[Maaf, tadi istriku yang ngangkat, Kenapa tumben telepon?] [Istrimu itu ngaco ya, bisa-bisanya nuduh aku pelakor.]Centang biru namun tidak ada balasan, Devi tidak sabar menunggu dan mengirimi pesan lagi.[Sudah sini aku minta alamat rumah kamu yang lengkap, aku mau ngomong Penting!][Jl. Ade Irma Suryani, Blok D no. 30. Jakarta Utara.]Devi langsung menyalin pesan ke catatan pribadi di ponselnya. Besok dia akan mencari alamat tersebut, sejelek apa istri Ferdi sampe-sampe dia dituduh pelakor. Devi begitu penasaran dan ingin meluruskan baik-baik permasalahannya.....Esoknya dia sengaja dandan yang paling tercantik menurutnya, memakai dress hitam selutut dan rambutnya digerai. Perutnya yang masih belum terlalu membuncit jadi masih kelihatan seksi.Ingin sekali dia memakai mobil, namun sayangnya Hasan tak kunjung pulang, akhirnya dia hanya memakai motor maticnya.Saat ingin mengunci pintu, Mobil Hasan memasuki garasi, rupanya dia pulang setelah sekian hari tak menampakkan hidungnya.De
Devi pulang dengan memakai kaos oblong milik Ferdi. Niatnya terkubur sudah. Moodnya sudah hancur, rasanya dia ingin sekali cepat sampai rumah agar bisa istirahat.Dia mengemudikan mobilnya dengan pelan. Menyusuri jalanan dengan pikiran yang masih kalut. Sesampainya di rumah dia langsung masuk tanpa menyapa Suaminya yang sedang nonton TV di ruang keluarga.Hasan mengikuti langkah kakinya dan langsung mencekal lengan Devi."Habis ke mana kamu! Kenapa rambutmu basah dan memakai baju laki-laki?" tanyanya dengan kening yang melipat dan tatapan matanya sama sekali tak berkedip sekalipun."Pasti kamu habis enak-enak, Dasar Jalang!" umpatnya lagi dengan tatapan yang siap menguliti."Mas! Apaan sih, fitnah sembarangan!" jawabnya dengan memutarkan bola matanya ke arahnya dengan malas."Aku semakin yakin, kalau di perutmu itu bukan milikku," tatapnya sinis.Devi menghela napas dan membuangnya kasar. Andai tidak kebobolan mungkin semua tidak terjadi.Saat ini dia tidak mempunyai uang, hanya gel
Devi tak ada pilihan, akhirnya dia memutuskan untuk mencari pinjaman online, bagaimanapun dia butuh makan. Mengandalkan suaminya hanya menyiksa diri.Setelah berselancar di ponselnya, akhirnya menemukan nomor yang pernah menghubungi untuk menawarkan pinjaman. Lantas dia menulis beberapa sarat untuk diajukan sebelum di kirim.Akhirnya tidak menunggu lama, proses pinjaman di terima. Dan tinggal nunggu berapa jam kemudian akan cair ke bank miliknya.Devi mengajukan sepuluh juta, rencananya dia akan jual rumah peninggalan orang tuanya. Dan akan ambil sebagian buat bayar hutang.Tentunya tanpa sepengetahuan Hasan. Dia benar-benar sudah habis pikir lagi. Perutnya kembali mual. Saat Hasan memenuhi isi kepalanya. Perutnya tidak bisa diajak kompromi.Devi mengelus perutnya, air matanya tumpah.Dia begitu iri dengan rumah tangga orang lain, mereka begitu bahagia dengan kehadiran seorang anak. Membayangkan sang suami mengelus perut dan menempelkan pipinya ke perut. Dan berbisik ke calon anak.
"Walaikum salam," jawab Bu Endang disertai membukakan pintu. Terlihat dua orang wanita yang keduanya yang memakai jilbab, dan satunya terlihat masih begitu muda."Eh Diajeng, Monggo atuh masuk!" "Anakmu mana? Kok gak kelihatan," tanyanya seorang yang lebih tua, setelah duduk di kursi sofa."Belum pulang kerja, sebentar lagi. Kita ngobrol-ngobrol dulu atuh,""Hm," jawabnya dengan tatapan menyapu seluruh ruangan."Dev, bikinkan es teh manis!" teriak Bu Endang.Masih belum ada jawaban, akhirnya Bu Endang beranjak ke dalam."Sebentar ya, Jeng!" Susul Be EndangSementara itu ...."Eh, Ras. Gimana? Lihat, tadi itu calon mertua kamu, ramahkan, rumahnya juga lumayan besar. Sebentar lagi kamu akan jadi nyonya di rumah ini." tutur Ibu Tantri"Tapi, Tante. Rasty takut. Perasaanku tak enak,""Sudah, pokoknya kamu nurut sama aku, awas kamu jangan sampai mengecewakan!""Iya ... iya, huh! Bu, gerah ini, udah aku copot aja ya?" ucapnya sambil mengibas-ngibaskan penutup kepalanya."Heh! Kamu mau ke
Setelah ngobrol basa basi akhirnya sampai di titik obrolan inti."jadi gimana ini, acaranya mau dirayakan seperti apa, bu?" tanya bu tantri."itu semua aku serahkan sama hasan maunya gimana, gimana hasan?" jawabnya dan kemudian melemparkan pertanyaan ke hasan.hasan gugup, ini terlalu mendadak baginya, apalagi untuk dana pun belum ada persiapan. tapi bila harus melepas rasty itu tak akan, wanita di depannya terlalu sempurna."istri saya lagi hamil, bu,""lalu? apa masalahnya?""mungkin setelah lahir baru acara lamaran dan sebagainya," "oh, maksud kamu, setelah resmi bercerai baru mau nikah gitu,""mungkin begitu, bu,""kalau istrimu tidak mau dicerai gimana?""yasudah, rasty tetap aku nikahi jadi istri kedua,""buat apa nunggu sampai lahiran baru nikah kalau ujungnya tetap poligami?""maksud ibu?""kamu gak paham?""ha ... engg ... iyaaaa," jawab hasan grogi."jadi lelaki itu yang cerdas! paham ... nyambung kalo diajak ngomong," bu tantri menjawab dengan nada kesal, dalam perkiraanny
Ketukan pintu terdengar dari luar,Hasan yang lagi mencari sertifikat pun menoleh ke arah suara, dia masih enggan untuk membukakan pintu apalagi sertifikatnya belum juga ditemukan.BRAK!BRAK! BRAAK!Hasan terlonjak kaget, yang dari ketukan pintu kini menjadi gedoran. Akhirnya dia keluar dan membukakan pintu.Bugh!Hasan langsung tersungkur, dia begitu terkejut belum sempat melihat siapa yang datang, namun langsung disambut oleh tendangan yang begitu kuat.Saat hendak bangun, Hasan kembali mendapat tendangan lagi bahkan berulang-ulang.Hasan meringkuk memegangi perut dengan kedua tangannya. Pas ingin mengangkat kepalanya, kerahnya langsung ditarik.Plak! Plak! Plak!Bugh!Tamparan berkali-kali dan ditonjok, mampu membuat Hasan babak belur, bahkan menyisakan memar di pinggir matanya. Dan juga bibirnya mengeluarkan darah.Hasan menyipit memandangi wajah si penyiksanya. Rasanya tidak terima, Emosinya meradang ingin membalas, tangan mengepal dan melayang untuk meninjunya, dan langsung di
"Kamu ke sini disuruh Hasan?" Rendi menggeleng dan mengambil napas berat, segitu cinta matinya sama Hasan. "Enggak, bukan maksudku mencari Hasan, tapi kamu kan temannya kok bisa ke sini tanpa Hasan?" "Tadi aku yang ngasih tahu ke Rendi, jadinya dia ke sini," terang Ferdi yang langsung dijawab anggukan sama Devi. "Makasih ya, tanpa kalian aku gak tahu lagi nasib bayi yang kukandung," ucap Devi dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka mengangguk serempak."Rencananya kamu mau Pulang kemana?" tanya Rendi. Devi terdiam, untuk pulang lagi ke rumah rasanya sudah tak sanggup apalagi berhadapan dengan Hasan. Dia tak ingin tersakiti lagi, setidaknya dia ingin melindungi bayinya, jiwa keibuan sudah merasuk di jiwanya. Devi menggeleng. Rendi menatap Ferdi, dia pun hanya menaikkan bahu. Untuk saat ini, Ferdi merasa tidak bisa mencarikan solusi ditambah kemarin kena omel Istrinya gara-gara salah paham. Rendi akhirnya memantapkan hati untuk menampung Devi, harapan saat ini semoga apa yang dia
"Ren, maksud kamu bawa Devi ke sini untuk apa?” tanya Tante Rendi. Rendi yang bersender di kursi tergagap sampai lupa belum bilang tujuan yang sebenarnya. "Tante, Aku ingin nitip Devi dulu di sini. Kasihan dia. Mau pulang takut." bujuk Rendi. "Tante sih gak masalah, emang kamu mau nanggung resikonya?" "Hah! Resiko?" "Ya iyalah, kamu bawa istri orang ke sini tanpa sepengetahuan suaminya, itu bisa dituntut," "Rendi siap bertanggung jawab apapun itu," jawab Rendi dengan mantab dan tak lupa pandangannya ke arah Devi yang duduk menunduk. "Ren, Tante itu gak melarang kamu mau melakukan apapun, tapi sebelumnya itu dipikir dulu nantinya kamu kena imbas tidak!" "Sudah, Tante. Rendi. Makasih tawarannya, Devi tak ingin merepotkan kalian, Devi mohon pamit pulang," potong Devi dan hendak bersiap-siap untuk pulang. "Devi, tunggu! Aku hanya memastikannya. Kamu jangan berkecil hati!" tahan Tante Rendi. "Saya pulang saja, Tante. Saya terlalu merepotkan nantinya bila di sini terus." "Daritadi