Home / Romansa / PEMBANTU NAIK KELAS / Bab 2. Will You Marry Me?

Share

Bab 2. Will You Marry Me?

Author: artfinger
last update Last Updated: 2022-05-23 08:27:43

Di toilet, Rere segera mencuci mukanya yang sudah tampak seperti adonan tepung yang di-templok-in sembarang ke wajahnya. Dalam sekejap, bedak bayi serta polesan lip-balm yang dia gunakan di wajah pun luntur, kemudian hanya menyisakan muka alaminya.

Pikirannya memutar ulang ingatan saat di dalam mobil Zeega, sewaktu berangkat tadi. Sempat lelaki itu terlihat menahan tawa, tetapi Rere tak acuh karena sedang grogi.

Namun, sekarang semuanya jelas. Wajahnya sudah berantakan sejak berangkat tadi. Dia merutuki diri sendiri, merasa begitu bodoh dan jelek. Hatinya sakit jika membayangkan perasaan malu yang sejak tadi dipendam oleh teman jalannya, Zeega.

Kedua tangannya masih memegangi wajahnya setelah dicuci. Saat itu pula, dia menyadari sebuah cincin masih tersemat di jemarinya.

Perasaan takut segera menyergap. Tanpa menunda, kakinya segera berlari keluar toilet menuju toko perhiasan. Di depan toko, sudah tidak terlihat Zeega.

Wajah Rere begitu tegang saat memasuki area dalam toko yang terlihat cukup ramai. Terlihat ada seorang satpam di sana, bersama beberapa pramuniaga toko. Zeega pun bergabung di kerumunan tersebut.

“Syukurlah kamu datang lagi, Re. Mereka pikir kamu mencuri cincin itu,” ujar Zeega yang tampak lega.

Rere meminta maaf berkali-kali sambil membungkuk. Dia mengatakan bahwa tadi sakit perut, sehingga kakinya refleks untuk segera berlari mencari toilet.

Untung saja pramuniaga toko belum bertindak, karena sempat dicegah oleh Zeega. Lelaki itu berani membayar cincin yang dibawa Rere, andai saja teman perempuannya itu tidak datang kembali ke toko. Namun, Zeega yakin bahwa, Rere adalah seorang teman yang baik dan berpendidikan, yang tidak mungkin mencuri.

Tampilan baru di wajah Rere mengundang pertanyaan dari Zeega, yang langsung dijawab lugas oleh Rere, “Nggak pa-pa. Kayaknya aku nggak cocok saja pakai bedak. Hehe. Sudah, yuk, kita milih cincin lagi.”

Mereka kembali fokus memilih cincin. Setelah memilih beberapa cincin yang ditawarkan pelayan toko perhiasan, mereka berdua sepakat memilih satu jenis cincin yang paling menarik perhatian. Cincin dengan batu berlian besar, dikelilingi oleh batu zamrud kecil.

“Will you marry me?” tanya Zeega spontan sambil memegang cincin pilihan tadi menghadap Rere.

Tidak diragukan, jantung Rere kembali berdegup sangat kencang untuk ke sekian kalinya.

Mungkin, jika mereka terus bersama hari ini, Rere bisa dilarikan ke rumah sakit karena serangan jantung bertubi-tubi. Mulutnya sedikit terbuka, tidak percaya dengan yang didengar.

Tawa Zeega mengacaukan lamunannya.

“Maaf, maaf, Re. Nggak usah mikirin jawabannya, karena aku tahu kamu pasti nolak. Itu tadi percobaan sebelum beneran ngelamar Falencia. Dia mau balik ke Indonesia bulan depan. Doain, ya?”

Sejenak tubuhnya tadi melayang di udara, begitu tinggi. Akan tetapi, hanya perlu satu kalimat untuk membantingnya kembali ke bumi dengan begitu kerasnya.

Dia mengerjapkan mata, lalu menjawab dengan terbata, “Oh, ng-nggak pa-pa, kok, Zee. A-aku tadi takut mau nolak. Untung kamu cepetan bilang kalau itu hanya latihan untuk Falencia.” Rere tertawa canggung.

***

“Woy! Ngelamun saja!” sergah suara dari belakang punggung Rere. Wanita itu sedikit melompat dari tempat duduk berbentuk buah melonnya yang sedang dia duduki.

“Apaan, sih! Ngagetin, tau?” cerocos Rere tampak kesal.

Tadi, Rere izin pulang lebih dahulu kepada Zeega. Dia tidak akan mampu untuk menghabiskan beberapa jam lagi bersama pria itu, karena hatinya begitu terpukul mendengar berita lamaran Zeega terhadap Falencia.

Salah satu tempat yang bisa dia gunakan untuk bersembunyi sementara waktu adalah area bermain di lantai 2 mall tersebut.

Di sana, Rere memang menunggu Freza yang langsung dia hubungi di saat-saat terburuk ini. Meskipun mereka berdua sering beradu argumen, tetapi keduanya sering membutuhkan satu sama lain dalam beberapa hal. Terutama kebutuhan akan teman bercerita.

“Pulang yuk!” Tanpa menunggu tanggapan Freza, Rere segera berjalan mendahului Freza yang baru datang.

“Motormu di mana?” tanya Rere lagi.

“Sini aku tunjukkin.” Tangan Freza dengan cepat menggenggam tangan wanita di depannya itu dan menuntunnya. Rere yang masih malas banyak berdebat, menurut saja dengan yang dilakukan Freza.

Genggaman tangan lelaki itu seakan memberi kehangatan, kekuatan baginya yang sedang rapuh. Lagi-lagi, lelaki menjengkelkan ini, yang selalu berdebat dengannya, selalu ada saat dia dalam kondisi terburuk.

Begitu juga dirinya, yang selalu ada saat Freza membutuhkan teman ngobrol dan bertukar pikiran.

***

Motor bebek matic Freza memasuki parkiran sebuah cafe. Rere sangat tahu, itu adalah tempat Freza bekerja part-time selama ini, untuk menghidupi keseharian serta biaya kuliahnya.

Di dalam lubuk hati Rere, dia begitu kagum dengan kepribadian Freza, meskipun kadang menjengkelkan.

Dia tidak tahu asal-usul lelaki itu, yang dia tahu Freza berasal dari luar Pulau Jawa dan tidak ada keluarga di Surabaya. Dia harus menjalankan pekerjaannya di cafe sambil kuliah.

Selain itu, Freza juga rajin berdagang. Tidak jarang, dia membawa barang-barang untuk diperjual-belikan kepada teman-teman kampus, atau teman-teman kosnya. Termasuk Rere yang selalu menjadi target jualannya.

Selain rajin beribadah, Freza juga tidak suka keluar-masuk club malam. Hanya saja, sifatnya yang mudah emosi, serta sangat blak-blakan jika ada hal yang menurutnya tidak benar, dia akan begitu mudah mengatakannya atau menegur.

Kadang caranya sedikit kurang sopan. Itulah yang membuatnya tidak memiliki banyak pemuja wanita, tidak seperti Zeega. Berdasarkan gosip yang beredar, karena sering beradu argumen dengan dosen pula akhirnya dia harus mengulang beberapa mata kuliah yang diberi nilai buruk oleh sang dosen. Oleh sebab itu, Freza harus telat satu tahun.

Rere menggelengkan kepalanya, menghilangkan pikiran aneh-anehnya tentang kekagumannya terhadap sosok pria yang saat ini duduk di hadapannya.

Dia memalingkan wajah ke arah meja bartender, sebelum laki-laki itu tahu kalau sedang diamati.

Di saat Rere lengah, tangan Freza bergerak menyentuh tangannya yang menelangkup di atas meja. Karena begitu kaget, Rere berusaha menarik tangannya disertai wajah begitu kaget, sekaligus tidak suka.

Sayangnya, tangan Freza begitu kuat, hingga dia tak mampu melepaskan jemarinya dari genggaman lelaki itu.

"Will you marry me?” ucap Freza lugas.

Untuk kedua kalinya pada hari ini, telinga Rere harus mendengar kalimat yang sama, yang membuat tubuhnya langsung kaku.

Mulutnya terbuka sedikit. Ada sedikit air liur yang mengintip di ujung bibirnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 82.

    - Beberapa bulan kemudian -Beberapa karyawan sedang sibuk di sebuah ruangan kamar hotel untuk menyiapkan materi. Di sisi dekat jendela, Freza mengecek beberapa hal di laptopnya, di atas meja kerja.“Pastikan semua data dan bahan-bahan materi itu tidak ada yang terlewat. Kita tidak boleh gagal.” Mata Freza mengintimidasi semua yang ada di ruangan, bukan hanya dengan kata-katanya.“Ini satu-satunya kesempatanku untuk bisa menyelamatkan perusahaan,” ucapnya lirih sambil menggenggam jemarinya di atas meja. Jika dia gagal, maka perusahaan mungkin sulit diselamatkan.Tidak terasa waktu sudah sangat larut, hingga akhirnya semua persiapan selesai. Seorang karyawan menyerahkan sebuah flashdisk kepada Freza untuk presentasi keesokan harinya.Sebelum menutup harinya, Freza mengirimkan file presentasi kepada pamannya serta Gina.Ini satu-satunya jalan baginya untuk mendapatkan proyek di pertemuan penting ini.***“Masih khawatir tentang besok?” Rere datang menghampiri Freza yang sedang termangu

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 81. Kita Bisa Jadi Saudara

    “Kenapa kamu menangis?” Freza berjongkok di depan Rere sambil menghapus air mata yang membuat pipinya basah.Rere tidak segera menjawab pertanyaan Freza. Dia bingung dengan jawaban yang harus dia utarakan. Jika dia mengatakan yang sebenanrnya, maka nenek Freza pasti akan semakin kesal dengannya. Apalagi, dia tidak ingin memulai pertengkaran juga antara Freza dan Rowena.“Istrimu ini tiba-tiba datang dan berlutut di depan Eyang sambil terus meminta maaf. Eyang sudah menyuruhnya bangun sejak tadi, tapi dia tidak mau.” Dengan gugup Rowena yang menjawab, karena melihat tidak ada tanggapan dari Rere.“Apa betul begitu, Re?” Freza kembali menghadap Rere yang sudah semakin tenang, dan tidak lagi menangis.“I-iya, Mas.” Rere mangangguk sambil sempat melirik ke arah Rowena. Pada saat itu, Rowena menjulurkan lidahnya ke arah Rere lalu membuang muka. Sayangnya Freza tidak tahu, karena Freza membelakangi neneknya.Kelakuan Rowena yang seperti anak kecil itu malah memancing senyum di wajah Rere. D

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 80. Konsekuensi

    Sebuah tangan menyentuh pundak Kevin dengan lembut, dari arah belakang punggungnya.“Kamu kelihatannya sedang sangat stress? Pagi-pagi begini sudah mabuk.” Mata wanita itu melirik ke arah botol minuman keras yang sudah setengah kosong di atas meja.“Aku rasanya inging membunuhnya!” Kevin mengepalkan tinjunya dan menghantamkannya ke atas meja. Wajahnya di angkat untuk melihat wanita yang kini duduk di sebelahnya.“Ssst! Jangan bilang seperti itu. Tidak pantas seseorang seperti kamu melakukan hal kotor seperti itu.” Dengan tenang, wanita itu menyibak rambut Kevin yang berantakan hingga wajah.“Kenapa? Kamu tidak ingin bosmu mati ditanganku? Iya?”“Aw!” Wanita itu merintih kesakitan saat pergelangan tangannya dicengkeram dengan sangat erat oleh pria di hadapannya itu.Akan tetapi, Merlyn tidak berusaha melepaskan diri. Dia tetap duduk di tempatnya sambil sesekali mengernyit kesakitan.“Aku rela mati di tanganmu. Hanya satu yang aku tidak inginkan, yaitu kepercayaanmu yang sepertinya goya

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 79. Pernikahan yang Terungkap

    Setelah solat subuh, Rere tidak lagi bisa tidur. Berbeda dengan suaminya yang langsung mendengkur saat menyentuh bantal.Di sudut ruangan, di atas sofa, wajahnya memandang keluar jendela. Memandangi langit yang semakin lama semakin cerah, dan rembulan pun kian menghilang.Satu jarinya memutar-mutar cincin berlian di jari manisnya. Sudah lama cincin itu hanya disimpan di dalam kotak perhiasan. Dan sekarang, dia akan terus memamerkannya ke seluruh dunia.Statusnya berubah. Lebih tepatnya statusnya kini bisa diungkapkan. Bagi orang lain mungkin statusnya baru saja berubah sejak semalam, walaupun dia sudah menikah sejak lama.Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan Freza semalam.Keduanya duduk di tepi tempat tidur, dengan lengan Freza masih memegangi pundak Rere. Memastikan sang istri menatapnya saat berbicara.“Mas, maaf ya sudah membuatmu marah dan kesal. Aku menyadari banyak hal dalam beberapa hari terakhir ini.” Rere menurunkan tangan Freza dari pundaknya dan meletakkanny

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 78. Tatapan Freza

    “Aku tahu, Yah. Tapi karena itulah aku tidak mau bilang dari awal. Aku takut, kalian akan tetap membuatku menikah dengan wanita dari latar belakang yang sama, sesuai dengan keinginan kalian. Mungkin bukan hanya Sesil, bisa calon lainnya juga. Tapi aku tidak mau, Yah. Aku tidak mau wanita yang terbiasa dengan hidup mewahnya, sehingga kurang peka dengan lingkungan atau perasaan orang di sekitarnya.”“Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu. Memangnya kamu sudah kenal Sesil luar dalam?” Rumma masih terus mendebat Freza.“Bukan begitu. Tetapi aku bisa tahu karakternya karena kami sudah berteman sejak kecil.”“Sudah-sudah. Kita tidak ingin semalaman berdebat bukan? Hari ini sudah cukup berat. Kita harus segera sudahi agar semuanya bisa istirahat.” Silvia segera memotong adu argumen ayah dan anak itu.“Fre, biarkan ibu dan ayah memikirkan kembali apa yang terjadi malam ini. Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu untuk kejadian hari ini. Kita akan bicarakan lagi besok, saat pikiran kita sudah leb

  • PEMBANTU NAIK KELAS   Bab 77. Masa Kecil Freza

    Ruangan kamar hotel terasa lebih panas dari biasanya. Beberapa orang memendam emosi dalam dirinya, hingga membuat dada sesak.Air mata Silvia tak tertahankan, terus saja menetes. Beberapa kali Rumma menenangkan, atau mengganti tissue yang istrinya pegang.Rumma sudah jauh berbeda sekarang. Ada rasa lembut dan kasih saat memperlakukan istrinya, tidak sekaku dulu saat masih muda. Waktu membutnya semakin bijaksana.“Apa kamu senang, Fre? Kalau saja tadi tidak ada acara sebesar itu, ibumu pasti sudah menangis sepanjang waktu. Bahkan dia harus membawa kipas untuk menutupi mukanya tadi, kalau-kalau air matanya tiba-tiba muncul tak tertahankan.”“Maafkan aku, Yah. Maafkan aku, Bu. Aku tidak pernah berniat membuat kalian menangis. Tidak pernah.” Terdengar suara Freza agak bergetar saat mengatakannya.Dia dan Rere langsung menuju kamar orang tuanya saat acara sudah selesai. Sudah setengah jam mereka di sana, dan sejak itu pula Silvia langsung terisak tak tertahankan.“Dan bagaimana bisa bahkan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status