Share

6. MEDAN PERTEMPURAN BARU

"Siapkan kontraknya, Lian," perintah Marvin. Ia menyandarkan punggungnya santai pada kursi.

"Kamu yakin sekali akan berhasil mendapatkan kerja sama itu, Vin?" tanya Lian dengan nada mengejek.

"Kamu dengar sendiri 'kan separah apa kondisi ayahnya tadi. Percaya padaku, begitu keluar dari ruangan itu ia akan langsung tanda tangan kontraknya."

"Tenang saja aku sudah menyiapkan kontraknya sejak bulan lalu, sekedar berjaga-jaga." Lian membuka tabletnya, membuka sebuah surat yang beserta materai yang telah di-scannya lalu menyerahkannya pada Marvin. "Periksa dulu, kalau ada yang kurang akan kuperbaiki."

Marvin membaca dengan cepat kontrak tersebut. Ia menambahkan beberapa catatan. Senyum puas mengembang di wajah tampannya, "Bagus. Tidak salah aku mengandalkanmu."

Tepat saat itu Rea keluar dari ruangan dengan mata yang jauh lebih sembab dari sebelumnya, tetapi langkahnya tetap tegap dan matanya tetap menatap tajam. Marvin menegakkan punggung tanpa mengatakan apapun ketika wanita itu berhenti tepat di depannya. Ia menunggu selamat wanita itu lebih dulu menyerahkan dirinya. Seorang Marvin tidak ingin meminta kerja sama untuk kedua kalinya. Ya, tadinya memang nyaris saja, tetapi sepertinya memang tidak perlu.

Rea menelan ludahnya yang tercekat di tenggorokan, sekaligus menelan harga diri yang sebelum ia bela. Tidak ada pilihan lain untuknya saat ini. Andai saja bisa tentu ia akan lebih memilih untuk menjual ginjalnya saja kepada pihak yang membutuhkan. Sayangnya, ia tidak memiliki info apapun soal donor mendonor dan yang ia tahu resikonya juga cukup tinggi.

"Aku bersedia menjadi istrimu atau bahkan pembantumu sekalipun. Aku membutuhkan uang untuk biaya operasi ayahku," ucap Rea dalam satu tarikan nafas.

Marvin tersenyum miring, "Sayangnya aku tidak membuka lowongan sebagai pembantu, tetapi kamu bisa menjadi istriku."

Pria tersebut berdiri, diambilnya kembali tablet dari tangan Lian lalu menyodorkannya pada wanita di depannya. Bahkan dalam keadaan terpuruk dan putus asa seperti ini wanita itu tetap menegapkan pundaknya.

Kuat juga, batin Marvin.

"Baca dan tanda tangani kontraknya. Kalau ada hal lain yang kamu inginkan katakan sekarang juga, begitu kamu tanda tangan isinya tidak akan lagi bisa diubah," tegasnya sembari menyerahkan pen tab pada Rea.

Wanita itu membaca cepat isi kontrak yang lumayan terlalu panjang tersebut. Ia sampai heran kapan dua makhluk di depannya ini menyiapkannya.

"Apapun yang kulihat di rumahmu tidak boleh kubicarakan kepada siapapun?" Rea memastikan persyaratan pertama yang baru saja dibacanya.

"Anggap saja kamu buta saat masuk ke dalam rumahku dan keluarlah dalam keadaan bisu," jawab Marvin tegas dan jelas.

"Memangnya apa yang ada di dalam rumahmu," gerutu Rea. Persyaratan pertama saja sudah membuatnya kesal. Ia lanjut membaca kontrak tersebut dan rasa kesalnya langsung terobati begitu membaca catatan tambahan yang sepertinya baru saja dimasukkan ke dalam kontrak tersebut.

"Kamu benar-benar juga akan mengembalikan rumah lama keluargaku dan toko bunga milik mendiang ibuku?" tanya Rea tidak percaya.

"Aku tidak pernah mengingkari janji yang kubuat, Nona."

"Lalu sampai kapan kontrak ini akan berlaku? Aku tidak mungkin menjadi istrimu untuk selamanya 'kan?"

"Seperti yang tertulis di kontrak, sampai misiku selesai."

"Bagaimana kalau misimu tidak berhasil sampai kamu mati?"

Marvin berdecak kesal. "Kamu sedang tidak dalam posisi bisa melakukan tawar menawar, Nona. Nyawa ayahmu dipertaruhkan di sini."

Rea terdiam. Pria dingin dan menjengkelkan di hadapannya itulah benar. Ia tidak boleh terlalu lama membuang waktu untuk berpikir. Toh, saat ini pikirannya itu juga tidak ada gunanya.

Tangannya akhirnya bergerak cepat membubuhkan tanda tangan pada surat perjanjian tersebut. Lian langsung menerima tablet tersebut begitu selesai ditanda tangani.

"Hubungi dokter dan minta untuk menyiapkan operasi secepatnya, Lian. Pastikan untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik."

Lian langsung mengangguk dan pergi menjalankan tugas yang diinstruksikan oleh Marvin. Rea melongo, hanya begitu saja. Menjadi orang yang memiliki banyak uang dan kekuasaan ternyata memang terlihat sangat menyenangkan. Ia bernafas lega, ayahnya akan segera mendapatkan perawatan yang semestinya.

"Ayo ikut aku sekarang!" Marvin menarik tangan wanita itu tanpa meminta persetujuan.

"Tunggu. Aku harus menjaga ayahku…."

"Lian akan mengurus semuanya dan menjaganya di sini. Sekarang ada yang lebih penting untukmu."

Rea menghentikan langkah dan mengibaskan kasar tangan Marvin yang semen-mena menariknya begitu saja.

"Apa yang lebih penting dari ayahku?"

"Medan pertempuran yang akan kamu masuki mulai hari ini."

***

Mobil yang dikendarai Marvin memasuki sebuah halaman bangunan yang memiliki pagar hitam kokoh nan tinggi menjulang. Dua orang berseragam serba hitam membukakan pagar tersebut setelah Marvin menekan klakson mobilnya.

Lalu tampaklah bangunan mewah dua lantai yang ditopang oleh oleh pilar besar dan terlihat sangat kuat. Catnya didominasi warna putih dan pintu utamanya yang besar itu terbuat dari kayu yang diukir dengan indah.

Dibanding rumah, Rea lebih merasa ini adalah benteng sebab ada banyak penjaga berseragam hitam-hitam sama seperti yang membuka pagar di depan tadi, nyaris di setiap titik rumah tersebut. Setiap orang yang dilewati Marvin menundukkan kepalanya dengan hormat, Rea hanya berjalan mengikutinya dengan kikuk.

"Kamu ini sebenarnya pengusaha atau mafia?" tanya Rea setelah mereka masuk ke dalam rumah. Seorang perempuan berseragam maid menyambut mereka. Rea hanya menyapanya dengan anggukan kecil sementara Marvin lanjut berjalan begitu saja tanpa menghiraukan pegawainya tersebut.

"Merangkap dua-duanya." Marvin menjawab asal.

Langkah pria itu terhenti di depan sebuah ruangan. Bahkan untuk masuk ke ruang tersebut harus menggunakan pintu khusus yang harus dibuka dengan menekan kata sandi.

Rea hanya mengamati sekilas tanpa rasa tertarik. Kehidupan orang kaya ternyata sangat merepotkan sekali, terlalu banyak yang harus dilindungi sampai untuk masuk ke kamar saja harus menghafal kata sandi. Sialnya, beberapa waktu lalu Rea juga telah menyerahkan dirinya untuk masuk ke dalam kehidupan rumit ini.

"Ayo masuk," ajak Marvin dengan nada memerintah.

Ruangan tersebut ternyata adalah sebuah kamar. Di dalam kamar yang sangat luas dan mewah tersebut hal pertama yang dilihat Rea adalah sebuah kursi roda di samping tempat tidur. Lalu di atas tempat tidur itulah terdapat pemandangan utama yang sepertinya ingin ditunjukan oleh Marvin kepadanya.

Semakin dekat langkahnya semakin Rea dapat melihat seorang wanita cantik tengah berbaring di atas tempat tidur tersebut. Wajah wanita itu pucat dan matanya terpejam rapat. Rea mengerjapkan matanya berkali-kali sebab wajah wanita itu tidak terlihat asing untuk matanya.

Marvin berhenti tepat di tepi ranjang dan wajah cantik itu semakin jelas tertangkap oleh netra Rea. Setelah keping demi keping fragmen ingatan terkumpul di kepalanya Rea langsung menutup mulutnya yang nyaris terpekik karena terkejut.

"Wanita ini? Di--dia bukannya…."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status