"Amrita, apa yang terjadi?"Rangga melihat jenazah di depan Amrita. Resi Raju telah gugur dengan tubuh penuh cacahan senjata tajam dan luka tusuk di dadanya. Sedangkan Amrita tangannya terluka karena goresan senjata tajam."Mereka...mereka telah membunuh ayah,"Amrita menangis tersedu.Rangga begitu marah, wajahnya membesi dengan suara bergetar dia bertanya kepada Amrita."Kamu tahu siapa yang membunuh mereka, setidaknya kamu tahu ciri-ciri mereka?"tanya Rangga lagi.Amrita menggeleng dan menangis lagi"Aku tidak tahu Rangga, aku bingung sekarang aku sudah tidak punya siapa siapa lagi."Rangga hanya bisa termangu di sisi jenazah Resi Raju. Dia bisa mengerti, Amrita masih belum bisa ditanyai tentang peristiwa kematian ayahnya. Seseorang menepuk bahunya, Rangga menoleh, Dhesta berdiri di belakangnya dengan raut wajah sedih."Maaf aku terlambat menolong Resi Raju. Dia memilih menjadi tameng untuk anaknya. Saat aku datang membantu, beberapa orang telah membunuhnya. Beruntung aku masih sem
Dhesta terdiam sejenak lalu berkata lagi."Sebenarnya ada untungnya kamu tidak sadarkan diri seperti orang mati. Setelah kerusuhan itu, beberapa prajurit kerajaan mencarimu. Tapi saat aku menunjukan tubuhmu yang sudah terbujur kaku dengan wajah pucat, mereka pergi dan tak bertanya-tanya lagi. Rangga sebenarnya apa yang terjadi sampai prajurit kerajaan ikut mengejarmu?"Rangga hanya menggeleng lalu berkata."Entahlah aku tidak tahu. Mungkin karena aku berteman dengan Awehpati si Raja Racun. Ah sudahlah, yang penting Sang Hyang Widhi masih melindungi aku. Aku dimatikan sebentar untuk menyelamatkan nyawaku."Rangga tiba-tiba teringat dengan Pandhita Kanwa."Dhesta, bagaimana nasib Pandhita Kanwa, apa dia selamat?"Dhesta menenangkan Rangga."Jangan kuatir, Pandhita Kanwa selamat, beberapa jamaah pendekar berhasil membawanya pergi. Sekarang dia pulang ke desa Parambanan tempat tinggalnya."Rangga lega Pandhita Kanwa masih hidup. Setidaknya dia masih bisa meminta bantuannya membebaskan ji
"Mereka masih bisa dibebaskan? Pandhita Kanwa mengangguk. "Masih bisa, jangan kuatir, nanti malam kita ke Sywagrha. Kita akan mengadakan upacara untuk menghilangkan kutukan dan membebaskan jiwa para pendekar itu dari karma Sang Hyang Agni. ****** Malam itu Rangga sama sekali tidak bisa tidur. Dia gelisah menunggu sampai waktunya tiba. Waktu pun berjalan hingga menjelang sepertiga malam, saat itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Dengan membawa obor Rangga, Pandhita Kanwa dan dua orang cantrik yang membawa keperluan upacara berjalan menyusuri jalan desa yang sepi menembus kegelapan malam. Dari semak belukar terkadang tampak sepasang mata berwarna merah mengamati mereka sebentar lalu menghilang dalam kerimbunan semak belukar. Pandhita Kanwa rupanya menangkap kecemasan di mata Rangga. "Jangan takut, itu cuma mata harimau yang keluar di malam hari. Mereka tidak menyerang asal kita tidak mengganggu,"ujar Pandhita Kanwa. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah mereka
Hari sudah subuh saat upacara pembebasan karma Sang Hyang Agni usai. Setelah beristirahat sebentar, Pandhita Kanwa mengajak Rangga melarung abu di Kali Opak yang berada di dekat Sywagrha.Sebelum melarung abu, Pandhita Kanwa memimpin doa untuk mendoakan arwah-arwah para pendekar yang gugur di Lembah Hantu. Rangga melarung abu yang dibawanya ke sungai. Aliran sungai yang jernih membawa abu menuju Pantai Selatan. Rangga merasa lega, pikirannya kini terasa ringan karena tugas dari para pendekar di Lembah Hantu sudah selesai. "Pandhita Kanwa, karena urusan ini sudah selesai saya pamit mau pulang ke Lembah Hantu,"ujar Rangga."Silahkan kalau mau pulang. Tapi mulai dari sekarang kamu harus berhati-hati karena energi Sang Hyang Agni itu telah berpindah ke dalam tubuhmu. Kamu harus bisa mengendalikannya. Jika tidak tubuhmu akan berasa seperti terbakar. Tapi saat bertarung energi Sang Hyang Agni otomatis akan keluar dari tubuhmu. Bahkan hanya dengan satu jari saja kamu dapat membakar lawanmu,
Kedua rekannya yang lain terkejut melihat temannya tanpa disentuh bisa mengalami luka bakar. Wajah mereka seketika berubah ketakutan. Rangga menatap mereka dengan pandangan sinis. Dari kalung yang mereka kenakan, dia tahu bahwa pangkat mereka hanyalah prajurit rendahan. "Bukannya berperang kalian malah mau merusak anak gadis orang. Bagaimana jika Bekel kalian tahu kalian berada di sini di saat penyerbuan,"ejek Rangga. Ketiga prajurit itu saling berpandangan lalu buru-buru merapikan celana dan setagennya lalu menghunus pedang. "Kurang ajar kamu, ikut campur urusan orang saja!" Mereka langsung bergerak menyerang Rangga. Tapi bagi Rangga serangan mereka tak ada artinya. Tangan Rangga berkelebat menyambar pedang yang mengarah ke tubuhnya. Tak lama kemudian, pedang mereka sudah meleleh. Terkesiap ketiga prajurit tadi, seketika ketiganya langsung lari ambil langkah seribu. Rangga membiarkan saja mereka berlari, baginya tidak ada gunanya juga mengejar prajurit penakut. saat dia menoleh
Terkesiap Hasta dan Rama melihat orang-orang Bulan Sabit Emas dan prajurit Pajang bertumbangan dihajar pihak lawan. Melihat situasi yang makin tidak kondusif, Rama berbisik pada Hasta "Kangmas Hasta, keadaan mulai tidak menguntungkan, sepertinya orang itu menggunakan senjata rahasia jarum beracun,"Rama menunjuk pada Awehpati yang tangannya bergerak menebarkan sesuatu. Hasta memandang Awehpati dengan pandangan penuh dendam "Awehpati, orang itu selalu saja menggangguku. Dia sempat menghilang tapi tiba-tiba dia muncul lagi mengacaukan semuanya!" "Awehpati? Siapa dia sebenarnya?"tanya Rama. "Dia si Raja Racun murid Ra Tanca pengkhianat negara,"jawab Hasta dengan geram. Hasta yang sudah dibakar amarah langsung maju hendak menghadang Rangga namun Rama menghalangi. "Sabar Kangmas, sebaiknya kamu segera pergi dari sini sebelum mereka menghajarmu,"saran Rama. Hasta melihat ke gelanggang, beberapa orang-orang sekte Bulan Sabit Emas dan prajurit kerajaan sudah terkena racun. Menya
"Aku tidak bisa Bapak, aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia persilatan. Aku hanya ingin melanglang buana bersama Amrita dan anak-anak kami kelak." Liman tertunduk lesu, upayanya mengajak Dhesta menjadi penerus ilmu Sang Hyang Bumi pupuslah sudah. "Dhesta, keinginanku untuk menunjukmu sebagai pewaris ilmu pamungkas Sekte Kapak Setan bukanlah tanpa alasan. Jika kamu bisa menguasai ilmu ke empat unsur itu, Bumi, Air, Api dan Udara, maka kamu akan menjadi pendekar yang tak terkalahkan." "Ilmu empat unsur? Bagaimana mungkin aku bisa menguasai semuanya sedangkan Bapak cuma punya satu. Tapi menurutku jika memang awalnya seharusnya menjadi satu kenapa sekarang jadi terpisah bahkan ada yang menjadi milik golongan hitam seperti ilmu Sang Hyang Bumi ini?"tanya Dhesta. Liman menghela nafas lalu mulai bercerita "Kamu benar Dhesta, awalnya ilmu ini dibawa oleh Aji Saka saat datang ke pulau Jawa. Dulu pulau Jawa belum dihuni manusia. Yang ada hanyalah setan dan demit berbagai jen
"Makan jamur beracun?" Liman mengangguk lalu mulai bercerita. "Wijil suka sekali makan botok jamur. Suatu hari dia mengeluh tidak enak badan karena masuk angin. Dia minta dibuatkan makanan kesukaannya yaitu botok jamur. Lalu aku mencari jamur di hutan, botok itu kucampur dengan jamur beracun." Liman menghela nafas matanya menerawang mengingat peristiwa pembunuhan Nyai Wijil. "Dia memakan botok jamur beracun yang kubuat, setelah makan tiba-tiba dia mengalami sesak nafas yang hebat. Wijil adalah penderita asma, jamur beracun itu memperparah keadaannya,"ujar Liman. Dhesta tertegun melihat sisi lain dari bapaknya. Selama ini dia melihat bapaknya sebagai orang yang pengasih. Bahkan menyembelih ayampun dia tak pernah melakukan sendiri. Tapi sekarang dia mampu membunuh kekasihnya. Dengan suara lirih Dhesta bertanya "Ibu juga sudah mengkhianati Bapak, tapi kenapa Bapak tidak membunuhnya atau membunuhku karena aku anak haram Prabu Jayanegara?" Liman terdiam, dia mengambil secawa
Semua orang terkejut, wajah dan tubuh orang yang baru datang itu tampak bengep seperti habis dipukuli. Ternyata orang itu adalah tetangga mereka juga yang sama-sama berjualan makanan di pasar.Jiwo tertegun melihat kondisi orang itu.Apa yang dikatakan Saloka benar adanya, aku punya khodam pendamping yang tidak hanya sebagai penunjuk jalan tetapi juga membantuku menyelesaikan urusanku, pikir Jiwo.Setelah itu, orang-orang mulai meminta Jiwo untuk memberikan pengobatan, mencari pusaka dan benda yang hilang bahkan meramal nasib. ******Pagi itu, Rangga berenang di air terjun. Saat di dekat gerojokan air terjun, Rangga melihat ada sebuah ruang di belakang air terjun. Penasaran dengan ruangan itu, Rangga berenang lebih dekat lagi, lalu mulai meneliti ruang di belakang air terjun.Ternyata ada sebuah lorong kecil. Rangga masuk ke dalam lorong, ternyata di dalamnya terdapat sebuah ruangan. Dia memasuki ruangan itu, ternyata ruangan itu kedap air dan agak gelap. Tidak ada benda apapun di d
"Sebagai pengganti matamu yang telah kami ambil, aku akan menggantinya dengan penglihatan mata ketiga,"ujar Saloka."Maksudmu aku diberi mata baru? Lalu mata siapa yang akan kalian gunakan sebagai pengganti?"tanya Jiwo keheranan.Saloka hanya tersenyum mendengar pertanyaan Jiwo."Kamu akan memiliki penglihatan mata batin tanpa batas. Kamu bisa melihat apa yang seharusnya tak terlihat."Jiwo tertawa sinis"Kalau cuma kaya gitu sih, dukun-dukun bahkan anak kecil bisa melihat makhluk halus. Apa istimewanya mata ketigaku?"Wajah Saloka berubah, dia tampak tidak suka disepelekan ilmunya."Kamu betul-betul orang yang tidak tahu terimakasih. Pandangan mata ketiga yang kuberikan kepadamu bukanlah mata ketiga biasa seperti yang dimiliki dukun-dukun kelas teri itu. Banyak orang yang menginginkan ilmu itu. Mereka rela bertapa bertahun-tahun untuk mendapatkan penglihatan Mata Ketiga itu tapi tak satupun dari mereka yang mampu memperolehnya karena syaratnya memang berat.""Baiklah kalau memang il
Kulitnya terasa perih karena berjalan menembus semak berduri dan terkena goresan ranting. "Buug!" Jiwo menabrak batang pohon besar yang menghalangi jalannya. Kepalanya pusing, kedua rongga matanya terasa sakit, setelah itu dia pingsan. Saat itu Jiwo merasa tubuhnya menjadi seringan kapas melayang keluar dari tubuhnya sehingga dia dapat melihat dirinya yang sedang terbaring di lantai hutan. Heei... aku bisa melihat sekarang, tapi apa aku sudah mati?pikir Jiwo. Sebuah lorong yang diterangi cahaya tiba-tiba terbentang di depannya. Jiwo terkejut melihat lorong bercahaya itu tiba-tiba sudah berada di depannya. Apakah lorong ini menuju nirwana?batin Jiwo sambil melangkah lebih dekat lagi mendekati pintu lorong. Jiwo terus melangkahkan kaki memasuki lorong, namun baru beberapa langkah masuk lorong, tiba-tiba saja tubuhnya ditarik oleh sebuah kekuatan besar, tersedot masuk lebih dalam ke dalam lorong dengan kecepatan tinggi. Jiwo berusaha keluar dari lorong tapi tak bisa. T
"Kami adalah penghuni tempat ini! Dan sekarang kamu tidur di atas istana Raja kami!""Istana apaan, aku tidur di atas batu kali,"jawab Jiwo setengah mengantuk.Namun orang-orang itu tampaknya tak mau peduli, mereka terus membangunkan Jiwo. Ada yang menggelitiki pinggangnya, menarik kupingnya atau menjambak rambutnya. Jiwo yang sudah kecapekan tak juga bangun walaupun tidurnya diganggu.Akhirnya karena Jiwo tak juga pindah tempat, makhluk-makhluk itu memindahkan Jiwo ke atas pohon Waru. Jiwo yang masih tak sadar dirinya berpindah tempat, dengan santainya berguling membalikan badan."Buug!"Badan jiwo jatuh dari atas pohon. Pemuda itu kesakitan dan memaki"Aduuh...sialan aku dipindah. Siapa yang mindah aku?!"Akhirnya Jiwopun menyerah, sambil memegangi kepalanya yang sedikit pusing gara-gara jatuh dari pohon, Jiwo duduk di bawah pohon. Rasa kantuknya sudah menghilang sama sekali. Tapi Jiwo masih bersyukur, pohonnya tidak tinggi sehingga tidak membahayakan dirinya. Udara yang dingin m
Namun Dhesta tak mengindahkan perintah bapaknya. Dia mengambil Kapak Setan lalu berlari menyongsong lawan dan menghalau pasukan clurit dari Sekte Bulan Sabit Emas suruhan Hasta. Kapak Dhesta berkelebat membabat para penyerang. Jumlah mereka tidak terlalu banyak namun mereka semua memiliki tingkatan ilmu silat di atas rata-rata sehingga membuat mereka kewalahan menghadapinya. "Anak bodoh, kamu pulang ke Lawu saja, apa kamu tidak memikirkan keselamatan Amrita?" Dhesta tertegun, karena sibuk menghadapi musuh, dia melupakan Amrita. "Amrita!"Dhesta langsung berlari mencari Amrita di dalam rumah. Di sana dia melihat Amrita sudah diseret keluar dari tempat persembunyiannya oleh dua laki-laki berambut panjang terurai dengan ikat kepala Bulan Sabit Emas. Masing-masing membawa senjata clurit. "Hei...jangan sentuh dia!" Dua pria bersenjata clurit menengok terkejut ketika melihat ada orang lain di situ. Keduanya menghunus clurit lalu langsung menyerang Dhesta. "Hiyaaa." Di dalam rumah
Nyi Blorong mengejar, berusaha menangkap Saraswati. Gadis itu mencoba melawan, dengan ilmu Sang Hyang Tirta dia menyapu tubuh Nyi Blorong dengan air laut. "Whuuur!" Nyi Blorong hanya mengangkat tangannya, air laut berbalik menghantam Saraswati membuat gadis itu terkejut saat menyadari air laut berbalik mengantam dirinya. Dia berusaha menghindar tapi air laut seolah berada dalam kendali Nyi Blorong. Air laut itu seperti selendang air yang mengejar Saraswati. Kemanapun dia menghindar selendang air laut akan selalu mengejarnya. "Ha ha ha kamu bocah kemarin sore mau melawanku dengan ilmu Sang Hyang Tirta? Akulah si pengendali air yang sejati. Kamu tidak akan bisa melawanku!" Saraswati terus bergerak menghindar, walaupun dia memiliki stamina yang prima, tapi terus-terusan bergerak menghindar makin lama membuatnya semakin kelelahan. Sementara Rangga masih terus berusaha menghabisi pasukan manusia tanpa mata sehingga tak sempat memperhatikan Saraswati. Hingga suatu saat selendang
Rangga menoleh ke arah yang ditunjuk Saraswati. Entah darimana datangnya, ada seorang laki-laki berjalan ke arah mereka dari arah pantai. Berdebar Rangga saat melihat cara jalan orang itu. Orang itu terlihat berjalan biasa. Namun ketika kakinya melangkah, hanya dalam beberapa detik saja orang itu sudah mendekat ke arah mereka. "Saras, kita kembali ke goa, dia bukan orang. Aku tak mau berurusan dengan makhluk-makhluk di sini,"Rangga menarik tangan Saraswati mengajaknya pergi. Tapi Saraswati melepaskan tangannya dari genggaman Rangga. "Dia orang, lihat...kakinya menapak di tanah, penampilannya biasa saja seperti kita. Kalau kamu mau masuk goa, masuk saja sendiri,"Saraswati masih ngotot bertahan. Rangga mulai kesal dengan sikap keras kepala Saraswati. "Ayo kita pergi sebelum dia sampai kemari? Apa kamu tidak curiga dengan cara berjalannya?Lihat dia kelihatannya berjalan biasa, tapi hanya dalam satu langkah saja dia sudah menjangkau.jarak yang cukup jauh!" Saraswati mulai menga
Saraswati tersadar dengan gugup dia berkata "Oh ya tentu saja, bapakku seorang pertapa. Dia sering bertapa di gunung-gunung di pulau Jawa ini. Pastinya dia pernah di sini, simbol makara adalah simbol dari keluarga kami." "Lalu apa maksud bapakmu meletakan patung makara itu di sini? Seharusnya patung ini diletakan di tempat yang mudah terlihat. Bukan di tempat tersembunyi di antara celah bebatuan goa. Sepertinya dia tak ingin tempat ini ditemukan orang,"tulas Rangga. Saraswati terdiam mengingat-ingat sesuatu laku berkata lagi. "Bapakku pernah bercerita tentang jalur menuju Laut Selatan melalui sebuah lorong yang terletak di wilayah Pajang. Mungkinkah lorong ini akan membawa kita langsung menuju Laut Selatan?" Rangga teringat pengalamannya saat membebaskan keluarga Prawara dari perjanjian pesugihan dengan Nyi Blorong. Saat itu dia bisa langsung menuju Laut Selatan dari halaman belakang rumah keluarga Prawara. "Ah, tidak aku tidak mau ke sana lagi. Malas aku bertemu dengan par
Mereka menerobos kerimbunan hutan di lereng Merapi. Ternyata jalur menuju goa itu tidak semudah yang terlihat dari jauh. Mereka masih harus berjalan agak jauh. Samar terdengar suara air mengalir dengan deras, semakin dekat suara air mengalir itu semakin jelas terdengar. Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah bukit batu yang terjal. Di atas bukit batu itu ada sebuah goa. Sesampainya di depan bukit batu, Rangga berdiri terpaku. Bukit itu ternyata curam dan dipenuhi oleh bebatuan yang terjal, licin dan berlumut. "Kalau dengan cara biasa kita akan kesulitan mencapai goa itu,"Rangga berkomentar. "Lalu apa kamu mau mundur dan mencari tempat lain?"tanya Saraswati. "Tidak, kita tetap ke sana, kamu pegangan yang kenceng, aku bawa kamu ke sana,"Rangga memeluk pinggang Saraswati lalu melompat ke bukit batu, menapaki bebatuan dengan ilmu meringankan tubuh Sang Hyang Bayu. Saraswati yang terkejut berteriak kaget. "Hei, kamu tidak perlu menggendongku seperti ini. Aku juga bisa!" "Sudah