Bu,” lirih Lina mencekal tangan Ibunya untuk menghentikan. “Kenapa, Lin?“Lina menggeleng pelan.“Maksudmu apa, Lin. Kita harus cepat bertindak sebelum mereka pulang. Hampir habis nasib kita!““Tapi, Bu.“ Lina masih kekeh memegang erat tangan Ibunya.“Sudah, ayo!“ Mbok Inah menghempaskan tangan Lina agak kasar, ia berdiri dan melangkah ke arah kamar Rendi.Dengan melangkah gontai Lina mengikuti dari belakang perasaannya lesu.Ingin sekali jujur ke ibunya, tapi takut untuk bicara.Lina memilin ujung bajunya dan menatap setiap gerak-gerik Ibunya yang sedang berjongkok menatap jeli ke arah lantai. Ia tersenyum getir menatap Ibunya yang kegirangan mendapatkan apa yang dicari.“Lin, lihat! Ibu sudah mendapatkan,” terang Inah dengan mata yang berbinar.“Bu,” lirih Lina.“Ayo, kita kembali ke kamar. Kita selamanya tetap di rumah ini! Tidak akan ada yang bisa mengusir kita.“ Dengan mantap Inah berjalan ke arah kamarnya dengan tangan satunya yang dia naikkan ke atas.“Bu, Lina ingin berkata
“Mbok! Mbok Inah!“ teriak Veni sambil masuk ke dalam.Saat melewati buffet kaca ia terkejut melihat barang koleksinya raib tak tersisa.Matanya membeliak lalu ia bergegas menuju ke kamar Mbok Inah. Veni membuka pintu kamar yang tidak terkunci dan langsung masuk ke dalam.Kosong, ia membuka lemari Mbok Inah dan mendapati sudah tidak ada isinya.Kurang ajar! Ia kabur tanpa berpamitan dengan dirinya bahkan sudah membawa barang miliknya.Ia menghenyakkan badannya ke ranjang. Tangannya memijit pelipisnya yang mendadak pusing.Belum sempat untuk mengajak tes DNA rupanya sudah kabur duluan. Iya kini meyakini bahwa semua itu hanya rekayasa Mbok Inah dan semakin yakin masalah itu hanya fitnah untuk Rendi.Ia mendesah pelan dan beranjak untuk ke dapur, perutnya sudah meminta jatah melalui nada yang keluar.Begitu terkejutnya ia saat membuka lemari penyimpanan alat memasak yang sudah kosong melompong.Bahkan teflon pun tak tersisa satu pun.Veni mendengkus dan mengambil ponselnya untuk memesan
Temaram lampu malam yang sedang menyinari ruangan berukuran 3x3 itu tak membantu penglihatan Hasan, ia habis mendapat bogem mentah yang bersarang di pelupuk matanya. Samar-samar ia memandang langit kamar, beberapa kali menekan sekitar pelipisnya untuk mengurangi rasa sakit, memijitnya. Ia menoleh ke arah lelaki yang bertubuh kekar yang sedang memandang dirinya dengan matanya menyipit dan kedua tangannya bersedekap. Ia lah yang meninju muka Hasan.Berulangkali ia memukul dan menendang perut Hasan. Namun ia belum mencapai rasa puas. Apalagi saat mendengar Hasan meracau menyebut dirinya sendiri telah membunuh anak sendiri.Ia begitu membenci teman narapidana yang kasusnya membunuh anak sendiri. Itu merupakan sebuah penghinaan atas dasar lelaki. Tubuhnya yang lebih tinggi dan tegap membuat ia bisa mengalahkan Hasan dengan mudahnya.Hasan pun begitu, ia merasa disinilah ia menebus dosa yang pernah ia lakukan. Ia hanya berpasrah diri saat dirinya disiksa, baginya rasa sakit badannya tak me
"Dek, aku mau berangkat kerja kok sepatunya belum dicuciin sih!" gerutu Hasan."Ya, pake yang lainnya dululah, Mas!" teriak Devi, Istrinya dari dalam."Mana bisa! Ini sesuai sama warna bajuku. Jadi istri kok tidak becus!" teriak suaminya yang bernama lengkap Zack Hasan, sambil membanting sepatu itu keluar.Hasan berfikir, sebentar lagi sang istri akan lari tergopoh-gopoh mengambil sepatunya dan meminta maaf. Benar saja, wanita yang telah dinikahinya selama dua tahun itu langsung keluar memungut sepatu.Hasan terkikik, "Eh, tunggu dulu, kok sepatunya di bawa keluar? Eh, kok, dimasukin tong pembakaran sampah? Padahal apinya kan belum padam?" batin Hasan.Hasan lalu terbirit-birit mengejar, dan berharap sepatunya masih bisa diselamatkan. Malang sekali, sepatu kesayangannya pun sudah terbakar sebagian.Seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Lelaki berpostur gagah itu meraung sambil memegangi sepatu gosongnya. Wibawanya langsung hilang begitu saja. Baju yang sudah rapi pun jadi ikut
Betapa terkejutnya Devi melihat pemandangan yang membuat emosinya langsung terpancing, kulkas yang sebelumnya terisi penuh, kini kosong melompong.Giginya bergemeletuk, tangannya mengepal. Dia langsung membanting pintu kulkasnya dengan keras sehingga menimbulkan suara kaca berdentingan. Botol-botol di dalam saling bertabrakan. Dan masih belum puas juga, Devi menendang kulkasnya hingga mundur beberapa centi.Hasan hanya melihat pasrah amukan istrinya, dan dia sudah menyiapkan mental untuk menahan cacian yang akan menghujaminya.Devi langsung berjalan ke arah dapur. Melihat stok perbawangannya juga ludes. Dia tak segan mengambil tempat bawangnya dan melemparkan ke arah Hasan. Emosinya masih belum mereda, dia mengambilnya alat-alat masak dan langsung melemparnya.Dengan sigap Hasan mencoba menghindari namun lemparan yang tak ada hentinya membuat dia kewalahan dan nahas, pelipisnya terkena gagang spatula dan menimbulkan sakit yang berbekas."Mas! Aku capek kalo begini terus! Aku beli bah
Ibu Endang yang mendengar itupun emosinya memuncak. Ingin sekali menjambak rambut mantunya yang tergerai lurus biar lebih berantakan. Percuma cantik bila tak ada rasa hormat.Dengan gerakan cepat Ibu Endang berhasil menarik rambut Devi. Menjambaknya begitu kuat, hingga tubuh Devi terpaksa mengikuti tarikannya agar meminimalisir rasa sakit.Devi menahan tangan Ibu Endang dengan tangan kirinya. Kakinya ikut mangkrak menendang pahanya Bu Endang hingga membuat sedikit tersungkur ke belakang.Masih tak terima, ibu Endang maju hendak mencakar tapi langsung ditepis kasar oleh Devi. Dia berhenti melawan dan hendak menyudahi perkelahian itu. Karena ia sadar dia bisa saja mengalahkan Ibu Endang karena masa sekolah dia sudah mahir di dunia persilatan.Masih saja Bu Endang ingin melawan dengan mendorong-dorong tubuhnya Devi. Tubuhnya yang berlemak membuat dia cepat ngos-ngosan. Cukup dengan hentakan, Ibu Endang tersungkur.Devi langsung berlalu meninggalkan Bu Endang yang masih memperbaiki nafasn
# Dikerjai Ibu mertuaSetelah sampai tujuan, Devi melihat layar ponselnya, dan membayar sejumlah tarif yang tertera di layar.Devi masuk ke ruangan salon dan merasa beruntung Karena kondisi sedang sepi, jadi tak perlu untuk mengantrinya.Devi pun mengatakan sama tukang salon keinginannya untuk Spa full body, facial wajah dan creambath rambut.Setelahnya dia diarahkan oleh pegawainya ke ruangan khusus untuk spa, dan membaringkan badannya di atas kasur empuk tapi tipis yang berukuran sesuai dengan badannya. Ia pun dengan pasrah sambil memejamkan kelopak matanya. Tidak menunggu lama ia sudah merasakan pijitan dan beberapa gerakan Perawatan yang lihai dari mbak salon membuatnya menguap berkali-kali.Setelah selesai Spa lanjut untuk facial, wajahnya yang mulus tanpa jerawat memudahkan mbaknya mengolesi krim racikan andalan dari salonnya, tanpa harus memencet jerawat seperti beberapa pelanggan sebelumnya.Devi tampak menikmati pelayanannya, dan saat ingin beranjak ke tahap selanjutnya dia
Jam kerja telah berakhir, dengan perasaan semangat yang menggebu , Hasan melangkah keluar meninggalkan gedung menuju parkiran, lalu ia mengemudikan mobilnya dengan membawa perasaan bahagia, ya, sebentar lagi ia menjemput sang istri untuk ke tempat di mana Rendi ulang tahun. Sesekali ia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Lantas ia menambah laju mobilnya agar segera sampai rumah. Yang ia tahu ia akan pulang ke rumah yang langsung disambut istrinya dengan penampilan yang sudah dandan cantik, dan ia pun akan langsung mandi dan makan setelah itu berangkat. Apalagi hari ini Devi libur kerja. Pastinya semua sudah beres rapi. Ia tahu karena tadi Ibunya mengirimi pesan kalau Devi sedang di rumah. Dia lupa pertengkaran kemarin ia menyetir mobil sambil bernyanyi, bersiul. Rasa laparnya pun terkalahkan dengan perasaan bahagianya. Sengaja istirahat siang dia tidak makan siang karena untuk menghemat pengeluaran, uang satu juta yang dipinjam dari teman kerjanya pun sudah