Eveline dan Anya berlari sekuat mungkin menyusuri hutan. Lelah? Tentu saja mereka lelah dan kehausan, napas mereka terengah-engah, baju mereka kotor oleh lumpur dan dedaunan yang menempel. Tidak ada bekal yang mereka siapkan sebelum kabur, hanya keberanian yang mereka bawa.
Suara derap kaki kuda dan bentakan para ksatria yang tadi menggema kini telah menghilang, digantikan suara angin yang meniup dedaunan dan nyanyian burung yang sesekali terdengar. “Berhenti... Anya...” desah Eveline, ia bersandar pada batang pohon besar, bahunya naik turun menahan sesak napas. Kakinya terasa seperti ingin patah, tidak mampu lagi melangkah jauh. Anya segera mendekat, memegangi lengan Eveline agar tidak jatuh. “Apa Lady baik-baik saja?” tanyanya dengan suara penuh kekhawatiran. Eveline menoleh, wajahnya pucat dan penuh keringat dingin. “Aku hanya butuh... waktu sebentar.” Tatapan Anya menyapu sekitar, berusaha mencari perlindungan sebelum mereka benar-benar ditemukan. Pandangannya tertumbuk pada sebuah celah batuan besar di kejauhan, yang tertutup sebagian oleh semak belukar. “Lady... lihat itu,” Anya menunjuk celah batu tersebut. “Sepertinya itu... goa, Lady. Mungkin kita bisa bersembunyi sementara di sana sebelum mereka menemukan kita.” Eveline memaksakan diri berdiri, matanya mengikuti arah yang ditunjukkan Anya. Napasnya masih berat, tapi dia mengangguk, “Baik... ayo, sebelum mereka kembali.” Mereka berjalan dengan langkah terseok menuju goa tersebut. Anya membantu Eveline menyingkirkan ranting dan semak yang menutupi jalan, bau tanah basah dan lumut menyambut mereka begitu memasuki celah batu itu. Goa itu cukup luas untuk mereka duduki berdua, dengan celah kecil di atas yang memungkinkan sedikit cahaya masuk. Eveline duduk bersandar pada dinding goa, tangannya memegang perutnya. Kenangan malam pesta Putri Rowena, saat semuanya berubah, menghantui pikirannya. “Lady...” panggil Anya pelan, duduk di sampingnya sambil menggenggam tangan Eveline, mencoba memberikan ketenangan. “Kita akan baik-baik saja, bukan?” Eveline memejamkan matanya, menahan rasa sakit yang bukan hanya fisik, tapi juga luka dalam hatinya. Ia menarik napas panjang, lalu membukanya perlahan, menatap cahaya samar yang masuk dari celah goa. “Kita harus tetap hidup, Anya,” lirihnya, suaranya tegas meski bergetar. “Aku tidak akan kembali ke Valtieri... Aku tidak akan kembali pada mereka.” Anya menatap iba pada Lady Eveline. “Maaf jika saya lancang, Lady... tetapi... mengapa Lady begitu terlihat menjauhi Putra Mahkota? Bukankah sebelumnya Lady adalah orang yang... terang-terangan mengejar Putra Mahkota,” suara Anya bergetar, rasa penasaran itu menggerogoti sang maid. Eveline terdiam sesaat. Tatapannya kosong, menatap ke arah celah goa yang mulai terlihat gelap. Angin dari luar membawa aroma tanah basah, membuat rambutnya bergerak perlahan di bahunya. Ia menunduk, menyembunyikan kilatan luka di matanya. “Setelah kejadian aku... merusak pesta kedewasaan Putri Rowena, aku menjadi sadar...” Eveline terdiam, menarik napas dalam. “Bahwa mencintai tidak harus memiliki, Anya.” Bohong. Itu hanya kebohongan yang terpaksa ia katakan, karena bagaimana mungkin Eveline menjelaskan bahwa ia sebenarnya kembali ke satu tahun sebelum kematiannya, kembali ke masa sebelum darahnya membasahi halaman istana di bawah tatapan dingin Putra Mahkota Kaelion Dravenhart? Anya pasti akan menganggapnya gila. Anya menunduk, menggigit bibir bawahnya, tidak tahu harus menjawab apa. Hanya suara detak jantung dan napas mereka yang terdengar di goa itu. “Maafkan saya, Lady...” bisik Anya akhirnya. “Saya hanya khawatir.” Eveline tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, Anya... kau tidak salah.” Hening kembali menyelimuti mereka, hingga mata Anya bergerak turun, memerhatikan lengan Eveline yang tampak merah dengan garis luka yang mengering, sebagian masih tampak kotor oleh tanah dan darah kering. “Lady... luka di lengan Lady... belum diobati?” tanya Anya, matanya membesar karena terkejut. Eveline baru menyadarinya. “Ah...” ia melirik lengannya, rasa perih itu memang sempat terlupakan karena ketakutan mereka saat kabur. Kini rasa nyeri itu kembali terasa, seperti ditusuk jarum panas. Anya dengan cepat merogoh saku apron-nya, mengeluarkan sepotong kain bersih dan botol kecil berisi air. “Maafkan saya, Lady. Saya terlalu bodoh untuk tidak memerhatikan ini lebih awal.” Dengan cekatan, Anya membasahi kain itu dengan air, lalu perlahan mengusap luka Eveline, membersihkan sisa tanah dan darah yang menempel. Eveline menahan desis kesakitan, kedua tangannya mengepal di pangkuannya, matanya menatap ke arah dinding goa yang lembap. “Sakit ya, Lady?” Anya bertanya lirih. “Tidak... sakit ini tidak seberapa dibandingkan dengan yang sudah aku alami, Anya,” jawab Eveline dengan suara rendah, suaranya terdengar getir. Anya menatap Lady Eveline dengan iba, lalu melanjutkan membersihkan luka itu hingga bersih, lalu mengikatnya dengan kain bersih agar luka itu tidak terinfeksi. Setelah selesai, Anya menatap wajah Lady Eveline dengan khawatir, “Kita akan melewati ini bersama, Lady.” Eveline menatap balik maid setianya, kemudian mengangguk pelan. “Ya, Anya... kita akan melewati ini... bersama.” Di luar goa, angin mulai berembus lebih dingin, sementara keduanya hanya bisa duduk di dalam goa, berharap esok akan membawa sedikit keajaiban untuk mereka. ••••• Di lain sisi, matahari telah beranjak naik melewati pucuk-pucuk pohon, menyisakan sinar terang yang menembus sela dedaunan, menandakan siang mulai menguasai hutan. Putra Mahkota Kaelion memimpin rombongan kecil ksatria kerajaan yang menyusuri jalur sempit, suara langkah kuda dan derit zirah mereka berpadu dengan kicau burung yang terdengar jauh. Sir Alberto, yang berjalan paling depan, tiba-tiba menghentikan kudanya. Tatapan tajamnya menangkap sesuatu di tanah, membuatnya segera turun dan berjalan perlahan, matanya awas menyapu sekitar. Ia berjongkok, tangannya meraih sebuah ranting kayu yang patah dengan noda merah gelap di ujungnya, darah yang hampir mengering. “Yang Mulia,” panggil Alberto dengan nada tegas namun tetap penuh hormat. Kaelion menoleh, matanya yang dingin menangkap objek di tangan Alberto. “Apa itu?” Alberto berdiri, menunjukkan ranting itu. “Ada darah, Yang Mulia. Sepertinya masih baru, belum terlalu lama. Kemungkinan besar Lady Eveline melewati tempat ini.” Kaelion turun dari kudanya dengan sigap, mendekati Alberto dan mengambil ranting itu, memeriksanya dengan saksama. Wajahnya tak menunjukkan emosi apa pun, namun matanya berkilat dingin. “Dia terluka,” gumam Kael pelan, entah itu pernyataan atau pertanyaan pada dirinya sendiri. Alberto mengangguk. “Sepertinya begitu, Yang Mulia.” Kaelion membuang ranting itu ke tanah, pandangannya menatap jalur kecil yang dipenuhi semak dan akar pepohonan. “Perintahkan para ksatria untuk memperluas pencarian ke arah utara hutan. Mereka mungkin berusaha keluar ke jalur belakang wilayah Duke.” Alberto membungkuk sedikit. “Baik, Yang Mulia.” Kaelion memandang langit siang yang mulai terik, rahangnya menegang. “Eveline Valtieri... kau benar-benar membuatku harus mencarimu sejauh ini,” desisnya dingin. Ia kembali ke kudanya, menarik kendali dengan tegas hingga kuda hitamnya meringkik, sebelum menoleh pada Alberto. “Kita akan menemukannya sebelum matahari terbenam," suara Putra Mahkota terdengar dalam kali ini. Alberto segera memberi aba-aba pada para ksatria lain untuk bergerak ke arah berbeda, suara terompet kecil dari salah satu ksatria terdengar, menandai perubahan arah pasukan pencari. Di bawah sinar matahari yang semakin terik, Putra Mahkota Kaelion Dravenhart menunggang kudanya menyusuri jalur setapak yang dipenuhi semak berduri dan akar pohon yang menjalar liar. Debu dan daun kering berterbangan setiap kali kaki kuda mereka menghantam tanah lembap. Sir Alberto berjalan sedikit di belakang, memimpin empat ksatria yang membantu menyisir setiap sudut hutan. “Periksa setiap semak dan celah batu di sekitar sini,” perintah Kaelion dengan suara dingin, matanya menelusuri jalur tanah yang tampak seperti bekas orang berjalan tergesa-gesa. Salah satu ksatria turun dari kudanya, memeriksa semak yang rusak seperti terinjak seseorang. “Yang Mulia, sepertinya mereka bergerak ke arah barat, menuju sungai.” Kaelion mengangguk singkat, matanya menajam. “Pastikan jalur itu dijaga. Mereka tidak boleh lolos.” Suara terompet kecil kembali terdengar dari arah belakang, sebagai tanda bahwa para ksatria lain yang disebar telah menemukan jejak ranting patah dengan serpihan kain putih kusam tersangkut di ujung duri, kemungkinan dari gaun Lady Eveline. Kaelion memegang erat kendali kudanya, wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi matanya gelap, seperti menahan sesuatu yang ingin meledak. “Yang Mulia,” panggil Sir Alberto hati-hati, “jika boleh bertanya, mengapa Anda sendiri turun tangan dalam pencarian ini?” Kaelion menoleh perlahan, tatapannya tajam seperti pisau. “Karena aku tidak akan membiarkan dia kabur dari hadapanku lagi.” Suasana di antara mereka menjadi tegang, hanya suara kuda dan dentingan zirah yang terdengar. Kaelion mengangkat tangannya, memberi aba-aba untuk melanjutkan perjalanan. Kuda mereka kembali bergerak, menyusuri jalur sempit yang semakin dalam ke arah barat, menuju sungai yang menjadi perbatasan wilayah hutan. “Perintahkan semua pasukan untuk memperketat penjagaan di jalur sungai,” ucap Kaelion tanpa menoleh, suaranya tegas dan dingin. “Baik, Yang Mulia.” Sir Alberto segera mengangkat tangannya memberi isyarat pada ksatria lain untuk memisahkan diri ke jalur kiri dan kanan, menjaga kemungkinan Lady Eveline melarikan diri melalui jalur air. Angin siang bertiup membawa aroma tanah lembap dan suara sungai yang mulai terdengar di kejauhan. Kaelion menggertakkan giginya, tangannya mengepal di atas kendali kuda. “Eveline Valtieri... Kau benar-benar keras kepala, setelah membuat kekacauan kau melarikan diri... Tapi kali ini, kau tidak akan punya tempat bersembunyi lagi.” Di bawah terik matahari siang, perburuan Lady Eveline berubah menjadi pengejaran tanpa ampun yang akan menyeret masa depan mereka ke arah yang tak terhindarkan.Di balik kabut Lumor yang tak kunjung menipis, cahaya senja tampak tertahan lama. Tak ada yang benar-benar tahu kapan hari berganti malam di sini.Rhett dan Maric saling menatap, lalu kembali memandangi Oldrick yang duduk di dekat api unggun, tangannya sibuk membalik kayu agar bara tidak padam.“Apa sebaiknya kita mencari mereka? Ini bahkan sudah malam, Tetua,” ucap Rhett, nada suaranya rendah namun tegang. Sejak sore, Lady Eveline dan Anya belum kembali. Mereka sempat ingin turun ke sungai untuk mencari, namun Oldrick sebelumnya bersikeras mereka akan pulang, merasa janggal, namun tetap diam.Oldrick diam, memandangi api yang menari, cahayanya memantul di matanya yang keriput. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. “Mereka tidak akan kembali.”Rhett dan Maric saling menoleh cepat, wajah mereka berubah waspada, alis Maric bertaut dalam.“Apa maksudmu—” suara Maric terdengar tajam.Oldrick yang tadinya menunduk perlahan menaikkan pandangannya, menatap keduanya dengan soro
“Lady...”Eveline langsung menoleh, mendapati Anya yang tergesa-gesa menghampirinya dengan napas sedikit terengah, membawa keranjang berisi pakaian dan kain lusuh mereka.“Sudah?” tanya Eveline dengan suara datar.Anya mengangguk cepat. “Semuanya sudah selesai,” balasnya pelan. Dari belakang, Tetua Lumor, Oldrick, menyusul keluar rumah, berdiri di samping mereka dengan wajah khawatir.“Aku dan—” “Ah, ternyata kalian ada di sini.”Suara itu membuat mereka menoleh serempak. Rhett dan Maric berjalan mendekat dengan langkah tenang, sorot mata mereka sulit dibaca. Eveline menarik napas perlahan, menetralkan ekspresi wajahnya agar tetap terlihat tenang meski jantungnya berdegup kencang.“Ada apa? Apa kalian membutuhkan obat-obatan?” tanyanya, suaranya terdengar biasa saja, seolah tak terjadi apa pun. Di sampingnya, Anya tampak menegang, menggenggam pegangan keranjang dengan erat.Rhett menatap Eveline sejenak sebelum menggeleng pelan. “Tidak, Lady.”Maric menundukkan kepala sedikit. “Kami
“Lady, kita kehabisan bahan untuk obat-obatan. Aku akan mengambilnya lagi,” ucap Anya, menoleh pada Lady Eveline yang tengah menumbuk daun herbal untuk warga yang terkena gatal-gatal.“Pergilah, Anya. Ah... ambil juga beberapa daun thyme,” balas Eveline tanpa menoleh sedikit pun.“Baiklah, Lady.”Anya berjalan menjauh, menuju rawa tempat dedaunan herbal itu tumbuh. Suara serangga dan angin lembab rawa menemani langkahnya.Namun, langkah Anya terhenti saat suara rendah dan teredam terdengar di kejauhan.“Apa Putra Mahkota sendiri yang akan datang ke Lumor membawa Lady Eveline ke istana?”Anya menajamkan pendengarannya, wajahnya memucat.“Entahlah, kita hanya dapat menunggu Darius kembali. Mungkin saja kita yang akan membawa Lady itu ke istana,” suara pria lain menjawab.Anya beringsut mendekat ke balik pohon ek besar, matanya menangkap dua pria berpakaian lusuh layaknya pedagang keliling dengan keranjang herbal dan kantong kulit di pinggang mereka—Rhett dan Maric. Dadanya berdegup cepa
Ratu Seraphina menatap mereka lama, sorot matanya dingin meski senyumnya terukir di bibir. “Ah... tentu saja, tinggallah beberapa hari. Aku yakin, Yang Mulia Raja merindukanmu,” ucapnya, matanya beralih pada Duchess Leztia. “Bukan begitu, Duchess Gerwyn?” Duchess Gerwyn membalas senyum itu dengan senyum tipis yang penuh kehati-hatian. “Tentu saja, Yang Mulia Ratu.” Duke Gerwyn berdeham pelan sebelum angkat bicara, “Sebagai adik dari Yang Mulia Raja Eldoria, apakah kami diperkenankan menjenguk beliau?” Sejenak, ruangan diliputi keheningan. Kael menoleh perlahan, menatap Duke Gerwyn dengan sorot mata dingin bak pisau yang mengiris diam-diam. “Tidak ada ‘kami’,” ucap Kael tegas, setiap kata keluar dengan tekanan. “Yang Mulia Raja hanya dapat dijenguk oleh satu orang.”Tatapan Duke Gerwyn mengeras sesaat sebelum ia menoleh pada istrinya. Duchess Gerwyn mengangguk tipis, wajahnya tetap tersenyum namun matanya berkilat.Duke Gerwyn menarik napas, menoleh kembali pada Kael. “Baikla
Cahaya matahari siang menembus kaca besar di belakang punggung Kael, menerangi ruangan kerjanya yang dipenuhi tumpukan dokumen dan peta-peta wilayah Eldoria. Kael duduk tegak di kursi kerjanya, jemarinya menekan pelipis sambil menatap laporan-laporan yang berserakan di mejanya. Suara ketukan halus terdengar di pintu kayu besar itu. Tok... Tok... “Masuk.” Pintu terbuka perlahan, Sir Alberto masuk dengan langkah tegap, membungkukkan badan dengan hormat. “Yang Mulia Putra Mahkota,” panggil Sir Alberto, suaranya dalam, “Darius, Ksatria Pengintai, telah kembali.” Kael membuka matanya perlahan, menatap tajam ke arah Sir Alberto, sorot matanya menajam di bawah sinar siang yang terpantul dari iris birunya. “Suruh dia masuk.” Sir Alberto membungkuk, membuka pintu lebih lebar. Darius masuk dengan langkah hati-hati, menyembunyikan napas berat yang masih belum stabil setelah perjalanan panjang. Ia menekuk satu lutut, menunduk dalam. “Saya menghadap, Yang Mulia Putra Mahkota,” ucap Darius d
Suara ranting diinjak terdengar lagi, membuat Eveline memutar tubuhnya dengan cepat, matanya menajam, menatap ke arah semak gelap yang bergoyang perlahan.“Suara apa itu? Aku mendengarnya dari tadi,” gumamnya, nada suaranya menegang.Rhett menoleh ke arah semak yang sama, matanya tampak tenang namun penuh kewaspadaan. “Mungkin hanya hewan malam, Nona...” katanya, meski ia tetap siaga.Eveline terdiam sesaat sebelum mengangkat pandangannya. Bibirnya terbuka perlahan, mengingat identitas barunya.“Aku... E... Elia... ya, Elia,” ucapnya dengan gugup, memperbaiki ucapannya sebelum kembali memeriksa keadaan sekitar.“Nona Elia... kau bisa memanggilku Azrel,” ujar Rhett, menyebut nama samaran yang ia pilih agar Lady Eveline tidak menaruh curiga.Eveline mengangguk kecil. “Baiklah, Azrel.”Rhett melirik ke arah warga yang tertidur lelap di balai kayu reyot itu. “Apa Nona Elia sering melakukan ini?” tanyanya, nada suaranya tenang namun penuh rasa ingin tahu.Eveline mengerutkan kening. “Melak