Dua anggota perompak yang masih berada di salah satu kapal kecil bergegas melepaskan tali tambang dan berusaha mengejar. Tapi baru beberapa meter bergerak, terdengar petir menggelegar di angkasa. Mending tebal bergulung-gulung menghitam begitu cepat dan angin berhembus sangat kencang.
"Tidak perlu dikejar, cepat kembali!" teriak pemimpin perompak begitu menyadari badai datang secara tiba-tiba.
Hujan deras yang disertai badai dan petir tak henti menyambar pun akhirnya melanda. Tubuh Nilam dan peti kayu yang dipeluknya erat terombang-ambing di lautan lepas. Jarak dengan kapal yang sudah dikuasai perompak Hantu Laut semakin jauh dan akhirnya tak terlihat.
***
Di sebuah pantai berpasir putih, seorang lelaki tua yang tubuhnya tidak terawat dengan pakaian penuh koyakan berjalan sambil terus mengucap sumpah serapah.
Ayunan langkahnya seketika terhenti. Bola matanya menyipit menyaksikan sesosok tubuh yang sedang memeluk peti terdampar di bibir pantai. Penasaran dengan apa yang dilihatnya, lelaki tua itupun berjalan cepat mendekat.
"Seorang wanita?" Dahi lelaki tua yang dipenuhi keriput itupun terlihat semakin tebal. Dia berjongkok untuk memastikan kondisi wanita tersebut.
"Rupanya dia sudah meninggal," ucapnya pelan seraya melepaskan tangan wanita yang masih dalam keadaan memeluk peti.
Begitu tangan wanita muda nan cantik itu terlepas dari peti, samar-samar telinga lelaki tua yang penampilannya seperti gelandangan itu mendengar suara dari dalam peti.
Terdorong dari rasa penasaran yang besar, lelaki tua itu membuka peti dan bola matanya pun melebar seketika. Dilihatnya sesosok bayi yang masih berusia beberapa bulan terdapat di dalamnya.
"Berarti wanita ini mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan putranya," ucapnya lagi dengan suara yang pelan.
Tiba-tiba senyumnya pun melebar. Diraihnya tubuh bayi mungil itu lalu diangkatnya ke atas dengan kedua tangannya.
"Wahai Dewata sialan, buka mata kalian dan saksikanlah! Hari ini aku bersumpah, aku akan menjadikan bocah ini sebagai penerusku. Kalian boleh menyegelku di Pulau Tengkorak yang terkutuk ini, tapi kalian tidak akan bisa menahan bocah ini yang akan meneruskan usahaku menguasai dunia ini, hahahaha!"
Blaaar
Suara petir tiba-tiba terdengar menggelegar sesuai lelaki tua itu bersumpah. Sebuah pohon kelapa yang tumbuh tinggi di pantai tersambar hingga terbakar dan kemudian tumbang.
Lelaki tua itu menoleh ke belakang menyaksikan kelapa yang tumbang dan terbakar setelah terkena sambaran petir. Tawa lantangnya kembali terdengar hingga bayi yang diangkatnya itu turut bergoyang-goyang.
"Hahahaha ..., Sambaran petir kalian tidak mengenaliku, Dewa sialan! Kalian tidak akan bisa membunuh Caraka semudah itu!" teriaknya keras seraya menyebut namanya sendiri sebelum kembali memasukkan bayi mungil itu ke dalam peti lalu ditutupnya.
Bola matanya kemudian menyipit begitu tahu ada tulisan yang terdapat di penutup peti. "Jalu Satria Dewangga ...?"
Lelaki tua itu kemudian berpikir jika bisa jadi yang tertulis di penutup peti itu adalah nama bayi mungil tersebut.
"Hahaha, kalau begitu aku akan memanggilmu Jalu!" teriaknya penuh kegembiraan.
Selain bakal memiliki penerus yang akan mewujudkan keinginannya menguasai dunia persilatan, lelaki tua itu juga gembira karena hidupnya yang ditemani rasa sepi selama puluhan tahun akhirnya menjadi lebih berwarna dengan hadirnya Jalu.
***
Delapan belas tahun kemudian ...
Jalu kecil kini telah menjadi sosok pemuda yang tampan. Berhidung mancung serta memiliki rahang yang kokoh. Sorot matanya tajam selayaknya mata elang yang terbiasa mengintai mangsa.
"Jalu, bawa buah kelapa muda itu ke pondok!" teriak Caraka yang sedang berada di atas pohon kelapa untuk memetik buahnya.
Jalu yang sedang mencari ikan di pantai menolehkan pandangannya. Seketika dia berlari menuju batang pohon kelapa yang dinaiki Caraka. Diambilnya buah kelapa muda yang bergeletakan di pasir lalu dibawanya menuju pondok sesuai perintah kakeknya.
Ya. Jalu selama ini beranggapan jika Caraka adalah kakek kandungnya sendiri.
Selepas meletakkan kelapa muda di dalam pondok kayu yang selama ini didiaminya bersama Caraka, Jalu keluar dan berjalan menuju hutan kecil untuk mencari kayu bakar.
Bermodalkan pisau kecil yang diberikan kakeknya sejak dia masih kecil, Jalu menerobos hutan yang selama ini hanya dia jamah bersama kakeknya. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika melihat seekor ayam hutan masuk ke dalam semak belukar yang lebat.
Jalu berjalan mengendap-endap mendekati target. Pisau kecil di tangannya tergenggam erat dan siap dilesatkannya untuk menghabisi ayam hutan yang baru saja dilihatnya.
Setelah dirasa posisinya sudah strategis untuk melesatkan pisau kecil di tangannya, Jalu pun mulai membidik ayam hutan yang kini hanya terlihat ekornya menjuntai.
Pisau kecil itupun melesat dengan kecepatan tinggi menembus semak belukar. Tapi sayang bidikan Jalu meleset, ayam hutan itupun berhasil kabur menyelamatkan diri.
Sialan! Seumur-umur baru kali ini bidikanku meleset," umpatnya kesal.
Namun yang membuat pemuda berwajah tampan itu heran, dia mendengar pisau kecilnya seperti menghantam bebatuan yang berada di dalam semak belukar tersebut. Rasa penasaran mendorongnya untuk melihat langsung dari pada hanya sekedar membayangkan. Sekalian untuk mengambil pisau, pikirnya.
"Ternyata benar ada batu," ucapnya pelan setelah tangannya menyentuh batu yang seperti tertata rapi.
Rasa penasaran pemuda tampan itupun semakin membesar. Jalu mencabut paksa semak belukar yang lebat itu untuk mengetahui bentuk tatanan baru yang tersembunyi di dalamnya. Dia tidak mempedulikan goresan duri kecil yang membuat kulitnya mengeluarkan titik-titik darah.
Luka kecil seperti itu sudah biasa didapatkannya. Rasa sakit akibat pelatihan ilmu kanuragan yang diajarkan kakeknya malah jauh lebih berat dari sekedar goresan saja.
Tak lama semak belukar itupun sudah tercabut seluruhnya. Sekarang yang terlihat oleh matanya adalah tatanan batu memanjang kurang lebih satu setengah meter.
"Apa Kakek yang menata bebatuan ini?" ujarnya bertanya-tanya dalam hati seraya mengambil pisau kecil miliknya yang tergeletak di tanah.
Sebagai sosok yang tidak pernah melihat dunia luar, Jalu terdidik menjadi sosok pemuda tertutup tapi suka merasa penasaran dengan hal baru. Didikan ilmu kanuragan dari kakeknya tidak tahu harus digunakanya untuk apa. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah berada di atas rata-rata pendekar dan mampu berlari di atas permukaan air bahkan tidak pernah dia gunakan. Pada intinya dia tidak tahu apa tujuan dari kakeknya mengajari ilmu kanuragan dengan sangat keras sejak dia kecil.
Pemuda yang memiliki ketampanan khas bangsawan itu berjalan cepat meninggalkan tumpukan batu untuk menemui kakeknya.
"Kakek! Kakek!" teriaknya keras sesampainya di luar pondok.
Caraka berjalan keluar dari pondok kayu sambil membawa sebiji kelapa muda yang sudah berlubang bagian atasnya. "Ada apa kau teriak-teriak?"
Lelaki tua itu kemudian duduk bersimpuh di tanah, lalu menenggak air kelapa muda untuk menyegarkan tenggorokannya.
Jika dilihat-lihat ada yang berbeda dari penampilan Caraka, pakaiannya tidak lagi compang-camping seperti pertama kali menemukan Jalu terdampar di pantai. Dia menggunakan pakaian Panji yang terdapat di dalam peti, begitu juga Jalu yang setiap harinya menggunakan pakaian mendiang ayahnya.
"Kakek, tumpukan batu di dalam hutan yang tertutupi semak-semak itu apa Kakek yang menatanya?"tanya Jalu setelah duduk bersimpuh di samping Caraka.Lelaki tua itu cukup lama memandang Jalu dengan tatapan nanar. Ada perasaan sedih ketika menerima kenyataan bahwa dia harus kembali hidup sendirian.Ya, Caraka dulu pernah bersumpah jika Jalu sudah menemukan kuburan ibunya, dia akan membuka semua masa lalu pemuda tampan itu. Dia juga akan mengatakan apa tujuannya mengajari pemuda tersebut denga ilmu Kanuragan mumpuni hingga dalam usia delapan belas tahun sudah berada pada tingkatan pendekar tanpa tanding.Meski Jalu tidak memiliki keistimewaan apapun di dalam tubuhnya, tapi Caraka berhasil mendidik pemuda tampan itu untuk menjadi pribadi yang tidak malas untuk berusaha. Tak luput juga dia menanamkan nilai-nilai aliran hitam agar 'cucunya' itu siap ketika terjun di dunia yang ramai. Ilmu membaca dan berhitung pun dia ajarkan juga, sebab dia tidak ingin pemuda itu nantinya menjadi bahan olok
"Tenang saja. Kakek sudah punya caranya agar kau bisa keluar dari pulau ini." Caraka berdiri lalu membawa masuk peti kayu ke dalam pondok. Setelah itu dia kembali berjalan keluar. "Sekarang ikutlah denganku!" ajaknya.Tanpa banyak bertanya Jalu mengikuti langkah kaki Caraka yang bergerak ke arah hutan kecil dan memasukinya.Tak sampai satu jam berjalan keduanya sudah berada di bibir hutan. Kini di depan mereka sudah berdiri tebing yang cukup tinggi, kurang lebih dua puluh meter."Ayo, Jalu!"Caraka melompat tinggi dan diikuti Jalu sesaat berikutnya. Keduanya mendarat dengan ringan di atas tebing."Lihatlah itu!" Caraka menunjuk batu besar yang berbentuk tengkorak kepala, "itulah kenapa pulau terpencil ini dinamakan pulau tengkorak. Entah siapa yang mengukir batu hingga menjadi sebuah tengkorak, tapi sejak aku dihukum di sini tengkorak itu sudah lebih dulu ada."Jalu berjalan mendekati batu besar berbentuk tengkorak tersebut. Sementara Caraka menuju sebuah batu lainnya yang tidak terla
Jalu hanya bisa tertawa dalam hati ketika semua orang yang melihatnya sudah menganggapnya hilang ingatan atau bahkan gila. Tapi di balik itu, dia merasa akan lebih baik untuknya bila mereka terus berpikir seperti itu terhadapnya."Bagaimana kalau Nyi Sundari tampung dia dulu setelah nanti sampai di daratan Swarnadwipa? Siapa tahu dengan sedikit pengobatan bisa mengembalikan ingatannya. Lagi pula dengan tubuhnya yang kekar itu aku yakin dia bisa membantumu berdagang," ujar seorang lelaki bertubuh tambun yang juga berpenampilan seperti orang kaya."Aku tidak bisa langsung mengiyakan usulmu, Kang Parjo. Saat ini suamiku masih tidur, nanti saja setelah dia bangun baru kubicarakan tentang pemuda tampan ini dengannya," jawab wanita yang memiliki nama Nyi Sundari itu.Jalu sebenarnya sulit jika harus terus-terusan berpura-pura lupa ingatan. Tapi bagaimanapun juga dia tetap harus melakukannya, sebab dia sendiri perlu bantuan orang lain untuk mengenal dunia luar."Maaf, kalau boleh tahu aku se
"Apa mungkin?" Dugaan liar pun berkembang di dalam pikiran Jalu. Asumsi terkuatnya mengatakan jika Perompak Hantu Laut menjadi penyebab ibunya sampai menceburkan diri ke laut untuk menyelamatkannya."Biar aku yang menghadapi mereka, Paman dan bibi di kamar saja!" Jalu bangkit berdiri. Diambilnya pedang Halilintar yang tergantung di dinding lalu berjalan menuju pintu. Aji dan Nyi Sundari terpaku untuk beberapa saat sampai akhirnya kebekuan mereka berdua buyar setelah Jalu membuka pintu."Jalu, jangan melawan mereka, lebih baik kami serahkan saja harta yang dibawa dari pada nyawamu dalam bahaya. Mereka terkenal sangat kejam." Nyi Sundari berusaha mencegah Jalu yang sudah hendak keluar dari kamar."Tenang saja, Bi, aku akan baik-baik saja! Kalian berdua tetap di dalam kamar dan jangan keluar sampai aku kembali," balas Jalu tanpa merasa ragu sedikitpun, meski pertarungan dan juga mungkin pembunuhan pertama akan segera dijalaninya.Pemuda berwajah tampan itu melangkah keluar dan menutup
"Di mana para perompak itu?" tanya Aji penasaran."Tidak perlu memikirkan tentang mereka. Entah kenapa para perompak itu tiba-tiba saja memutuskan untuk berbalik arah dan tidak jadi menyerang kapal kita," jawab Jalu beralasan. Tidak mungkin juga dia mengatakan kepada sepasang saudagar kaya itu bahwa para perompak Hantu Laut telah dia kirim nyawanya menemui Dewa kematian.Dahi Aji berkerut tebal. Dia sulit untuk percaya dengan ucapan Jalu, sebab dirinya tahu betul bagaimana reputasi perompak Hantu Laut yang tidak akan melepaskan sasarannya begitu saja.Bergegas suami Nyi Sundari itu keluar dari kamar dan melihat ke bagian belakang kapal. Ditatapnya lautan yang membentang luas mencari keberadaan perompak Hantu Laut yang sudah tidak terlihat. Selepas itu dia kembali Jalu dan istrinya.Empat hari berselang, kapal besar itu akhirnya bersandar juga di pelabuhan. Jalu, Aji dan Nyi Sundari bergegas turun dari kapal. Barang dagangan yang baru saja diambil sepasang saudagar kaya dari daratan Ja
Dan hasilnya sama saja, putrinya itu tidak berminat sama sekali meski berbagai tawaran harta benda yang tidak sedikit turut diajukan sebagai mahar pernikahan."Putriku, duduklah di samping Jalu," ucap Nyi Sundari kepada putrinya seusai gadis cantik itu meletakkan makanan di atas meja.Gadis cantik yang seusia dengan Jalu itu menatap ibunya penuh pertanyaan, tapi kode mata dari Nyi Sundari membuatnya meletakkan pantat di bantalan kursi samping Jalu. Ekor matanya melirik ke arah pemuda tampan yang sedari tadi menundukkan wajahnya."Jalu, kenalkan ini putriku, namanya Ayu Wulandari. Kau bisa memanggilnya Ayu," kata Nyi Sundari.Lagi-lagi Jalu hanya memberi anggukan kecil tanpa ekspresi apapun di wajahnya, dan apa yang dilakukannya itu sukses membuat penilaian pertama Ayu Wulandari untuknya tidak bagus."Sombong sekali, dia. Bahkan untuk melirikku pun tidak mau!" ucapnya kesal dalam hati."Jalu, tugasmu nanti adalah mengawal putriku kemanapun dia keluar rumah. Apa kau bisa melakukannya?"
"Ckckck, bagaimana mungkin seorang pengawal akan mencelakai orang yang dikawalnya?"Purnomo terkejut mendengar suara yang berasal dari belakang tubuhnya. Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada seorang pun yang dilihatnya.Penasaran dengan suara yang baru saja didengarnya, Purnomo pun berdiri lalu melihat sekeliling. Tapi lagi-lagi sejauh matanya memandang tak terlihat siapapun."Kau mencariku?"Purnomo mendongak ke atas. Dilihatnya pemuda yang datang bersama Nyi Sundari dan Aji tengah duduk di atas sebuah dahan dengan pandangan terarah kepadanya."Kau jangan ikut campur urusanku, Bocah ingusan!" bentaknya keras."Hahahaha, bagaimana mungkin aku tidak ikut campur jika Bibi Sundari yang memintaku untuk menjaga Ayu." Jalu tertawa lebar karena menganggap apa yang diucapkan Purnomo kepadanya adalah hal yang lucu.Sejatinya Jalu tidak mengerti apa yang hendak dilakukan Purnomo kepada Ayu Wulandari, sebab selama hidup di Pulau Tengkorak dia tidak mengenal lawan jenis dan juga tentang birah
"Bohong! Kau pasti sudah bekerja sama dengan Purnomo untuk bisa menikmati tubuhku, bukan?" sahut Ayu Wulandari dengan penuh emosi. Jalu semakin bingung dengan kosakata baru yang dia tidak mengerti maksudnya. Bagaimana mungkin dia bisa dituduh hendak memakan gadis cantik putri dari Nyi Sundari dan Aji tersebut, sedangkan dirinya hanya berniat menyelamatkan Ayu Wulandari dari niat buruk Purnomo yang sebenarnya dia pun tidak paham apa hendak dilakukan lelaki bertubuh jangkung itu.Ya, Jalu memaknai arti kata menikmati sama dengan memakan. Keterbatasan berkomunikasi selama delapan belas tahun tinggal di pulau tengkorak membuatnya menjadi sosok yang lugu tapi bengis jika sudah berhadapan dengan sesama pendekar."Apa kau kira aku kanibal pemakan daging sesama manusia?" "Jangan pura-pura lugu, bedebah! Aku tahu kau berupaya mendekati orang tuaku agar bisa mendapatkanku." Lagi-lagi Ayu Wulandari menuduh Jalu tanpa dasar yang kuat. Dia hanya berpikir jika Jalu tak jauh berbeda dengan lelaki