Share

Bab 2. Will You Marry Me?

Di toilet, Rere segera mencuci mukanya yang sudah tampak seperti adonan tepung yang di-templok-in sembarang ke wajahnya. Dalam sekejap, bedak bayi serta polesan lip-balm yang dia gunakan di wajah pun luntur, kemudian hanya menyisakan muka alaminya.

Pikirannya memutar ulang ingatan saat di dalam mobil Zeega, sewaktu berangkat tadi. Sempat lelaki itu terlihat menahan tawa, tetapi Rere tak acuh karena sedang grogi.

Namun, sekarang semuanya jelas. Wajahnya sudah berantakan sejak berangkat tadi. Dia merutuki diri sendiri, merasa begitu bodoh dan jelek. Hatinya sakit jika membayangkan perasaan malu yang sejak tadi dipendam oleh teman jalannya, Zeega.

Kedua tangannya masih memegangi wajahnya setelah dicuci. Saat itu pula, dia menyadari sebuah cincin masih tersemat di jemarinya.

Perasaan takut segera menyergap. Tanpa menunda, kakinya segera berlari keluar toilet menuju toko perhiasan. Di depan toko, sudah tidak terlihat Zeega.

Wajah Rere begitu tegang saat memasuki area dalam toko yang terlihat cukup ramai. Terlihat ada seorang satpam di sana, bersama beberapa pramuniaga toko. Zeega pun bergabung di kerumunan tersebut.

“Syukurlah kamu datang lagi, Re. Mereka pikir kamu mencuri cincin itu,” ujar Zeega yang tampak lega.

Rere meminta maaf berkali-kali sambil membungkuk. Dia mengatakan bahwa tadi sakit perut, sehingga kakinya refleks untuk segera berlari mencari toilet.

Untung saja pramuniaga toko belum bertindak, karena sempat dicegah oleh Zeega. Lelaki itu berani membayar cincin yang dibawa Rere, andai saja teman perempuannya itu tidak datang kembali ke toko. Namun, Zeega yakin bahwa, Rere adalah seorang teman yang baik dan berpendidikan, yang tidak mungkin mencuri.

Tampilan baru di wajah Rere mengundang pertanyaan dari Zeega, yang langsung dijawab lugas oleh Rere, “Nggak pa-pa. Kayaknya aku nggak cocok saja pakai bedak. Hehe. Sudah, yuk, kita milih cincin lagi.”

Mereka kembali fokus memilih cincin. Setelah memilih beberapa cincin yang ditawarkan pelayan toko perhiasan, mereka berdua sepakat memilih satu jenis cincin yang paling menarik perhatian. Cincin dengan batu berlian besar, dikelilingi oleh batu zamrud kecil.

“Will you marry me?” tanya Zeega spontan sambil memegang cincin pilihan tadi menghadap Rere.

Tidak diragukan, jantung Rere kembali berdegup sangat kencang untuk ke sekian kalinya.

Mungkin, jika mereka terus bersama hari ini, Rere bisa dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung bertubi-tubi. Mulutnya sedikit terbuka, tidak percaya dengan yang didengar.

Tawa Zeega mengacaukan lamunannya.

“Maaf, maaf, Re. Nggak usah mikirin jawabannya, karena aku tahu kamu pasti nolak. Itu tadi percobaan sebelum beneran ngelamar Falencia. Dia mau balik ke Indonesia bulan depan. Doain, ya?”

Sejenak tubuhnya tadi melayang di udara, begitu tinggi. Akan tetapi, hanya perlu satu kalimat untuk membantingnya kembali ke bumi dengan begitu kerasnya.

Dia mengerjapkan mata, lalu menjawab dengan terbata, “Oh, ng-nggak pa-pa, kok, Zee. A-aku tadi takut mau nolak. Untung kamu cepetan bilang kalau itu hanya latihan untuk Falencia.” Rere tertawa canggung.

***

“Woy! Ngelamun saja!” sergah suara dari belakang punggung Rere. Wanita itu sedikit melompat dari tempat duduk berbentuk buah melonnya yang sedang dia duduki.

“Apaan, sih! Ngagetin, tau?” cerocos Rere tampak kesal.

Tadi, Rere izin pulang lebih dahulu kepada Zeega. Dia tidak akan mampu untuk menghabiskan beberapa jam lagi bersama pria itu, karena hatinya begitu terpukul mendengar berita lamaran Zeega terhadap Falencia.

Salah satu tempat yang bisa dia gunakan untuk bersembunyi sementara waktu adalah area bermain di lantai 2 mall tersebut.

Di sana, Rere memang menunggu Freza yang langsung dia hubungi di saat-saat terburuk ini. Meskipun mereka berdua sering beradu argumen, tetapi keduanya sering membutuhkan satu sama lain dalam beberapa hal. Terutama kebutuhan akan teman bercerita.

“Pulang yuk!” Tanpa menunggu tanggapan Freza, Rere segera berjalan mendahului Freza yang baru datang.

“Motormu di mana?” tanya Rere lagi.

“Sini aku tunjukkin.” Tangan Freza dengan cepat menggenggam tangan wanita di depannya itu dan menuntunnya. Rere yang masih malas banyak berdebat, menurut saja dengan yang dilakukan Freza.

Genggaman tangan lelaki itu seakan memberi kehangatan, kekuatan baginya yang sedang rapuh. Lagi-lagi, lelaki menjengkelkan ini, yang selalu berdebat dengannya, selalu ada saat dia dalam kondisi terburuk.

Begitu juga dirinya, yang selalu ada saat Freza membutuhkan teman ngobrol dan bertukar pikiran.

***

Motor bebek matic Freza memasuki parkiran sebuah cafe. Rere sangat tahu, itu adalah tempat Freza bekerja part-time selama ini, untuk menghidupi keseharian serta biaya kuliahnya.

Di dalam lubuk hati Rere, dia begitu kagum dengan kepribadian Freza, meskipun kadang menjengkelkan.

Dia tidak tahu asal-usul lelaki itu, yang dia tahu Freza berasal dari luar Pulau Jawa dan tidak ada keluarga di Surabaya. Dia harus menjalankan pekerjaannya di cafe sambil kuliah.

Selain itu, Freza juga rajin berdagang. Tidak jarang, dia membawa barang-barang untuk diperjual-belikan kepada teman-teman kampus, atau teman-teman kosnya. Termasuk Rere yang selalu menjadi target jualannya.

Selain rajin beribadah, Freza juga tidak suka keluar-masuk club malam. Hanya saja, sifatnya yang mudah emosi, serta sangat blak-blakan jika ada hal yang menurutnya tidak benar, dia akan begitu mudah mengatakannya atau menegur.

Kadang caranya sedikit kurang sopan. Itulah yang membuatnya tidak memiliki banyak pemuja wanita, tidak seperti Zeega. Berdasarkan gosip yang beredar, karena sering beradu argumen dengan dosen pula akhirnya dia harus mengulang beberapa mata kuliah yang diberi nilai buruk oleh sang dosen. Oleh sebab itu, Freza harus telat satu tahun.

Rere menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran aneh-anehnya tentang kekagumannya terhadap sosok pria yang saat ini duduk di hadapannya.

Dia memalingkan wajah ke arah meja bartender, sebelum laki-laki itu tahu kalau sedang diamati.

Di saat Rere lengah, tangan Freza bergerak menyentuh tangannya yang menelangkup di atas meja. Karena begitu kaget, Rere berusaha menarik tangannya disertai wajah begitu kaget, sekaligus tidak suka.

Sayangnya, tangan Freza begitu kuat, hingga dia tak mampu melepaskan jemarinya dari genggaman lelaki itu.

"Will you marry me?” ucap Freza lugas.

Untuk kedua kalinya pada hari ini, telinga Rere harus mendengar kalimat yang sama, yang membuat tubuhnya langsung kaku.

Mulutnya terbuka sedikit. Ada sedikit air liur yang mengintip di ujung bibirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status