Home / Romansa / PEMBANTU NAIK KELAS / Bab 1. Cincin Berlian

Share

PEMBANTU NAIK KELAS
PEMBANTU NAIK KELAS
Author: artfinger

Bab 1. Cincin Berlian

Author: artfinger
last update Last Updated: 2022-05-23 08:26:24

TIIN. TIIN.

Sebuah klakson mobil terdengar begitu nyaring, yang membuat kesal beberapa anak kos di bangunan tempat mobil itu menghentikan lajunya.

Mobil sport dua pintu berwarna putih, dilengkapi suara knalpot Akrapovic itu menanti seseorang.

Rere berlari tunggang langgang dari kamarnya menuju sumber suara yang membuat kegaduhan barusan.

Ternyata benar, suara klakson tadi berasal dari mobil seseorang yang sudah dia nanti sejak setengah jam yang lalu.

Bahkan, dia sudah begitu sulit memilah dan memilih baju untuk hari ini sejak dua jam yang lalu. Akhirnya, sebuah dress merah selutut yang warnanya agak pudar, dilengkapi lengan tiga per empat, serta dandanan ala kadarnya pun membuatnya begitu percaya diri untuk mendekati mobil tersebut.

Saat tiba di pintu gerbang, salah satu anak kos laki-laki di rumahnya sedang berdiri memegang pagar, dan berbicara dengan tamunya.

“Wih, mobil baru lagi, bree?” tanya anak kos itu, “Mau jemput siapa? Turunlah! Nggak sopan, dong, cuma ngebunyiin klakson doang.”

“Freza, nggak usah ikut campur deh. Aku yang punya rumah ngerasa biasa saja. Zeega sopan, kok.” Segera saja Rere menjawab kalimat Freza, lelaki yang menyewa salah satu kamar kos di rumahnya.

Rere segera meminta maaf kepada Zeega atas kelakuan Freza, yang dibalas segera oleh Zeega, “Nggak pa-pa Re, dia bener.”

Zeega melenggang turun dari mobil sport-nya, dan segera membukakan pintu bagi Rere. Yang dibukakan pintu langsung senyum-senyum sendiri kegirangan, tetapi hanya sebuah senyum simpul yang berani dia tunjukkan.

“Terima kasih ya.”

“Dengan senang hati, tuan putri.” Zeega menjawab dengan sedikit membungkuk dan satu tangannya dilambaikan, serta tangan lainnya di depan dada. Adegan yang sudah pasti membuat para kaum hawa seperti diterbangkan ke awan, merasa sangat dihargai dan dihormati.

“Lebay,” ledek Freza dengan senyum sinisnya. Mata Rere langsung saja melotot ke arah Freza dan memonyongkan bibirnya.

Tidak perlu waktu lama, Zeega sudah melangkah memasuki mobil, sambil melambaikan tangan ke arah Freza dengan tatapan hormat dan sedikit membungkuk.

Maklum, meskipun Freza seakan akrab dengan mereka, sebenarnya dia satu tingkat di atas mereka berdua. Namun, karena beberapa masalah yang terjadi pada Freza, dia telat satu tahun sehingga saat ini berada di semester terakhir bersama Rere dan Zeega.

Dengan tak acuh, tubuh Freza berbalik untuk memasuki area bangunan kos dan tidak menyambut salam dari Zeega.

Seakan, dia merasa tidak menyukai Zeega. Padahal, Zeega terkenal selalu berperilaku baik di kampus.

***

Hanya perlu 20 menit bagi Zeega untuk melajukan mobil, hingga tiba di sebuah pusat perbelanjaan di tengah kota. Waktu yang cukup singkat bagi seorang lelaki yang begitu pandai mengemudi, didukung dengan lalu lintas yang belum begitu ramai saat siang hari.

Berbeda dengan Rere yang merasa waktu 20 menit itu begitu lama. Selama perjalanan, mulut Rere seakan kelu, tak mampu berucap sepatah kata pun. Kedua tangannya saling ditelungkupkan, sembari punggungnya bersandar ke kursi.

Sesekali dia mencuri pandang ke pria di sebelahnya, yang terlihat begitu anggun mengemudi. Dan segera mengalihkan lirikan mata saat wajah Zeega seakan tertuju padanya.

Zeega tidak memasuki gedung parkiran, melainkan berhenti di depan lobby dan menyerahkan kunci pada petugas valet parking.

Tak lupa, lagi-lagi tindakan Zeega membukakan pintu bagi Rere, mampu melelehkan diri wanita itu hingga rasanya lutunya lunglai. Namun, dia tidak boleh sampai jatuh.

Beberapa orang melirik ke arah pasangan yang baru turun dari mobil itu.

Dengan tak acuh, mereka terus melenggang melewati beberapa pasang mata yang mengawasi. Bagi Rere, pandangan itu membuatnya sedikit sombong.

Dia merasa bahwa orang-orang itu iri dan tidak habis pikir bagaimana bisa seorang lelaki tinggi, tampan, dengan kulit yang begitu putih bak pualam bisa berjalan bersama seorang wanita berkulit kuning langsat, disertai dandanan yang sangat minimalis.

Apalagi mereka turun dari mobil yang tidak biasa.

Zeega menuntun untuk memasuki pintu masuk gedung perbelanjaan, dan mereka menuju ke area yang lebih sepi.

Di area ini banyak diperjual-belikan barang-barang dari brand ternama, sehingga pantas jika memang tidak banyak pengunjung.

Langkah kaki pria berambut hitam dengan gaya french-crop itu menuju sebuah toko perhiasan. Rere bingung.

Belum sempat dia bertanya, suara ponsel Zeega berbunyi dan langsung diangkat oleh pemiliknya.

“Re, kamu pilih-pilih dulu cincin yang menurut kamu bagus ya. Aku angkat telepon dulu sebentar.” Kaki pria itu melangkah keluar toko untuk menjawab telepon.

Kalimat terakhir tadi membuat tubuh Rere kaku. Dia berusaha mencerna kalimat Zeega, tetapi tetap saja bingung dan tidak menemukan jawaban dari kebingungannya.

Jantungnya yang dari tadi sudah berdetak kencang, kini terpacu menjadi semakin kencang. Bagaimana bisa aku milih cincin? Cincin untuk apa? tanyanya dalam hati.

Rere berusaha mengingat kejadian beberapa hari terakhir. Memang mereka berdua sering bersama di kampus, untuk mengerjakan tugas, makan siang, bahkan sesekali Zeega mengantar-jemputnya.

Beberapa kali pria itu memang meminta tolong untuk dibantu belajar dan mengerjakan tugas. Selain itu, kelakuan Zeega terasa begitu baik terhadap Rere.

Namun, dia selalu membuang jauh-jauh pikiran bahwa Zeega memang menyukainya. Selain karena status sosial mereka berbeda, dia pun bukan wanita populer dan cantik di kampus, meskipun juga tidak termasuk cewek jelek.

Contohnya hari ini, laki-laki itu memperlakukan Rere layaknya sang putri. Tangannya memegang dadanya, menahan detakan jantungnya yang semakin cepat.

Apa maksud semua ini, pikirnya.

“Nona, maaf. Ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang wanita penjaga toko.

Sontak saja Rere kembali tersadar dan memandang ke sumber suara.

Saat tubuhnya mendekat ke meja kaca transparan yang memamerkan beberapa perhiasan, wanita tadi seakan menahan tawanya. Sesekali dia berbalik muka ke belakang untuk mengatur napas.

Rere tidak peduli dengan tingkah pelayan toko di hadapannya.

“Mbak, coba lihat yang ini dan itu,” pinta Rere kepada sang pramuniaga.

Dua buah cincin kini diletakkan di atas meja untuk diteliti oleh Rere. Dia mengangkat salah satu cincin dan melihat dari berbagai sudut. Cicin itu bertatahkan emas puti dan batu-batu permata berukuran kecil.

Dia pun mencoba cincin yang satu lagi. Hanya ada satu batu permata berukuran cukup besar pada cincin kedua tersebut.

Dia memasukkan cincin itu di salah satu jarinya, dan menjulurkannya untuk melihat apakah terlihat indah. Saat dia mendekati sebuah cermin bundar di atas meja untuk melihat keserasian cincin dengan jarinya, dia mendapati ada yang aneh dengan wajahnya.

Hah! Bagaimana bisa? Berarti dari tadi pelayan toko ini ngetawain aku? gumamnya dalam hati. Dia segera berlari keluar toko tanpa melepaskan cincin tersebut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 82.

    - Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 81. Kita Bisa Jadi Saudara

    “Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 80. Konsekuensi

    Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 79. Pernikahan yang Terungkap

    Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 78. Tatapan Freza

    “Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 77. Masa Kecil Freza

    Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status