Suasana malam itu berubah, gundukan tanah dengan batu nisan itu menghilang. Sementara di depannya sedang berlangsung pertarungan yang sengit antar pendekar. Jarak Rangga dengan para pendekar itu cukup dekat hanya berjarak sekitar lima meter saja.
Seorang pendekar yang berpakaian seperti seorang Resi berteriak lantang. Suaranya menggelegar bagai petir mengalahkan suara teriakan pertarungan. "Sekar kembalikan Kitab Sang Hyang Agni kepada kami. Najis jika kitab itu dipegang manusia sesat macam kalian!" Terdengar suara wanita yang melengking lantang menusuk telinga. Membuat para pendekar lainnya menutup telinga mereka. "Ha ha ha ha kamu mimpi Dharmaja, kalahkan dulu para pendekar di sini, baru aku ikhlas menyerahkan kitab ini kepadamu!" Setelah itu terdengar suara pertarungan sengit. "Siapa itu Mbah?" "Dia Resi Dharmaja, salah satu pendeta di Sywa Grha yang diutus merebut kembali kitab itu. Sekarang diamlah, kamu sedang melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu,"tukas Mbah Janti. Rangga terkejut mendengar penjelasan Mbah Janti. "Tapi bukankah para pendekar itu sudah mati?"tanya "Arwah mereka masih gentayangan di sini Rangga. Setiap malam Anggoro Kasih mereka akan menampakan diri seperti ini. Rangga masih akan bertanya lagi, namun tiba-tiba sebilah pedang dari salah satu pendekar yang bertarung menyambar wajahnya. "Sreeeet." Rangga dapat merasakan kesiur angin yang menerpa wajahnya. Dia ingin menghindar namun jarak pedang dan wajahnya begitu dekat sehingga dia sudah tidak bisa menghindar lagi. Rangga memejamkan mata pasrah menghadapi sambaran pedang. Sejurus kemudian Rangga membuka matanya, ternyata dia masih berada di komplek kuburan kuno. Rangga tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Dipegangnya wajah dan tubuhnya lalu berseru gembira. "Aku masih hidup...aku masih hidup!" Mbah Janti tertawa melihat tingkah Rangga. "Ha ha ha ha, jangan takut pedang mereka tidak akan bisa melukaimu. Mereka hanyalah bayangan yang hanya akan muncul pada malam-malam tertentu." Rangga kembali menonton pertarungan, tiba-tiba sebilah pisau terbang melayang le arah wajahnya. "Sreeet." Sekarang Rangga tidak lagi memejamkan matanya. Dia dapat melihat pisau itu menembus kepalanya namun dia sama sekali tidak merasa sakit atau terluka. Pisau itu hanya seperti bayangan saja. "Mbah, ternyata pisau ini tidak dapat melukaiku." "Tentu saja Rangga, karena mereka hanya bayangan dari masa lalu. Bahkan jika kamu masuk di tengah mereka, kamu tidak akan tersentuh dan kamupun tidak dapat menyentuh mereka. Energi-energi mereka yang tersisa di sini masih sangat kuat. Hal itulah yang memudahkan kita untuk melihat kembali apa yang mereka alami di sini sebelum mati." "Aku mau mencoba berada di tengah mereka!" Rangga berdiri dari duduknya dan langsung berlari ke gelanggang. Saat di tengah gelanggang, para pendekar itu sama sekali tidak mempedulikan keberadaan Rangga. Dia mencoba menyentuh salah satu pendekar, namun tangannya hanya menyentuh angin. Benar kata Mbah Janti, mereka hanya bayangan. Pantas saja tempat ini dianggap angker, batin Rangga. Tiba-tiba Rangga melihat kabut tipis mulai turun di tengah gelanggang pertempuran. "Rangga, cepat kemari!"seru Mbah Janti. "Ada apa Mbah?" Rangga berlari menghampiri Mbah Janti yang memberi tanda untuk duduk di sebelahnya. "Kamu lihat apa yang mereka lakukan setelah kabut itu turun." Rangga dan Mbah Janti dengan berdebar menunggu apa yang terjadi. Saat gelanggang sudah dipenuhi kabut yang pekat, suasana makin mencekam. Suara pertarungan dan denting senjata mendadak berhenti. Suasana yang hening dan sepi membuat komplek pemakaman di tengah hutan itu semakin mencekam. "Mbah, mengapa mereka berhenti bertarung, apa sudah selesai?" "Ini belum selesai,"tukas Mbah Janti. Tak lama kemudian dari gelanggang pertarungan yang tertutup kabut pekat, terdengar suara teriakan kesakitan bersahutan dari berbagai penjuru. Suara itu begitu memilukan seperti jeritan kematian membuat suasana malam itu semakin menyeramkan. Rangga tidak dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di gelanggang pertarungan karena kabut yang turun begitu tebal. "Mbah, apa yang mereka lakukan di dalam kabut?"tanya Rangga ketakutan. "Nanti juga kamu tahu sendiri,"jawab Mbah Janti. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya suara teriakan itu semakin berkurang dan akhirnya lenyap. Suasana kembali hening dan kabut berangsur mulai menipis. Seiring dengan menipisnya kabut, perlahan mulai terlihat pemandangan mengerikan di depan mata. Para pendekar itu semua sudah mati, darah menggenang membanjiri gelanggang pertarungan. Rangga merasa takut sekaligus ngeri "Mbah, mereka semua mati. Apa yang terjadi pada mereka?" "Para pendekar itu bunuh diri karena kabut gaib yang dikirim oleh Dewi Sekar." "Oh, jadi kabut gaib yang mempengaruhi pikiran mereka?"tanya Rangga. Mbah Janti mengangguk "Ya, dengan ilmu hitamnya Sekar mengundang demit piaraannya untuk mempengaruhi pikiran para pendekar sehingga mereka berpikir bahwa mereka telah menghabisi lawannya tapi sebenarnya mereka bunuh diri." Sebuah bayangan putih berkelebat,seorang wanita berpakaian serba putih turun di tengah gelanggang. Dia memeriksa situasi di sekelilingnya, sesekali membungkuk memastikan apakah para pendekar itu sudah mati. Lalu dia berseru lantang dengan nada sombong. "Huuh kalian para pendekar berilmu rendah bermimpi ingin merebut Kitab Sang Hyang Agni dariku. Sekarang rasakan akibatnya jika melawanku!" "Itu Sekar,"bisik Mbah Janti. Di bawah sinar bulan Rangga dapat melihat wanita itu cantik tapi ada aura menyeramkan yang melingkupinya. Usai berujar memaki para pendekar itu, Dewi Sekar berkelebat pergi meninggalkan gelanggang. Setelah Dewi Sekar pergi, perlahan penampakan jasad-jasad yang berserakan di komplek kuburan itu semakin kabur kemudian perlahan menghilang dari pandangan. Mbah Janti memecah keheningan di antara mereka. "Ngger, kamu sudah melihat peristiwa duapuluh tahun yang lalu saat mereka memperebutkan kitab Sang Hyang Agni. Jauh di masa sebelumnya ketika Gusti Prabu Jayabaya berkuasa, di tempat ini juga pernah terjadi perebutan kitab Sang Hyang Agni." "Kenapa peristiwa itu selalu terjadi di tempat ini?"tanya Rangga. "Tempat ini dulunya adalah padepokan Sekte Bhairawa. Pendirinya adalah Nyi Lendi salah satu murid Calon Arang yang melarikan diri ketika Calon Arang dibunuh oleh Mpu Barada penasehat Gusti Prabu Airlangga. Nyi Lendi punya kesaktian yang mampu mengubah liur menjadi api,"tutur Mbah Janti. "Apakah Nyi Lendi menguasai ilmu Sang Hyang Agni?"tanya Rangga. Mbah Janti mengangguk "Kemungkinan begitu, setelah keruntuhan Kerajaan Medang, tidak ada lagi yang melindungi para pendeta di Sywa Grha. Bisa jadi mungkin pada akhirnya Calon Arang yang menguasai kitab itu dan diwariskan pada Nyi Lendi atau Nyi Lendi yang merebutnya dari orang lain aku tidak tahu persis. Yang aku tahu akhirnya Kitab Sang Hyang Agni dikuasai padepokan kami. "Tapi bagaimana ceritanya kitab itu bisa dikuasai guru saya Mpu Waringin?" Mbah Janti mendengus wajahnya terlihat kesal. "Adik sepupuku Dewi Sekar adalah Ketua Padepokan Sekte Bhairawa yang terakhir. Tapi dia bodoh, mau saja dia dirayu Waringin licik. Sehingga akhirnya Waringin menguasai ilmu Sang Hyang Agni dan menjadi pendekar tanpa tanding lalu mendirikan padepokan Sekar Jagad." Kali ini Rangga merasa gerah mendengar gurunya direndahkan Mbah Janti. Dia ingin marah tapi karena Mbah Janti sudah menolongnya dia tak enak hati jika harus melabrak Mbah Janti. "Mbah, ada masalah apa antara anda dan guru saya sehingga anda begitu membencinya? Setahu saya Mpu Waringin adalah pendekar golongan putih, dia orang baik,"protes Rangga Mbah Janti mendengus lalu menatap Rangga dengan pandangan mengejek "Huuh kamu pikir Waringin itu orang baik? Dia itu dimasa mudanya dikenal sebagai Durjana Pemetik Bunga. Kamu tahu apa artinya itu?" Rangga menggeleng. "Saya tidak tahu." "Itu artinya dia orang yang suka main perempuan. Asal ada yang cantik tak peduli isteri orang, pendeta atau gadis dia sikat setelah itu ditinggal." Rangga seketika terdiam tak berani protes lagi. Malam semakin larut, udara malam semakin dingin membuat Rangga sedikit menggigil. Tapi anehnya Mbah Janti yang hanya memakai kain dan kemben penutup dada sama sekali tak terlihat kedinginan. Mbah Janti tertawa melihat Rangga menggigil kedinginan. "Ha ha ha baru di luar sebentar sudah kedinginan. Sini aku buka cakramu supaya kamu bisa menghangatkan tubuhmu dengan tenaga dalam." Rangga mendekati Mbah Janti lalu duduk membelakanginya. Mbah Janti mulai menotok beberapa bagian di punggungnya. Tapi ketika menotok jalan darah di punggung bawah Mbah Janti menarik tangannya lalu berkata, "Aku tidak bisa membuka cakra tenaga dalammu. Ada sesuatu yang menyumbatnya. dan aku tidak tahu cara membukanya."Sepertinya ini memang sudah diatur, seharusnya tidak boleh ada senjata tajam di dalam penjara. Bahkan keris pemberian Romo Mada saja sudah mereka rampas. Mereka sudah merencanakan untuk membunuhku di tempat ini, pikir Rangga sambil tetap waspada. Kilatan belati bergerak, spontan Rangga menangkis serangan, memuntir tangan penyerangnya sehingga belati terjatuh di lantai penjara. Dia mendorong penyerangnya ke arah teman-temannya sehingga tubuhnya jatuh menimpa temannya."Bruuuk."Suara makian memenuhi sel, teman-temannya kembali mendorong badan penyerang Rangga. Untuk sesaat mereka saling ribut sendiri. Terlalu berbahaya jika aku berlama-lama di sini. Aku harus bisa keluar dari tempat ini, tapi aku tidak ingin menggunakan ilmu Sang Hyang Agni untuk membunuh mereka, pikir Rangga. Rangga teringat, para prajurit Pajang itu hanya merampas kerisnya tapi dia masih punya pisau bedah yang tersembunyi di lipatan setagen. Rangga mengambil pisau bedah itu untuk berjaga-jaga menakuti musuh. Seme
Setelah seharian berlatih bersama Ki Bima, Rangga mengemukakan keinginannya untuk pergi mencari Saraswati."Ki Bima, sudah saatnya saya pergi mencari Saraswati, besok saya akan ke Trowulan mencari Saras yang diculik Hasta.""Aku ikut ke Trowulan, sekalian mau menengok Wening di Kasogatan Dharma Suci. Lagipula berada di rumah ini malah membuatku sedih. Setiap hari aku bisa melihat bayangan isteriku di setiap sudut rumah ini ,"keluh Ki Bima.Rangga menyambut baik keinginan Ki Bima."Tentu saja, lebih baik jika ada teman di perjalanan."Keesokan paginya waktu subuh, Rangga dan Ki Bima sudah berangkat dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju Pajang. Saat mereka tiba di kota, hari sudah siang dan merasa lapar dan haus."Kita mampir ke Kedai Medang temanku. Masakannya enak dan murah,"ajak Ki Bima.Saat tiba di kedai Medang, kedatangan mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera mempersilahkan mereka masuk. Baru saja mereka duduk di tikar, seorang laki-laki seumuran Ki Bim
Saat sadar, Rangga mendapati dirinya sudah berada di tempat tidurnya. Untuk sesaat Rangga bingung dengan peristiwa yang dialaminya. Beberapa saat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. Ki Bima menghampiri dirinya membawa cawan di atas nampan. "Aah kamu sudah bangun...ini ada beras kencur, minumlah supaya badanmu segar lagi,"Ki Bima menyodorkan cawan kepada Rangga. Sebenarnya saat itu Rangga merasa kesal terhadap Ki Bima. Namun hatinya mulai luluh saat Ki Bima memberinya minuman. Rangga menyambut cawan lalu menenggak habis isinya. "Terimakasih, sebenarnya apa yang tadi anda lakukan pada saya?"tanya Rangga dengan nada emosional. Ki Bima menghela nafas panjang lalu menatap Rangga dengan pandangan serius. "Aku menunjukmu sebagai ahli waris Ilmu Sang Hyang Bayu. Anak-anakku sudah tidak bisa kuharapkan lagi untuk melestarikan ilmu itu. Aku mohon pergunakanlah ilmu itu untuk kebaikan dan turunkanlah pada generasi berikutnya." Rangga tertegun, ternyata Ki Bima telah m
Rangga hanya bisa menatap pisau bedah yang bergerak tak beraturan tanpa berani menyentuhnya. Beberapa saat kemudian, pisau bedah itu berhenti bergerak. Dengan hati-hati Rangga mencoba menyentuh pisau itu. Ternyata tak ada reaksi dari pisau bedah itu, Rangga bernafas lega lalu memasukan pisau bedah ke dalam peti, setelah itu tidak ada suara lagi dari dalam peti.Rangga kembali ke tikarnya dan kembali berbaring lalu memejamkan matanya mencoba tidur kembali. Saat akan terlelap antara terjaga dan tidak, Rangga melihat asap keluar dari dalam peti. Asap itu makin lama makin tebal membentuk satu sosok. Kemudian asap mulai menipis dan sosok itu makin terlihat jelas. Rangga melihat seorang laki-laki berpakaian serba putih berdiri di depan peti.Sontak Rangga langsung terjagaPisau bedah itu mulai menampakan penghuninya, pikir Rangga.Laki-laki itu menyapa Rangga"Anakku, ternyata kamu sekarang sudah besar. Aku senang melihatmu menjadi seorang tabib yang mumpuni."Rangga terkejut, barulah dia.m
"Tapi saya bukanlah tabib, tolong kembalikan pisau itu pada saya. Pisau itu milik bapak kandung saya yang tidak pernah saya temui sejak lahir. Dengan pisau itu saya ingin mencari keberadaan bapak saya dan berharap bisa bertemu dengannya. Jadi saya mohon, kembalikan pisau bedah itu,"Rangga berlutut memohon pada Sumana dengan wajah memelas. Sumana mulai ragu, di satu sisi dia kasihan dengan Rangga tapi di sisi lain, dia bisa merasakan energi buruk yang ada di dalam taji bedah itu begitu kuat. Melihat Sumana yang masih meragu, Rangga membujuk lagi "Saya berjanji, nanti jika saya sudah bertemu Bapak, saya akan melarungnya ke laut." Sumana berpikir sejenak kemudian dia menghela nafas panjang. "Aah...baiklah jika kamu berjanji mau melarungnya di laut setelah bertemu bapakmu, ambilah,"Sumana mengulurkan pisau bedah pada Rangga. Rangga bernafas lega, buru-buru dia mengambil pisau bedah itu lalu menyimpannya di lipatan setagennya. "Resi Sumana, saya harus segera pergi mencari Saras. Has
Usai menggulung pengejarnya dengan air laut dan menghempaskan mereka ke laut yang sedang bergelora, Rangga dengan ilmu Bayu Sumilir kabur dari pantai. Namun perewangan mereka tak tinggal diam. Mereka dengan gesit masuk ke laut yang ombaknya sedang menggelora. Ketiga prajurit itu berhasil diselamatkan dari amukan Laut Selatan. Mereka lalu berusaha menyusul Rangga yang berlari ke arah gerbang rahasia menuju Laut Kidul. "Jangan biarkan dia lolos!"seru salah satu dari prajurit itu Rangga terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Saat menoleh lagi, dia melihat para pengejarnya sudah semakin dekat. "Sial, kenapa mereka cepat sekali menyusulku?"gumam Rangga. Akhirnya Rangga berhasil mencapai pintu gerbang. Rangga menoleh me belakang. Saat itu diihatnya ke tiga prajurit dan perewangannya sudah dicegat oleh beberapa pasukan Laut Kidul yang entah darimana datangnya tiba-tiba saja sudah berada di situ. Ketiga prajurit bersama perewangannya tampak panik dan ketakutan. Barul