Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.”
“Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.”
“Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.”
Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung.
Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya melesat ke depan sembari mencabut sebilah patrem (keris kecil) beracun yang terselip dari balik bajunya, menyerang Panji Jagat dari belakang. Naga-naganya ia hendak menghabisi sang pewaris Ki Cakra Jagat itu dengan tikman tepat di jantungnya.
Panji Jagat tidak menyadari itu. Namun Golong dan Kerta yang memang sudah mewaspadai gerak-gerik pemuda itu, serentang berteriak, “Woee ... pengecut kau ...!!”
Dan serentak pula keduanya melesat ke atas panggung bagai dua ekor macan lapar sembari mengeluarkan auman dan gerungan amarah yang memekakkan telinga. Saat ujung keris Jan Tole beberapa jengkal lagi akan menembus jantung Panji Jagat dari belakang, dua pukulan yang disertai cakaran keras dari Golong dan Kerta langsung menghantamnya dengan sangat keras.
Buggh ...!!
Bughh ...!!
Crashh ...!!
Crashh ...!!
Gubrakk ...!!!
Tak ayal lagi, tubuh tinggi kekar dari pendekar yang bergelar PendekarTangan Maut itu langsung terlempar keras ke belakang panggung kecil dan jatuh menghantam bumi dengan sangat keras. Darah segar menyembur dari dari mulut dan lubang hidungnya. Di kedua sisi dadanya pun terlihat luka sobekan seperti terkena cakaran seekor macan dan mengalirkan darah segar yang cukup banyak. Hanya sesaat ia mengerang lalu tak sadarkan diri.
Ki Lurah Cokro yang menyaksikan kondisi memilukan yang dialami oleh putra semata wayangnya itu, langsung menyerit sekeras-kerasnya. Ketika ia meloncat ke atas panggung hendak membalas atas penderitaan anaknya, namun ketiga murid Ki Raksa Jagat sudah tak ada di tempat itu. Ia melampiaskan kemarahannya yang menghentakkan kaki kanannya pada papan panggung yang menyebabkan lantai panggung itu jebol.
Pada saat yang sama, ketiga murid Ki Jagat Raksa sedang menuruni jurang curam dengan cara meloncat ke sana ke mari dengan gerakan yang amat cepat dan gesit. Sesampai di bawah sungai, ketiganya langsung meledakkan tawa senangnya sembari mengadu tos satu sama lain. Dengan girang pula ketiganya melempar dan menangkap kantong hitam berisi lima ratus keping emas secara bergiliran.
Pada saat giliran Golong hendak menangkap kantong itu, tiba-tiba serangkum angin berhembus tajam dan menarik kantong ke arah selatan dengan sangat cepat. Dengan cepat pula ketiga calon pendekar besar itu menoleh. Bersamaan pula wajah mereka menunjukkan kekagetannya.
Sang guru mereka sedang duduk bersila di atas cabang sebatang pohon talo yang tumbuh di pinggir sungai. Cabang pohon itu hanya sebesar tongkat, tetapi mampu menopang tubuh Pendekar Macan Tutul Jawadwipa, dan tak terlihat melengkung ke bawah.
“Kalian bertiga telah melakukan kesalahan,” ucap Ki Raksa Jagat dengan sorot mata dingin. Tapi tak ada siratan kemarahan dalam suara itu. “Kesalahan pertama adalah kalian pergi tanpa meminta ijin kepadaku. Kesalahan kedua adalah kalian telah memperlakukan musuh kalian melampaui batas kewajaran. Mereka bukanlah manusia-manusia yang pantas untuk diperlakukan seperti itu. Tujuan sayembara tarung itu hanya mencari pemenang secara kesatria, bukan untuk hendak saling membunuh.”
Tak perlu bertanya dari mana sang guru mengetahui peristiwa di Krajan tadi, Panji Jagat, Golong, dan Kerta serentak berlutut dan meminta maaf kepada sang guru.
“Tak mengapa,” lanjut Ki Raksa Jagat lagi. “Putra dari Ki Lurah Cokro itu akan baik-baik saja. Hanya saya ia butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan luka dalam akibat pukulan Golong dan Kerta. Demikian juga bagian dada bekas cakarannya. Tetapi harus aku nasihatkan kepada kalian, bahwa hal seperti tadi tak perlu diulangi lagi di lain waktu, sekiranya lawan kalian adalah bukan manusia yang memang sangat jahat. Kalian cukup memberikan pukulan yang menghentikannya. Akan selalu ada jalan insyaf dan taubat bagi setiap manusia yang gemar berbuat dosa.”
“Baik, Guru. Maafkan kami ....!” ucap Panji Jagat, Kerta, dan Golong hampir bersamaan sembari memberi tabik.
Malam hari, di bawah cahaya rembulan purnama Panji Jagat mendapat gemblengan khusus dari Ki Raksa Jagat, yaitu menurunkan ilmu-ilmu pamungkas. Dengan menurunkan ilmu pamungkas ini maka sempurnalah ia menurunkan seluruh ilmunya kepada sang murid utamanya ini.
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber
Panji Jagat tak mampu menatap wajah gurunya. Air matanya keluar begitu saja tanpa mampu ia bendung. “Seorang laki-laki sejati tak pantas untuk meneteskan air mata, apa pun pedihnya hal yang tengah kita hadapi, Muridku,” Ki Raksa Jagat mengigatkan. “Jika pun air matamu harus tumpah, maka tumpahkan saja ke dalam, jangan keluar. Air mata seorang laki-laki bisa melemahkan orang-orang di sekitarmu, terlebih kau kelak tentu akan menjadi seseorang sebagai tempat bersandarnya banyak orang.” “Ma-maafkan aku, Guru!” ucap Panji Jagat sembari menghapus air matanya dengan jari-jari tanganya. “Hm. Sekarang kaudengarkan aku. Aku pernah melakukan penyelidikan ke kota raja. Kondisi kehidupan di Kerajaan Gundala saat ini tidak sedang baik-baik saja. Pemerintahan Prabu Natanala seakan-akan berjalan tanpa arah yang jelas. Rakyat sendiri dicekik batang leher mereka dengan pajak yang tinggi. Pungutan haram yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan makin membuat kehidupan rakyat Gundal
Gantian laki-laki desa yang mengulang nama tempat yang disebutkan oleh Panji Jagat. Ada gambaran keheranan yang terlihat di wajah laki-laki paroh baya baya itu. Karena menurut masyarakat di sekitar, Ngarai Kulon adalah sebuah kawasan yang sangat angker dan tak siapa pun berani memasuki kawasan itu. Bukan karena sekedar angker tetapi untuk menuruni jurang agar bisa berpijak di kawasan itu amatlah sulit dan sangat berbahaya. Lalu tempat tinggal pemuda tampan berwajah bangsawan ini di sebelah mananya? “Kenapa, Ki ...?” “Oh, tak apa-apa, Den Bagus,” jawab laki-laki desa dengan cepat. “Jadi Den Bagus ini akan menuju kota raja?” “Iya, Ki. Apakah kota raja masih cukup jauh dari sini?” “Bukan masih jauh lagi, Den Bagus, tapi masih sangat jauh. Dengan naik kuda yang paling cepat karinya pun, Den Bagus baru sampai ke sana mungkin sudah mulai malam. Jika jalan kaki, ya mungkin bisa sampai esok hari, Den Bagus.” “Oh, baiklah. Saya akan menikmati perjalanan k
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Kedua cuping hidungnya kembang-kempis. Ada aroma yang demikian sedap yang menyerangnya dan membuat perutnya langsung bereaksi dan bersuara. Matahari kala itu sesaat lagi akan tepat di atas kepalanya. Saat ia mengangkat dagunya dan memngarahkan pandangannya ke tengah desa. Ia melihat sebuah kedai berkepul yang terlihat cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang. “Hm, kayaknya aroma sedap itu sumbernya dari sana. Baiknya aku memang harus makan dulu, karena perjalanan masih sangat jauh, dan belum tentu ada kedai makan di perkampungan-perkampungan selanjutnya. Kebetulan sejak bangun tidur tadi perutku belum terisi,” desahnya lagi. Kedai atau warung makan yang sebagian dibuat setengah terbuka itu memang cukup luas dan bersih. Aroma masakannya yang begitu sedap makin menggoda perutnya yang memang sedang kosong. Pantas saja ramai pelanggan yang menikmati masakan di warung itu. “Selamat datang di warung makan kami, Aden,” ucap seoran
Di ruang makan, Panji Jagat pun sedikit kaget melihat kehadiran kelompok kecil yang terdiri dari enam orang itu. Adab mereka kasar seperti penampilannya. Mereka masuk begitu saja, sehingga sebagian pelanggan yang sedang menikmati santap siang mereka lebih memilih untuk meninggalkan makanan mereka. Dan sebagian lain yang bertahan melanjutkan makan mereka dengan membisu dan wajah merunduk waspada. Tanpaknya para pelanggan warung makan itu tak mau berurusan dengan keenam laki-laki yang bertampang kasar dan sangar itu. Keenam pun bebas memilih meja makan yang sudah kosong. Suasana warung makan langsung berisik dengan suara pembicaraan yang diselingi oleh tawa lepas mereka. Dunia seakan-akan hanya milik mereka saja. Walau merasa risih juga dengan kehadiran manusia-manusia yang tak disukai itu, Pendekar Macan Kumbang tetap melanjutkan makannya dengan lahap dan tenang, namun sekali-sekali matanya tetap mengawasi keenam orang itu. “Sronto! Mana makanannya, kenapa lama
Lagi-lagi Panji Jagat menahan amarahnya. Dia melangkah mendekati Ki Sronto dan membawanya untuk duduk di kursi di dekatnya yang sudah kosong. Wulan yang sejak tadi bersembunyi langsung berlari keluar dan memeluk tubuh ayahnya sembari terisak. “Kalian bersabar saja. Orang-orang seperti itu hanya tunggu waktu saja untuk dijemput celaka,” ucap Panji Jagat. “Memang mereka itu siapa, Ki, Dik Wulan, kalau boleh saya tau?” “Mereka itu gerombolan begal, Kang. Entah sudah berapa puluh kali mereka mampir makan di tempat ini dengan tanpa membayar,” jawab Wulan sembari mengusap air matanya. “Biadab mereka!” ucap Panji Jagat geram. “Kira-kira berapa utang mereka, jika dihitung?” “Wah, mungkin sudah hampir dua puluh keping emas, Den Bagus. Tapi biarlah. Mudah-mudahan mereka tak pernah kembali lagi di sini,” sahut Ki Sronto dengan nafas masih tersengal-sengal akibat dadanya yang maish terasa sakit dan sesak. Panji Jagat mendengarkan baik-baik harapan pemilik warung ma
Tepos, Gobang, dan Jolang serentak menyanggupi. “Bagus! Aku berharap, dari Wulan aku akan mendapatkan keturunan yang tak aku dapatkan dari kesembilan istriku itu. Payah mereka!” ucap Ki Barong Seta sembari kembali melanjutkan perkalanan. Kelima anggotanya tak mau menanggapi omongan perihal anak itu, karena mereka tahu bahwa sang ketua mereka itu tak mungkin bisa punya anak. Penyakit Raja Singa yang dideritanya sejak masih muda masih sering kambuh dan membuatnya menjerit kesakitan ketika tengah malam. “Aku yakin,” lanjut Ki Barong Seta lagi, “rombongan kerajaan tadi membawa perhiasan yang banyak, baik dari para prajurit maupun dari para gadis calon dayang istana itu. Sebab para gadis itu bukanlah putri dari warga sembarangan. Mereka rata-rata berasal dari keluarga yang berada, tentu saja orang tua mereka membekali mereka dengan perhiasan yang mahal dan banyak. Bagaimana menurutmu, Jarot?” “Saya selalu percaya dengan firasatnya Ketua. Selama ini tak pernah