Share

PART 06

      Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan.

      Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji  Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ...

      Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!!

      “Aaauuuww ...!!”

     Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan.

     Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah.

      Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis ke ketiga lawannya. Kedua tangannya digenggamnya kuat-kuat. Namun dari kedua tangannya itu masih terlihat bekas dasar segar dari ketiga tubuh lawannya.

      “Bagaimana?” tanyanya. “Apakah serangan pertamaku membuat kalian kaget dan menderita?”

     “Cuih ...!” Ketiga lawannya spontan meludah dan geram.

     “Jangan dulu sombong, Bocah!” bentak salah satu dari ketiganya. “Kami bersumpah akan membuat tubuhmu menjadi tumpukan cincangan daging di atas panggung ini!”

     Perkataan ini membuat Panji Jagat tertawa terbahak-bahak, seolah-olah ancaman dari lawannya itu sesuatu yang menggelikan hatinya.

     Beberapa laki-laki pendukung di bawah sisi panggung melemparkan tiga golok pertangkai panjang kepada ketiga ketiga Pendekar Penguji.

     Melihat itu, Golong dan Kerta langsung emosi.

     “Wah, kalian ingin berbuat curang, ya?” tunjuk Golong marah kepada ketiga Pendekar Penguji. Lalu ia dan Kerta melesat ke atas panggung dan berdiri di kedua sisi Panji jagat.

      “Ayok, kita bertarung secara jantan tiga lawan tiga!” tantang Kerta pula dengan wajah geram sembari menunjuk kepada ketiga Pendekar Penguji.

      Panji Jagat merentangkan kedua tangannya ke samping, menenangkan kedua adik seperguruannya. “Tenang, tenang. Kalian turun saja. Aku tak akan  sulit kalau hanya melemparkan tubuh ketiganya ini keluar panggung.”

     Golong dan Kerta mendengus sinis kepada ketiga Pendekar Penguji sebelum meloncat turun dari panggung.

     Dan bersamaa dengan itu, ketiga Pendekar Penguji tanpa memberi aba-aba langsung menyerang ke depan dengan menusuk dan mengicaskan golok tangkai panjang di tangannya masing-masing. Semua orang langsung menahan nafas dan merasa ngeri. Ketiga mata golong yang sangat tajam itu bakalan akan membuat tubuh Panji Jagat benar-benar tertebas dari berbagai arah.

         Ketika ketiga ujung dan mata golok itu nyaris mengoyak tubuhnya, tiba-tiba Panji Jagat mengaum keseras-kerasnya. Sebuah auman dan gerungan yang mengandung kekuatan tenaga dalam yang cukup tinggi yang membuat ketiga lawannya sontak melempar begitu saja tangkai goloknya dan cepat-cepat menutup kedua telinga mereka yang terasa amat sakit menusuk oleh auman dan gerungan itu. Bukan hanya ketiga Pendekar Penguji itu itu yang merasakan sakit yang menusuk di gendang telinga dan nyeri di segenap saraf tubuhnya, namun semua penonton, termasuk Ki Lurah Cokro dan Jan Tole.

     Untungnya, Panji Jagat tidak melanjutkan auman dan gerungannya, sehingga semua orang bisa terbebas dari siksaan. Ia memandang kepada ketiga lawannya dengan tatapan mata sangat tajam seolah-olah sorot mata seekor macan yang siap menerkam yang disertai bunyi gigi-geriginya yang menggeretak.

     “Si-siapa kau ini, Anak Muda ....?” tanya salah seorang Pendekar Penguji dengan wajah ketakutan.

      Panji Jagat melangkah mendekat sembari menggerang seperti seekor macan yang marah. “Aku sudah mengatakannya tadi, bahwa namaku Panji Jagat. Ya, Panji jagat, murid sejati dari Ki Raksa Jagat. Hua ha ha ha ....”

      “Haah?”

     “Murid dari Raksa Jagat?”

     Ketiga Pendekar Penguji serentak menyebut nama tokoh persilatan kelas wahid itu dengan mata membeliak, kaget.

      “Jadi ...?” Ucap ketiganya lagi sambil saling menatap satu sama lain. “Di-dia adalah muridnya Pendekar Macan Tutul Jawadwipa?”

      Wajah ketiganya makin terlihat ketakutan saat menyebut nama itu. Lalu, seperti dikomando, ketiganya langsung meloncat turun dari panggung pertarungan  sebelum mengambil langkah seribu, melesat ke arah selatan.

      Tepuk tangan dan teriakan dukungan terhadap Panji Jagat pun langsung pecah membahana. Ki Lurah Cokro yang sejak tadi terpaku dan terperangah, pelan-pelan ia kembali berdiri dan memberikan tepukan tangan kepada Panji Jagat.

      Jan Tole mengikuti dengan sikap ogah-ogahan dan juga merasa gusar terhadap romonya. “Romo ....!” bisiknya seperti orang berteriak. “Aku akan mengalahkan bocah sombong itu. Aku akan mengalahkannya seperti  aku mengalahkannya pada pertarungan-pertarungan sebelumnya!”

      “Tidak!” bentak Ki Lurah Cakra. “Panji Jagat sekarang sama sekali bukan Panji Jagat yang kamu taklukkan dulu. Dia sekarang menjadi seorang pendekar yang sangat digdaya!”

      “Tapi aku yakin bisa mengalahkannya, Romo. Aku akan membuktikannya kepada Romo bahwa dia masih seperti Panji Jagat yang dahulu!”

      “Diam dan jangan ngeyel! Kamu belum tahu siapa Ki Raksa Jagat, gurunya! Sang pendekar yang sangat digdaya yang belum siapa pun mampu mengalahkannya. Apakah kau tak melihat ketiga Pendekar Penguji tadi lari lintang pukang ketakutan? Itu artinya apa, heh? Dengarkan kata Romo! Kau jangan pernah bermimpi untuk bertarung dengan dia!”

       Walau menahan kemarahan yang sangat, Jan Tole terpaksa tunduk pada kata-kata romonya. Saat itu.

      “Panji Jagat ...!” panggil Ki Lurah Cokro Setiaji. “Untuk pertarungan tahun ini, aku telah menetapkan kau sebagai jawaranya, walau tanpa harus bertarung dengan putraku, Jan Tole.  Terimalah lima ratus kepeng emas dariku ini sebagai hadiahmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status