“Sebenarnya,” sahut Ki Bendut, “si penderita adalah salah satu selir dari Gusti Prabu. Bahkan bisa dikatakan sebagai selir utama.” Sedikit kaget Panji Jagat mendengar kabar itu. Ia hendak mengatakan sesuatu, tapi tiba-tiba pandangannya menangkap bayangan seorang wanita di dalam kamar bangunan yang berpondasi tingi itu. Ternyata sejak tadi wanita dengan rambut yang awut-awutan itu seperti mengintai ke arahnya. Tapi saat ia balik menatap, wanita yang katanya sedang sakit lama itu langsung mengelakkan wajahnya ke samping. “Ada apa?” tanya Ki Arya Bendut. “Eh, itu, Ki. Saya melihat, seakan-akan wanita dalam kamar itu terus mengintai ke arah saya sejak tadi, Ki Bendut,” bisik Panji Jagat kepada Ki Bendut. “Apa iya?” Ki Bendut bertanya balik sembari mengarahkan pandangannya ke arah jeruji jendela. “Ah, Dik Panji salah lihat mungkin? Dia sangat takut untuk melihat manusia lain. Satu-satunya manusia yang boleh masuk ke dalam kamarnya adalah ...” Ki Bendut
“Oh ... tidak ada-apa, Ngger,” sahut Ki Arya Dhanu tanpa mampu menyembunyikan kegugupannya. Sejak saat itu sikap Ki Arya Dhanu menjadi berbeda dari biasanya. Ia seperti orang yang gundah dan suka merenung. Bila ada yang mengajaknya bicara, hanya disahuti secukupnya saja. Selebihnya ia suka diam-diam memperhatikan Panji Jagat dengan tatapan aneh. Tampaknya, tanda lahir yang dilihatnya pada punggung Panji Jagat tempo hari yang menjadi penyebab perubahan sikapnya. Tanda lahir yang ada di punggung Panji Jagat sama persis tanda lahir yang dimiliki oleh Pangeran Sandaka, dan itu membuatnya berfirasat kuat, bahwa Panji Jagat sesungguhnya tak lain adalah sang pangeran yang pernah ia buang di sebuah jurang kurang lebih dua puluhan tahun yang lalu. “Jika memang keduanya adalah orang yang sama, maka bagaimana bisa ia selamat?” pikirnya Ki Arya Dhanu. Dulu, ia benar-benar telah melempar bocah itu ke mulut jurang terjal dan dalam. “Dulu aku sangat yakin, bahwa Pangera
Kedua mata Ki Arya Dhanu kembali berkaca-kaca, pandangannya kosong di arahluruskan ke depan. Ia pun mulai bercerita: “Sebenarnya, kematian Gustri Prabu Kertadana Adijaya bukanlah karena sakit yang alami, tetapi akibat diracun.” Wajah Panji Jagat sontak menoleh. “Diracun? Siapakah manusia biadab yang membunuh ramaku!” “Nayosoma,” jawab Ki Arya Dhanu. “Dia tak lain adalah Prabu Natanala.” “Jadi manusia iblis itu adalah Prabu Natanala? Bangsat biadab!!” umpat Panji Jagat penuh amarah. Kepalan tangan kanannya langsung menghantam tanah di sampingnya. Bumi di sekitar terasa bergetar. “Benar, Gusti Pangeran. Nayasoma adalah manusia berbulu domba. Dia sangat pandai menjilat dengan tutur katanya yang teratur dan menghanyutkan, padahal ia tak lebih dari sosok Durna, sehingga tak heran jika ia sebagai orang yang sangat dipercaya oleh Gusti Prabu Kertadana. Ia adalah seorang mahapatih, namun sekaligus sebagai penasehat utamanya mendiang Gusti Prabu Kertadana
Pagi itu istana Kerajaan Gundala terjadi kegemparan. Ki Sulaksana, sang kepala juru masak istana, tewas di kediamananya yang terletak di bagian timur lingkungan istana. Laki-laki yang berusia lima puluh tahun itu tewas dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Tubuhnya tercabik-cabik seperti terkena cakaran brutal dari seekor macan. Bekas percikan darahnya memenuhi kamar tilam pembaringannya. Mendapati kenyataan itu membuat murka Prabu Natanala. Beliau langsung memerintahkan bhayangkara kerajaan untuk menyelidiki penyebab terbunuhnya juru masak kepercayaannya itu, dan segera menangkap pelakunya. Beliau bersumpah akan menghukum sang pelaku dengan hukuman yang belum pernah disaksikan oleh segenap rakyat Kerajaan Gundala sebelumnya. Dari hasil penyelidikan pihak penyelidik bhayangkara kerajaan diperoleh sebuah fakta, bahwa tak ditemukan bekas kerusakan apa pun pada wisma kediaman sang korban. Lalu siapa pelakunya? Manusiakah atau sesosok siluman? Tapi kepala tim peny
Kawasan perburuan yang dimaksud adalah padang luas di mana Panji Jagat pernah berburu kijang buat dihidangkan kepada rombongannya Ki Arya Bendut beberapa bulan yang lalu. Yang berangkat berburu hari itu di samping Panji Jagat dan Ki Arya Dhanu adalah Pangeran Prabaswara dan sejumlah prajurit terbaik kerajaan. Sedangkan Pangeran Wiraraja tak ikut. Menurut Ki Arya Dhanu bahwa para prajurit pengawal yang ikut itu merupakan para pendekar yang pernah punya nama besar di jagat persilatan. Pangeran Prabaswara tahu persis tujuan sang kangmasnya, Pangeran Wiraraja. Dengan acara mengadakan acara berburu mereka dengan mudah mengamati dan menilai langsung secara seksama siapakah sesungguhnya pemuda yang sedang mereka curigai yang bernama Panji jagat itu. Tentu pemuda itu akan berburu hewan liar dengan cara di luar nalar manusia awam. Jika itu terbukti, maka kecurigaan mereka menjadi sangat kuat. “Dimas harus awasi dia di sana. Cara berburu pemuda kampung biasa denga
Ketika matahari sudah condong ke barat dan sengatan teriknya sudah mulai berkurang dan hewan-hewan liar telah keluar untuk mencari makan, Panji Jagat berdiri sembari merentangkan kedua tangannya ke samping sembari memejamkan kedua matanya. Saat itu ia seolah-olah sedang memastikan bahwa arah hembusan angin telah bergerak ke satu arah, sudah tidak lagi tak tentu arah lagi. Kemudian ia membuka matanya dan berkata, “Sebaiknya kita bergerak ke selatan dulu, mengikuti jalan kereta kuda ini. Dari sana Gusti Pangeran dan semuanya bisa menyaksikan hamba berburu.” “Baiklah kalau begitu,” sahut Pangeran Prabaswari sembari bangkit dari duduknya. Para prajurit pengawal langsung menyiapkan kudanya. Kuda yang ditunggangi oleh Ki Arya Dhanu berjalan lebih dulu di depan baru disusul oleh kuda Pangeran Prabaswara, Panji Jagat dan para prajurit pengawal. Mereka berjalan mengikuti jalan kereta yang setengah melingkar. Ketika sampai pada sisi bebukitan kecil, Panji Jagat ber
Salah seorang penasihat kerajaan bernama Rakryan Anubhawa menyampaikan peringatan terhadap Prabu Natanala agar dilakukan penjagaan yang berlapis di dalam kota raja serta dalam lingkungan istana. “Firasat hamba, pembunuhan berantai ini bukan dilakukan oleh orang sembarangan, tetapi oleh orang yang benar-benar berilmu sangat tinggi. Tampaknya sasaran utama pembunuhan itu adalah diarahkan kepada Gusti Prabu sendiri.” Nyaris terangkat pantat Prabu Natanala dari singgasananya mendengar ucapan Rakryan Anubhawa itu. Ia tak mampu menutupi kekagetannya. “Mengapa kaubisa menyimpulkan demikian, Rakryan Anubhawa? Bukankah pihak bhayangkara kerajaan belum berani menyimpulkan apa-apa atas persitiwa ini?” tanya Prabu Natanala. “Benar sekali, Gusti Prabu. Ini hanya pendapat pribadi hamba. Pengamatan hamba, rangkaian pembunuhan ini sebuah pembunuhan yang sangat terencana secara baik, sehingga pihak penyidik kerajaan belum mampu mengungkat satu pun dari rangkaian pemb
Spontan Pangeran Prabaswara menoleh kepada Panji Jagat. “Apa? Apa benar kamu bisa mengobati ibuku?” “Oh ... eh, mudah-mudahan, Gusti Pangeran. Hamba sangat tak tega melihat ibudanya Gusti Pangeran seperti itu.” “Jika Panji mampu menyembuhkan ibuku, maka aku akan mengangkatmu sebagai saudara angkatku!” ucap Pangeran Prabaswara dengan ekspresi sungguh-sungguh. “Tapi hamba pun tak berani menjamin ibu Gusti Pangeran akan sembuh, namun jika diberi kesempatan, ada baiknya hamba perlu mencobanya,” sahut Panji Jagat merendah. “Baiklah, Panji, aku akan memberimu kesempatan. Ingat ucapanku barusan, jika kaumampu menyembuhkan ibuku maka aku akan mengangkatmu sebagai saudara angkatku.” Panji Jagat terdiam sesaat dan menatap wajah Pangeran Prabaswara. Ada ekspresi sungguh-sungguh di raut wajah sang adik. Namun dalam hatinya berkata: Aku tak akan pernah menjadi kakak angkatmu, Praba, karena aku adalah kakak kandungmu. “Bagaimana?” “Ah ... baiklah