Home / Pendekar / PENDEKAR LEMBAH HANTU / Bab 7 Rahasia Makam Kuno2

Share

Bab 7 Rahasia Makam Kuno2

Author: Freya
last update Last Updated: 2024-11-17 22:11:13

Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja.

Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan.

"Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!"

Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka.

"Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!"

Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit.

"Siapa itu Mbah?"

"Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah Janti.

Rangga terkejut mendengar penjelasan Mbah Janti.

"Tapi bukankah para pendekar itu sudah mati?"tanya

"Arwah mereka masih gentayangan di sini Rangga. Setiap malam Anggoro Kasih mereka akan menampakan diri seperti ini.

Rangga masih akan bertanya lagi, namun tiba-tiba sebilah pedang dari salah satu pendekar yang bertarung menyambar wajahnya.

"Sreeeet."

Rangga dapat merasakan kesiur angin yang menerpa wajahnya. Dia ingin menghindar namun jarak pedang dan wajahnya begitu dekat sehingga dia sudah tidak bisa menghindar lagi. Rangga memejamkan mata pasrah menghadapi sambaran pedang.

Sejurus kemudian Rangga membuka matanya, ternyata dia masih berada di komplek kuburan kuno.

Rangga tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Dipegangnya wajah dan tubuhnya lalu berseru gembira.

"Aku masih hidup...aku masih hidup!"

Mbah Janti tertawa melihat tingkah Rangga.

"Ha ha ha ha, jangan takut pedang mereka tidak akan bisa melukaimu. Mereka hanyalah bayangan yang hanya akan muncul pada malam-malam tertentu."

Rangga kembali menonton pertarungan, tiba-tiba sebilah pisau terbang melayang le arah wajahnya.

"Sreeet."

Sekarang Rangga tidak lagi memejamkan matanya. Dia dapat melihat pisau itu menembus kepalanya namun dia sama sekali tidak merasa sakit atau terluka. Pisau itu hanya seperti bayangan saja.

"Mbah, ternyata pisau ini tidak dapat melukaiku."

"Tentu saja Rangga, karena mereka hanya bayangan dari masa lalu. Bahkan jika kamu masuk di tengah mereka, kamu tidak akan tersentuh dan kamupun tidak dapat menyentuh mereka. Energi-energi mereka yang tersisa di sini masih sangat kuat. Hal itulah yang memudahkan kita untuk melihat kembali apa yang mereka alami di sini sebelum mati."

"Aku mau mencoba berada di tengah mereka!"

Rangga berdiri dari duduknya dan langsung berlari ke gelanggang. Saat di tengah gelanggang, para pendekar itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Rangga.

Dia mencoba menyentuh salah satu pendekar, namun tangannya hanya menyentuh angin.

Benar kata Mbah Janti, mereka hanya bayangan. Pantas saja tempat ini dianggap angker, batin Rangga.

Tiba-tiba Rangga melihat kabut tipis mulai turun di tengah gelanggang pertempuran.

"Rangga, cepat kemari!"seru Mbah Janti.

"Ada apa Mbah?"

Rangga berlari menghampiri Mbah Janti yang memberi tanda untuk duduk di sebelahnya.

"Kamu lihat apa yang mereka lakukan setelah kabut itu turun."

Rangga dan Mbah Janti dengan berdebar menunggu apa yang terjadi. Saat gelanggang sudah dipenuhi kabut yang pekat, suasana makin mencekam. Suara pertarungan dan denting senjata mendadak berhenti. Suasana yang hening dan sepi membuat komplek pemakaman di tengah hutan itu semakin mencekam.

"Mbah, mengapa mereka berhenti bertarung, apa sudah selesai?"

"Ini belum selesai,"tukas Mbah Janti.

Tak lama kemudian dari gelanggang pertarungan yang tertutup kabut pekat, terdengar suara teriakan kesakitan bersahutan dari berbagai penjuru. Suara itu begitu memilukan seperti jeritan kematian membuat suasana malam itu semakin menyeramkan.

Rangga tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di gelanggang pertarungan karena kabut yang turun begitu tebal.

"Mbah, apa yang mereka lakukan di dalam kabut?"tanya Rangga ketakutan.

"Nanti juga kamu tahu sendiri,"jawab Mbah Janti.

Setelah menunggu cukup lama, akhirnya suara teriakan itu semakin berkurang dan akhirnya lenyap. Suasana kembali hening dan kabut berangsur mulai menipis.

Seiring dengan menipisnya kabut, perlahan mulai terlihat pemandangan mengerikan di depan mata. Para pendekar itu semua sudah mati, darah menggenang membanjiri gelanggang pertarungan.

Rangga merasa takut sekaligus ngeri

"Mbah, mereka semua mati. Apa yang terjadi pada mereka?"

"Para pendekar itu bunuh diri karena kabut gaib yang dikirim oleh Dewi Sekar."

"Oh, jadi kabut gaib yang mempengaruhi pikiran mereka?"tanya Rangga.

Mbah Janti mengangguk

"Ya, dengan ilmu hitamnya Sekar mengundang demit piaraannya untuk mempengaruhi pikiran para pendekar sehingga mereka berpikir bahwa mereka telah menghabisi lawannya tapi sebenarnya mereka bunuh diri."

Sebuah bayangan putih berkelebat,seorang wanita berpakaian serba putih turun di tengah gelanggang. Dia memeriksa situasi di sekelilingnya, sesekali membungkuk memastikan apakah para pendekar itu sudah mati. Lalu dia berseru lantang dengan nada sombong.

"Huuh kalian para pendekar berilmu rendah bermimpi ingin merebut Kitab Sang Hyang Agni dariku. Sekarang rasakan akibatnya jika melawanku!"

"Itu Sekar,"bisik Mbah Janti.

Di bawah sinar bulan Rangga dapat melihat wanita itu cantik tapi ada aura menyeramkan yang melingkupinya.

Usai berujar memaki para pendekar itu, Dewi Sekar berkelebat pergi meninggalkan gelanggang.

Setelah Dewi Sekar pergi, perlahan penampakan jasad-jasad yang berserakan di komplek kuburan itu semakin kabur kemudian perlahan menghilang dari pandangan.

Mbah Janti memecah keheningan di antara mereka.

"Ngger, kamu sudah melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu saat mereka memperebutkan kitab Sang Hyang Agni. Jauh di masa sebelumnya ketika Gusti Prabu Jayabaya berkuasa, di tempat ini juga pernah terjadi perebutan kitab Sang Hyang Agni."

"Kenapa peristiwa itu selalu terjadi di tempat ini?"tanya Rangga.

"Tempat ini dulunya adalah padepokan Sekte Bhairawa. Pendirinya adalah Nyi Lendi salah satu murid Calon Arang yang melarikan diri ketika Calon Arang dibunuh oleh Mpu Barada penasehat Gusti Prabu Airlangga. Nyi Lendi punya kesaktian yang mampu mengubah liur menjadi api,"tutur Mbah Janti.

"Apakah Nyi Lendi menguasai ilmu Sang Hyang Agni?"tanya Rangga.

Mbah Janti mengangguk

"Kemungkinan begitu, setelah keruntuhan Kerajaan Medang, tidak ada lagi yang melindungi para pendeta di Sywa Grha. Bisa jadi mungkin pada akhirnya Calon Arang yang menguasai kitab itu dan diwariskan pada Nyi Lendi atau Nyi Lendi yang merebutnya dari orang lain aku tidak tahu persis. Yang aku tahu akhirnya Kitab Sang Hyang Agni dikuasai padepokan kami.

"Tapi bagaimana ceritanya kitab itu bisa dikuasai guru saya Mpu Waringin?"

Mbah Janti mendengus wajahnya terlihat kesal.

"Adik sepupuku Dewi Sekar adalah Ketua Padepokan Sekte Bhairawa yang terakhir. Tapi dia bodoh, mau saja dia dirayu Waringin licik. Sehingga akhirnya Waringin menguasai ilmu Sang Hyang Agni dan menjadi pendekar tanpa tanding lalu mendirikan padepokan Sekar Jagad."

Kali ini Rangga merasa gerah mendengar gurunya direndahkan Mbah Janti. Dia ingin marah tapi karena Mbah Janti sudah menolongnya dia tak enak hati jika harus melabrak Mbah Janti.

"Mbah, ada masalah apa antara anda dan guru saya sehingga anda begitu membencinya? Setahu saya Mpu Waringin adalah pendekar golongan putih, dia orang baik,"protes Rangga

Mbah Janti mendengus lalu menatap Rangga dengan pandangan mengejek

"Huuh kamu pikir Waringin itu orang baik? Dia itu dimasa mudanya dikenal sebagai Durjana Pemetik Bunga. Kamu tahu apa artinya itu?"

Rangga menggeleng.

"Saya tidak tahu."

"Itu artinya dia orang yang suka main perempuan. Asal ada yang cantik tak peduli isteri orang, pendeta atau gadis dia sikat setelah itu ditinggal."

Rangga seketika terdiam tak berani protes lagi. Malam semakin larut, udara malam semakin dingin membuat Rangga sedikit menggigil. Tapi anehnya Mbah Janti yang hanya memakai kain dan kemben penutup dada sama sekali tak terlihat kedinginan.

Mbah Janti tertawa melihat Rangga menggigil kedinginan.

"Ha ha ha baru di luar sebentar sudah kedinginan. Sini aku buka cakramu supaya kamu bisa menghangatkan tubuhmu dengan tenaga dalam."

Rangga mendekati Mbah Janti lalu duduk membelakanginya. Mbah Janti mulai menotok beberapa bagian di punggungnya. Tapi ketika menotok jalan darah di punggung bawah Mbah Janti menarik tangannya lalu berkata,

"Aku tidak bisa membuka cakra tenaga dalammu. Ada sesuatu yang menyumbatnya. dan aku tidak tahu cara membukanya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Andres Dycka Shyap
.tamatkahh
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 146 Keliling Dunia

    "Ah, aku tidak menginginkannya Romo, yang kuinginkan hanyalah hidup damai bersama Saras,"kata Rangga.Dipo tersenyum menanggapi keinginan anaknya"Ooh, anak Romo ini rupanya sudah pengen kawin ya?"Rangga tersadar lalu tersipu malu."Bukan begitu Romo, itu memang keinginan saya. Lagipula belum tentu juga Bhre Pajang setuju. Para Raja bawahan yang lain pasti juga ingin meminang Saras."Dipo menepuk bahu Rangga lalu berkata."Sudahlah, seminggu lagi upacara akan dilaksanakan. Kamu bersiaplah, ini aku sudah belikan kamu celana gringsing, jarik, selendang sutera dan seperangkat perhiasan emas untuk ikut upacara. Sebentar aku ambil dulu di kamar."Dipo atau Gajah Mada berdiri dari duduknya lalu masuk ke kamarnya. Saat kembali dia membawa satu kotak kayu lalu diletakan di depan Rangga."Ini, ambilah untukmu. Kulihat bajumu sudah lusuh dan sobek, jadi aku belikan yang baru."Rangga membuka kotak kayu itu dan di dalamnya dia mendapati ada pakaian dan seperangkat perhiasan emas permata di dala

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 145 Penebusan

    Dipo mendekati Rangga yang masih duduk terpaku di tepi sendhang. Ditepuknya bahu anaknya lalu berkata"Semua sudah berlalu, ayo kita pulang sekarang."Suara ayam berkokok mulai terdengar di kejauhan, Rangga dan Dipo memacu kuda mereka pulang ke rumah.******Setelah kutukan pisau bedah Ra Tanca dimusnahkan di sendhang Sela Pitu, Rangga pulang dengan tubuh lelah namun hati lapang. Malam itu, ia tertidur pulas di pembaringan di rumahnya, diiringi suara cengkerik dan desir angin dari kebun belakang. Namun, tidurnya tidak tenang.Dalam mimpinya, Jiwo muncul. Wajahnya cemberut dan penuh amarah yang terpendam. Ia menagih janji lama."Kamu berhutang padaku, Rangga. Sesuatu yang paling kau sayangi, entah nyawamu... atau Saras."Rangga terbangun dengan dada sesak, karena lelah dia bangun kesiangan. Matahari sudah tinggi saat ia bersiap meninggalkan rumah. Dia tahu, waktu menepati janji telah tiba.Sebelum berangkat, ia menulis lontar untuk Saras. Tulisannya tergesa namun jujur: Saras, maafkan

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 144 Sendhang Sela Pitu

    Terkesiap Awehpati melihat serangannya gagal. Tangannya bergerak kembali merogoh sesuatu dari kantongnya, namun sebelum dia kembali bergerak, sebuah benda berkilat meluncur ke arah Awehpati. "Jleeeb!" Sebuah senjata rahasia pisau kecil berbentuk bintang sudah menempel di dahinya. Ternyata Tudjo bergerak lebih cepat, melempar pisau bintang ke arah Awehpati. Tudjo mendekat memeriksa Awehpati, setelah yakin Awehpati sudah mati, dia menyeret jasad Sang Raja Racun untuk dikuburkan. ******* Malam lengang. Angin bertiup pelan menyusup lewat celah jendela, membawa bau tanah basah dan daun kering. Rangga tiba-tiba terbangun dari tidurnya, perlahan dia duduk bersila di atas tikar pandan, matanya memandangi lemari kayu jati tempat ia menyimpan benda-benda penting. Di dalam sana, tersimpan pusaka pisau bedah milik Ra Tanca, tabib dan algojo berdarah dingin yang menewaskan ayah kandungnya, Jayanegara. Tiba-tiba "Glodag... Glodag..." Lemari itu bergetar sendiri. Suara besi beradu kayu terden

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 143 Surat Nyai Tanca

    Langit mendung menggantung rendah di atas hutan kecil di pinggiran kota Trowulan. Di tengah rerimbunan pepohonan, Rangga berdiri diam. Di genggamannya, sebilah pisau bedah yang dulu digunakan Ra Tanca untuk membunuh Raja Jayanegara. Pisau yang sekarang ditakdirkan menuntaskan dendam, atau menghancurkan kebenaran.Awehpati menatap Rangga dari balik bayangan pohon Trembesi tua, sorot matanya penuh keyakinan dan dendam yang menyala dingin. “Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Rangga,” ucap Awehpati. Rangga menganggukan kepala dengan setengah hati.Awehpati tersenyum puas“Bagus, kalau begitu cepat lakukan! Pisau itu menunggu penebusannya. Dendam Ra Tanca harus ditegakkan, Gajah Mada harus mati!”"Tentu, tunggu saja di situ." Dipo duduk di pendopo, menyisipkan daun sirih ke dalam mulutnya. Tudjo telah meIaporkan perjalanannya mencari Saras dan membunuh Hasta. Dia sedikit lega Rangga selamat, tapi sudah lebih dari seminggu Rangga belum juga datang. Dia mulai cemas dengan keselamatan

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 142 Dendam Ra Tanca

    Langkah-langkah Hasta kini mulai goyah. Tubuhnya menyerap lebih banyak energi jahat dari yang mampu ditanggung, dan mantra Lipyakara yang mengikatnya dengan dunia arwah mulai berbalik menelan jiwanya sendiri.Namun ia masih tertawa.“Cahaya dari empat penjuru? Heh... aku akan menutup langit itu dengan malam abadi!”Hasta mengangkat kedua tangannya tinggi, memanggil kekuatan terakhirnya. Terdengar suara bergemuruh, langit gua terbuka seperti mulut raksasa, dan dari sana mengalir kabut hitam yang berbentuk tangan-tangan raksasa yang terbuat dari roh para leluhur yang dikutuk.Rangga menyempitkan mata.Dia sepertinya memanggil Arwah Calon Arang, pikir Rangga.Langit runtuh, dan suara ribuan ratapan terdengar serentak. Tudjo yang berada di luar gua berseru,“Medang! Segera pasang Mantra Gayatri, jangan biarkan roh-roh ini keluar dari gua!”Medang menancapkan pedangnya ke tanah. Segel kuno menyala dalam bentuk lingkaran raksasa di mulut gua, menahan arwah-arwah jahat itu di dalam. Namun t

  • PENDEKAR LEMBAH HANTU   Bab 141 Bersatunya 4 Unsur

    Suara batu yang runtuh menggema di gua raksasa itu. Dinding yang terbentur tubuh Hasta retak. Debu dan pecahan kecil berjatuhan, namun dari balik reruntuhan, suara tawa lirih terdengar lagi.“Ha ha ha ha...bagus, Rangga… sungguh kekuatan yang layak kau warisi dari Sang Hyang Agni. Tapi itu belum cukup untuk mengalahkanku.”Hasta berdiri tertatih, tubuhnya kini setengah hancur. Kulitnya yang seperti kitab-kitab gosong terkelupas, menampakkan jaringan daging hitam berdenyut. Dari dadanya mengalir asap hitam seperti racun hidup.Tiba-tiba, Hasta menancapkan tangannya ke tanah. Getaran keras merambat, tanah berguncang. Seketika bau seperti ubi gosong merebak memenuhi gua. Dari kegelapan, muncul puluhan makhluk hitam tak bernama—tubuh tinggi kurus, mata merah menyala, gigi runcing seperti serangga neraka. Suara mereka mencicit seperti suara tikus got yang mencari mangsa.“Makhluk-makhluk ini tumbal yang gagal. Tapi tak ada yang sia-sia di tanganku. Habisi mereka!” perintah Hasta.Makhluk-m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status