Sebastian melangkah kembali ke mobil dinasnya. Lantas Jenny langsung mengejarnya. Namun para pengawal Irjen Sebastian seketika menghadangnya.
"Jangan mendekat! Anda sudah membuang-buang waktu Irjen Sebastian. Dia harus menemui Menteri Pertahanan Sore ini!" seru seorang pengawalnya."Ta-tapi. Saya benar-benar meminta untuk menangkap mereka. Kenapa kalian tidak bergerak?" tanya Jenny.Sebastian mendengar percakapan itu, ia seketika mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil lalu berteriak."Apa otakmu sudah gila?! Menangkapnya sama saja saya melepaskan jabatan! Kau harus meminta maaf kepada mereka. Terutama kepada Bapak George!"Jenny terdiam membatu mendengar ucapan Sebastian hingga tak dapat berkata-kata. Dan mobil dinas yang dikawal oleh para polisi bersenjata lengkap itu pun pergi begitu saja.Di saat ia tengah terdiam. Jhony datang membisikinya."Ma, bagaimana proses pengenalan keluarga ini? mari kita lanjutkan."Nyonya Jenny langsung memandang Jhony dengan wajah memerah."Kamu sudah berbohong kepada saya! Acara ini saya batalkan!" seru Jenny, murka."Ta-tapi Ma, acara ini sudah terlanjur berjalan," ucap Jhony."Dari pada melanjutkan dan menjadi bumerang bagi saya dan keluarga. Lebih baik saya batalkan!""Kamu sudah mengaku-ngaku bahwa mereka tamu undangan. Ternyata kamu membohongi saya!""Sekarang pergi kamu!" seru Jenny, murka.Akhirnya pengakuan Jhony demi gengsinya berbuah menjadi bumerang.Jhony mendapat cacian dari seluruh keluarga Jenny."Anak konglomerat tapi seorang penipu. memalukan!""Saya kira memang benar para pejabat militer itu tamunya. Ternyata Nyonya Jenny telah salah memilih orang!"Jhony mengangkat tangannya ke arah keluarga Jenny untuk mencoba menenangkan."Sabar. Saya tidak mencoba membohongi kalian. Saya akan jelaskan..."Brakk!Tiba-tiba kursi lipat melayang dan menghantam wajahnya."Cukup! tak perlu kau jelaskan. Pergi dan jangan kembali lagi!" seru salah satu keluarga Jenny.Dua pengawal Jhony mencoba menghalau massa yang mengamuk. Namun terlalu banyak massa hingga ia tak kuasa menahannya.Akhirnya Jhony bersama rombongan keluarganya memasuki mobil dan pergi meninggalkan rumah Tuan William.Selepas kepergian mereka. George menghampiri Jenny lalu berkata. "Tolong panggilkan Veronica. Aku ingin bertemu dengannya."Jenny memandang sinis ke arah George. Dan berkata, "Saya tidak akan sudi anak saya bertemu lagi dengan gelandangan seperti kamu!"George menatap tajam mata Jenny. Lalu berkata. "Kamu tidak ada hak untuk melarang ku bertemu dengan istriku!"George seketika melangkah untuk memasuki rumah mewah itu. Namun ada dua pengawal Nyonya Jenny yang langsung menghadangnya."Pengawal, jangan sampai kita kecolongan sampah di rumah ini!" seru Jenny.Dua pengawal itu menahan bahu George. Namun tubuhnya yang besar dengan tinggi 188 cm itu membuat mereka kewalahan."Baik Nyonya," jawab Para pengawal seraya menahan langkah George.George menghempaskan tangan dua pengawal itu dan sebuah kejadian yang memalukan pun terjadi.Dua pengawal itu terlempar, terguling-guling dan mengenai kaki Jenny hingga terselengkat.Brakk!Jenny terjungkal dan bokongnya masuk ke dalam selokan rumah.Kejadian itu membuat Jenny berlumuran lumpur di sekujur tubuh. Para keluarga menahan tawa atas kejadian itu."Haha... Nyonya Jenny.""Bodoh Kalian. Melawan dia saja tak becus! Angkat saya sekarang!" Jenny murka dengan kedua pengawalnya.Dua pengawal itu langsung membantu Jenny untuk bangun.Dalam waktu cepat George dapat mengatasi dua pengawal bertubuh tegap itu.Lantas ia melangkah ke pekarangan rumah.Ternyata Veronica telah berada di sana. Ia telah memperhatikan George dari kejauhan.Wanita itu berdiri tepat di hadapan George lalu berkata. "Untuk apa kamu datang lagi?"George tak menyangka istrinya hingga setega itu terhadapnya."Veronica, aku akan jelaskan semuanya. Kejadian kemarin tidaklah benar. Semua adalah fitnah," ucap George."Banyak saksi mata yang melihatmu. Aku sudah tak percaya denganmu. Aku akan segera siapkan surat cerai kita!" seru Veronica.Sontak George terkejut mendengar perkataan istrinya."Cerai?""Tidak, tidak mungkin Veronica. Kamu adalah satu-satunya yang aku miliki saat ini," ucap George."Sudahlah, aku lelah denganmu. Kamu terlalu miskin. Sudah berapa lama aku tinggal dalam kemiskinan denganmu," ucap Veronica.George pun terdiam seketika mendengar ucapan Veronica. Ia menundukkan kepala tak bisa berkata-kata.Lantas dua pengawal bertubuh tegap menghampirinya. Dan melakukan penghormatan militer."Selamat sore Jenderal. Sudah waktunya anda kembali ke satuan. Mari ikut dengan kami ke gedung pribadi Bapak," ucap salah satu ajudan yang telah disiapkan untuk George."Gedung pribadi?" tanya George."Benar Jenderal. Kami sudah menyiapkan tempat yang nyaman untuk anda tinggal, " ucap Sang Ajudan.Tak ada pilihan lain, George pun menyanggupinya. Ia menerima ajakan Sang Ajudan mengingat ia tak lagi diterima oleh istrinya.Namun Veronica dibuat tercengang oleh kejadian itu, dua ajudan itu mengawal George hingga menuju ke mobil anti peluru yang disiapkan khusus untuk Sang Jenderal.Saat George memasuki mobil antipeluru itu, semua mata memandang seakan tak percaya.Veronica sampai terheran-heran melihat suami yang telah ditolaknya diperlakukan layaknya seorang pejabat.Ia terus memandangi iringan mobil antipeluru itu hingga mereka pun pergi."Seumur pernikahanku dengan George. Tidak pernah aku melihat George seperti itu. Ada apa dengan semua ini?" Veronica bertanya-tanya dalam benaknya.Ia tampak terus memegangi kepalanya karena keheranan.Begitu juga jenny hingga tak bisa berkata-kata dengan pemandangan itu.Di dalam mobil antipeluru. George diperlakukan layaknya seorang Jenderal yang melegenda.Bagaimana tidak, selama kepemimpinan George. Kesatuan Angkatan Bersenjata Negeri Rein telah mengalami kejayaan dan tersohor hingga seantero dunia."Mohon izin Jenderal George. Mau makanan apa yang akan kami siapkan di gedung pribadi bapak nanti?" tanya seorang Ajudannya.George masih diliputi rasa kebingungan. Ia tak bisa menjawab pertanyaan itu. Karena ia justru merasa paling rendah di antara mereka di dalam mobil itu."Ma-makanan?""Kebetulan saya belum makan dari kemarin malam. Mm... bi-bisakah aku meminta ubi bakar?" tanya George, sedikit tegang."Hanya itu saja Pak? Biasanya dahulu anda selalu meminta Steak Rusa?" tanya Sang Ajudan."Steak Rusa? itu kan makanan untuk kalangan atas. Selama ini aku hanya memakan ubi, singkong dan yang paling mewah adalah Ikan goreng. Tidak pernah aku disediakan makanan semewah itu," ucap George.Sang Ajudan pun merasa terenyuh dengan perubahan sang Jenderal. Ia membayangkan betapa diperlakukan tidak baiknya Sang Jenderal di rumah itu.Sesampainya di gedung pribadi Jenderal George. Tampak sambutan meriah dari para anggota dan petinggi militer.George keluar dari mobil dengan kawalan ketat anggota bersenjata lengkap.Lalu satu persatu petinggi militer menghampiri dan melakukan hormat militer lalu menyodorkan tangan untuk berjabat tangan."Selamat datang kembali Jenderal George. Akhirnya kami dapat melihat Bapak kembali memimpin kesatuan," ucap seorang Brigadir jendral Kepada George.George yang masih mengenakan baju kaos yang sobek di bahunya itu merasa malu di hadapan para petinggi militer.Namun mereka mengerti dengan keadaan George yang baru ditemukan.Setelah satu persatu sambutan telah ia terima. Di depan sana. Tepat di ruang pertemuan, telah menunggu seseorang dengan berpakaian jas hitam dan sepatu yang mengkilap. Ia tersenyum memandang George dari kejauhan.George berjalan keluar dari rumah, setiap langkah terasa semakin berat seiring dengan rasa cemas yang menghimpit di dadanya. Ketegangan terasa mencekam, dan fikiran tentang Hana yang tertinggal di rumah membuatnya semakin sulit untuk berkonsentrasi. Ia tahu bahwa setiap detik berharga dalam situasi yang semakin memburuk. Di markas besar, suasana tampak mencekam. Para tentara berlari ke sana-sini, berusaha mengendalikan kekacauan setelah serangan mendadak terhadap Menteri Pertahanan. George segera mendekati ruang operasi, tempat di mana Menteri sedang berkumpul dengan staf dan analis. “George! Terima kasih kau datang,” Menteri Hendrik menyambutnya dengan lega, namun wajahnya tetap menunjukkan tekanan yang menggelayuti. “Kami baru menerima informasi bahwa serangan ini mungkin hanya bagian dari rencana yang lebih besar. Marco mungkin sudah memiliki jalur untuk menginternalisasi kekuatannya kembali.” “Menteri, siapa yang menyerang? Dan apakah kita sudah menemukan dalang di balik in
George dan timnya kembali ke markas besar dengan langkah yang berat. Mereka baru saja melalui pertempuran yang sengit dengan Marco dan pasukan mafia yang terampil, meskipun berhasil mengusir mereka, perasaan kekalahan tetap menggelayut di benaknya. Banyak yang hilang dalam pertarungan itu—kehidupan, kepercayaan, dan mungkin sedikit rasa aman. Setiba di markas besar, suasana terasa hampa. Lampu-lampu menyala terang, menyinari ruangan yang seharusnya menjadi pusat komando bagi mereka. George disambut oleh Menteri Pertahanan, Bapak Hendrik, yang menunggu di ruang tunggu. “George! Kabar yang mengejutkan tentang pertempuran baru-baru ini. Silakan duduk,” kata Menteri sambil gestur untuk mempersilakan George duduk. Wajahnya penuh kekhawatiran namun tampak berusaha tenang. "Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Bagaimana keadaanmu dan tim?" George menarik napas dalam-dalam, mengingat kembali semua yang terlibat. “Kami terlibat dalam pertempuran yang lebih besar dari yang kami perkiraka
Malam itu, setelah pertempuran yang sangat brutal, George berdiri berjaga di tengah reruntuhan medan perang. Dia bisa merasakan napasnya yang berat dan jantungnya yang berdegup kencang. Pertarungan itu sangat sengit, dan walaupun dia telah berhasil melumpuhkan Marco, dia tahu bahwa ancaman tidak sepenuhnya sirna. Dengan peluru berserakan dan api yang menerangi seluruh medan, suasana terasa lebih menegangkan daripada sebelumnya. Marco, masih terjatuh di tanah, memegang lengan yang terkena tembakan. Nyeri yang luar biasa menghantuinya, tetapi bukan hanya rasa sakit fisik yang menyiksa—itu adalah rasa kehampaan karena menghadapi kekalahan ini. Sadisnya, kekalahan ini juga mengingatkannya pada semua yang telah hilang; kehormatan, rasa percaya diri, dan kini bahkan pasukannya. Dengan sisa kekuatan yang ada, Marco menggerakkan tubuhnya, berusaha bangkit dan melarikan diri dari tempat itu. Di balik bayang-bayang, beberapa anggota sisa mafia Marco dengan cepat menyadari situasi kritis yan
George mengedarkan pesan mendesak pasukannya. Dia mengorganisir pertemuan di basis militernya. Hari itu, George berdiri di pangkalan militer. Jamie, komandan dengan sikap tegas, melangkah maju dengan wajah serius. "Jendral George, kami semua terkejut mendengar kabar ini. Tak seharusnya anda berhadapan dengan Marco yang berbahaya itu sendirian. Dan dapatkah anda benar-benar menjamin keberhasilan operasi ini?" Tanya Jamie, mengawasi reaksi George. "Saya tidak punya pilihan lain. Marco telah mendapatkan kekuatan dan ia kini bergabung dengan organisasi mafia lainnya. Mereka tidak hanya mengincar saya, tetapi juga siap menyerang siapa pun yang berdiri di jalur mereka. Ini bukan hanya tentang saya. Ini tentang melindungi keamanan negeri ini,” jawab George, suaranya tegas namun tegang. Jamie mengangguk. "Kami semua siap mendukungmu, George. Tapi kita harus berhati-hati. Jika Marco membentuk aliansi dengan mafia lain, ini bisa menjadi peperangan yang lebih besar." Perencanaan dan pelatih
Keheningan dalam kompleks industri yang terabaikan terasa semakin mencekam. George dan Hana berpegang erat, perasaan takut dan ketidakpastian menyelimuti Hana saat suara langkah kaki yang semakin mendekat, menandakan Marco dan anak buahnya sudah mulai mendekati mereka. George berbisik, “Hana, kita harus bersiap. Kalau mereka menemukan kita, kita tidak akan punya pilihan selain melawan.” Hana menatapnya dengan mata penuh ketakutan namun seberkas keberanian melintas di wajahnya. “Apa yang harus kita lakukan, George?” George mengambil napas dalam-dalam, merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Dia mengeluarkan pistol kecil yang selalu disimpannya untuk situasi darurat. “Saya akan mengalihkan perhatian mereka. Kamu tetap di sini dan cari tempat yang aman untuk berlindung. Jika ada kesempatan, keluar sejauh mungkin.” Tanpa menjawab, Hana hanya mengangguk, hatinya berusaha menguatkan diri. George memeriksa peluru dalam pistolnya, lalu mengintip melalui celah jendela truk, melihat
Malam semakin larut ketika George dan Hana keluar dari restoran, bersiap untuk pulang. Suara mesin mobil meraung di tengah hiruk pikuk jalanan malam. George memasuki mobil, dan Hana duduk di sampingnya, merasakan ketegangan yang tak terucapkan. Dia berpaling menatap langit malam yang berbintang, namun George merasakan sesuatu yang lain: sebuah bahaya yang kian mendekat.Di saat George mulai mengendarai mobilnya. Sebuah mobil hitam terlihat membuntuti."Saya rasa kita seharusnya mengambil rute yang lain, Hana," ucap George dengan nada serius, sementara dia memutar kemudi untuk menghindari jalan yang sepi.Hana, yang tidak merasakan ancaman apa pun, mengerutkan dahi. "Tapi jalan ini lebih cepat, kan? Kita hanya ingin pulang," ujarnya dengan suara lembut.George mengalihkan pandangannya ke arah samping, matanya menyapu sekitar. Dalam sekejap, dia melihat sesosok pria bertato dengan tampang garang tengah duduk memperhatikannya dari dalam mobil hitam itu. Hati George semakin berdegup kenc
Benny tampak terkejut, namun semangat ejekannya tak surut. Ia berdiri dan memandang Hana dengan senyum sinis, seolah ingin menunjukkan bahwa ia tidak gentar. "Oh, jadi sekarang kau ikut-ikutan membela gembel ini? Apakah sudah ada unsur cinta di antara kalian berdua? Hahaha!" teriak Benny, dengan suara lantang penuh penghiburan bagi mereka yang duduk di meja sekitarnya. George, meski hatinya dipenuhi syak wasangka dan kemarahan yang berkecamuk, tetap berusaha menjaga ketenangan. Ia tahu bahwa membalas cemoohan Benny hanya akan memperkeruh suasana. "Hana, duduklah. Jangan buang waktu untuk mengurusi orang-orang seperti dia," ujarnya, mencoba meredam ketegangan yang ada. Namun Hana, dengan semangat yang berkobar, terus berdiri dan mengabaikan peringatan George. "Benny! Apa kau tidak mengerti betapa rendahnya kamu yang mengolok-olok seseorang yang tidak benar-benar kamu kenal? Orang yang kau sebut gembel justru lebih berharga daripada dirimu!" teriaknya, suaranya bergetar dengan kemara
Semua mata tertuju pada selembar surat yang dibawa oleh sang Menteri.Lalu Menteri pertahanan berkata, "Jendral George. Ini adalah surat penyerahan kekuasaan atas semua perusahaan milik anda. silahkan ditandatangani,"Sang Menteri menyodorkan surat itu ke hadapan George.Lantas ia menerima surat tersebut dan membacanya secara seksama.Mata George pun berbinar. Merasa tak percaya. Seakan semua adalah mimpi yang terwujud jadi nyata dalam sekejap mata.Setelah penandatangan selesai, seluruh pejabat di ruangan itu bertepuk tangan. Menandakan kini George telah kembali menjadi pemilik perusahaan yang sah."Selamat Jenderal, kini kepemilikan Harvest Group telah kembali ke tangan anda. Semoga kejayaan perusahaan anda senantiasa bersinar kembali," ucap Menteri pertahanan, seraya berjabat tangan dengan George.George tampak tersenyum sumringah menerima jabat tangan dari sang Menteri seraya berkata, "Terima kasih banyak sudah memberitahukan saya. Saya sangat mengapresiasi atas kejujuran Bapak da
Sementara itu di saat George baru sampai di Markas besarnya. Seorang Pengawal seketika membukakan pintu mobil dan menyambut kedatangan Sang Jenderal. Di depan kantor, telah berjejer rapih para prajurit penjaga. "Kepada Panglima besar, hormat gerak!" seru seorang prajurit di ujung barisan. Mereka serentak melakukan penghormatan militer. George membalas memberikan penghormatan. Lalu melangkahkan kaki menuju ke pusat halaman markas. Secara tak sengaja, Veronica mengendarai mobil di depan markas. Ia tak sengaja melihat suaminya yang tengah disambut oleh puluhan prajurit. "Loh, itu kan George? benarkah dia?!"Lalu Ia mengucek matanya untuk memastikan. "Tidak mungkin. Dia tidak mungkin memiliki pangkat setinggi itu! dia kan cuma pengangguran ..." Ucap Veronica dengan memandang penuh keheranan.Di halaman kantor, Seorang Letnan Kolonel menyodorkan tangan kepada George. "Selamat Siang Jendral, kami sangat senang anda telah kembali lagi ke dalam kesatuan," ucap Letkol Herry. "Terima k