Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan.
Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ...
Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!!
“Aaauuuww ...!!”
Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan.
Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah.
Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis ke ketiga lawannya. Kedua tangannya digenggamnya kuat-kuat. Namun dari kedua tangannya itu masih terlihat bekas dasar segar dari ketiga tubuh lawannya.
“Bagaimana?” tanyanya. “Apakah serangan pertamaku membuat kalian kaget dan menderita?”
“Cuih ...!” Ketiga lawannya spontan meludah dan geram.
“Jangan dulu sombong, Bocah!” bentak salah satu dari ketiganya. “Kami bersumpah akan membuat tubuhmu menjadi tumpukan cincangan daging di atas panggung ini!”
Perkataan ini membuat Panji Jagat tertawa terbahak-bahak, seolah-olah ancaman dari lawannya itu sesuatu yang menggelikan hatinya.
Beberapa laki-laki pendukung di bawah sisi panggung melemparkan tiga golok pertangkai panjang kepada ketiga ketiga Pendekar Penguji.
Melihat itu, Golong dan Kerta langsung emosi.
“Wah, kalian ingin berbuat curang, ya?” tunjuk Golong marah kepada ketiga Pendekar Penguji. Lalu ia dan Kerta melesat ke atas panggung dan berdiri di kedua sisi Panji jagat.
“Ayok, kita bertarung secara jantan tiga lawan tiga!” tantang Kerta pula dengan wajah geram sembari menunjuk kepada ketiga Pendekar Penguji.
Panji Jagat merentangkan kedua tangannya ke samping, menenangkan kedua adik seperguruannya. “Tenang, tenang. Kalian turun saja. Aku tak akan sulit kalau hanya melemparkan tubuh ketiganya ini keluar panggung.”
Golong dan Kerta mendengus sinis kepada ketiga Pendekar Penguji sebelum meloncat turun dari panggung.
Dan bersamaa dengan itu, ketiga Pendekar Penguji tanpa memberi aba-aba langsung menyerang ke depan dengan menusuk dan mengicaskan golok tangkai panjang di tangannya masing-masing. Semua orang langsung menahan nafas dan merasa ngeri. Ketiga mata golong yang sangat tajam itu bakalan akan membuat tubuh Panji Jagat benar-benar tertebas dari berbagai arah.
Ketika ketiga ujung dan mata golok itu nyaris mengoyak tubuhnya, tiba-tiba Panji Jagat mengaum keseras-kerasnya. Sebuah auman dan gerungan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi yang membuat ketiga lawannya sontak melempar begitu saja tangkai goloknya dan cepat-cepat menutup kedua telinga mereka yang terasa amat sakit menusuk oleh auman dan gerungan itu. Bukan hanya ketiga Pendekar Penguji itu itu yang merasakan sakit yang menusuk di gendang telinga dan nyeri di segenap saraf tubuhnya, namun semua penonton, termasuk Ki Lurah Cokro dan Jan Tole.
Untungnya, Panji Jagat tidak melanjutkan auman dan gerungannya, sehingga semua orang bisa terbebas dari siksaan. Ia memandang kepada ketiga lawannya dengan tatapan mata sangat tajam seolah-olah sorot mata seekor macan yang siap menerkam yang disertai bunyi gigi-geriginya yang menggeretak.
“Si-siapa kau ini, Anak Muda ....?” tanya salah seorang Pendekar Penguji dengan wajah ketakutan.
Panji Jagat melangkah mendekat sembari menggerang seperti seekor macan yang marah. “Aku sudah mengatakannya tadi, bahwa namaku Panji Jagat. Ya, Panji jagat, murid sejati dari Ki Raksa Jagat. Hua ha ha ha ....”
“Haah?”
“Murid dari Raksa Jagat?”
Ketiga Pendekar Penguji serentak menyebut nama tokoh persilatan kelas wahid itu dengan mata membeliak, kaget.
“Jadi ...?” Ucap ketiganya lagi sambil saling menatap satu sama lain. “Di-dia adalah muridnya Pendekar Macan Tutul Jawadwipa?”
Wajah ketiganya makin terlihat ketakutan saat menyebut nama itu. Lalu, seperti dikomando, ketiganya langsung meloncat turun dari panggung pertarungan sebelum mengambil langkah seribu, melesat ke arah selatan.
Tepuk tangan dan teriakan dukungan terhadap Panji Jagat pun langsung pecah membahana. Ki Lurah Cokro yang sejak tadi terpaku dan terperangah, pelan-pelan ia kembali berdiri dan memberikan tepukan tangan kepada Panji Jagat.
Jan Tole mengikuti dengan sikap ogah-ogahan dan juga merasa gusar terhadap romonya. “Romo ....!” bisiknya seperti orang berteriak. “Aku akan mengalahkan bocah sombong itu. Aku akan mengalahkannya seperti aku mengalahkannya pada pertarungan-pertarungan sebelumnya!”
“Tidak!” bentak Ki Lurah Cakra. “Panji Jagat sekarang sama sekali bukan Panji Jagat yang kamu taklukkan dulu. Dia sekarang menjadi seorang pendekar yang sangat digdaya!”
“Tapi aku yakin bisa mengalahkannya, Romo. Aku akan membuktikannya kepada Romo bahwa dia masih seperti Panji Jagat yang dahulu!”
“Diam dan jangan ngeyel! Kamu belum tahu siapa Ki Raksa Jagat, gurunya! Sang pendekar yang sangat digdaya yang belum siapa pun mampu mengalahkannya. Apakah kau tak melihat ketiga Pendekar Penguji tadi lari lintang pukang ketakutan? Itu artinya apa, heh? Dengarkan kata Romo! Kau jangan pernah bermimpi untuk bertarung dengan dia!”
Walau menahan kemarahan yang sangat, Jan Tole terpaksa tunduk pada kata-kata romonya. Saat itu.
“Panji Jagat ...!” panggil Ki Lurah Cokro Setiaji. “Untuk pertarungan tahun ini, aku telah menetapkan kau sebagai jawaranya, walau tanpa harus bertarung dengan putraku, Jan Tole. Terimalah lima ratus kepeng emas dariku ini sebagai hadiahmu.”
Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.” “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.” “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.” Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung. Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya m
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber
Panji Jagat tak mampu menatap wajah gurunya. Air matanya keluar begitu saja tanpa mampu ia bendung. “Seorang laki-laki sejati tak pantas untuk meneteskan air mata, apa pun pedihnya hal yang tengah kita hadapi, Muridku,” Ki Raksa Jagat mengigatkan. “Jika pun air matamu harus tumpah, maka tumpahkan saja ke dalam, jangan keluar. Air mata seorang laki-laki bisa melemahkan orang-orang di sekitarmu, terlebih kau kelak tentu akan menjadi seseorang sebagai tempat bersandarnya banyak orang.” “Ma-maafkan aku, Guru!” ucap Panji Jagat sembari menghapus air matanya dengan jari-jari tanganya. “Hm. Sekarang kaudengarkan aku. Aku pernah melakukan penyelidikan ke kota raja. Kondisi kehidupan di Kerajaan Gundala saat ini tidak sedang baik-baik saja. Pemerintahan Prabu Natanala seakan-akan berjalan tanpa arah yang jelas. Rakyat sendiri dicekik batang leher mereka dengan pajak yang tinggi. Pungutan haram yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan makin membuat kehidupan rakyat Gundal
Gantian laki-laki desa yang mengulang nama tempat yang disebutkan oleh Panji Jagat. Ada gambaran keheranan yang terlihat di wajah laki-laki paroh baya baya itu. Karena menurut masyarakat di sekitar, Ngarai Kulon adalah sebuah kawasan yang sangat angker dan tak siapa pun berani memasuki kawasan itu. Bukan karena sekedar angker tetapi untuk menuruni jurang agar bisa berpijak di kawasan itu amatlah sulit dan sangat berbahaya. Lalu tempat tinggal pemuda tampan berwajah bangsawan ini di sebelah mananya? “Kenapa, Ki ...?” “Oh, tak apa-apa, Den Bagus,” jawab laki-laki desa dengan cepat. “Jadi Den Bagus ini akan menuju kota raja?” “Iya, Ki. Apakah kota raja masih cukup jauh dari sini?” “Bukan masih jauh lagi, Den Bagus, tapi masih sangat jauh. Dengan naik kuda yang paling cepat karinya pun, Den Bagus baru sampai ke sana mungkin sudah mulai malam. Jika jalan kaki, ya mungkin bisa sampai esok hari, Den Bagus.” “Oh, baiklah. Saya akan menikmati perjalanan k
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Kedua cuping hidungnya kembang-kempis. Ada aroma yang demikian sedap yang menyerangnya dan membuat perutnya langsung bereaksi dan bersuara. Matahari kala itu sesaat lagi akan tepat di atas kepalanya. Saat ia mengangkat dagunya dan memngarahkan pandangannya ke tengah desa. Ia melihat sebuah kedai berkepul yang terlihat cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang. “Hm, kayaknya aroma sedap itu sumbernya dari sana. Baiknya aku memang harus makan dulu, karena perjalanan masih sangat jauh, dan belum tentu ada kedai makan di perkampungan-perkampungan selanjutnya. Kebetulan sejak bangun tidur tadi perutku belum terisi,” desahnya lagi. Kedai atau warung makan yang sebagian dibuat setengah terbuka itu memang cukup luas dan bersih. Aroma masakannya yang begitu sedap makin menggoda perutnya yang memang sedang kosong. Pantas saja ramai pelanggan yang menikmati masakan di warung itu. “Selamat datang di warung makan kami, Aden,” ucap seoran
Di ruang makan, Panji Jagat pun sedikit kaget melihat kehadiran kelompok kecil yang terdiri dari enam orang itu. Adab mereka kasar seperti penampilannya. Mereka masuk begitu saja, sehingga sebagian pelanggan yang sedang menikmati santap siang mereka lebih memilih untuk meninggalkan makanan mereka. Dan sebagian lain yang bertahan melanjutkan makan mereka dengan membisu dan wajah merunduk waspada. Tanpaknya para pelanggan warung makan itu tak mau berurusan dengan keenam laki-laki yang bertampang kasar dan sangar itu. Keenam pun bebas memilih meja makan yang sudah kosong. Suasana warung makan langsung berisik dengan suara pembicaraan yang diselingi oleh tawa lepas mereka. Dunia seakan-akan hanya milik mereka saja. Walau merasa risih juga dengan kehadiran manusia-manusia yang tak disukai itu, Pendekar Macan Kumbang tetap melanjutkan makannya dengan lahap dan tenang, namun sekali-sekali matanya tetap mengawasi keenam orang itu. “Sronto! Mana makanannya, kenapa lama
Lagi-lagi Panji Jagat menahan amarahnya. Dia melangkah mendekati Ki Sronto dan membawanya untuk duduk di kursi di dekatnya yang sudah kosong. Wulan yang sejak tadi bersembunyi langsung berlari keluar dan memeluk tubuh ayahnya sembari terisak. “Kalian bersabar saja. Orang-orang seperti itu hanya tunggu waktu saja untuk dijemput celaka,” ucap Panji Jagat. “Memang mereka itu siapa, Ki, Dik Wulan, kalau boleh saya tau?” “Mereka itu gerombolan begal, Kang. Entah sudah berapa puluh kali mereka mampir makan di tempat ini dengan tanpa membayar,” jawab Wulan sembari mengusap air matanya. “Biadab mereka!” ucap Panji Jagat geram. “Kira-kira berapa utang mereka, jika dihitung?” “Wah, mungkin sudah hampir dua puluh keping emas, Den Bagus. Tapi biarlah. Mudah-mudahan mereka tak pernah kembali lagi di sini,” sahut Ki Sronto dengan nafas masih tersengal-sengal akibat dadanya yang maish terasa sakit dan sesak. Panji Jagat mendengarkan baik-baik harapan pemilik warung ma