Home / Historical / PEMBALASAN DENDAM SANG LADY / BAB 5 • Memburu Lady Eveline

Share

BAB 5 • Memburu Lady Eveline

Author: MatchaMisu
last update Last Updated: 2025-07-02 07:53:01

Eveline dan Anya berlari sekuat mungkin menyusuri hutan. Lelah? Tentu saja mereka lelah dan kehausan, napas mereka terengah-engah, baju mereka kotor oleh lumpur dan dedaunan yang menempel. Tidak ada bekal yang mereka siapkan sebelum kabur, hanya keberanian yang mereka bawa.

Suara derap kaki kuda dan bentakan para ksatria yang tadi menggema kini telah menghilang, digantikan suara angin yang meniup dedaunan dan nyanyian burung yang sesekali terdengar.

“Berhenti... Anya...” desah Eveline, ia bersandar pada batang pohon besar, bahunya naik turun menahan sesak napas. Kakinya terasa seperti ingin patah, tidak mampu lagi melangkah jauh.

Anya segera mendekat, memegangi lengan Eveline agar tidak jatuh. “Apa Lady baik-baik saja?” tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran.

Eveline menoleh, wajahnya pucat dan penuh keringat dingin. “Aku hanya butuh... waktu sebentar.”

Tatapan Anya menyapu sekitar, berusaha mencari perlindungan sebelum mereka benar-benar ditemukan. Pandangannya tertumbuk pada sebuah celah batuan besar di kejauhan, yang tertutup sebagian oleh semak belukar.

“Lady... lihat itu,” Anya menunjuk celah batu tersebut. “Sepertinya itu... goa, Lady. Mungkin kita bisa bersembunyi sementara di sana sebelum mereka menemukan kita.”

Eveline memaksakan diri berdiri, matanya mengikuti arah yang ditunjukkan Anya. Napasnya masih berat, tapi dia mengangguk, “Baik... ayo, sebelum mereka kembali.”

Mereka berjalan dengan langkah terseok menuju goa tersebut. Anya membantu Eveline menyingkirkan ranting dan semak yang menutupi jalan, bau tanah basah dan lumut menyambut mereka begitu memasuki celah batu itu. Goa itu cukup luas untuk mereka duduki berdua, dengan celah kecil di atas yang memungkinkan sedikit cahaya masuk.

Eveline duduk bersandar pada dinding goa, tangannya memegang perutnya. Kenangan malam pesta Putri Rowena, saat semuanya berubah, menghantui pikirannya.

“Lady...” panggil Anya pelan, duduk di sampingnya sambil menggenggam tangan Eveline, mencoba memberikan ketenangan. “Kita akan baik-baik saja, bukan?”

Eveline memejamkan matanya, menahan rasa sakit yang bukan hanya fisik, tapi juga luka dalam hatinya. Ia menarik napas panjang, lalu membukanya perlahan, menatap cahaya samar yang masuk dari celah goa.

“Kita harus tetap hidup, Anya,” lirihnya, suaranya tegas meski bergetar. “Aku tidak akan kembali ke Valtieri... Aku tidak akan kembali pada mereka.”

Anya menatap iba pada Lady Eveline. “Maaf jika saya lancang, Lady... tetapi... mengapa Lady begitu terlihat menjauhi Putra Mahkota? Bukankah sebelumnya Lady adalah orang yang... terang-terangan mengejar Putra Mahkota,” suara Anya bergetar, rasa penasaran itu menggerogoti sang maid.

Eveline terdiam sesaat. Tatapannya kosong, menatap ke arah celah goa yang mulai terlihat gelap. Angin dari luar membawa aroma tanah basah, membuat rambutnya bergerak perlahan di bahunya.

Ia menunduk, menyembunyikan kilatan luka di matanya. “Setelah kejadian aku... merusak pesta kedewasaan Putri Rowena, aku menjadi sadar...” Eveline terdiam, menarik napas dalam. “Bahwa mencintai tidak harus memiliki, Anya.”

Bohong. Itu hanya kebohongan yang terpaksa ia katakan, karena bagaimana mungkin Eveline menjelaskan bahwa ia sebenarnya kembali ke satu tahun sebelum kematiannya, kembali ke masa sebelum darahnya membasahi halaman istana di bawah tatapan dingin Putra Mahkota Kaelion Dravenhart?

Anya pasti akan menganggapnya gila.

Anya menunduk, menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Hanya suara detak jantung dan napas mereka yang terdengar di goa itu.

“Maafkan saya, Lady...” bisik Anya akhirnya. “Saya hanya khawatir.”

Eveline tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Anya... kau tidak salah.”

Hening kembali menyelimuti mereka, hingga mata Anya bergerak turun, memerhatikan lengan Eveline yang tampak merah dengan garis luka yang mengering, sebagian masih tampak kotor oleh tanah dan darah kering.

“Lady... luka di lengan Lady... belum diobati?” tanya Anya, matanya membesar karena terkejut.

Eveline baru menyadarinya. “Ah...” ia melirik lengannya, rasa perih itu memang sempat terlupakan karena ketakutan mereka saat kabur. Kini rasa nyeri itu kembali terasa, seperti ditusuk jarum panas.

Anya dengan cepat merogoh saku apron-nya, mengeluarkan sepotong kain bersih dan botol kecil berisi air. “Maafkan saya, Lady. Saya terlalu bodoh untuk tidak memerhatikan ini lebih awal.”

Dengan cekatan, Anya membasahi kain itu dengan air, lalu perlahan mengusap luka Eveline, membersihkan sisa tanah dan darah yang menempel. Eveline menahan desis kesakitan, kedua tangannya mengepal di pangkuannya, matanya menatap ke arah dinding goa yang lembap.

“Sakit ya, Lady?” Anya bertanya lirih.

“Tidak... sakit ini tidak seberapa dibandingkan dengan yang sudah aku alami, Anya,” jawab Eveline dengan suara rendah, suaranya terdengar getir.

Anya menatap Lady Eveline dengan iba, lalu melanjutkan membersihkan luka itu hingga bersih, lalu mengikatnya dengan kain bersih agar luka itu tidak terinfeksi.

Setelah selesai, Anya menatap wajah Lady Eveline dengan khawatir, “Kita akan melewati ini bersama, Lady.”

Eveline menatap balik maid setianya, kemudian mengangguk pelan. “Ya, Anya... kita akan melewati ini... bersama.”

Di luar goa, angin mulai berembus lebih dingin, sementara keduanya hanya bisa duduk di dalam goa, berharap esok akan membawa sedikit keajaiban untuk mereka.

•••••

Di lain sisi, matahari telah beranjak naik melewati pucuk-pucuk pohon, menyisakan sinar terang yang menembus sela dedaunan, menandakan siang mulai menguasai hutan.

Putra Mahkota Kaelion memimpin rombongan kecil ksatria kerajaan yang menyusuri jalur sempit, suara langkah kuda dan derit zirah mereka berpadu dengan kicau burung yang terdengar jauh.

Sir Alberto, yang berjalan paling depan, tiba-tiba menghentikan kudanya. Tatapan tajamnya menangkap sesuatu di tanah, membuatnya segera turun dan berjalan perlahan, matanya awas menyapu sekitar.

Ia berjongkok, tangannya meraih sebuah ranting kayu yang patah dengan noda merah gelap di ujungnya, darah yang hampir mengering.

“Yang Mulia,” panggil Alberto dengan nada tegas namun tetap penuh hormat.

Kaelion menoleh, matanya yang dingin menangkap objek di tangan Alberto. “Apa itu?”

Alberto berdiri, menunjukkan ranting itu. “Ada darah, Yang Mulia. Sepertinya masih baru, belum terlalu lama. Kemungkinan besar Lady Eveline melewati tempat ini.”

Kaelion turun dari kudanya dengan sigap, mendekati Alberto dan mengambil ranting itu, memeriksanya dengan saksama. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun, namun matanya berkilat dingin.

“Dia terluka,” gumam Kael pelan, entah itu pernyataan atau pertanyaan pada dirinya sendiri.

Alberto mengangguk. “Sepertinya begitu, Yang Mulia.”

Kaelion membuang ranting itu ke tanah, pandangannya menatap jalur kecil yang dipenuhi semak dan akar pepohonan.

“Perintahkan para ksatria untuk memperluas pencarian ke arah utara hutan. Mereka mungkin berusaha keluar ke jalur belakang wilayah Duke.”

Alberto membungkuk sedikit. “Baik, Yang Mulia.”

Kaelion memandang langit siang yang mulai terik, rahangnya menegang.

“Eveline Valtieri... kau benar-benar membuatku harus mencarimu sejauh ini,” desisnya dingin.

Ia kembali ke kudanya, menarik kendali dengan tegas hingga kuda hitamnya meringkik, sebelum menoleh pada Alberto. “Kita akan menemukannya sebelum matahari terbenam," suara Putra Mahkota terdengar dalam kali ini.

Alberto segera memberi aba-aba pada para ksatria lain untuk bergerak ke arah berbeda, suara terompet kecil dari salah satu ksatria terdengar, menandai perubahan arah pasukan pencari.

Di bawah sinar matahari yang semakin terik, Putra Mahkota Kaelion Dravenhart menunggang kudanya menyusuri jalur setapak yang dipenuhi semak berduri dan akar pohon yang menjalar liar. Debu dan daun kering berterbangan setiap kali kaki kuda mereka menghantam tanah lembap.

Sir Alberto berjalan sedikit di belakang, memimpin empat ksatria yang membantu menyisir setiap sudut hutan.

“Periksa setiap semak dan celah batu di sekitar sini,” perintah Kaelion dengan suara dingin, matanya menelusuri jalur tanah yang tampak seperti bekas orang berjalan tergesa-gesa.

Salah satu ksatria turun dari kudanya, memeriksa semak yang rusak seperti terinjak seseorang. “Yang Mulia, sepertinya mereka bergerak ke arah barat, menuju sungai.”

Kaelion mengangguk singkat, matanya menajam. “Pastikan jalur itu dijaga. Mereka tidak boleh lolos.”

Suara terompet kecil kembali terdengar dari arah belakang, sebagai tanda bahwa para ksatria lain yang disebar telah menemukan jejak ranting patah dengan serpihan kain putih kusam tersangkut di ujung duri, kemungkinan dari gaun Lady Eveline.

Kaelion memegang erat kendali kudanya, wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi matanya gelap, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak.

“Yang Mulia,” panggil Sir Alberto hati-hati, “jika boleh bertanya, mengapa Anda sendiri turun tangan dalam pencarian ini?”

Kaelion menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti pisau. “Karena aku tidak akan membiarkan dia kabur dari hadapanku lagi.”

Suasana di antara mereka menjadi tegang, hanya suara kuda dan dentingan zirah yang terdengar.

Kaelion mengangkat tangannya, memberi aba-aba untuk melanjutkan perjalanan. Kuda mereka kembali bergerak, menyusuri jalur sempit yang semakin dalam ke arah barat, menuju sungai yang menjadi perbatasan wilayah hutan.

“Perintahkan semua pasukan untuk memperketat penjagaan di jalur sungai,” ucap Kaelion tanpa menoleh, suaranya tegas dan dingin.

“Baik, Yang Mulia.” Sir Alberto segera mengangkat tangannya memberi isyarat pada ksatria lain untuk memisahkan diri ke jalur kiri dan kanan, menjaga kemungkinan Lady Eveline melarikan diri melalui jalur air.

Angin siang bertiup membawa aroma tanah lembap dan suara sungai yang mulai terdengar di kejauhan.

Kaelion menggertakkan giginya, tangannya mengepal di atas kendali kuda.

“Eveline Valtieri... Kau benar-benar keras kepala, setelah membuat kekacauan kau melarikan diri... Tapi kali ini, kau tidak akan punya tempat bersembunyi lagi.”

Di bawah terik matahari siang, perburuan Lady Eveline berubah menjadi pengejaran tanpa ampun yang akan menyeret masa depan mereka ke arah yang tak terhindarkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 55 • Surat Lamaran Untuk Kerjaan Thandor

    Ruangan itu begitu dingin dan mencekam, bukan tanpa sebab—tapi... aura Putra Mahkota begitu mengerikan, seolah akan meledak kapan saja. “Yang Mulia, apakah anda butuh istirahat?” tanya Sir Alberto. Pasalnya selain terlihat lelah, mata pria itu juga seakan menyimpan berubah pikiran yang tampak jelas.“Aku telah menyuruhmu diam, Alberto,” ucap Kael, suaranya bgitu dingin dan menusuk di setiap kata.Sir Alberto langsung menunduk. “Maafkan saya, Yang Mulia—Putra Mahkota.”Kael tidak mnanggapi lagi. Matanya berotasi membaca kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Setiap huruf, setiap angka, tampak menelannya dengan intensitas yang membuat udara di sekitarnya semakin terasa berat dan dingin.“Kalian memang tidak becus,” geram Kael, ia menahan amarah yang nyaris meledak. Pencarian Lady Eveline sudah dilakukan sebulan penuh, sayangnya wanita itu seolah hilang di telan bumi... tanpa jejak, dan mungkin saja wanita itu sudah tiada. Ia ingin melihat sendiri jasadnya, dengan matanya sendiri.

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 54 • Aderyn, Ibukota Idoryn

    Setelah berhari-hari menempuh perjalanan, akhirnya roda gerobak mereka melintasi gerbang besar ibukota Idoryn. Senja baru saja turun, menyapu langit dengan warna keemasan, hiruk pikuk kota menyambut kedatangan mereka. Jalanan ramai dipenuhi oleh pedagang, warga, dan juga para penjaga yang lalu lalang.Joren menghirup udara segar, “Inilah Aderyn, ibukota Idoryn.” ucapnya, sembari menahan tali kekang kudanya.Anya menatap sekeliling dengan mulut yang setengah terbuka, kagum akan bangunan megah, bendera-bendera kerajaan yang berkibar di setiap sudut jalan, serta cahaya lentera yang mulai dinyalakan di depan toko-toko.“Indah sekali... aku bahkan tidak tahu, jika ibukota Idoryn bisa semegah ini," ujar Anya pelan.“Beruntung, karena kau sudah menginjakkan kakimu di Idoryn, Nona Anya,” sahut Joren.Berbeda dengan Anya, yang mengagumi kota itu—Eveline hanya diam, tatapannya lurus seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia menunduk sesaat, menatap tangannya yang masih dibalut oleh kain putih di nal

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 53 • Melanjutkan Perjalanan

    Pagi itu, Eveline, Anya, dan Joren sudah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Eveline berdiri di depan cermin, ia menatap pantulan dirinya. Gaun berwarna biru tua membalut tubuhnya, dengan lapisan luar gaun panjang itu terbelah di depan, menyingkap kain putih di bagian dalam. Gaun itu dilapisi lagi oleh jubah hitam miliknya, begitu elegan, seolah menambah kesan anggun pada Eveline. menghela napas dalam-dalam.Ia menunduk, lalu menyingkap lengan pakaiannya. Balutan kain putih masih membelit lengannya, untungnya obat yang diberikan Tetua Lunar—bekerja lebih cepat. Meski masih merasakan nyeri, namun tidak begitu parah, seperti beberapa hari yang lalu.“Hah...“ Eveline menghela napas berat.“Bawalah ini, Nona Anya." Suara Tetua Lunar terdengar dari luar kamar, disusul balasan sopan dari Anya. “Terima kasih, Tetua Lunar.”Tidak lama kemudian, Anya melangkah masuk sembari membawa dua kantung kain ditangannya. Kain itu berisi ramuan obat dan gulungan kain bersih untuk mengganti perban pad

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 52 • Keputusan Eveline

    Sore itu, sinar matahari mengintip dari celah jendela kamar, menciptakan bayangan semu di lantai rumah Tetua Lunar. Eveline duduk bersandar di sisi ranjang, matanya menatap keluar dengan pandangan kosong. Rasa bosan mulai menjalari pikirannya, terhitung sudah empat hari mereka berada di Lunar—ia hanya bisa berbaring dan duduk, tanpa bisa bergerak dengan leluasa. “Hah...” Eveline mendesah pelan, tangannya belum sepenuhnya pulih—masih terasa sakit jika digerakkan, dan itu menggangunya. “Bagaimana ini,” gumamnya pelan. “Aku tidak bisa hanya berdiam diri.” Pikiran Eveline menerawang jauh, ia harus segera sembuh. Ia tidak bisa menunggu siapa pun, termasuk menunggu dirinya agar cepat pulih. Menjadi pengawal istana bukanlah hanya ambisinya semata, tetapi agar ia juga dapat belajar banyak sebelum kembali ke Eldoria. Dewa telah memberinya kehidupan kedua, dan kali ini—ia berjanji, tidak akan menyia-nyiakan itu dan memastikan hidupnya memiliki tujuan yang jelas. “Tentu saja, tujuanku ada

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 51 • Kesadaran Lady Eveline

    Kicauan burung terdengar samar, seolah menyuruh orang-orang bangun dari mimpi mereka. Di kamar yang sederhana itu, Eveline berbaring dengan kanannya terlipat di atas, sedangkan tangan kirinya yang terluka berada di sisi tubuhnya.Kening Eveline bergoyang dan mengernyit, perlahan matanya terbuka. Wanita itu diam memandangi langit-langit kamar yang masih kabur di penglihatannya. Tubuhnya terasa ringan, dan kain lembap seperti menyentuh keningnya. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kain itu.Eveline lalu menoleh ke samping, matanya menangkap sosok Anya yang duduk di kursi kayu dengan mata terpejam.“Shh…” desisnya, ketika tangan kirinya terasa sakit saat akan digerakkan. Eveline menatap kain putih yang membalut lengannya.Butuh beberapa detik sebelum ia bisa mengingat semuanya, para bandit-bandit itu. Kabut di pikirannya perlahan-lahan menipis, menyisakan rasa ngilu yang mengiris di bahu hingga ke lengan. Ia mengerang pelan, cukup pelan untuk tidak membangunkan Anya yang tertidur di ku

  • PEMBALASAN DENDAM SANG LADY   BAB 50 • Nona Eve, Mirip Seseorang

    Luka akibat tusukan belati di lengan Eveline kembali dibersihkan oleh Tetua Lunar. Darah segar sempat merembes keluar, membuat Anya panik setengah mati.“Aku akan membersihkan lagi luka Nona Eve,” ucap Tetua Lunar, suara tuanya tenang namun penuh ketegasan. Ia mengelap luka itu pelan, berhati-hati agar tak menyakiti lebih dalam.Joren duduk di sisi lain, memegang sebuah wadah tanah liat berisi air hangat yang telah dicampur dengan daun sirih dan kulit kayu yang ditumbuk halus. Air itu berwarna kecokelatan dan menguarkan aroma tajam herbal yang menyengat.Dengan gerakan perlahan, Tetua Lunar menyiramkan air ramuan itu ke luka Eveline, sedikit demi sedikit. Cairan hangat itu membuat Eveline mengerang pelan, tubuhnya menegang sesaat, namun matanya tetap terpejam. Wajahnya masih pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.“Apa ini tidak apa-apa?” tanya Anya cemas, kedua tangannya menggenggam erat lengan Eveline.Tetua Lunar menatapnya sekilas, lalu menggeleng pelan. “Tenang saja, Nona. A

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status