Share

2. WANITA YANG TERPILIH

Menjelang pukul sembilan malam Rea baru menutup toko bunganya. Ia hanya memperkerjakan Nina hingga jam empat sore, sisanya ia melakukan semuanya sendiri. Ia tersenyum menatap tulisan "Florist Edelweiss" yang terpasang di depan tokonya. Toko bunga ini adalah warisan dari mamanya. Dulu saat dikelola oleh mamanya, florist Edelweiss jauh lebih besar dari sekarang. 

Wanita yang bernama lengkap Amaya Reanita  itu dulu bukan seorang florist dan tidak pernah berpikir akan menjadi florist seperti mamanya. Namun, tiga tahun lalu kedua orang tuanya mengalami kecelakaan dan mamanya meninggal. Hidupnya jungkir balik sejak saat itu. Ia harus rela menjadi florist dan merintis kembali toko bunga peninggalan mamanya demi bertahan hidup. 

Sejak dari toko bunga Rea berjalan pulang dengan pikiran yang berlari ke sana ke mari. Namun, begitu sampai di depan pagar rumahnya ia menarik nafas panjang memasang kembali senyum di wajahnya sebelum masuk ke dalam dengan langkah yang ia buat seringan mungkin. 

"Ayah, kenapa duduk di luar jam segini?" Rea berlari kecil menghampiri ayahnya yang tengah duduk di teras. 

"Menunggumu, Nak. Kenapa pulangmu malam sekali?" 

Rea tersenyum, ia duduk di samping ayahnya. 

"Aku setiap hari memang selalu pulang jam segini, Yah."

"Tutuplah toko bunganya lebih awal, Nak. Jangan terlalu malam. Kamu Wanita, Ayah khawatir kalau kamu kenapa-kenapa di jalan." Dama menatap anaknya memohon. Sudah berulang kali ia meminta Rea pulang lebih sore, tapi Rea selalu menolak. Ia hanya mengkhawatirkan keselamatan putri semata wayangnya. 

"Ayah tenang saja, jarak toko dari rumah ini hanya sepuluh menit berjalan kaki. Jalannya juga selalu ramai." 

Pria yang usianya telah lebih dari setengah abad itu menghela nafas, ia menatap kakinya, "Kalau kondisi ayah tidak begini, kamu pasti tidak perlu bekerja sekeras ini, May. Maafkan ayah, ya."

Rea memeluk pundak ayahnya, mengusapnya pelan, "Ayah nggak boleh ngomong gitu. Ini sudah kewajibanku menjaga dan merawat ayah. Ayo kita masuk, udara semakin dingin, tidak baik untuk kesehatan jantung ayah."

Dama menurut, Rea memapahnya berjalan perlahan. Dulu kedua kaki Dama normal, tetapi setelah kecelakaan tiga tahun lalu kini ia menjadi pincang. Meskipun demikian ia masih bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup. Hanya saja hatinya sering sekali terasa berat jika melihat Rea bekerja keras untuk menghidupi mereka, mengambil alih tanggung jawabnya. Padahal seharusnya saat ini Rea masih di luar sana menjalani profesi yang dicintainya.

***

"Lian, mana laporan yang kuminta? Kutunggu sekarang juga diruanganku." Marvin menghubungi Lian kembali untuk kesekian kalinya siang ini. Kemarin ia memang meminta Lian untuk menyelidiki wanita berisik yang ditemuinya di toko bunga. 

“Laporan yang mana, Vin? Soal mata-mata atau toko bunga itu?”

“Yang kedua.”

Ia sudah mulai kehilangan kesabaran menunggu, beruntung tidak lama kemudian Lian muncul di ruangannya dengan wajah tanpa dosa, menyerahkan sebuah map yang langsung disambar oleh Marvin. 

"Lama sekali! Setelah ini kucari penggantimu."

"Cari saja. Tidak akan ada yang sanggup berurusan dengan atasan tempramen sepertimu selain aku." Pria yang usianya sebaya dengan Marvin itu mengejek santai. 

"Sialan." Marvin mundur. Lian benar, tidak akan ada yang sanggup menjadi sekretarisnya. 

Lian hanya tertawa mendengar umpatan Marvin. Meskipun posisinya adalah sebagai sekretaris Marvin, tetapi hubungan mereka lebih erat dari itu. Mereka berdua sudah saling mengenal dan berteman sejak kecil. Dulu ayah Lian adalah sekretaris pribadi ayah Marvin. Posisi yang kemudian diturunkan kepadanya saat Marvin resmi diangkat sebagai CEO Frederic Corp. 

Maka tidak heran jika Lian menjadi satu-satunya orang di Frederic Corp yang berani menghadapi Marvin saat tanduknya keluar. 

"Pilihanmu tepat, wanita itu masih lajang. Namanya Amaya Reanita, tetapi nama panggilannya Rea," jelas Lian. 

Marvin masih sibuk membolak-balik isi map pemberian Lian. 

"Tunggu, jadi toko bunganya milik Wanita itu sendiri?" bukannya menjawab pertanyaan Lian, Marvin malah ganti melempar pertanyaan. 

"Iya dan usianya baru 25 tahun." 

"Toko bunga ini miliknya juga?" Marvin menunjuk foto toko bunga yang cukup besar dengan plang nama yang sama. 

"Itu kondisi toko bunganya dulu, sebelum pindah ke tempatnya yang sekarang. Toko bunga itu adalah milik mamanya, sekarang dia merintisnya ulang setelah mamanya meninggal dunia tiga tahun lalu."

Raut wajah Marvin berubah menjadi serius, "Tiga tahun lalu?" 

"Ya. Orang tuanya mengalami kecelakaan parah, mamanya meninggal di tempat sementara ayahnya selamat. Kehidupan gadis itu mengalami banyak sekali perubahan sejak tiga tahun lalu… ," Lian tidak bisa menyembunyikan rasa prihatinnya. "Sama sepertimu."

Marvin menutup mapnya, meletakkannya sembarang di meja, "Ceritakan!"

"Kamu kan bisa membacanya sendiri, Vin. Apa gunanya aku menuliskan semuanya di situ kalau pada akhirnya aku yang harus menceritakannya."

Marvin menggeleng cepat, "Salahmu sendiri menyertakan artikel kecelakaan mobil di situ."

Lian melonggarkan sedikit dasinya, ia tahu seharusnya ia tidak menyisipkan artikel tentang kecelakaan mobil, tetapi masalahnya kecelakaan itu yang memegang peranan penting dalam kehidupan Wanita itu. 

"Ayahnya adalah seorang perwira TNI, ibunya seperti yang sudah kusebutkan tadi mengelola toko bunga. Menurut informasi yang kuperoleh kehidupan ekonomi mereka sangat baik. Sampai tiga tahun lalu orang tuanya mengalami kecelakaan parah yang menyebabkan mamanya meninggal dan ayahnya koma selama sebulan lebih. Kondisi ekonomi mereka merosot tajam, biaya pengobatan ayahnya sangat tinggi. Toko bunga itu terjual, rumah mereka juga, rumah yang sekarang mereka tempati adalah rumah kontrak. Bangunan untuk toko bunga itu juga sama."

"Lumayan runyam juga nasib Wanita itu. Padahal dia terlihat ceria dan berisik sekali." 

Lian tertawa kecil, "Sejak kapan sih, Vin, kita bisa ngenali orang dari tampak luarnya? Dia bahkan melepaskan karirnya demi ayahnya." 

Marvin mengangkat sebelah alisnya mendengar penjelasan Lian. Ia ingat Wanita itu terdengar begitu ceria dan penuh semangat, kemarin ia bahkan bersenandung riang selama merangkai bunga. 

"Coba tebak apa pekerjaannya dulu sebelum menjadi florist?" 

"Ck! Langsung saja, tidak perlu bermain tebak-tebakan."

"Bersenang-senanglah sedikit, Vin."

Marvin mendelik mendengar perkataan Lian. Lian mengangkat kedua tangannya, ia tahu Marvin sudah siap mengeluarkan tanduknya. 

"Oke oke. Dia dulu jurnalis khusus saluran wild life. Dia juga menekuni fotografi, beberapa fotonya sudah muncul di majalah."

"Oh ya?" 

Segalanya terdengar semakin menarik bagi Marvin sekarang. Ia tidak menyangka Rea, Wanita bertubuh mungil yang ia temui kemarin menekuni pekerjaan seperti itu. 

"Menarik. Tugas terakhirmu hari ini, Lian. Telepon toko bunga itu, pesan rangkaian bunga apa saja terserah kamu. Minta pemiliknya mengantar langsung ke sini besok jam sepuluh pagi."

Lian menatap atasan sekaligus sahabatnya itu dengan bingung. Ia sama sekali semakin tidak mengerti dengan tindakan dan permintaan Marvin.

"Kenapa tidak kamu saja yang mendatanginya?" 

Marvin menggeleng tegas, "Dia yang harus ke sini."

"Baiklah, terserah kamu saja! Tapi aku heran kenapa kamu malah repot-repot memilih wanita yang sama sekali belum kamu kenal, padahal banyak sekali wanita di hidupmu. Bahkan anak pemilik Sanjaya Corp juga menunjukkan ketertarikan kepadamu."

"Hanya karena aku harus segera menikah, bukan berarti aku ingin menikahi para wanita penggoda itu!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status