Share

PART 07

       Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.”

      “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.”

      “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.”

      Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung.

      Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri.  Di luar dugaan siapa pu,  tubuhnya melesat ke depan sembari mencabut sebilah patrem (keris kecil) beracun yang terselip dari balik bajunya, menyerang Panji Jagat dari belakang.  Naga-naganya ia hendak menghabisi sang pewaris Ki Cakra Jagat itu dengan tikman tepat di jantungnya.

      Panji Jagat tidak menyadari itu. Namun  Golong dan Kerta yang memang sudah mewaspadai gerak-gerik pemuda itu, serentang berteriak, “Woee ... pengecut kau ...!!”

      Dan serentak pula keduanya  melesat ke atas panggung bagai dua ekor macan lapar sembari mengeluarkan auman dan gerungan amarah yang memekakkan telinga. Saat ujung keris Jan Tole beberapa jengkal lagi akan menembus jantung Panji Jagat dari belakang, dua pukulan yang disertai cakaran keras dari Golong dan Kerta langsung menghantamnya dengan sangat keras.

        Buggh ...!!

        Bughh ...!!

       Crashh ...!!

       Crashh ...!!

       Gubrakk ...!!!

      Tak ayal lagi, tubuh tinggi kekar dari pendekar yang bergelar PendekarTangan Maut itu langsung terlempar keras ke belakang panggung kecil dan jatuh menghantam bumi dengan sangat keras.  Darah segar menyembur dari dari mulut dan lubang hidungnya. Di kedua sisi dadanya pun terlihat luka sobekan seperti terkena cakaran seekor macan dan mengalirkan darah segar yang cukup banyak. Hanya sesaat ia mengerang lalu tak sadarkan diri.

     Ki Lurah Cokro yang menyaksikan kondisi memilukan yang dialami oleh putra semata wayangnya itu, langsung menyerit sekeras-kerasnya. Ketika ia meloncat ke atas panggung hendak membalas atas penderitaan anaknya, namun ketiga murid Ki Raksa Jagat sudah tak ada di tempat itu. Ia melampiaskan kemarahannya yang menghentakkan kaki kanannya pada papan panggung yang menyebabkan lantai panggung itu jebol.

      Pada saat yang sama, ketiga murid Ki Jagat Raksa sedang menuruni jurang curam dengan cara meloncat ke sana ke mari dengan gerakan yang amat cepat dan gesit. Sesampai di bawah sungai, ketiganya langsung meledakkan tawa senangnya sembari mengadu tos satu sama lain. Dengan girang pula ketiganya melempar dan menangkap kantong hitam berisi lima ratus keping emas secara bergiliran.

      Pada saat giliran Golong hendak menangkap kantong itu, tiba-tiba serangkum angin berhembus tajam dan menarik kantong ke arah selatan dengan sangat cepat. Dengan cepat pula ketiga calon pendekar besar itu menoleh.  Bersamaan pula wajah mereka menunjukkan kekagetannya.

        Sang guru mereka sedang duduk bersila di atas cabang sebatang pohon talo yang tumbuh di pinggir sungai. Cabang pohon itu hanya sebesar tongkat, tetapi mampu menopang tubuh Pendekar Macan Tutul Jawadwipa, dan tak terlihat melengkung ke bawah.

      “Kalian bertiga telah melakukan kesalahan,” ucap Ki Raksa Jagat dengan sorot mata dingin. Tapi tak ada siratan kemarahan dalam suara itu.  “Kesalahan pertama adalah kalian pergi tanpa meminta ijin kepadaku. Kesalahan kedua adalah kalian telah memperlakukan musuh kalian melampaui batas kewajaran. Mereka bukanlah manusia-manusia yang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Tujuan sayembara tarung itu hanya mencari pemenang secara kesatria, bukan untuk hendak saling membunuh.”

      Tak perlu bertanya dari mana sang guru mengetahui peristiwa di Krajan tadi, Panji Jagat, Golong, dan Kerta serentak  berlutut dan meminta maaf kepada sang guru.

     “Tak mengapa,” lanjut Ki Raksa Jagat lagi. “Putra dari Ki Lurah Cokro itu akan baik-baik saja. Hanya saya ia butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan luka dalam akibat pukulan Golong dan Kerta. Demikian juga bagian dada bekas cakarannya. Tetapi harus aku nasihatkan kepada kalian, bahwa hal seperti tadi tak perlu diulangi lagi di lain waktu, sekiranya lawan kalian adalah bukan manusia yang memang sangat jahat. Kalian cukup memberikan pukulan yang menghentikannya. Akan selalu ada jalan insyaf dan taubat bagi setiap manusia yang gemar berbuat dosa.”

     “Baik, Guru. Maafkan kami ....!” ucap Panji Jagat,  Kerta, dan Golong hampir bersamaan sembari memberi tabik.

      Malam hari, di bawah cahaya rembulan purnama Panji Jagat mendapat gemblengan khusus dari Ki Raksa Jagat, yaitu menurunkan ilmu-ilmu pamungkas. Dengan menurunkan ilmu pamungkas ini maka sempurnalah ia menurunkan seluruh ilmunya kepada sang murid utamanya ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status