LOGINLalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.
Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak. Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati. Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar. Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang. Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan. Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia. Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu karang oleh gelombang pengkhianatan. Tubuh Dipasena tanpa sadar bergerak. Dia melangkah keluar dari bayangan rumpun pisang, berdiri tegak di tengah halaman. Tanah di bawah kakinya terasa panas, seolah di bawahnya ada kawah amarah yang baru saja terbuka. Suara langkah Dipasena memecahkan keheningan. Anggrawati dan Santaka terkejut, tubuh mereka terpisah dengan ketergesaan. Anggrawati menoleh. Mata gadis itu tidak menunjukkan kejutan, apalagi rasa bersalah. Sebaliknya, mata itu memancarkan rasa lega dan kepastian yang dingin. Santaka tersenyum tipis. Senyum itu adalah pukulan tak terduga yang menghantam ulu hati Dipasena. “Dipasena,” suara Anggrawati terdengar datar, tanpa getaran cinta atau kekaguman yang dulu selalu ia dengar. “Kau datang. Aku tahu kau akan datang.” “Anggrawati,” suara Dipasena tercekat, seperti pecahan kaca di tenggorokannya. “Aku ke sini… untuk menjelaskan. Itu semua fitnah. Lencana itu bukan milikku. Aku tidak berkhianat. Santaka… kau harus percaya padaku.” Santaka tertawa pelan, serak, penuh kemenangan. “Percaya? Setelah Ki Lunggana dan semua murid menemukan bukti yang tak terbantahkan? Ora ilok, Dipasena. Seorang pendekar harusnya tahu, dalan kuwi ora mung siji. Pilihanmu sudah jelas. Dan kini pilihan Anggrawati juga sudah jelas.” Anggrawati melangkah maju, menjauh dari Santaka, tetapi tatapannya justru semakin dekat. Dia menatap Dipasena dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah menilai barang rongsokan. “Kau bertanya kenapa aku di sini, Dipasena?” kata Anggrawati. “Aku di sini karena wedi... takut. Aku takut bersuamikan pengkhianat. Ayahku adalah penasihat Padepokan. Bagaimana bisa aku menikahi murid Padepokan Kala Durga?” “Aku bukan murid Padepokan Kala Durga!” raung Dipasena, amarahnya melonjak. “Mungkin ragamu bukan,” balas Anggrawati, suaranya tajam seperti sabetan pedang. “Tapi sukmamu sudah kotor. Kau lari. Seorang pendekar yang benar tidak lari dari keadilan, meskipun itu adalah fitnah. Becik ketitik ala ketara, yang baik terlihat, yang buruk akan tampak.” Kata-kata Anggrawati adalah racun yang mematikan. Itu bukan hanya memutuskan tali pertunangan; itu menghancurkan semua kebanggaan dan harapan yang tersisa di dada Dipasena. Dia tidak dikhianati oleh kata-kata; dia dikhianati oleh kepercayaan. Dari dalam rumah, pintu berderit terbuka. Barda, ayah Anggrawati, muncul. Wajahnya keras, sekeras batu kali yang selalu diinjak. Dia memegang sebilah golok di tangannya. “Pergi, pengkhianat!” seru Barda, suaranya dipenuhi aib. “Jangan kotori rumahku! Aku tidak punya anak menantu sampah yang membawa nama Kala Durga! Aku cabut semua janji pertunangan. Anggrawati akan menikah dengan Santaka, seorang murid yang setia dan berbakti pada Jati Sakti!” Pernyataan Barda adalah gong yang mengakhiri semua sandiwara. Hati Dipasena, yang tadinya terbakar, kini terasa beku, diselimuti es keputusasaan. Amarah yang bergolak di dadanya tidak lagi berbentuk api; ia berbentuk baja yang dingin dan tak terpecahkan. Dipasena memandang Anggrawati, yang kini tersenyum tipis, merangkul lengan Santaka dengan bangga. Itu adalah senyum penghinaan terakhir. “Aku tidak datang untuk berkelahi,” ujar Dipasena, suaranya kini kembali tenang, sedingin es. Ketidakberdayaannya adalah penjara yang ia bangun sendiri. Dia tidak bisa melawan Barda, seorang penatua yang dia hormati. Dia tidak bisa melawan Santaka di depan Anggrawati, karena tindakannya hanya akan membenarkan tuduhan mereka. “Aku pergi, Anggrawati,” lanjut Dipasena. “Semoga pilihanmu memberimu kebahagiaan yang pantas kau dapatkan. Kalian telah menolakku karena tuduhan; kalian telah memilih kebohongan demi kenyamanan.” Dipasena berbalik, memunggungi mereka. Dia tidak peduli dengan golok Barda atau senyum Santaka. Dia hanya ingin pergi. Dia ingin mencekik kekecewaan itu sampai mati dan menguburkannya di dasar jiwanya. Tiba-tiba, suara derap kaki terdengar dari kejauhan. Lebih dari sekadar satu orang, lebih dari sekadar tiga. Mereka datang. Santaka tersenyum lebar. “Mereka datang menjemputmu, Dipasena. Aja dumeh, jangan sombong. Ini adalah akhir dari jalanmu.” Anggrawati menyeringai. “Pergi! Mereka pasti akan membawamu ke neraka!” Dipasena tidak menjawab. Dia tahu. Dia telah membuang terlalu banyak waktu untuk meratapi kematian cintanya. Kini, terlihat jelas. Di ujung jalan desa, sekitar tiga puluh tombak jauhnya, obor-obor menyala dan puluhan bayangan bergerak cepat. Murid-murid Jati Sakti telah mengejarnya. Mereka pasti menemukan jejaknya, atau mungkin ada tangan tak terlihat yang memberitahu mereka ke mana dia pergi. Santaka, Barda, atau bahkan Anggrawati. Kebenaran tidak lagi penting. Dia harus pergi. Jika dia tertangkap di sini, di tengah desa, dia akan diadili dan dicabut nyawanya dengan cara yang paling kejam. Dipasena mulai berlari, kembali ke arah hutan yang gelap. Dia berlari bukan karena takut mati, tetapi karena dia telah menemukan sebuah sumpah baru. Sumpah yang lahir dari abu kekecewaan. Aku akan kembali. Sumpah itu bergemuruh di dadanya. Aku akan kembali bukan sebagai Dipasena yang memohon kasih dan pengakuan. Aku akan kembali sebagai Badai yang akan menyapu habis semua kebohongan dan semua hati yang rapuh. Di belakangnya, suara teriakan murid-murid Jati Sakti semakin dekat. “Tangkap dia! Jangan biarkan pengkhianat itu lolos!” Lima belas murid Jati Sakti, dipimpin oleh Ki Gendola, berlari kencang. Mereka menutup semua celah. Mereka menyebar dalam formasi Jaring Baja di pinggiran desa. Dipasena tahu, lari ke hutan adalah bunuh diri. Hutan Lawu adalah rumah mereka; mereka tahu setiap akar dan setiap batu. Dia berlari melintasi sebuah ladang kering. Tanah di sana pecah-pecah, seolah mencerminkan jiwanya yang hancur. Si pemuda menarik napas dalam-dalam, mengambil energi Prana dari alam, memadukannya dengan sisa amarahnya yang membatu. Ketika dia mencapai tanggul ladang, lima murid telah memotong jalannya, hanya berjarak sepuluh depa di depannya. “Dipasena! Menyerahlah! Aja nganti kebacut!” seru Ki Gendola. Dipasena tersenyum tipis. Senyum itu tidak mengandung tawa; hanya janji. “Aku sudah kebacut!” balas Dipasena. “Kalian telah membuang emas dan memilih tembaga!” ***“Saudaramu menyerangku lebih dulu,” jawab Dipasena, suaranya tenang. “Aku hanya membela diri.”Siluman Harimau Merah itu maju satu langkah, tubuhnya yang besar menggetarkan tanah.“Alasanmu basi seperti bangkai di padang gurun!” raung Siluman Harimau Merah. “Namaku Cakar Emas. Aku adalah penjaga yang lebih tua. Aku akan membalas kematian saudaraku, dan aku akan mengambil kembali Inti Merah yang kini ada di dalam raga kotor-mu!”Dipasena mengepalkan tangannya. Dia merasakan Tenaga Dalam baru itu berdenyut di bawah kulitnya, menuntut untuk dilepaskan.Dia telah kehilangan cintanya, warisannya, dan namanya. Dia tidak akan membiarkan dirinya kehilangan nyawanya di hari pertama kelahiran kembali ini.“Jika kau datang untuk bertarung,” kata Dipasena, tatapannya tajam dan tak terhindarkan. “Aku siap. Tunjukkan padaku hukum rimbamu!”Siluman Harimau Merah itu meraung, membuka mulutnya, memamerkan taringnya yang sebesar belati. Dia mengam
Malam di Hutan Seribu Maut terasa semakin pekat dan dingin setelah pertarungan.Dipasena bersandar pada batang pohon yang tumbang, mencoba memulihkan sedikit Tenaga Dalamnya yang terkuras habis.Batu Cahaya Merah yang ia genggam terasa hangat, memberikan sedikit ketenangan yang menipu.Dia merasakan energi baru mengalir, mengisi kekosongan, seolah dia adalah cangkir kosong yang diisi kembali dengan air kehidupan.Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.Tiba-tiba, Batu Cahaya Merah itu berdenyut dengan kecepatan tinggi, dan panas yang semula terasa menenangkan, kini berubah menjadi bara api yang membakar."Ada apa ini!?" Dipasena tersentak. Dia membuka telapak tangannya.Batu itu kini memancarkan cahaya merah darah yang sangat terang, cahayanya mampu menembus kegelapan hutan.Panasnya tak tertahankan, seolah ia menggenggam besi tempa yang baru diangkat dari api.“Panas!” desis Dipasena, mencoba melepa
Dia membutuhkan jurus yang berfokus pada kekuatan inti dan penghancuran. Dia memilih Pukulan Naga Bumi.Hanya dia, murid muda yang telah mencapai tingkat ketiga dari lima ilmu Pukulan Naga Bumi. Dipasena menyiapkan ilmu itu dengan tenaga penuh.Siluman Serigala Merah menyerang lebih dulu, melompat tinggi, cakar depannya siap merobek dada Dipasena.Dipasena menunggu, membiarkan serigala itu semakin dekat, dan pada kejap yang tepat, dia melancarkan serangan balasan.Pukulan Naga Bumi, Tingkat Satu: Goncangan Permukaan.Pukulan ini adalah serangan jarak pendek yang mengalirkan energi ke permukaan, menciptakan dampak fisik yang murni.Dipasena meninju udara kosong di bawah perut serigala yang melompat.Wutt! Syutt!Energi pukulan itu, meskipun tidak menyentuh, menciptakan tekanan udara yang begitu padat.Siluman Serigala Merah, yang biasanya kebal terhadap benturan biasa, terkejut.Tubuhnya yang sedang melayang dihantam oleh gelombang kejut tersembunyi. Raungannya terpotong.Serigala itu
Layang Samba, yang fokus pada air dan angin, tidak siap untuk serangan yang datang dari bumi. Keseimbangannya hilang.Dia melompat ke belakang untuk menghindari gempa, tetapi pada kejap ia melompat, Dipasena sudah berada di udara, mengejarnya.Dipasena melancarkan sebuah tendangan mengandung tenaga besar, tendangan yang sangat cepat dan bertujuan pada ulu hati Layang Samba.Wutt!Layang Samba, meskipun terhuyung, adalah pendekar terlatih.Dia secara naluriah mengangkat Tongkat Waru-nya untuk menahan serangan itu, mengubahnya menjadi perisai kayu.Trakk!Tendangan Dipasena menghantam tongkat. Kali ini, tidak ada pantulan angin, hanya benturan energi keras dengan keras.Suara benturan itu terdengar seperti guntur kecil yang meledak di tepi sungai.Layang Samba terlempar mundur, tubuhnya melayang sekitar tiga tombak dan menghantam rumpun bambu. Tongkat Waru-nya terlepas dari genggaman dan jatuh ke sungai.Layang Samba bangkit, memegang lengannya yang kebas dan gemetar. Wajahnya pucat pas
Lima orang itu langsung menyerang Dipasena bersamaan.Dipasena tidak menggunakan Benteng Pawana. Dia menggunakan jurus Jati Sakti yang paling dasar: sebuah jurus tendangan.Tetapi dia menyalurkan Tujuh Titik Maut tingkat lima: Titik Keras pada telapak kakinya.Dia menendang tanah. Tendangan itu tidak ditujukan kepada lawan, tetapi ke bumi di bawahnya.Ketika kaki Dipasena menghantam tanah, energi internalnya, yang dipadukan dengan Titik Keras, menciptakan getaran kuat di permukaan tanah.Getaran itu menjalar cepat.Lima murid yang berdiri di depannya merasa seolah tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba menjadi lumpur hisap yang bergerak-gerak. Mereka kehilangan pijakan, terhuyung, dan jatuh.Dipasena melompat, kakinya tidak menyentuh satu pun tubuh murid yang jatuh. Dia melompati mereka, dan dalam dua kejap, dia telah berada di belakang mereka.Dia terus berlari. Lari kali ini memiliki tujuan: mencari kekuatan.Dia tidak lagi melihat ke belakang, ke arah obor-obor yang mengejarnya. Dia
Lalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak.Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati.Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar.Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang.Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan.Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia.Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu ka







