Share

Bab 003

last update Last Updated: 2025-10-30 07:55:45

Lalu, cahaya lampu minyak itu bergerak sedikit, dan Dipasena melihatnya. Jelas. Sejelas bayangan keris di air.

Itu adalah Santaka. Saudara seperguruan yang selalu menatapnya dengan rasa iri yang lebih tajam daripada mata tombak.

Santaka, yang selalu berusaha menarik perhatian Anggrawati.

Dipasena mematung. Jaraknya hanya lima depa dari teras itu. Lima depa yang terasa seperti jurang tak berdasar.

Anggrawati tidak hanya duduk. Dia bersandar. Anggrawati bersandar di dada Santaka. Kepala Santaka menunduk, dan ia tertawa pelan. Tawanya terdengar kasar dan menang.

Lalu, Santaka mengangkat dagu Anggrawati. Dalam satu kejap, bibir mereka bertemu. Ciuman itu tidak tergesa-gesa; itu adalah ciuman yang lambat, mesra, penuh pemilikan.

Dunia di sekitar Dipasena mendadak kehilangan suara. Udara seolah dicabut dari paru-parunya. Kekuatan kosmis yang baru saja ia himpun di Jati Sakti, Prana dari alam semesta, semua terasa sia-sia.

Dia merasa dirinya adalah sebuah cangkang kosong, dihempas ke batu karang oleh gelombang pengkhianatan.

Tubuh Dipasena tanpa sadar bergerak. Dia melangkah keluar dari bayangan rumpun pisang, berdiri tegak di tengah halaman.

Tanah di bawah kakinya terasa panas, seolah di bawahnya ada kawah amarah yang baru saja terbuka.

Suara langkah Dipasena memecahkan keheningan. Anggrawati dan Santaka terkejut, tubuh mereka terpisah dengan ketergesaan.

Anggrawati menoleh. Mata gadis itu tidak menunjukkan kejutan, apalagi rasa bersalah. Sebaliknya, mata itu memancarkan rasa lega dan kepastian yang dingin.

Santaka tersenyum tipis. Senyum itu adalah pukulan tak terduga yang menghantam ulu hati Dipasena.

“Dipasena,” suara Anggrawati terdengar datar, tanpa getaran cinta atau kekaguman yang dulu selalu ia dengar. “Kau datang. Aku tahu kau akan datang.”

“Anggrawati,” suara Dipasena tercekat, seperti pecahan kaca di tenggorokannya. “Aku ke sini… untuk menjelaskan. Itu semua fitnah. Lencana itu bukan milikku. Aku tidak berkhianat. Santaka… kau harus percaya padaku.”

Santaka tertawa pelan, serak, penuh kemenangan. “Percaya? Setelah Ki Lunggana dan semua murid menemukan bukti yang tak terbantahkan? Ora ilok, Dipasena. Seorang pendekar harusnya tahu, dalan kuwi ora mung siji. Pilihanmu sudah jelas. Dan kini pilihan Anggrawati juga sudah jelas.”

Anggrawati melangkah maju, menjauh dari Santaka, tetapi tatapannya justru semakin dekat. Dia menatap Dipasena dari ujung kaki hingga ujung rambut, seolah menilai barang rongsokan.

“Kau bertanya kenapa aku di sini, Dipasena?” kata Anggrawati. “Aku di sini karena wedi... takut. Aku takut bersuamikan pengkhianat. Ayahku adalah penasihat Padepokan. Bagaimana bisa aku menikahi murid Padepokan Kala Durga?”

“Aku bukan murid Padepokan Kala Durga!” raung Dipasena, amarahnya melonjak.

“Mungkin ragamu bukan,” balas Anggrawati, suaranya tajam seperti sabetan pedang. “Tapi sukmamu sudah kotor. Kau lari. Seorang pendekar yang benar tidak lari dari keadilan, meskipun itu adalah fitnah. Becik ketitik ala ketara, yang baik terlihat, yang buruk akan tampak.”

Kata-kata Anggrawati adalah racun yang mematikan. Itu bukan hanya memutuskan tali pertunangan; itu menghancurkan semua kebanggaan dan harapan yang tersisa di dada Dipasena.

Dia tidak dikhianati oleh kata-kata; dia dikhianati oleh kepercayaan.

Dari dalam rumah, pintu berderit terbuka. Barda, ayah Anggrawati, muncul. Wajahnya keras, sekeras batu kali yang selalu diinjak. Dia memegang sebilah golok di tangannya.

“Pergi, pengkhianat!” seru Barda, suaranya dipenuhi aib. “Jangan kotori rumahku! Aku tidak punya anak menantu sampah yang membawa nama Kala Durga! Aku cabut semua janji pertunangan. Anggrawati akan menikah dengan Santaka, seorang murid yang setia dan berbakti pada Jati Sakti!”

Pernyataan Barda adalah gong yang mengakhiri semua sandiwara. Hati Dipasena, yang tadinya terbakar, kini terasa beku, diselimuti es keputusasaan.

Amarah yang bergolak di dadanya tidak lagi berbentuk api; ia berbentuk baja yang dingin dan tak terpecahkan.

Dipasena memandang Anggrawati, yang kini tersenyum tipis, merangkul lengan Santaka dengan bangga. Itu adalah senyum penghinaan terakhir.

“Aku tidak datang untuk berkelahi,” ujar Dipasena, suaranya kini kembali tenang, sedingin es.

Ketidakberdayaannya adalah penjara yang ia bangun sendiri. Dia tidak bisa melawan Barda, seorang penatua yang dia hormati.

Dia tidak bisa melawan Santaka di depan Anggrawati, karena tindakannya hanya akan membenarkan tuduhan mereka.

“Aku pergi, Anggrawati,” lanjut Dipasena. “Semoga pilihanmu memberimu kebahagiaan yang pantas kau dapatkan. Kalian telah menolakku karena tuduhan; kalian telah memilih kebohongan demi kenyamanan.”

Dipasena berbalik, memunggungi mereka. Dia tidak peduli dengan golok Barda atau senyum Santaka. Dia hanya ingin pergi.

Dia ingin mencekik kekecewaan itu sampai mati dan menguburkannya di dasar jiwanya.

Tiba-tiba, suara derap kaki terdengar dari kejauhan. Lebih dari sekadar satu orang, lebih dari sekadar tiga. Mereka datang.

Santaka tersenyum lebar. “Mereka datang menjemputmu, Dipasena. Aja dumeh, jangan sombong. Ini adalah akhir dari jalanmu.”

Anggrawati menyeringai. “Pergi! Mereka pasti akan membawamu ke neraka!”

Dipasena tidak menjawab. Dia tahu. Dia telah membuang terlalu banyak waktu untuk meratapi kematian cintanya.

Kini, terlihat jelas. Di ujung jalan desa, sekitar tiga puluh tombak jauhnya, obor-obor menyala dan puluhan bayangan bergerak cepat.

Murid-murid Jati Sakti telah mengejarnya. Mereka pasti menemukan jejaknya, atau mungkin ada tangan tak terlihat yang memberitahu mereka ke mana dia pergi.

Santaka, Barda, atau bahkan Anggrawati. Kebenaran tidak lagi penting.

Dia harus pergi. Jika dia tertangkap di sini, di tengah desa, dia akan diadili dan dicabut nyawanya dengan cara yang paling kejam.

Dipasena mulai berlari, kembali ke arah hutan yang gelap. Dia berlari bukan karena takut mati, tetapi karena dia telah menemukan sebuah sumpah baru. Sumpah yang lahir dari abu kekecewaan.

Aku akan kembali. Sumpah itu bergemuruh di dadanya. Aku akan kembali bukan sebagai Dipasena yang memohon kasih dan pengakuan.

Aku akan kembali sebagai Badai yang akan menyapu habis semua kebohongan dan semua hati yang rapuh.

Di belakangnya, suara teriakan murid-murid Jati Sakti semakin dekat.

“Tangkap dia! Jangan biarkan pengkhianat itu lolos!”

Lima belas murid Jati Sakti, dipimpin oleh Ki Gendola, berlari kencang. Mereka menutup semua celah. Mereka menyebar dalam formasi Jaring Baja di pinggiran desa.

Dipasena tahu, lari ke hutan adalah bunuh diri. Hutan Lawu adalah rumah mereka; mereka tahu setiap akar dan setiap batu.

Dia berlari melintasi sebuah ladang kering. Tanah di sana pecah-pecah, seolah mencerminkan jiwanya yang hancur.

Si pemuda menarik napas dalam-dalam, mengambil energi Prana dari alam, memadukannya dengan sisa amarahnya yang membatu.

Ketika dia mencapai tanggul ladang, lima murid telah memotong jalannya, hanya berjarak sepuluh depa di depannya.

“Dipasena! Menyerahlah! Aja nganti kebacut!” seru Ki Gendola.

Dipasena tersenyum tipis. Senyum itu tidak mengandung tawa; hanya janji.

“Aku sudah kebacut!” balas Dipasena. “Kalian telah membuang emas dan memilih tembaga!”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 085

    "Itu sudah jadi batas antara Loka Utara dan Angin Selatan sejak sepuluh generasi, kenapa sekarang dipermasalahkan?" Anggrawati bertanya. "Kenapa? Karena tidak ada lagi Ki Loka di sana untuk memberi perintah, Tuan!" balas Kusumo, membanting tangannya ke atas reruntuhan batu. "Dia sudah jadi debu di kaki Dewa Maut. Sekarang, batasnya adalah sejauh mana prajuritku bisa bergerak." Anggrawati menarik napas dalam. "Jadi kalian akan terus bertikai sampai kalian semua menjadi korban kebodohan sendiri, begitu?" "kalau aku boleh bertanya, Nona," sela Nyai Saraswati, melipat tangannya, "sebenarnya peran Nona itu apa, ya, di sini? Nona bukan pemimpin padepokan. Nona juga tidak sekuat su—ah, maaf, sekuat Tuan Dipasena." Suhu terasa menurun tajam. Itu adalah tusukan tersembunyi yang telak. Mereka tidak menghormati kebijaksanaannya, mereka hanya menilai berdasarkan kekuatannya, berdasarkan warisan Dewa Maut yang destruktif.

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 086

    "Pemimpin mereka… Rakṣasa," bisik Handoko, wajahnya pucat pasi. "Dia sangat karismatik. Dia meyakinkan semua orang bahwa kelemahan manusia adalah belas kasihan, dan kehancuran adalah kebenaran universal. Mereka semakin besar, Nona Anggrawati. Jika mereka berhasil menyelesaikan ritual mereka, bukan hanya padepokan kecil, tapi seluruh peradaban akan runtuh!" Anggrawati melihat wajah Handoko, mendengar kegilaan dalam ceritanya, dan ia menyadari betapa naifnya dia berpikir masalah mereka hanyalah soal pembagian tanah warisan. Kekacauan yang Dipasena tinggalkan telah menumbuhkan monster baru, monster yang kini menyembah Dewa Maut sebagai idola kehancuran murni. Dia harus bertindak. Ini jauh lebih mendesak daripada persatuan yang sia-sia. "Kau berani," kata Anggrawati, membantu Handoko berdiri. "Tolong beristirahat. Aku akan menangani ini." Anggrawati melepaskan Handoko, menatap ke arah utara. Angin dingin meniup k

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 084

    Kekehannya terdengar lagi, lebih keras. “Ayolah, Dipasena. Kita berdua tahu apa yang benar-benar menyenangkan.” "Sudah kukatakan diam!" bentaknya. Ia mengayunkan tangannya dengan gusar. Pohon yang baru saja ia hidupkan langsung meledak menjadi debu ungu dan serpihan kayu, tersapu angin gunung. Keheningan kembali menyelimuti. “Nah! Begitu seharusnya! Menghancurkan itu jauh lebih mudah, bukan? Lebih… memuaskan.” Suara itu terdengar puas. “Tidak perlu berpikir, tidak perlu niat. Hanya perlu sedikit rasa benci. Dan kau, bukankah kau memilikinya dalam jumlah yang sangat banyak?” Jantung Dipasena berdebar kencang, sebuah sensasi aneh yang sudah lama tak ia rasakan. "Siapa kau?" tanyanya, suaranya bergetar menahan amarah. "Sisa kesadaranmu seharusnya sudah lenyap saat aku menyerap kekuatanmu." “Sisa kesadaran?” Suara Ki Rembong terdengar geli. “Bodoh. Kau pikir kekuatan itu hanya gumpal

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 083

    “Aku kini adalah tujuan itu sendiri. Aku telah melampaui batasan yang dipegang oleh lima sesepuh bodoh itu. Aku memiliki semua yang mereka miliki, dan yang mereka takuti.” lanjut Dewa Maut. Ia akhirnya berbalik, menatap Anggrawati. Matanya, meski tidak lagi memancarkan amarah, justru lebih menakutkan karena kekosongan di dalamnya. “Aku memberimu pilihan, Anggrawati,” kata Dewa Maut. “Aku membiarkanmu hidup dua kali. Mengapa kau terus mengejarku?” Anggrawati mencengkeram erat pedang Mangunjaya. “Aku tidak mengejar Dipasena. Aku mengejar kebenaran. Kau mungkin telah menguasai Lima Elemen, tetapi kau tidak menguasai hatimu sendiri. Kau hanya wadah bagi kekuatan yang tak memiliki jiwa.” Dewa Maut tertawa kecil, tawa yang kering dan tanpa humor. “Jiwa adalah kelemahan. Emosi adalah rantai. Aku bebas. Bebas dari dendam, bebas dari cinta, bebas dari moralitas. Kekuatan ini membebaskanku. Sekarang, Anggrawati. Aku be

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 082

    Prana Lima Elemen (Kayu, Api, Bumi, Logam, Air) berputar dalam siklus yang seimbang, harmonis, seperti roda yang sempurna. Tetapi di pusat putaran itu, kini ada dua titik baru yang berlawanan: Kekosongan Murni (yang ia dapatkan dari pemahaman Mangunjaya) dan Kekosongan Gelap (yang ia curi dari Rembong). Kekuatan itu tidak hanya berlipat ganda; ia menjadi absolut. Dewa Maut merasakan setiap atom Prana di dunia persilatan. Ia merasakan sungai, gunung, kilatan petir, dan bahkan kegelapan di bawah bumi. Ia kini adalah penguasa bukan hanya dari Lima Elemen, tetapi dari dualitas yang mengikat keberadaan. Ia adalah Penguasa Kekosongan. Murid-murid Kala Durga, yang melihat guru mereka lenyap, langsung diliputi rasa panik. Mereka membuang senjata mereka dan mencoba melarikan diri, tetapi mereka tidak bisa. Dewa Maut, tanpa menoleh, mengangkat tangan kirinya ke atas. WUUUSH. Ia mengaktifka

  • PEMBALASAN DEWA MAUT   Bab 081

    Ki Rembong melihat Dewa Maut tiba-tiba tampak berhenti bergerak, auranya meredup sejenak, hampir seperti lilin yang padam. “Aku sedang menyesuaikan diri dengan takdir,” jawab Dewa Maut, suaranya serak. Anggrawati menyaksikan dari kubah Angin-Air. Ia melihat gurunya baru saja lenyap, dan kini Dewa Maut tampak seperti patung di tengah badai Kekosongan Gelap. Ketika Pukulan Lima Elemen Terpadunya hampir sepenuhnya diserap oleh Kekosongan Gelap Rembong, Dewa Maut melepaskan kontrol total atas Prana-nya. FZZZT! Tiba-tiba, Pukulan yang melambat itu menghilang. Bukan terserap, tetapi lenyap dari keberadaan. Rembong terperangah. “Ilusi?” “Bukan,” kata Dewa Maut, kini membuka matanya. Matanya tidak memancarkan warna Lima Elemen, tetapi cahaya abu-abu keperakan yang datar, seperti cermin yang tidak memantulkan apa pun. “Ini adalah Kekosongan Murni. Kau hanya memiliki lubang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status