Share

PART 05

     Tendangan dan hantaman keras dari ketiga Pendekar Penguji terjadi secara beruntun dan amat keras, membuat tubuh kelima pendekar penantang langsung terlempar dan mencelat ke luar panggung. Kelimanya jatuh dengan punggung membentur bumi, sehingga saat benturan itu terjadi dari mulut mereka menyembur darah segar.

       Para penonton dengan suka rela segera membantu kelima pendekar itu membantu menegakkan tubuh kelima pendekar malang itu. Ada juga di antara mereka segera memberinya air minum.

     Seorang laki-laki yang bertindah sebagai juru acara melompat ke atas panggung dan mengumumkan akan kemenangan dari ketiga Pendekar Penguji.

      Sambutan dengan tepuk tangan yang disertai teriakan-teriakan langsung membahana di sekeliling panggung pertarungan.

     “Yak, dengan kekalahan dari kelima pendekar penantang barusan,” lanjut sang juru acara lagi, “adalah akhir dari Sayembara Wibawa untuk tahun ini. Karena itu, Sayembara Wibawa tahun ini masih dimenangkan oleh  para Pendekar Penguji! Karena itu, dengan berakhirnya pertarungan tadi, maka berakhir pula .....”

      “Tungguu ...!!”

      Juru Acara dibuat kaget dan tak melanjutkan ucapannya mendapat teriakan keras itu. Bukan saja Juru Acaranya yang kaget, tapi segenap yang hadir di tempat itu merasakan hal yang sama dan langsung memanjanghkan leher mereka untuk melihat ke arah datangnya suara.

      “Apa masih ada pendekar yang ingin menatang ...?” teriak Juru Acara.

     “Saya yang menantang!!”

     “Haah ...??”

     Juru Acara dan ketiga Pendekar Penguji serta merta membalikkan tubuh mereka. Spontan pula wajah keempatnya menyiratkan kekagetannya. Seorang pemuda gagah bertubuh tegap berotot dan mengenakan semacam pakaian bercorak tutul telah berdiri bah sesosok patung di hadapan mereka. Bagaimana bisa sang pemuda asing itu telah berada di belakang bereka tanpa menimbulkan suara sedikit pun?

      “Si-siapa namamu, Anak Muda? Si-silakan perkenalkan diri?” pinta Juru Acara dengan suara tertahan.

      “Namaku Panji Jagat,” jawab Panji Jagat sembari mengangkat dagunya. “Saya bukan siapa-siapa, dan juga bukanlah seorang pendekar masyhur ataupun jawara pilih tanding seperti sampean bertiga. Saya hanyalah seorang pemuda desa yang ingin mengadu untung di atas panggung sayembara ini!”

     “Tapi aturannya Anak Muda, sebelumnya harus mendaftarkan diri, tidak boleh langsung naik menantang begitu saja. Jadi, Anak Muda belum beruntung di sayembara tahun ini,” sahut Juru Acara.

      “Oh, maaf, jika peraturannya seperti itu,” sahut Panji Jagat.  “Berarti tahun ini saya gagal untuk membawa pulang hadiah lima ratus keping emas, ya? Sayang sekali. Tapi tak mengapa, mungkin memang belum saatnya saya untuk mendapatkan. Maafkan saya ....”

       Saat Panji Jagat hendak meloncat turun dari panggung, terdengar suara berat namun berwibawa dari arah panggung kecil: “Tunggu ...!”

      Semua mata menoleh. Yang bersuara itu adalah Ki Lurah Cokro. Laki-laki itu duduk bersebelahan kursi dengan putranya, Jan Tole alias Pendekar Tangan Maut. Saat melihat ke arah Panji Jagat, pemuda yang memiliki wajah ganteng tapi pongah itu menyunggingkan senyum agak sinisnya.

       “Biarkan Anak Muda itu menjadi peserta penantang terakhir. Saya mengecualikan khusus dia untuk sayembara kali ini. Aku kagum dengan jiwa besar dan sikap beraninya,” lanjut Ki Lurah Cokro.

      “Terima kasih, Ki Lurah, karena telah membolehkan saya untuk ambil bagian dalam pertarungan sayembara ini,” ucap Panji Jagat sembari memberi hormat dengan sedikit menundukkan kepalanya.

     “Hum, silakan, Anak Muda ....!”

       Para penonton yang sudah mau bubar kembali memadati sekeliling panggung pertarungan sehingga menimbulkan suara yang hingar bingar lagi. Juru Acara langsung menenangkan segenap penonton dengan melambaikan kedua tangannya, sebelum berkata, “Baiklah! Atas kebijakan dari pemimpin kita yang bijak, Ki Lurah Cokro Setiaji, maka Anak Muda yang bernama ...?”

     “Panji Jagat ...!” Panji Jagat mengingatkan.

     “Iya, Panji Jagat! Dia diberi kesempatan sebagai penantang terakhir. Berikan tepuk tangan yang gemuruh kepada anak muda pemberani ini ...!!”

     

      Tepuk tangan yang disertai teriakan pun benar-benar menggemuruh.

      Juru Acara kembali mengangkat kedua tangannya, untuk menenangkan suasana. “Baiklah,” lanjutnya,  “kepada peserta tarung, silakan bersiap-siap. Saat saya meloncat turun dari panggung ini, itu sekaligus sebagai tanda pertarungan dimulai. Hup ...!”

      Ketika Juru Acara telah meloncat turun dari panggung pertarungan, tatapan tajam ketiga Pendekar Penguji diarahakan kepada Panji Jagat. Dan salah seorang dari ketiganya berkata, “Hei Anak Muda, kami mempersilakanmu untuk menggunakan senjata apa pun untuk melawan kami. Silakan.”

      “Tidak!” sahut Panji Jagat. “Saya harus bersikap kesatria. Saya tak akan menggunakan senjata apa pun selama lawan saya tidak menggunakannya. Senjata utama saya adalah ini (sembari memperlihatkan  kedua tangannya) dan ini ...! (sembari menepuk kedua kakinya), serta ini ...! (sembari mengetuk pelipisnya sendiri dengan ujung telunjuknya).”

       Ketiga Pendekar Penguji  langsung menyambut ucapan Panji Jagat itu dengan tertawa terbahak-bahak.

      “Ya, ya, ya, kami kagum dengan keberanianmu, Anak Muda,” ucap salah seorang lagi di antara ketika Pendekar Penguji. “Tapi apakah kemampuan bela dirimu selaras dengan ucapan dengan keberanianmu? Itu yang ingin kami buktikan. Silakan  Anak Muda serang ka ...!”

     Belum lagi ucapan itu selesai, Panji Jagat sudah melakukan serangan ke depan dengan gerakan yang sangat cepat, di luar perkiraan ketiga lawannya. Ia melompat bak seekor macan tutul yang disertai auman dam gerungan, melampaui kepala ketiga Pendekar Penguji.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status