Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 2 • Kedatangan Putra Mahkota

Share

BAB 2 • Kedatangan Putra Mahkota

Author: MatchaMisu
last update Last Updated: 2025-07-01 17:08:14

Di sisi lain, suara ketukan pelan terdengar di pintu ruang kerja yang dipenuhi aroma kayu tua dan tumpukan dokumen. Duke Armand, yang sedang berdiri di depan meja dengan wajah serius, menghentikan pembicaraannya dengan putranya, Sir Aldrich.

“Masuklah,” ucap Duke Armand, suaranya rendah namun tegas.

Pintu perlahan terdorong, memperlihatkan sosok Anya, maid muda Lady Eveline, yang berdiri dengan tubuh kaku, kepalanya tertunduk. Jemarinya yang pucat tampak menggenggam erat sepucuk surat, gemetar.

Sir Aldrich, yang duduk di kursi di samping meja, mengerutkan alis, tatapannya tajam mengarah ke Anya. “Apa yang kau lakukan di sini tanpa izin?” suaranya dingin, memancarkan otoritas sebagai putra seorang duke.

Anya menelan ludah, suaranya gemetar saat menjawab, “Ampun, Tuan… tapi saya membawa… surat dari Lady Eveline.”

Duke Armand menoleh penuh perhatian, sorot matanya tajam, “Eveline?”

Anya mengangguk pelan sebelum maju beberapa langkah, lututnya hampir lemas saat mengangkat tangannya yang memegang surat itu, mempersembahkannya dengan kepala tertunduk dalam.

Duke Armand mengulurkan tangan, mengambil surat itu dengan ekspresi dingin. Jari-jarinya meraba permukaan kertas sebelum membuka lipatan dengan hati-hati, tatapannya turun membaca setiap baris tulisan tangan Eveline yang rapi namun penuh ketegasan.

Tatapan Duke Armand semakin menggelap, rahangnya mengeras. Sir Aldrich menoleh, mencoba membaca raut wajah ayahnya yang mulai berubah.

“Ayah, apa yang dia tulis?” tanya Sir Aldrich, penasaran.

Duke Armand tidak segera menjawab, matanya masih terpaku pada surat Eveline hingga ke baris terakhir. Perlahan ia menurunkan surat itu, matanya menatap kosong ke arah jendela yang menampilkan langit kelabu Eldoria.

“Dia… menantangku.”

Suara Duke Armand terdengar pelan namun penuh kemarahan yang ditekan, jemarinya meremas surat itu hingga berkerut.

Sir Aldrich berdiri, matanya menyipit, “Wanita itu sudah membuat kita dipermalukan di pesta Putri Rowena, dan sekarang dia berani menantang Ayah?”

Duke Armand menghela napas panjang, meletakkan surat itu di atas meja dengan perlahan, namun jemarinya masih mencengkram tepi meja hingga buku-buku jarinya memutih.

“Dia bukan wanita lemah seperti yang kalian kira…” gumam Duke Armand pelan, sorot matanya tampak samar, seolah mengingat sesuatu.

Ia lalu menoleh pada Anya yang masih menunduk dengan gemetar. “Pergilah. Dan katakan pada Eveline…” Ia berhenti sejenak, menatap kosong ke arah surat itu sebelum akhirnya menutup matanya, “Tidak, jangan katakan apa pun. Pergilah.”

Anya membungkuk dalam, “Ya, Duke…” suaranya pelan, sebelum mundur dengan cepat dan keluar dari ruangan.

Keheningan kembali mengisi ruang kerja itu, hanya suara jam tua yang berdetak perlahan di sudut ruangan.

Sir Aldrich menatap ayahnya, menanti perintah.

“Aldrich,” suara Duke Armand akhirnya terdengar, dingin, “awasi dia. Jika dia mencoba sesuatu yang bodoh, pastikan dia tidak membuat keluarga ini jatuh lebih jauh ke dalam aib.”

Sir Aldrich mengangguk, matanya menyiratkan kesungguhan, “Baik, Ayah.”

Duke Armand kembali menatap surat Eveline yang tergeletak di atas meja, matanya menyipit.

“Eveline… apa yang sedang kau rencanakan sekarang?”

BRUK!!

“AYAH!”

Pintu ruang kerja kembali terbuka dengan hentakan keras, kali ini bukan maid Lady Eveline, melainkan Lady Sabrina. Gaun biru pucatnya berayun saat ia berlari masuk dengan wajah tegang.

“Ada apa denganmu, Sabrina?” desis Sir Aldrich, berdiri cepat melihat adiknya yang biasanya tenang kini terlihat panik.

Sabrina terengah, matanya membulat, “Kakak, Pu… Putra Mahkota… ada di sini.”

Keheningan yang mencekam turun seketika. Mata Duke Armand yang sedang memegang surat Eveline perlahan terangkat, menatap putrinya dengan tajam.

“Apa?” suara Duke Armand terdengar dalam, rahangnya mengeras. “Sekarang, di mana Putra Mahkota?”

Sabrina menelan ludah, jemarinya meremas ujung gaunnya, “Dia… dia sudah turun dari kudanya di halaman depan bersama pasukannya.”

Sir Aldrich memutar tubuhnya, hendak melangkah keluar, “Aku akan menyambutnya—”

Namun sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, suara berat terdengar dari ambang pintu, memotong langkahnya.

“Kau tidak perlu menyambut di depan pintu rumahmu, Duke Armand.”

Suara itu dingin, penuh wibawa, namun bukan milik Putra Mahkota itu sendiri, melainkan suara salah satu ksatria terkuat kerajaan, Sir Alberto Von Azehar, tangan kanan Putra Mahkota Kaelion Dravenhart.

Mata mereka serentak menoleh. Di ambang pintu berdiri Sir Alberto, mengenakan armor hitam dengan simbol naga emas di dada, lambang pengawal kerajaan Eldoria. Pedang panjang tergantung di pinggangnya, dan mata coklat gelapnya menatap ruangan dengan ketenangan yang mengintimidasi.

Di belakang Sir Alberto, terdengar langkah kaki mantap yang menggema di lantai marmer kastil tua itu.

Aura dingin memenuhi ruangan, seolah suhu turun beberapa derajat, membuat Lady Sabrina secara refleks mundur mendekati kakaknya, Aldrich.

Langkah itu berhenti, dan muncullah Putra Mahkota Kaelion Dravenhart, mengenakan mantel hitam panjang berlapis bulu dengan lambang naga emas di bahunya, menatap Duke Armand dengan mata abu-abu setajam baja.

“Duke Armand Valtieri,” suara Kaelion dalam, dingin, namun penuh tekanan kekuasaan, “Aku rasa kita perlu berbicara… sekarang.”

Duke Armand menatap putra dan putrinya sejenak sebelum akhirnya mengeraskan rahangnya.

“Sabrina, keluarlah dari ruangan ini.”

Lady Sabrina tampak ragu, matanya menoleh ke arah Putra Mahkota yang berdiri dengan aura dingin, namun akhirnya ia menundukkan kepala dan keluar, menutup pintu perlahan di belakangnya.

Duke Armand menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya sebelum mempersilakan tamunya.

“Yang Mulia, silakan duduk.”

Kaelion Dravenhart menatap Duke Armand dengan mata abu-abu yang dingin sebelum akhirnya duduk di kursi berhadapan langsung dengan Duke Armand di meja panjang kayu ek gelap itu. Mantelnya bergeser sedikit saat duduk, memperlihatkan pedang hitam di pinggangnya.

Sir Aldrich bergerak cepat, duduk di samping ayahnya, matanya tetap mengamati Kaelion dengan waspada, sementara Sir Alberto berdiri di belakang Putra Mahkota, tegap seperti patung penjaga dengan tangan di gagang pedangnya.

Suasana ruangan dipenuhi ketegangan, hanya suara detak jam tua yang terdengar di antara mereka.

Kaelion menautkan jemari di atas meja, tatapannya tajam.

“Duke Armand,” suaranya terdengar dingin, setiap kata terucap seperti pisau, “Aku datang ke sini untuk mengambil Lady Eveline.”

Duke Armand mengerutkan alisnya, “Mengambil Eveline? Untuk apa, Yang Mulia?”

Kaelion mengangkat satu alis, matanya menatap lurus tanpa berkedip, “Untuk menerima hukuman atas kekacauan yang telah dia buat di pesta kedewasaan adik saya, Putri Rowena.”

Sir Aldrich mengepalkan tangannya, menahan diri untuk tidak langsung bicara, namun matanya memancarkan ketidaksetujuan.

Duke Armand menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dadanya. “Yang Mulia, dengan segala hormat, ini adalah urusan keluarga Valtieri. Biarkan kami yang menghukumnya sesuai dengan kedisiplinan keluarga kami.”

Sebuah senyum tipis terbentuk di bibir Kaelion, namun matanya tetap dingin seperti es.

“Permintaanmu… kutolak.” Suaranya begitu tenang, namun tekanan kekuasaan terpancar jelas.

Duke Armand mengepalkan jemarinya di atas meja, “Yang Mulia, Eveline adalah putriku…”

Kaelion mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, sorot matanya tajam menusuk, “Dan dia telah mempermalukan keluarga kerajaan, Duke Armand. Jangan lupa siapa yang memiliki kuasa di negeri ini.”

Keheningan kembali menyelimuti ruangan, hanya suara napas mereka yang terdengar.

Sir Alberto menundukkan kepala sedikit, menambahkan dengan suara datar, “Yang Mulia bersikap murah hati karena masih berkenan datang sendiri ke kediaman Duke Valtieri, bukan mengirim pasukan untuk menyeret Lady Eveline dari kastil tua itu.”

Duke Armand menutup matanya sejenak, menahan kekesalan yang berkecamuk di dadanya, sebelum akhirnya membuka mata dan menatap Putra Mahkota dengan sorot terpaksa menyerah.

“Baiklah…” gumamnya, suaranya berat, “Namun izinkan aku berbicara padanya sebelum Yang Mulia membawanya.”

Kaelion terdiam beberapa detik sebelum akhirnya berdiri perlahan, sorot matanya tetap mengawasi Duke Armand seperti elang mengawasi mangsanya.

“Kau punya waktu satu jam,” ucap Kaelion, nadanya datar namun mengandung ancaman, “Setelah itu, aku akan membawa Lady Eveline ke istana.”

Ia lalu berbalik, mantel hitamnya berkibar pelan saat berjalan menuju pintu, Sir Alberto mengikuti langkahnya dengan langkah tegap. Sebelum keluar, Kaelion menoleh sedikit, menatap Sir Aldrich yang masih duduk dengan rahang mengeras.

“Pastikan adikmu bersiap.”

Pintu menutup dengan suara dentuman halus, meninggalkan Duke Armand dan Sir Aldrich dalam ruangan yang kini terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 55 • Surat Lamaran Untuk Kerjaan Thandor

    Ruangan itu begitu dingin dan mencekam, bukan tanpa sebab—tapi... aura Putra Mahkota begitu mengerikan, seolah akan meledak kapan saja. “Yang Mulia, apakah anda butuh istirahat?” tanya Sir Alberto. Pasalnya selain terlihat lelah, mata pria itu juga seakan menyimpan berubah pikiran yang tampak jelas.“Aku telah menyuruhmu diam, Alberto,” ucap Kael, suaranya bgitu dingin dan menusuk di setiap kata.Sir Alberto langsung menunduk. “Maafkan saya, Yang Mulia—Putra Mahkota.”Kael tidak mnanggapi lagi. Matanya berotasi membaca kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Setiap huruf, setiap angka, tampak menelannya dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya semakin terasa berat dan dingin.“Kalian memang tidak becus,” geram Kael, ia menahan amarah yang nyaris meledak. Pencarian Lady Eveline sudah dilakukan sebulan penuh, sayangnya wanita itu seolah hilang di telan bumi... tanpa jejak, dan mungkin saja wanita itu sudah tiada. Ia ingin melihat sendiri jasadnya, dengan matanya sendiri.

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 54 • Aderyn, Ibukota Idoryn

    Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya roda gerobak mereka melintasi gerbang besar ibukota Idoryn. Senja baru saja turun, menyapu langit dengan warna keemasan, hiruk pikuk kota menyambut kedatangan mereka. Jalanan ramai dipenuhi oleh pedagang, warga, dan juga para penjaga yang lalu lalang.Joren menghirup udara segar, “Inilah Aderyn, ibukota Idoryn.” ucapnya, sembari menahan tali kekang kudanya.Anya menatap sekeliling dengan mulut yang setengah terbuka, kagum akan bangunan megah, bendera-bendera kerajaan yang berkibar di setiap sudut jalan, serta cahaya lentera yang mulai dinyalakan di depan toko-toko.“Indah sekali... aku bahkan tidak tahu, jika ibukota Idoryn bisa semegah ini," ujar Anya pelan.“Beruntung, karena kau sudah menginjakkan kakimu di Idoryn, Nona Anya,” sahut Joren.Berbeda dengan Anya, yang mengagumi kota itu—Eveline hanya diam, tatapannya lurus seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia menunduk sesaat, menatap tangannya yang masih dibalut oleh kain putih di nal

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 53 • Melanjutkan Perjalanan

    Pagi itu, Eveline, Anya, dan Joren sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Eveline berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Gaun berwarna biru tua membalut tubuhnya, dengan lapisan luar gaun panjang itu terbelah di depan, menyingkap kain putih di bagian dalam. Gaun itu dilapisi lagi oleh jubah hitam miliknya, begitu elegan, seolah menambah kesan anggun pada Eveline. menghela napas dalam-dalam.Ia menunduk, lalu menyingkap lengan pakaiannya. Balutan kain putih masih membelit lengannya, untungnya obat yang diberikan Tetua Lunar—bekerja lebih cepat. Meski masih merasakan nyeri, namun tidak begitu parah, seperti beberapa hari yang lalu.“Hah...“ Eveline menghela napas berat.“Bawalah ini, Nona Anya." Suara Tetua Lunar terdengar dari luar kamar, disusul balasan sopan dari Anya. “Terima kasih, Tetua Lunar.”Tidak lama kemudian, Anya melangkah masuk sembari membawa dua kantung kain ditangannya. Kain itu berisi ramuan obat dan gulungan kain bersih untuk mengganti perban pad

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 52 • Keputusan Eveline

    Sore itu, sinar matahari mengintip dari celah jendela kamar, menciptakan bayangan semu di lantai rumah Tetua Lunar. Eveline duduk bersandar di sisi ranjang, matanya menatap keluar dengan pandangan kosong. Rasa bosan mulai menjalari pikirannya, terhitung sudah empat hari mereka berada di Lunar—ia hanya bisa berbaring dan duduk, tanpa bisa bergerak dengan leluasa. “Hah...” Eveline mendesah pelan, tangannya belum sepenuhnya pulih—masih terasa sakit jika digerakkan, dan itu menggangunya. “Bagaimana ini,” gumamnya pelan. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri.” Pikiran Eveline menerawang jauh, ia harus segera sembuh. Ia tidak bisa menunggu siapa pun, termasuk menunggu dirinya agar cepat pulih. Menjadi pengawal istana bukanlah hanya ambisinya semata, tetapi agar ia juga dapat belajar banyak sebelum kembali ke Eldoria. Dewa telah memberinya kehidupan kedua, dan kali ini—ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan itu dan memastikan hidupnya memiliki tujuan yang jelas. “Tentu saja, tujuanku ada

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 51 • Kesadaran Lady Eveline

    Kicauan burung terdengar samar, seolah menyuruh orang-orang bangun dari mimpi mereka. Di kamar yang sederhana itu, Eveline berbaring dengan kanannya terlipat di atas, sedangkan tangan kirinya yang terluka berada di sisi tubuhnya.Kening Eveline bergoyang dan mengernyit, perlahan matanya terbuka. Wanita itu diam memandangi langit-langit kamar yang masih kabur di penglihatannya. Tubuhnya terasa ringan, dan kain lembap seperti menyentuh keningnya. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kain itu.Eveline lalu menoleh ke samping, matanya menangkap sosok Anya yang duduk di kursi kayu dengan mata terpejam.“Shh…” desisnya, ketika tangan kirinya terasa sakit saat akan digerakkan. Eveline menatap kain putih yang membalut lengannya.Butuh beberapa detik sebelum ia bisa mengingat semuanya, para bandit-bandit itu. Kabut di pikirannya perlahan-lahan menipis, menyisakan rasa ngilu yang mengiris di bahu hingga ke lengan. Ia mengerang pelan, cukup pelan untuk tidak membangunkan Anya yang tertidur di ku

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 50 • Nona Eve, Mirip Seseorang

    Luka akibat tusukan belati di lengan Eveline kembali dibersihkan oleh Tetua Lunar. Darah segar sempat merembes keluar, membuat Anya panik setengah mati.“Aku akan membersihkan lagi luka Nona Eve,” ucap Tetua Lunar, suara tuanya tenang namun penuh ketegasan. Ia mengelap luka itu pelan, berhati-hati agar tak menyakiti lebih dalam.Joren duduk di sisi lain, memegang sebuah wadah tanah liat berisi air hangat yang telah dicampur dengan daun sirih dan kulit kayu yang ditumbuk halus. Air itu berwarna kecokelatan dan menguarkan aroma tajam herbal yang menyengat.Dengan gerakan perlahan, Tetua Lunar menyiramkan air ramuan itu ke luka Eveline, sedikit demi sedikit. Cairan hangat itu membuat Eveline mengerang pelan, tubuhnya menegang sesaat, namun matanya tetap terpejam. Wajahnya masih pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Anya cemas, kedua tangannya menggenggam erat lengan Eveline.Tetua Lunar menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tenang saja, Nona. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status