Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 4 • Kemarahan Putra Mahkota

Share

BAB 4 • Kemarahan Putra Mahkota

Author: MatchaMisu
last update Huling Na-update: 2025-07-01 20:00:27

Keluarga Duke Valtieri berdiri canggung di hadapan Putra Mahkota. Pria itu duduk di kursi utama dengan punggung tegak, matanya tajam seperti bilah pedang yang siap menebas siapa saja. Suasana ruangan terasa menyesakkan, hanya suara detik jarum jam air di sudut ruangan yang terdengar samar.

Putra Mahkota Kaelion Dravenhart mengetukkan jarinya di sandaran kursi, matanya menatap satu per satu wajah Duke Armand, Sir Aldrich, dan Lady Sabrina dengan sorot dingin.

“Apa kalian mengira keluarga kerajaan ini mainan kalian?”

Suara Kaelion dalam dan tenang, namun setiap katanya membawa tekanan yang membuat udara seakan membeku. Sorot matanya menusuk Duke Armand yang tampak berusaha menenangkan napasnya.

“Yang Mulia, kami… kami tidak bermaksud—” suara Duke Armand bergetar, namun Kaelion mengangkat tangannya, menghentikan kalimat itu.

“Aku datang untuk mengambil Lady Eveline Valtieri.” Mata Kaelion mengerucut tajam. “Tapi kalian justru membiarkannya kabur seperti tikus ketakutan.”

Wajah Duchess Mirella memucat, Sir Aldrich menegang, sementara Lady Sabrina menunduk, kedua tangannya gemetar memegangi gaun birunya.

Kaelion bersandar sedikit ke kursi, tatapannya dingin namun bibirnya melengkung tipis, senyum penuh ejekan.

“Apakah ini cara keluarga Valtieri menunjukkan rasa hormat kepada keluarga kerajaan? Membiarkan seorang wanita yang telah mempermalukan istana kabur begitu saja?”

Duke Armand mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, namun tidak berani membalas tatapan Putra Mahkota.

Kaelion berdiri perlahan, mantel hitamnya tergerai saat ia melangkah maju, menatap tepat ke arah Duke Armand.

“Aku tidak peduli apa alasan kalian. Bawa dia kepadaku sebelum senja hari ini. Jika tidak…” Tatapan Kaelion berubah gelap, suara rendahnya seperti pisau yang mengiris, “…aku akan menganggap ini sebagai pengkhianatan, dan kau tahu apa yang terjadi pada keluarga pengkhianat, Duke Armand.”

Ruangan itu terasa semakin sempit, dan suara detak jam air terdengar lebih keras dari sebelumnya, seakan menghitung waktu yang terus berjalan menuju senja.

Putra Mahkota Kaelion Dravenhart melangkah keluar dari ruangan dengan Sir Alberto mengikuti di belakangnya. Suara langkah sepatu bot mereka bergema di koridor batu kastil, meninggalkan keheningan mencekam di ruang kerja keluarga Valtieri.

Pintu menutup dengan suara gedebuk berat.

Duke Armand menghela napas kasar, wajahnya memerah, dan tinjunya menghantam meja dengan keras hingga tumpukan perkamen berjatuhan ke lantai.

“Eveline!” geramnya dengan suara tertahan.

Duchess Mirella yang berdiri di samping Lady Sabrina menoleh dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh kemarahan.

“Putrimu itu… Harusnya kau sudah membuangnya sejak dulu, Armand!”

Duke Armand menoleh cepat, matanya semerah darah, sorot matanya bagaikan binatang buas yang tersinggung.

“Kau… menyalahkanku atas anakku sendiri?” desisnya, setiap katanya terdengar seperti geraman.

Mirella mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah suaminya.

Dia bukan anakku!” bentak Mirella, suaranya bergetar oleh amarah dan jijik. “Dia hanya membawa aib pada keluarga ini! Jika dia tidak segera ditemukan, kau tahu ini akan menghancurkan kita semua, Armand!”

Seandainya Eveline berada di sana, mungkin ia akan membalikkan ucapan Duchess Mirella dengan tenang, menatap wanita itu dengan mata tajam seperti elang, dan berkata.

“Bukan aku yang membawa aib pada keluarga ini, Duchess. Kalian yang menutup mata pada kebenaran demi menjaga nama baik palsu keluarga ini.”

Tapi Eveline tidak berada di sana. Dan Duchess Mirella terus menatap Armand dengan pandangan membakar.

Duke Armand menghela napas panjang, wajahnya terlihat semakin lelah di balik kemarahannya. “Cukup, Mirella!” bentaknya akhirnya, matanya menatap istrinya dengan tajam. “Jangan lupa, siapa yang menyelamatkanmu dan anakmu dari skandal masa lalu.”

Ia mengalihkan pandangannya kepada putranya, Sir Aldrich yang berdiri tegang di sampingnya.

“Aldrich, perintahkan semua pengawal kita untuk segera mencari Eveline.”

Aldrich menelan ludah, wajahnya pucat namun ia mengangguk dengan tegas. “Baik, Ayah.”

“Temukan dia sebelum matahari terbenam,” lanjut Duke Armand dengan suara gelap. “Bawa dia kembali ke sini, hidup-hidup, sebelum Putra Mahkota bertindak sendiri.”

Sir Aldrich membungkuk hormat lalu bergegas keluar dari ruangan, suara langkah kencangnya menggema di lorong yang sama dengan tempat Kaelion dan Sir Alberto lewat beberapa saat sebelumnya.

Di dalam ruangan, Duchess Mirella menatap suaminya dengan tatapan benci yang tak ia sembunyikan, sebelum akhirnya memalingkan wajah dan pergi, meninggalkan Duke Armand sendirian dengan napas memburu di ruang kerja yang kini terasa seperti penjara.

Duke Armand menatap ke arah jendela tinggi yang menampilkan langit mendung Eldoria.

“Kau harusnya tahu apa yang kau lakukan, Eveline…” gumamnya dengan suara lelah, namun penuh amarah.

Angin sore berhembus dingin, menusuk pakaian basah yang menempel di tubuh Eveline dan Anya. Setiap langkah mereka di hutan lebat meninggalkan suara gemerisik dedaunan yang lembap.

Eveline menoleh ke belakang beberapa kali, memastikan tidak ada cahaya obor atau suara kuda yang mengikuti mereka. Matanya yang biasanya sendu kini tampak waspada, penuh tekad untuk tetap hidup.

“Lady… berhenti sebentar, aku… aku tidak kuat…” suara Anya terputus-putus, wajahnya pucat, napasnya memburu.

Eveline berhenti, memandangi Anya dengan mata keras. Dia ingin marah, ingin berteriak agar Anya tidak lemah, tapi saat melihat tangan Anya yang gemetar, hatinya melembut.

“Maaf, Anya… duduklah sebentar,” kata Eveline, membantu Anya duduk di atas batu besar yang lembap.

Eveline memandangi sekeliling, pepohonan tinggi menjulang dengan dedaunan rimbun yang menyembunyikan mereka dari pandangan udara. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih cepat.

“Lady, mau sampai kapan kita lari seperti ini?” bisik Anya, matanya berkaca-kaca.

Eveline menoleh padanya, menatap dalam-dalam. “Sampai aku menemukan tempat yang aman untuk kita. Sampai mereka tidak lagi bisa menjangkauku.”

Anya terdiam, menunduk, lalu perlahan berkata, “Apa Lady masih mencintai Putra Mahkota?”

Pertanyaan itu membuat Eveline terdiam. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan, namun tidak ada yang lebih menyesakkan dari pertanyaan itu.

Ia memejamkan mata, bayangan Kaelion muncul dalam pikirannya: sorot mata dingin, suara rendahnya saat memanggil namanya di pesta Putri Rowena, dan tatapan yang sama saat memerintah eksekusinya.

“Tidak, Anya. Aku… tidak akan membiarkan diriku jatuh pada pria seperti dia lagi.” Mata Eveline terbuka, kini penuh dengan luka yang belum sembuh dan tekad yang baru lahir.

Anya menggenggam tangan Eveline, mencoba memberi kekuatan meski dirinya juga ketakutan.

“Aku bersamamu, Lady. Sampai akhir.”

Eveline menoleh, bibirnya melengkung sedikit dalam senyum tipis. “Terima kasih, Anya.”

Tiba-tiba, suara teriakan samar terdengar di kejauhan, suara ksatria yang memanggil nama Eveline.

Anya menoleh dengan panik. “Mereka masih mencari kita…”

Eveline berdiri, mengulurkan tangannya pada Anya. “Kita harus bergerak lagi sebelum gelap.”

Anya meraih tangan Eveline, berdiri dengan tubuh gemetar, lalu mereka kembali berjalan menyusuri hutan, melewati ranting tajam yang menggores lengan Eveline hingga berdarah, namun ia tidak peduli.

Darah yang mengalir dari lukanya menjadi pengingat, bahwa ia masih hidup. Bahwa ia harus tetap hidup.

Saat mereka melewati sungai kecil yang hampir kering, Eveline berhenti, memandangi langit senja yang mulai gelap dengan mata yang sayu.

“Ini hanya permulaan, Anya…” bisiknya. “Jika mereka ingin menghancurkanku lagi, mereka harus melakukannya dengan darah dan nyawa mereka sendiri.”

Dan untuk pertama kalinya, di dalam luka dan ketakutan, Eveline merasakan rasa kebebasan yang tidak pernah ia miliki di istana atau kediaman Duke Valtieri

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 32 • Pengejaran Kembali

    Hentakan kuda memecah keheningan malam. Darius, Rhett, dan Maric memacu kuda jantan mereka menyusuri hutan dengan kecepatan terukur, nafas kuda terlihat seperti uap tipis dalam udara malam yang dingin.Rhett yang memimpin di depan, menarik tali kekang kudanya hingga kuda hitam itu meringkik, mengangkat kedua kaki depannya sebelum perlahan menjejak tanah.Mereka berhenti. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun gelap yang berdesir pelan. Cahaya bulan hanya menembus di sela dedaunan, menimbulkan bayangan kabur pada wajah mereka.Ini bukan wilayah Lumor lagi.“Ada apa?” tanya Maric, matanya berusaha menembus gelap, hanya disinari obor kecil di genggamannya.“Kita akan beristirahat di sini.” Rhett turun dari kudanya, mengusap leher kuda hitam itu sebelum mengikat tali kekangnya pada batang pohon besar yang kokoh. “Kita lanjutkan pencarian saat fajar menyingsing.”Darius ikut turun, menepuk pundak kudanya sebelum mengikatnya tak jauh dari kuda Rhett, sedangkan Maric menuntun kudanya

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 31 • Lady, Tidak Kembali

    Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 30 • Sampai Jumpa Lagi Lumor

    “Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 29 • Kabur lagi?

    “Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 28 • Ketegangan

    Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 27 • Kabar dari Lumor & Duke Gerard

    Cahaya matahari siang menembus kaca besar di belakang punggung Kael, menerangi ruangan kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen dan peta-peta wilayah Eldoria. Kael duduk tegak di kursi kerjanya, jemarinya menekan pelipis sambil menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya. Suara ketukan halus terdengar di pintu kayu besar itu. Tok... Tok... “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, Sir Alberto masuk dengan langkah tegap, membungkukkan badan dengan hormat. “Yang Mulia Putra Mahkota,” panggil Sir Alberto, suaranya dalam, “Darius, Ksatria Pengintai, telah kembali.” Kael membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sir Alberto, sorot matanya menajam di bawah sinar siang yang terpantul dari iris birunya. “Suruh dia masuk.” Sir Alberto membungkuk, membuka pintu lebih lebar. Darius masuk dengan langkah hati-hati, menyembunyikan napas berat yang masih belum stabil setelah perjalanan panjang. Ia menekuk satu lutut, menunduk dalam. “Saya menghadap, Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap Darius d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status