendesah pelan, tangannya belum sepenuhnya pulih—masih terasa sakit jika digerakkan, dan itu menggangunya. “Bagaimana ini,” gumamnya pelan. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri.” Pikiran Eveline menerawang jauh, ia harus segera sembuh. Ia tidak bisa menunggu siapa pun, termasuk menunggu dirinya agar cepat pulih. Menjadi pengawal istana bukanlah hanya ambisinya semata, tetapi agar ia juga dapat belajar banyak sebelum kembali ke Eldoria. Dewa telah memberinya kehidupan kedua, dan kali ini—ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan itu dan memastikan hidupnya memiliki tujuan yang jelas. “Tentu saja, tujuanku ada
Kicauan burung terdengar samar, seolah menyuruh orang-orang bangun dari mimpi mereka. Di kamar yang sederhana itu, Eveline berbaring dengan kanannya terlipat di atas, sedangkan tangan kirinya yang terluka berada di sisi tubuhnya.Kening Eveline bergoyang dan mengernyit, perlahan matanya terbuka. Wanita itu diam memandangi langit-langit kamar yang masih kabur di penglihatannya. Tubuhnya terasa ringan, dan kain lembap seperti menyentuh keningnya. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kain itu.Eveline lalu menoleh ke samping, matanya menangkap sosok Anya yang duduk di kursi kayu dengan mata terpejam.“Shh…” desisnya, ketika tangan kirinya terasa sakit saat akan digerakkan. Eveline menatap kain putih yang membalut lengannya.Butuh beberapa detik sebelum ia bisa mengingat semuanya, para bandit-bandit itu. Kabut di pikirannya perlahan-lahan menipis, menyisakan rasa ngilu yang mengiris di bahu hingga ke lengan. Ia mengerang pelan, cukup pelan untuk tidak membangunkan Anya yang tertidur di ku
Luka akibat tusukan belati di lengan Eveline kembali dibersihkan oleh Tetua Lunar. Darah segar sempat merembes keluar, membuat Anya panik setengah mati.“Aku akan membersihkan lagi luka Nona Eve,” ucap Tetua Lunar, suara tuanya tenang namun penuh ketegasan. Ia mengelap luka itu pelan, berhati-hati agar tak menyakiti lebih dalam.Joren duduk di sisi lain, memegang sebuah wadah tanah liat berisi air hangat yang telah dicampur dengan daun sirih dan kulit kayu yang ditumbuk halus. Air itu berwarna kecokelatan dan menguarkan aroma tajam herbal yang menyengat.Dengan gerakan perlahan, Tetua Lunar menyiramkan air ramuan itu ke luka Eveline, sedikit demi sedikit. Cairan hangat itu membuat Eveline mengerang pelan, tubuhnya menegang sesaat, namun matanya tetap terpejam. Wajahnya masih pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Anya cemas, kedua tangannya menggenggam erat lengan Eveline.Tetua Lunar menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tenang saja, Nona. A