Share

5. CELAH KERJA SAMA

Setelah dari Frederic Corp Rea langsung pulang ke rumahnya, ia hanya menghubungi Nina mengabari bahwa ia tidak akan kembali ke toko bunga. Ia butuh menenangkan diri, amarah memenuhi rongga dadanya saat mengetahui Marvin diam-diam telah menyelidiki latar belakang keluarganya. Tentu saja ia merasa ranah privasi telah diterobos tanpa izin. 

"Rea! Rea!" 

Rea menoleh mendapati salah seorang tetangganya tergopoh-gopoh berlari ke arahnya. 

"Ada apa, Bu?" 

"Untung kamu sudah pulang, saya hampir saja nyusul ke toko bunga kamu."

Tetangga Rea menjeda kalimatnya, ia mengatur nafasnya yang masih tersenggal. Perasaaan tidak enak langsung melingkupi Rea. 

"Ayah kamu jantungnya kambuh sepertinya, tadi ditemuin Pak Bahar sudah pingsan di halaman. Sekarang sudah dibawa ke rumah sakit." 

Kaki Rea mendadak lemas mendengar penuturan tetangganya. 

"Rumah sakit mana, Bu?" Rea bertanya tidak sabar. Orang tersebut menyebutkan nama rumah sakit yang berjarak dua puluh menit dari tempatnya. Rea bergegas pergi setelah mengucapkan terima kasih. 

Rea menghentikan taksi yang kebetulan sedang lewat. Tidak peduli meski biasanya ia sangat menghindari moda transportasi ini karena merasa sayang dengan uang, yang ada di kepalanya saat ini hanyalah segera pergi ke rumah sakit dan melihat kondisi ayahnya. 

Berselang hanya beberapa menit setelah Rea pergi, Marvin dan Lian juga datang ke tempat tersebut. 

"Yang mana rumahnya?" tanya Marvin pada Lian. Ia sedikit tidak sabar karena mereka sudah dari toko bunga Rea, tapi ia tidak ada di sana. Nihil. 

Lian menunjuk sebuah rumah tepat di samping ia menghentikan mobilnya. Marvin segera meloncat itu turun. Awalnya ia dengan tenang membunyikan bel yang ada di pagar. Berkali-kali tidak ada jawaban, ia akhirnya mulai memanggil manggil dengan suara kencang. 

"Nyari Rea, Mas?" Seorang tetangga yang kebetulan melintas di situ mendekati Marvin yang masih berteriak memanggil-manggil Rea. 

Kening Marvin sedikit mengernyit mendengar ada orang yang memanggilnya dengan sebutan 'mas'. Penampilannya jelas tidak mengindikasikan bahwa ia adalah mas-mas, 'Pak Marvin' adalah panggilan yang biasa ia terima. Ia bisa melihat jelas dari jendela mobil yang terbuka bahwa Lian sedang menahan tawanya di balik kemudi. Sial. Sayangnya itu sangat tidak penting sekarang. 

"Iya. Ini benar rumah Rea ’kan?" Marvin bertanya hati-hati. Sangat tidak lucu jika ternyata ia sejak tadi membuang tenaganya di rumah yang salah. 

"Benar, tapi orangnya sedang tidak ada. Tadi penyakit ayahnya kambuh, sekarang mereka di rumah sakit."

Marvin langsung bertanya nama rumah sakitnya dan segera berlalu setelah berbasa-basi mengucapkan terima kasih. 

"Jadi, kita ke rumah sakit sekarang, Mas?" goda Lian masih sambil menahan tawa. 

Marvin mendelik menatapnya, ia sedang tidak ingin melayani candaan Lian saat ini. Ia hanya mengangguk ringan, lalu memilih membuka tabletnya. Ada beberapa laporan yang harus ia periksa hari ini. Demi Rea, ia rela membatalkan sejumlah rapat pentingnya hari ini. 

Di rumah sakit Marvin dan Lian menemukan Rea tengah duduk sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangan, di depan ICU. Bagaimana mereka bisa menemukan ruangan ayahnya Rea, jawabannya sederhana karena mereka telah mengetahui nama ayahnya dari hasil penyelidikan Lian sebelumnya sehingga dengan mudah bisa bertanya ke bagian informasi. Mereka memang hampir mengetahui semuanya. Hampir. 

"Bagaimana kondisi ayahmu?" Marvin bertanya pelan. 

Mendengar suara itu Rea langsung mengangkat wajahnya, menatap ke arah sumber suara. Raut mukanya mendadak semakin keruh, dua orang yang paling tidak ingin ia temui muncul di hadapannya. 

"Apa yang kalian lakukan disini?" Rea bertanya lemah, ia sudah tidak punya sisa tenaga untuk marah-marah. Kondisi ayahnya mengkhawatirkan dan itu sudah menyerap seluruh energinya. 

Marvin dan Lian duduk di sebelah Rea tanpa diminta. 

"Untuk menjenguk ayahmu tentu saja," sahut Marvin. 

"Sejak kapan kita memiliki hubungan yang cukup memberi anda alasan untuk menjenguk ayah saya, Pak Marvin? Pergilah!" usir Rea. 

"Kau mengusirku?" 

Lian menepuk pelan pundak Marvin, memintanya yang sudah mulai terpancing emosi agar lebih tenang. 

"Ini rumah sakit, Vin, dan ingat apa tujuanmu ke sini," bisik Lian. 

Marvin menarik nafas dan menghembuskannya pelan, mengelola emosinya. Sementara Rea tidak peduli, matanya fokus menatap pintu ruang ICU berharap ada dokter yang segera keluar dari ruangan itu. 

Selama lima belas menit ketiganya hanya duduk dalam keheningan. Hingga seorang dokter dan dua perawat keluar dari ICU, Rea langsung berdiri menghampiri. Lian juga langsung menyenggol lengan Marvin, menyuruhnya ikut menghampiri dokter tersebut. 

"Bagaimana kondisi ayah saya, Dok?" Rea memburu tidak sabar. 

Dokter itu menunjukkan raut wajah yang prihatin, Marvin bisa langsung menduga bahwa kondisi ayah Rea sedang tidak baik-baik saja. 

"Kondisinya sekarang masih kritis. Ada penyumbatan yang parah di jantungnya, satu-satunya solusi adalah operasi bypass jantung."

"Operasi bypass, Dok?" Rea pernah mendengar tentang operasi itu. Dulu ibu dari rekan kerjanya pernah melakukannya. Ia tahu dengan pasti biayanya sangat tidak sedikit. 

Dokter itu mengangguk, "Hanya itu satu-satunya opsi terbaik saat ini. Usia Pak Dama juga belum enam puluh tahun, masih relatif aman untuk melakukan operasi tersebut."

Rea terdiam. 

"Mohon membuat keputusan sendiri secepatnya. Nanti kalau sudah anda bisa langsung berbicara dengan perawat yang bertugas di sini. Saya permisi." Dokter itu mengangguk kecil lalu berlalu. 

"Terima kasih, Dok." Rea berucap lirih, entah dokter itu mendengar atau tidak. 

"Pasien boleh dijenguk, tapi hanya satu orang ya. Dan tidak boleh lebih dari lima belas menit." Salah seorang perawat menjelaskan sebelum ikut berlalu. 

Dengan langkah gamang Rea masuk ke ruangan tersebut. Hatinya hancur mendapati ayahnya tergeletak lemah di ranjang rumah sakit dengan berbagai alat bantu pernafasan. Padahal dulu ayahnya adalah seorang perwira TNI Angkatan Darat yang sangat sehat, yang kemudian terpaksa pensiun dini karena kecelakaan itu. Semua kekacauan hidupnya berawal dari kecelakaan itu. 

Rea mengepal erat kedua tangannya. Ada perasaan marah yang masih tersisa dalam dirinya. Kecelakaan itu bukan hanya merenggut nyawa mamanya dan membuat kaki ayahnya tidak pernah bisa pulih, tetapi juga merenggut kesehatan ayahnya. Setelah kecelakaan itu ayahnya menjadi sakit-sakitan, jantungnya yang dulu sehat bahkan ikut bermasalah. Rea tidak masalah melepaskan karirnya demi bisa menjaga satu-satunya orang tua yang masih tersisa, ia hanya ingin ayahnya selalu sehat dan baik-baik saja. 

"Jangan ke mana-mana ya, Ayah. Di sini saja sama Rea." 

Rea mengenggam erat tangan ayahnya dengan kedua tangannya. 

"Rea akan melakukan apapun untuk mendapatkan biaya agar ayah bisa dioperasi. Ayah bertahan ya." Rea berkata lirih. Meski ia sebenarnya juga buntu, tidak tahu bagaimana caranya mendapat uang ratusan juta dalam waktu singkat. 

Sudah tidak tersisa satupun aset yang bisa ia jual, semuanya sudah ludes untuk pengobatan sebelumnya. Selama ini mereka membiayai hidup dengan hasil dari toko bunga dan uang pensiun Dama. Uang tabungannya juga sangat jauh dari nominal yang dibutuhkan. 

Rea menenggelamkan kepalanya di tangan ayahnya. Ia membiarkan air matanya jatuh di sana. Lalu sebuah ide gila melintas di kepalanya. 

Haruskah ia menjual dirinya kepada Marvin Frederic? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status