Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 3 • Lady Eveline Kabur

Share

BAB 3 • Lady Eveline Kabur

Author: MatchaMisu
last update Last Updated: 2025-07-01 19:35:53

Langkah Duke Armand dan Sir Aldrich bergema di antara lorong panjang kastil tua, menyusuri jalan berbatu dengan cepat hingga suara sepatu mereka memantul pada dinding-dinding batu yang lembap.

Pintu kayu kamar itu terbuka dengan keras, “Brakk!”

Eveline yang sedang berdiri dekat jendela, menoleh dengan terkejut, matanya membesar saat melihat ayahnya dan kakaknya berdiri di ambang pintu dengan wajah gelap.

Langkah Duke Armand dan Sir Aldrich terdengar cepat dan berat di lorong berbatu kastil tua, suara sepatu mereka menggema menembus dinding batu yang dingin.

Pintu kamar Eveline terhempas keras, “BRAKK!”

Eveline menoleh, matanya tajam, dagunya terangkat sedikit saat melihat ayah dan kakaknya memasuki ruangan tanpa mengetuk.

“Lady Eveline Valtieri,” suara Duke Armand dingin, sorot matanya gelap, “kau puas sekarang telah mempermalukan nama keluarga ini di depan seluruh Eldoria?”

Eveline menautkan alis, tidak mundur, tidak menunduk. “Jika ayah datang hanya untuk menghukumku dengan kata-kata basi, sebaiknya ayah pergi sekarang.”

“APA?!” Sir Aldrich melangkah maju dengan wajah merah padam, “Beraninya kau bicara seperti itu pada ayahmu setelah semua masalah yang kau buat di pesta kedewasaan Putri Rowena!”

Eveline menoleh pada Aldrich, matanya sedingin es. “Masalah? Kau menyebut itu masalah, sementara kalian semua membiarkan aku diolok, dihina, difitnah, dan kalian semua hanya diam?”

Duke Armand mengetukkan tongkat kayu di lantai, menahan amarahnya. “Kau tidak tahu diri, Eveline! Karena tindakan cerobohmu, Putra Mahkota sendiri datang ke sini untuk membawamu ke istana. Dan kau akan pergi!”

Mata Eveline menyipit, dagunya terangkat dengan aura keras. “Aku tidak akan pergi.”

“APA?!” Aldrich berteriak.

“Aku tidak akan pergi,” ulang Eveline dengan suara lebih pelan, namun penuh kekuatan, “Aku bukan lagi gadis bodoh yang akan membiarkan Putra Mahkota menyeretku kembali ke istana untuk dijadikan tontonan. Kalian semua menginginkan aku tunduk, merangkak minta maaf padanya, membiarkan diriku diinjak-injak demi kehormatan keluarga ini.”

Matanya menatap lurus pada Duke Armand, senyum tipis sinis muncul di bibirnya. “Sayangnya, aku bukan Eveline yang dulu.”

Suasana ruangan menegang. Aldrich memandang Eveline seperti melihat iblis, sementara Duke Armand mendekat, menatap anak perempuannya yang kini berdiri dengan punggung tegak.

“Kau pikir kau bisa melawan perintah kerajaan?” suara Duke Armand rendah, bergetar menahan marah.

“Aku tidak akan membiarkan diriku diinjak lagi. Jika itu artinya melawan kerajaan, maka biarlah,” jawab Eveline dengan suara tenang, namun sorot matanya membara.

Untuk sesaat, Duke Armand terdiam, seolah tak mengenali putrinya yang dulu selalu menunduk patuh.

“Kau akan menyeret keluarga ini ke kehancuran, Eveline.”

“Tidak,” Eveline menggeleng pelan, “keluarga ini sudah lama hancur, ayah. Kalian hanya pandai menutupinya dengan topeng kehormatan.”

Duke Armand mendesis marah, wajahnya memerah, namun sebelum ia sempat berkata lagi, Eveline melangkah maju, berdiri hanya sejengkal darinya, menatap matanya tanpa gentar.

“Putra Mahkota boleh datang, tapi aku akan melawan. Aku akan menunjukkan pada dunia, bahwa Eveline Valtieri bukan gadis yang bisa mereka injak semaunya.”

Udara di ruangan itu terasa menegang, suara detak jam di sudut ruangan terdengar jelas. Untuk sesaat, bahkan Aldrich tak mampu berkata apa pun.

Duke Armand akhirnya berbalik, “Turuti perintah Putra Mahkota Eveline, ingat… kau bukan siapa-siapa tanpa nama keluarga ini.”

Eveline hanya tersenyum tipis, penuh sindiran. “Kita lihat saja nanti.”

Duke Armand dan Sir Aldrich melangkah keluar, membanting pintu dengan keras “BRAKK!” meninggalkan Eveline yang berdiri sendirian dengan mata tajam mengarah pada pintu yang kini tertutup.

Eveline menghela napas dalam, mencoba menetralisir ketakutan yang menggeliat di dadanya. Ia mengepalkan kedua tangannya erat-erat, matanya terpejam sejenak.

Ia tidak ingin bertemu dengan Putra Mahkota.

Bukan lagi.

Bukan dengan pria kejam yang telah menyeretnya ke ujung kematian di masa depan.

“Lady.”

Suara Anya terdengar pelan, diikuti derit pintu yang terbuka perlahan. Anya menunduk dalam, wajahnya tegang. “Apa yang harus kita lakukan, Lady?”

Eveline membuka matanya, sorot matanya tajam dan penuh tekad. “Kau dengar apa yang mereka katakan tadi, kan, Anya? Putra Mahkota akan membawaku ke istana.”

Anya menggigit bibirnya, matanya mulai berair. “Lady, aku… aku tidak ingin Anda dibawa pergi…”

Eveline menarik napas sekali lagi, menoleh pada Anya dengan pandangan kokoh, “Kita tidak akan membiarkan itu terjadi.”

Anya menatap Eveline, matanya membesar. “Apa maksud Lady?”

“Ambil jubahmu,” perintah Eveline, suaranya tegas namun tetap tenang. “Ambil jubah hitam itu, dan satu untukku.”

“L-Lady… Anda ingin—”

“Kita akan pergi dari sini, Anya,” potong Eveline, “sebelum mereka datang dan menyeretku dengan paksa.”

Anya mengangguk cepat, lalu berlari ke sudut ruangan, membuka peti kayu tua tempat mereka menyimpan jubah-jubah usang. Eveline memutar tubuhnya, membuka lemari kecil dan menarik beberapa keping koin emas, menyelipkannya ke dalam kantong kecil di pinggangnya.

Tak lama, Anya datang dengan dua jubah hitam kusam. Eveline meraihnya, mengenakan jubah itu di atas gaun lusuhnya. Tudung jubah ia tarik hingga menutupi rambut keemasannya.

Anya juga mengenakan jubah serupa, wajahnya tampak tegang namun sorot matanya penuh tekad mengikuti tuannya.

“Dengarkan aku, Anya,” Eveline menatap mata Anya dalam-dalam, “jika kau takut, masih ada kesempatan untuk mundur sekarang.”

Anya menggeleng cepat, “Aku tidak akan meninggalkan Anda, Lady.”

Eveline mengangguk kecil, matanya melembut sejenak. “Kalau begitu, kita pergi.”

Mereka berjalan ke arah jendela samping yang menghadap ke taman belakang kastil. Eveline memeriksa keluar, memastikan penjaga tidak ada di dekat sana. Sinar matahari mulai merangkak naik hingga berada tepat di atas kepala. Cahaya siang menembus sela-sela awan mendung yang menggantung rendah, menandai waktu yang semakin sempit sebelum Putra Mahkota datang untuk menjemputnya.

“Sekarang.”

Mereka melompat turun dengan hati-hati, kaki Eveline menyentuh tanah lembap dengan suara berdebam pelan. Anya mendarat di sampingnya, napasnya terengah. Mereka berdua segera berlari menyusuri jalan setapak di antara semak mawar liar, melintasi kebun tua yang dipenuhi bau tanah dan aroma dedaunan yang masih basah.

Suara kain jubah mereka berkibar, ranting-ranting kecil mencakar ujung kain, meninggalkan sobekan kecil saat mereka berlari melintasi kebun tua yang sepi.

Namun sebelum mereka sempat mencapai pagar belakang, suara langkah kaki tergesa-gesa terdengar dari arah kastil. Suara teriakan para ksatria menggema di udara sore yang mulai gelap.

“Lady Eveline telah kabur!”

“Cepat! Tutup semua gerbang belakang!”

Suara derap sepatu baja dan senjata yang beradu menggema, memecah kesunyian taman. Anya terkejut, matanya melebar ketakutan.

“Lady… mereka tahu!” bisik Anya dengan suara gemetar.

Eveline menoleh cepat, matanya berkilat penuh tekad di balik tudung jubah hitamnya. “Jangan berhenti, Anya. Jika kita berhenti sekarang, semua akan berakhir.”

Mereka berlari lebih cepat, melewati pagar kayu yang sudah rapuh di ujung kebun. Eveline memanjat lebih dulu, tangannya terluka terkena paku yang menonjol, tapi dia mengabaikannya. Anya menyusul, matanya berkaca-kaca namun penuh tekad.

Di belakang mereka, suara ksatria semakin dekat, terdengar seruan, “Tangkap mereka hidup-hidup atas perintah Putra Mahkota!”

Eveline menoleh sesaat, matanya menatap kebun tua itu untuk terakhir kalinya, lalu menarik tangan Anya.

“Ayo!” seru Eveline.

Mereka berlari menuruni bukit kecil menuju jalur tersembunyi yang biasa digunakan para pedagang gelap melewati wilayah Duke tanpa izin. Langkah kaki mereka menghantam tanah, suara napas mereka terengah-engah berpadu dengan desau angin senja.

Di kejauhan, suara lonceng dari menara kastil berdentang keras, menandakan keadaan darurat.

Eveline menoleh sekali lagi, matanya memancarkan tekad dingin.

“Aku tidak akan kembali, Kaelion Dravenhart. Aku menyesal pernah mencintaimu… dan mulai hari ini, aku berhenti. Kau bukan lagi Putra Mahkotaku.”

Tiba-tiba, butiran air mata Eveline jatuh tanpa sengaja, membasahi pipinya yang dingin. Ia cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan, wajahnya mendongak pada langit malam yang mulai gelap, menyembunyikan emosi yang menyesakkan dadanya.

“Bodoh…” gumam Eveline dengan suara serak, “Bahkan setelah semua ini, aku masih bisa menangis karenamu.”

Eveline menarik napas dalam, memaksakan kakinya untuk kembali melangkah di jalur hutan sempit itu, ranting-ranting tajam mencakar jubah hitamnya, meninggalkan bekas sobekan kecil.

Anya yang berjalan di belakangnya dengan napas terengah, berusaha menyamai langkah tuannya. “Lady… Anda baik-baik saja?”

Eveline tidak menjawab, hanya menoleh dengan sorot mata tajam yang berkilat di bawah cahaya rembulan.

“Ayo, Anya. Kita harus keluar dari hutan ini sebelum mereka menangkap kita.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 31 • Lady, Tidak Kembali

    Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 30 • Sampai Jumpa Lagi Lumor

    “Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 29 • Kabur lagi?

    “Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 28 • Ketegangan

    Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 27 • Kabar dari Lumor & Duke Gerard

    Cahaya matahari siang menembus kaca besar di belakang punggung Kael, menerangi ruangan kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen dan peta-peta wilayah Eldoria. Kael duduk tegak di kursi kerjanya, jemarinya menekan pelipis sambil menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya. Suara ketukan halus terdengar di pintu kayu besar itu. Tok... Tok... “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, Sir Alberto masuk dengan langkah tegap, membungkukkan badan dengan hormat. “Yang Mulia Putra Mahkota,” panggil Sir Alberto, suaranya dalam, “Darius, Ksatria Pengintai, telah kembali.” Kael membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sir Alberto, sorot matanya menajam di bawah sinar siang yang terpantul dari iris birunya. “Suruh dia masuk.” Sir Alberto membungkuk, membuka pintu lebih lebar. Darius masuk dengan langkah hati-hati, menyembunyikan napas berat yang masih belum stabil setelah perjalanan panjang. Ia menekuk satu lutut, menunduk dalam. “Saya menghadap, Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap Darius d

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 26 • Langkah Lady Eveline

    Suara ranting diinjak terdengar lagi, membuat Eveline memutar tubuhnya dengan cepat, matanya menajam, menatap ke arah semak gelap yang bergoyang perlahan.“Suara apa itu? Aku mendengarnya dari tadi,” gumamnya, nada suaranya menegang.Rhett menoleh ke arah semak yang sama, matanya tampak tenang namun penuh kewaspadaan. “Mungkin hanya hewan malam, Nona...” katanya, meski ia tetap siaga.Eveline terdiam sesaat sebelum mengangkat pandangannya. Bibirnya terbuka perlahan, mengingat identitas barunya.“Aku... E... Elia... ya, Elia,” ucapnya dengan gugup, memperbaiki ucapannya sebelum kembali memeriksa keadaan sekitar.“Nona Elia... kau bisa memanggilku Azrel,” ujar Rhett, menyebut nama samaran yang ia pilih agar Lady Eveline tidak menaruh curiga.Eveline mengangguk kecil. “Baiklah, Azrel.”Rhett melirik ke arah warga yang tertidur lelap di balai kayu reyot itu. “Apa Nona Elia sering melakukan ini?” tanyanya, nada suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.Eveline mengerutkan kening. “Melak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status