Share

3. MENIKAHLAH DENGANKU

"Dengan Florist Edelweiss. Ada yang bisa dibantu?" Nina yang sedang bersiap-siap pulang mengangkat telepon yang kebetulan berasal dari Lian. 

"Bisa pesan rangkaian bunga, tolong dikirim ke Frederic Corp besok jam sepuluh ya. Sampaikan harus pemilik toko sendiri yang mengantar bunganya." Lian menyampaikan mandat utama Marvin. 

"Harus pemilik toko sendiri? Tetapi yang bertanggung jawab atas pengantaran adalah saya," tawar Nina. Ia tahu Rea jarang mau melakukan pengantaran bunga. 

"Kalau bukan pemilik toko yang mengantar akan saya batalkan." Nada bicara Lian terdengar sedikit mengancam.

Nina terdiam, serba salah harus bagaimana. Kalau sampai ada pembeli yang membatalkan pesanan ia takut dimarahi, tapi kalau ia menyetujui takut salah juga. Ingin bertanya kepada Rea langsung, tapi atasannya itu sedang pulang ke rumah. 

"Baiklah." Akhirnya Nina berinisiatif menyetujuinya. "Rangakaian bunganya mau apa saja?" 

Diseberang telepon Lian menggaruk rambutnya pelan, ia bingung harus memesan bunga apa. Marvin juga tidak akan peduli dengan itu. 

"Terserah, boleh bunga apa saja yang penting diantar jam sepuluh oleh pemilik toko." Akhirnya jawaban asal itu yang keluar dari mulutnya. Ia langsung menutup sambungan teleponnya setelah mengucapkan terima kasih secara singkat. 

Kening Nina mengernyit sambil menatap gagang telepon di tangannya. Baru kali ini ada pembeli yang bukannya request jenis rangkaian bunga malah request siapa yang harus mengantar. Apa-apaan ini. Menyesal ia menerima pesanan tersebut, sudah pasti Rea akan ngomel kalau tahu hal ini. 

"Kenapa, Na, kok bengong gitu?" Rea yang baru saja kembali dan masuk ke dalam toko bunga bingung mendapati Nina bengong sambil memegang gagang telepon. 

"Eh ini, Kak Rea. Anu… ." 

"Apa?" Rea mulai mencium ada yang tidak beres dari gelagat Nina. 

"Ituu…Ini … ." 

"Yang benar itu apa ini?" 

Nina meletakkan gagang telepon di tempatnya. Ia lalu mendekat ke Rea, mulai memasang wajah melas agar tidak dihadiahi omelan. 

"Tadi ada pesanan bunga dari Frederic Corp minta diantar besok pagi jam sepuluh." 

"Ya sudah besok dibikinin. Toh kita juga sudah beberapa kali kan bikinin rangkaian bunga buat perusahaan itu," sahut Rea santai. 

"Belum selesai aku ngomongnya, Kak. Mereka minta bunganya harus diantar langsung Kak Rea."

"Kenapa?" 

Nina mengangkat bahunya tanda tidak mengerti, "Mereka maunya gitu. Katanya kalau bukan Kak Ama yang nganter pesanannya dibatalkan. Jadi aku iyain aja."

Rea menarik nafas, ia ingin protes tetapi kasihan melihat Nina yang wajahnya sudah was-was. 

"Ya sudah nggak apa-apa sesekali aku yang mengantar," putusnya. 

"Beneran, Kak?" Nina bertanya setengah tidak percaya. 

"Iya. Pesen bunga apa mereka?" 

"Katanya terserah. Boleh bunga apa saja."

"Na, ini bukan telepon iseng ’kan? Jangan-jangan cuma orang iseng yang ngaku sebagai pegawai Frederic Corp." Rea mulai curiga. 

"Enggak kok, Kak. Tadi dia memberi alamat pengantaran dan benar Frederic Corp."

"Ya sudah. Kupikirin besok, kamu pulang saja. Sudah lewat jam lima sekarang." 

Nina mengangguk senang karena lolos pulang tanpa diomeli oleh Rea. 

Sementara Rea yang kini tinggal sendiri tiba-tiba teringat dengan Marvin, satu-satunya pembeli yang tidak peduli dengan rangkaian bunga yang ia beli. Jangan-jangan pesanan itu juga untuk orang yang sama. 

Keesokan harinya Rea membuat rangkaian bunga untuk diantar ke Frederic Corp persis seperti rangkaian bunga yang pernah ia buatkan untuk Marvin tempo hari. Sesuai janjinya pada Nina dan si pembeli, ia mengantar bunga itu sendiri ke Frederic Corp. 

"Mohon maaf, Bu. Anda tidak bisa meninggalkan bunganya di sini, Pak Marvin tadi sudah menitip pesan agar bunganya anda langsung diantar ke ruangannya." 

Rea mendengkus kesal. Padahal biasanya rangkaian bunga tinggal dititipkan di bawah dan selesai. 

"Harus sekali ya?" Rea bertanya lagi, memastikan. 

"Iya. Ruangan Pak Marvin ada di lantai 13. Liftnya dari sini tinggal belok kiri ya." Wanita cantik itu memberi arahan dengan ramah kepada Rea. 

"Dari Florist Edelweiss?" Lian menyapa Rea yang sedang antri untuk masuk lift. 

"Iya." Rea menjawab singkat. 

"Jangan naik lift ini, antrinya akan lama sekali. Mari ikut saya?" ajak Lian. Ia menarik pelan tangan Rea menjauh dari antrian lalu mengajak masuk ke lift khusus yang biasanya hanya dinaiki oleh Marvin dan dirinya. 

"Boleh naik lift ini?" Rea ragu setelah membaca notes di dekat pintu lift. Lift khusus CEO Frederic Corp.

"Boleh. Silahkan." Lian mempersilahkan Rea masuk lebih dulu segera setelah pintu terbuka. 

"Anda saudaranya Pak Marvin?" Rea mengamati penampilan rapi Lian. Sudah jelas Lian bukan karyawan biasa di kantor ini. Ia bahkan mempunyai akses naik lift khusus ini. 

"Kukira semua orang tahu kalau Marvin adalah putra sekaligus cucu tunggal di keluarga Frederic."

"Kalau begitu maafkan saya dan banyak orang lain di bumi ini yang tidak mengetahui detail tentang kehidupan pribadi seorang Marvin Frederic."

Lian terkekeh mendengar pertanyaan Rea. Sekarang ia sedikit paham kenapa Marvin menilai Wanita di sampingnya itu menarik. 

"Saya sekretaris Marvin. Lian," Lian mengulurkan tangannya. Memperkenalkan dirinya secara resmi. 

"Rea." Rea menjabat tangan Lian. Ia mengira sekretaris seorang Marvin Frederic adalah wanita cantik dan seksi seperti di film-film, tetapi ternyata sekretarisnya adalah seorang pria. Rea merasa Lian adalah spesies yang berbeda dari Marvin. Tidak seperti Marvin yang dingin dan kaku, pria di sampingnya ini terkesan jauh lebih hangat. 

Sesampainya di lantai 13, Lian langsung mengantar Rea ke depan ruangan Marvin. Setelah memastikan Rea masuk ke dalam ruangan tersebut, ia lalu pergi ke ruangannya sendiri yang tepat berada di sebelah ruangan Marvin. 

"Selamat pagi menjelang siang, Pak. Ini bunga pesanan bapak." Rea meletakkan rangakaian bunga di meja, tepat di depan Marvin yang terlibat tengah sibuk dengan komputernya, "Karena pembayaran sudah dilunasi semalam saya langsung permisi ya." lanjut Rea.

Tepat saat Rea berbalik badan, pria itu memanggilnya. 

"Tunggu, jangan pergi dulu."

Rea berbalik lagi tanpa beranjak dari depan pintu yang memang nyaris akan ia buka tepat sebelum suara dingin itu memanggilnya lagi, "Ya, ada yang bisa saya bantu lagi?" 

"Kemari, duduklah. Ada yang ingin saya bicarakan." Marvin bicara dengan nada yang sedikit lebih lunak dari biasanya. 

Meski ragu akhirnya Rea menurut, ia duduk di kursi di hadapan Marvin yang sedang tampak sibuk mengambil sesuatu dari dalam lacinya, ia mengeluarkan selembar kertas yang tidak terlalu besar tapi memanjang. 

"Ini untuk apa?" Rea menatap kertas yang ternyata adalah cek kosong yang disodorkan oleh Marvin di depannya dengan bingung, "Tadi saya kan sudah bilang. Bunganya sudah dibayar kemarin, anda tidak perlu sampai membayarnya dengan cek."

"Bukan. Ini untuk permintaan tolong lain yang ingin kuajukan."

Rea menatap Marvin tidak mengerti. Bagaimana mungkin seorang Marvin Frederic membutuhkan pertolongan darinya. Rasanya konyol sekali. 

"Anda ingin meminta tolong pada saya?" Rea menunjuk dirinya sendiri. Marvin mengangguk mantap. 

Rea terkekeh pelan, "Memangnya pertolongan seperti apa yang bisa saya berikan untuk anda, Pak?" 

"Menikahlah denganku." Marvin berkata tegas dan jelas. 

"APA?" 

"Menikahlah denganku." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status