Tendangan dan hantaman keras dari ketiga Pendekar Penguji terjadi secara beruntun dan amat keras, membuat tubuh kelima pendekar penantang langsung terlempar dan mencelat ke luar panggung. Kelimanya jatuh dengan punggung membentur bumi, sehingga saat benturan itu terjadi dari mulut mereka menyembur darah segar.
Para penonton dengan suka rela segera membantu kelima pendekar itu membantu menegakkan tubuh kelima pendekar malang itu. Ada juga di antara mereka segera memberinya air minum.
Seorang laki-laki yang bertindah sebagai juru acara melompat ke atas panggung dan mengumumkan akan kemenangan dari ketiga Pendekar Penguji.
Sambutan dengan tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan langsung membahana di sekeliling panggung pertarungan.
“Yak, dengan kekalahan dari kelima pendekar penantang barusan,” lanjut sang juru acara lagi, “adalah akhir dari Sayembara Wibawa untuk tahun ini. Karena itu, Sayembara Wibawa tahun ini masih dimenangkan oleh para Pendekar Penguji! Karena itu, dengan berakhirnya pertarungan tadi, maka berakhir pula .....”
“Tungguu ...!!”
Juru Acara dibuat kaget dan tak melanjutkan ucapannya mendapat teriakan keras itu. Bukan saja Juru Acaranya yang kaget, tapi segenap yang hadir di tempat itu merasakan hal yang sama dan langsung memanjanghkan leher mereka untuk melihat ke arah datangnya suara.
“Apa masih ada pendekar yang ingin menatang ...?” teriak Juru Acara.
“Saya yang menantang!!”
“Haah ...??”
Juru Acara dan ketiga Pendekar Penguji serta merta membalikkan tubuh mereka. Spontan pula wajah keempatnya menyiratkan kekagetannya. Seorang pemuda gagah bertubuh tegap berotot dan mengenakan semacam pakaian bercorak tutul telah berdiri bah sesosok patung di hadapan mereka. Bagaimana bisa sang pemuda asing itu telah berada di belakang bereka tanpa menimbulkan suara sedikit pun?
“Si-siapa namamu, Anak Muda? Si-silakan perkenalkan diri?” pinta Juru Acara dengan suara tertahan.
“Namaku Panji Jagat,” jawab Panji Jagat sembari mengangkat dagunya. “Saya bukan siapa-siapa, dan juga bukanlah seorang pendekar masyhur ataupun jawara pilih tanding seperti sampean bertiga. Saya hanyalah seorang pemuda desa yang ingin mengadu untung di atas panggung sayembara ini!”
“Tapi aturannya Anak Muda, sebelumnya harus mendaftarkan diri, tidak boleh langsung naik menantang begitu saja. Jadi, Anak Muda belum beruntung di sayembara tahun ini,” sahut Juru Acara.
“Oh, maaf, jika peraturannya seperti itu,” sahut Panji Jagat. “Berarti tahun ini saya gagal untuk membawa pulang hadiah lima ratus keping emas, ya? Sayang sekali. Tapi tak mengapa, mungkin memang belum saatnya saya untuk mendapatkan. Maafkan saya ....”
Saat Panji Jagat hendak meloncat turun dari panggung, terdengar suara berat namun berwibawa dari arah panggung kecil: “Tunggu ...!”
Semua mata menoleh. Yang bersuara itu adalah Ki Lurah Cokro. Laki-laki itu duduk bersebelahan kursi dengan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Saat melihat ke arah Panji Jagat, pemuda yang memiliki wajah ganteng tapi pongah itu menyunggingkan senyum agak sinisnya.
“Biarkan Anak Muda itu menjadi peserta penantang terakhir. Saya mengecualikan khusus dia untuk sayembara kali ini. Aku kagum dengan jiwa besar dan sikap beraninya,” lanjut Ki Lurah Cokro.
“Terima kasih, Ki Lurah, karena telah membolehkan saya untuk ambil bagian dalam pertarungan sayembara ini,” ucap Panji Jagat sembari memberi hormat dengan sedikit menundukkan kepalanya.
“Hum, silakan, Anak Muda ....!”
Para penonton yang sudah mau bubar kembali memadati sekeliling panggung pertarungan sehingga menimbulkan suara yang hingar bingar lagi. Juru Acara langsung menenangkan segenap penonton dengan melambaikan kedua tangannya, sebelum berkata, “Baiklah! Atas kebijakan dari pemimpin kita yang bijak, Ki Lurah Cokro Setiaji, maka Anak Muda yang bernama ...?”
“Panji Jagat ...!” Panji Jagat mengingatkan.
“Iya, Panji Jagat! Dia diberi kesempatan sebagai penantang terakhir. Berikan tepuk tangan yang gemuruh kepada anak muda pemberani ini ...!!”
Tepuk tangan yang disertai teriakan pun benar-benar menggemuruh.
Juru Acara kembali mengangkat kedua tangannya, untuk menenangkan suasana. “Baiklah,” lanjutnya, “kepada peserta tarung, silakan bersiap-siap. Saat saya meloncat turun dari panggung ini, itu sekaligus sebagai tanda pertarungan dimulai. Hup ...!”
Ketika Juru Acara telah meloncat turun dari panggung pertarungan, tatapan tajam ketiga Pendekar Penguji diarahakan kepada Panji Jagat. Dan salah seorang dari ketiganya berkata, “Hei Anak Muda, kami mempersilakanmu untuk menggunakan senjata apa pun untuk melawan kami. Silakan.”
“Tidak!” sahut Panji Jagat. “Saya harus bersikap kesatria. Saya tak akan menggunakan senjata apa pun selama lawan saya tidak menggunakannya. Senjata utama saya adalah ini (sembari memperlihatkan kedua tangannya) dan ini ...! (sembari menepuk kedua kakinya), serta ini ...! (sembari mengetuk pelipisnya sendiri dengan ujung telunjuknya).”
Ketiga Pendekar Penguji langsung menyambut ucapan Panji Jagat itu dengan tertawa terbahak-bahak.
“Ya, ya, ya, kami kagum dengan keberanianmu, Anak Muda,” ucap salah seorang lagi di antara ketika Pendekar Penguji. “Tapi apakah kemampuan bela dirimu selaras dengan ucapan dengan keberanianmu? Itu yang ingin kami buktikan. Silakan Anak Muda serang ka ...!”
Belum lagi ucapan itu selesai, Panji Jagat sudah melakukan serangan ke depan dengan gerakan yang sangat cepat, di luar perkiraan ketiga lawannya. Ia melompat bak seekor macan tutul yang disertai auman dam gerungan, melampaui kepala ketiga Pendekar Penguji.
Spontan pula ketiga Pendekar Penguji membalikkan tubuhnya hendak menangkap bagian tubuh Panji Jagat lalu menghajarnya secara berbarengan. Akan tetapi, bukan saja maksud ketiganya tak berhasil, bahkan di luar dugaan mereka Panji Jagat telah mendahului dengan gerakan mencakar yang amat cepat dan mematikan. Dan ... Creesshh ....!! Creesshh ...!! Cressshh ...!! “Aaauuuww ...!!” Bagian dada ketiga Pendekar Penguji langsung koyak dan mengeluarkan darah segar akibat cakaran cepat daroi kedua jari tangan Panji Jagat. Ketiganya pun menjerit tinggi nyaris bersamaan. Bukan saja ketiga Pendekar Penguji itu yang dibuat sangat kaget plus menderita, seluruh penonton pun langsung dibuat terbelalak dan berteriak tertahan. Demikian juga reaksi Ki Lurah Cokro Setiaji dan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Ayah beranak itu sontak berdiri dari kursinya dengan wajah terperangah. Di atas Panggung, Panji Jagat berdiri tegak sembari melemparkan senyum sinis
Panji Jagat menangkap sekantong keping emas yang dilemparkan oleh Ki Luar Cokro dan berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Ki Lurah adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Saya sangat menghormati itu.” “Hm, sama-sama, Anak Muda yang hebat. Sampaikan salamku pada gurumu, Ki Raksa Jagat. Walaupun aku belum bernah melihat wajahnya, tetapi beliau adalah seorang pendekar besar yang sangat aku kagumi.” “Baik, Ki Lurah, salam Ki Lurah akan saya sampaikan kepada guru saya,” sahut Panji Jagat. Lalu berkata kepada Jan Tole, “Hai, Sobat. Kita lupakan masa lalu kita. Anggap itu sebagai cerita kita yang menyenangkan. Berlatihlah lebih keras lagi.” Bagi Jan Tole, kalimat itu tetap terasa sebagai sindiran tajam baginya. Ia mendengus kesal. Romonya, hanya melihatnya sesaat sebelum melangkah meninggalkannya untuk turun dari panggung. Jan Tole rupanya masih sangat penasaran. Ia juga merasa sakit hati karena diremehkan oleh romonya sendiri. Di luar dugaan siapa pu, tubuhnya m
Ki Raksa Jagat memerintahkan sang murid untuk mengambil sikap semedi dalam sebuah sendang kecil yang terletak di sebelah barat candi semedi. Golong dan Kerta hanya menyaksikan dari jarak yang cukup jauh prosesi penurunan ilmu pamungkas itu. Ki Raksa Jagat duduk di tepian sendang dengan sikap seperti sedang bersemedi setelah ia mengerahkan seluruh energi alam dan energi murni dari dalam dirinya lalu menyatukannya di kedua pelah tangannya. Kedua tangannyanya digerakkan ke depan dengan gerakan secara pelan dan indah yang juga diikuti oleh gerakan tubuhnya. Sekilas ia seperti orang yang sedang mengaduk masakan dalam belanga dengan tongkat ke depan. Air sendang yang direndami oleh Panji Jagat pun pelan-pelan ikut berputar, juga bergolak serta mulai mengepulkan asap. Ketika makin lama Ki Raksa Jagat menggerakkan gerakan berputar tangannya, maka makin cepat juga gerak berpusing air sendang berikut tubuh Panji Jagat. Lalu beberapa detik kemudian putaran air sendang yang dise
Tiba-tiba Panji memejamkan matanya. Ada sesuatu hal yang ia rasakan saat itu. “Dan ... Guru, mengapa aku seolah-olah bisa mendengarkan semua bahasa hewan? Oh, dunia tiba-tiba terasa ramai ...!” “Benar, Muridku. Karena dalam tubuhmu, dalam darah dan dagingmu, hingga tarik nafasmu, telah tertanam berbagai ilmu kesaktian. Kau mampu memahami bahasa binatang karena kau memiliki Ilmu Ajian Ginem, tubuhmu akan seperti baja dan tak akan ada yang mampu melukaimu karena dalam tubuhmu juga telah tertanama Ajian Brojomusti, kau akan mampu membelah wujudmu menjadi wujud yang banyak karena kau telah menyimpan Ajian Belah Rogo. Bahkan kau pun mampu berubah penampakan wujudmu dari pandangan orang lain dengan wujud apa pun karena engkau memiliki Ajian Malih Rupa. Namun karena kamu adalah Pendekar Macan Tutul, wujudmu akan terlihat seperti seekor macan tutul, baik oleh hewan maupun oleh musuh-musuhmu. Saat amarahmu menguasai dirimu, maka kau seakan-akan menjelma bagai seekor macan dengan ber
Panji Jagat tak mampu menatap wajah gurunya. Air matanya keluar begitu saja tanpa mampu ia bendung. “Seorang laki-laki sejati tak pantas untuk meneteskan air mata, apa pun pedihnya hal yang tengah kita hadapi, Muridku,” Ki Raksa Jagat mengigatkan. “Jika pun air matamu harus tumpah, maka tumpahkan saja ke dalam, jangan keluar. Air mata seorang laki-laki bisa melemahkan orang-orang di sekitarmu, terlebih kau kelak tentu akan menjadi seseorang sebagai tempat bersandarnya banyak orang.” “Ma-maafkan aku, Guru!” ucap Panji Jagat sembari menghapus air matanya dengan jari-jari tanganya. “Hm. Sekarang kaudengarkan aku. Aku pernah melakukan penyelidikan ke kota raja. Kondisi kehidupan di Kerajaan Gundala saat ini tidak sedang baik-baik saja. Pemerintahan Prabu Natanala seakan-akan berjalan tanpa arah yang jelas. Rakyat sendiri dicekik batang leher mereka dengan pajak yang tinggi. Pungutan haram yang dilakukan oleh para petinggi kerajaan makin membuat kehidupan rakyat Gundal
Gantian laki-laki desa yang mengulang nama tempat yang disebutkan oleh Panji Jagat. Ada gambaran keheranan yang terlihat di wajah laki-laki paroh baya baya itu. Karena menurut masyarakat di sekitar, Ngarai Kulon adalah sebuah kawasan yang sangat angker dan tak siapa pun berani memasuki kawasan itu. Bukan karena sekedar angker tetapi untuk menuruni jurang agar bisa berpijak di kawasan itu amatlah sulit dan sangat berbahaya. Lalu tempat tinggal pemuda tampan berwajah bangsawan ini di sebelah mananya? “Kenapa, Ki ...?” “Oh, tak apa-apa, Den Bagus,” jawab laki-laki desa dengan cepat. “Jadi Den Bagus ini akan menuju kota raja?” “Iya, Ki. Apakah kota raja masih cukup jauh dari sini?” “Bukan masih jauh lagi, Den Bagus, tapi masih sangat jauh. Dengan naik kuda yang paling cepat karinya pun, Den Bagus baru sampai ke sana mungkin sudah mulai malam. Jika jalan kaki, ya mungkin bisa sampai esok hari, Den Bagus.” “Oh, baiklah. Saya akan menikmati perjalanan k
Tiba-tiba ia menghentikan langkahnya. Kedua cuping hidungnya kembang-kempis. Ada aroma yang demikian sedap yang menyerangnya dan membuat perutnya langsung bereaksi dan bersuara. Matahari kala itu sesaat lagi akan tepat di atas kepalanya. Saat ia mengangkat dagunya dan memngarahkan pandangannya ke tengah desa. Ia melihat sebuah kedai berkepul yang terlihat cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang. “Hm, kayaknya aroma sedap itu sumbernya dari sana. Baiknya aku memang harus makan dulu, karena perjalanan masih sangat jauh, dan belum tentu ada kedai makan di perkampungan-perkampungan selanjutnya. Kebetulan sejak bangun tidur tadi perutku belum terisi,” desahnya lagi. Kedai atau warung makan yang sebagian dibuat setengah terbuka itu memang cukup luas dan bersih. Aroma masakannya yang begitu sedap makin menggoda perutnya yang memang sedang kosong. Pantas saja ramai pelanggan yang menikmati masakan di warung itu. “Selamat datang di warung makan kami, Aden,” ucap seoran
Di ruang makan, Panji Jagat pun sedikit kaget melihat kehadiran kelompok kecil yang terdiri dari enam orang itu. Adab mereka kasar seperti penampilannya. Mereka masuk begitu saja, sehingga sebagian pelanggan yang sedang menikmati santap siang mereka lebih memilih untuk meninggalkan makanan mereka. Dan sebagian lain yang bertahan melanjutkan makan mereka dengan membisu dan wajah merunduk waspada. Tanpaknya para pelanggan warung makan itu tak mau berurusan dengan keenam laki-laki yang bertampang kasar dan sangar itu. Keenam pun bebas memilih meja makan yang sudah kosong. Suasana warung makan langsung berisik dengan suara pembicaraan yang diselingi oleh tawa lepas mereka. Dunia seakan-akan hanya milik mereka saja. Walau merasa risih juga dengan kehadiran manusia-manusia yang tak disukai itu, Pendekar Macan Kumbang tetap melanjutkan makannya dengan lahap dan tenang, namun sekali-sekali matanya tetap mengawasi keenam orang itu. “Sronto! Mana makanannya, kenapa lama